Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu a tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara dan b tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan Negara atau
prekonomian Negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian Negara pada sub a tersebut bukanlah tindak
pidana materil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidakperlu menunggu timbulnya kerugian Negara.
Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian Negara, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub a maupun sub b dirumuskan secara formil atau merupakan tindak pidana
formil dan tidak ada yang dirumuskan secara materil atau berupa tindak pidana materil.
49
2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi di Indonesia
Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan
dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya: 1.
Delik-delik Korupsi dalam KUHP; 2.
Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat dan Laut;
49
Ibid, halaman 30
Universitas Sumatera Utara
3. Undang-undang No. 24 PRP Tahun 1960 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; 4.
Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; 6.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 31 Tuhan 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi; 1
Delik-delik korupsi dalam KUHP Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Wetboek van Strafrecht yang berlaku sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodefikasi dan unifikasi berlaku
bagi semua golongan penduduk di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi diselaraskan dengan WvS tahun 1981 di Belanda.
50
KUHP merupakan hasil karya sarjana-sarjana hukum, yaitu Stibbe, Veenstra, Hagen, dan Scheur yang
tergabung dalam panitia pembuat rencana unifikasi pada tanggal 14 Juli 1909.
51
KUHP merupakan suatu sistem dimana segala Pasal serta bab yang ada didalamnya terikat dengan sistem itu. Sehingga ditarik 19 buah Pasal
untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi yang masuk dalam delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II
50
Ibid, halaman 33
51
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti Pasal 210 orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut
active omkoping, berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II KUHP.
52
Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan
kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana. Begitu pula dalam code penal, delik jabatan seperti itu termasuk dalam buku
tentang kejahatan biasa.
53
2 Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat
dan Laut Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama adalah Peraturan
Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt PM 06 1957, tanggal 27 Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut:
Bahwa berhubungan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian Negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan
dalam usaha-
usaha memberantas korupsi,….dan seterusnya.
54
Penting untuk diketahui dari peraturan perundangan-undangan tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilah-
istilah korupsi sebagai istillah hukum dan member batasan pengertian korupsi sebagai berikut “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
52
Ibid, halaman 38
53
Ibid.
54
Ibid, halaman 41
Universitas Sumatera Utara
perekonomian Negara”.
55
Kemudian peraturan penguasa militer ini digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat
Nomor: Prt Peperpu 013 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958.
56
Bagian yang menanrik dari peraturan penguasa perang pusat ADAL tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1
yang juga dijabarkan dalam Pasal 1dan 2, ahwa perbuatan korupsi terdiri atas:
57
1 Perbuatan korupsi pidana
2 Perbuatan korupsi lainnya Pasal1
Perbuatan korupsi pidana antara lain: a.
Perbuatan seseorang denga atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
55
Ibid, halaman 42
56
Ibid.
57
Ibid, halaman 43-44
Universitas Sumatera Utara
c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP Pasal 2.
3 Undang-undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 24 PRP Tahun 1960 ini pada awalnya
berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang kemudian disahkanenjadi Undang-undang. Dasar pengesahan tersebut adalah Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan semua undang-undang darurat dan semua peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang.
58
Defenisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 yang menyatakan:
59
Pertama, “tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan tau perekonomian Negara tau daerah atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-
kelonggaran dari Negara atau masyarakat” Kedua, “perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan
suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan…” Ketiga, “kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21
peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 432 KUHP”
58
Dani Krisnawati Dkk Editor Eddy O. S. Hiariej, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman 48
59
Ibid, halaman 48-49
Universitas Sumatera Utara
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1871
60
mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara
langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
61
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa. Artinya, entuk kesalahan disini tidak saja
diisyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara sudah dapat
menjerat pelaku.
62
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:
63
1. Barang siapa dengan melawan hukum melaukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian Negara;
60
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini selanjutnya diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diubah ladi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
61
Ibid, halaman 53
62
Ibid, halaman 54
63
Ibid, halaman 54-56
Universitas Sumatera Utara
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langnsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;
4. Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti
dimaksud pada Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah
atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini; 5.
Barang siapa dengan tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya,
seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;
6. Barang siapa melakukan percobaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat 1 a, b, c, d, e Pasal ini. Rumusan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi didalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia