Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara

Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi good governance. Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundang- undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan masalah korupsi.

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara

Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapt dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut: Pasal: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun paling lama 20 dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah. Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah. Universitas Sumatera Utara Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut: 67 1. Setiap orang; 2. Secara melawan hukum; 3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut: 1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut: 1 Penjelasan Pasal 2 UU PTPK 1 Setiap orang Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi. 68 Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi 67 Firman Wijaya, Opcit, halaman 18-19. 68 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3 Universitas Sumatera Utara yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 69 2 Secara melawan hukum Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 70 a Sifat melawan hukum formil Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku hukum tertulis. Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum 69 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1 70 Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1. Universitas Sumatera Utara secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana telah terpenuhi. 71 b Sifat melawan hukum materil Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah dipandang tercela oleh masyarakat. Sifat melawan huku materil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu. 72 Bersifat melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. 73 Loebby Logman mengemukakan bahwa ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melwan hukum secara materil bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihat sifat dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak 71 D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39 72 D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41 73 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 7 Universitas Sumatera Utara pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu perbuatan melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subjek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari sisi diri si pelaku. 74 Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil. Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif, yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur tetapi jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak memungkinkan untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang mengandung asas legalitas didalamnya. Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003PUU-IV2006 sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam 74 Loebby Logman, Beberapa Ikwal di Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, 1991, halaman 25 Universitas Sumatera Utara Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan denga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 75 3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta uang dan sebagainya,” demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. 76 Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat 1 sub a 75 Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil materiels wederechtlijk, yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. 76 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177 Universitas Sumatera Utara adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat 2 yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 37 ayat 4 UU PTPK Tahun 1999 Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata- kata “….kekayaan yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana koru psi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 77 a Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat 77 Ibid, halaman 178 Universitas Sumatera Utara keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan bagi negara. b Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret. c Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa. 4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun Universitas Sumatera Utara yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 78 a Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah; b Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Arti dari perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat, maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bertujuan memebrikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 79 2 Penjelasan Pasal 3 UU PTPK 1 Perbuatan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan Sejak Peraturan Penguasaan Militer tahun 1957 hingga sekarang yang dimasukkan dalam bagian inti delik bestanddeel delict dalam tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi peraturan peundang- undangan tidak ada memberikan penjelasan yang memadai mengenai penyalahgunaan wewenang, sehingga membawa implikasi interprestasi yang beragam. Berbeda dengan penjelasan mengenai “melawan hukum” 78 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 79 Adami Chazawi, Opcit, halaman 46 Universitas Sumatera Utara wederrechtelijkheid yang dirasakan cukup memadai walaupun dalam penerapannya masih debatable. 80 Sampai saat ini para sarjana atau pakar hukum pidana tidak memberikan defenisi atau batasan pengertian tentang penyalahgunaan wewenang secara memadai. Selain itu tidak ada satupun pernyataan dari pakar hukum pidana yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan ranah dari hukum administrasi, tetapi dalam praktik peradilan pembuktian penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan konsep-konsep dan parameter yang berlaku dalam hukum administrasi. 81 Kewenangan yang digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu, itulah yang disebut menyalahgunakan kewenagan. Artinya, menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak unutk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau kebiasaan. 2 Perbuatan menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan Kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dan tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku. Pada umumnya, kesempatan ini bisa terjadi akibat adanya kekosongan atau kelemahan dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan menafsirkan secara 80 Arief Ussama, Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi, Forum Kajian Hukum UNPAK, Bogor, 2008, halaman 48 81 Ibid, halaman 53 Universitas Sumatera Utara salah pada ketentuan-ketentuan tersebut. 82 Orang yang karena jabatan atau kedudukannya itu mempunyai peluang atau waktu untuk melakukan perbuatan- perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu jika digunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dia lakukan dan bertentangan dengan tugas pekerjaannya, maka disini telah terdapat menyalahgunakan kesempatan karena jabatan atau kedudukan. 3 Perbuatan menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan. Sarana adalah segala sesuatu yang dapt dipergunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Orang yang memiliki jabatan atau kedudukan juga memiliki sarana atau alat yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatan dengan sebaik-baiknya. Sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan itu hanya digunakan semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya, tidak digunakan untuk perbuatan diluar tujuan yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan. Dikatakan perbuatan yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukannya, adalah apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan denga tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya. 4 Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya Apa yang dimaksud dengan “ada padanya karena jabatan atau kedudukannya” tiada lain adalah kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, antara keberadaan 82 R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 39 Universitas Sumatera Utara kewenangan, kesempatan, atau sarana haruslah memiliki hubungan dengan jabatan atau kedudukan. Jabatan atau kedudukan menjadikan seseorang mempunyai kewenangan, kesempatan, dan sarana yang timbul karena jabatan atau kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan tersebut hilang, maka serta merta juga kewenangan, kesempatan, dan sarana juga hilang karenanya. Dengan demikian, tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya. 5 Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Unsur ini telah disebutkan secara cukup jelas pada pembahasan tindak pidana korupsi “memperkaya diri” Pasal 2 di bagian depan, maka mengenai unsur ini tidak dibahas lagi.

5. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi