Conviction in time Conviction in raison Sistem pembuktian negatif Sistem pembuktian positif

atau meringankan pidananya. Biasanya alat bukti yang dihadirkan disebut dengan bukti kebalikan. c. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum ataupun yang berasal dari penasihat hukumterdakwa dibuat berdasarkan untuk membuat keputusan. Sistem pembuktian mengenal 4 empat teori, yaitu: 111

1. Conviction in time

Teori ini adalah ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada atau mengabaikan alat bukti yang ada dipersidangan. Akibatnya hakim memutuskan menjadi sujektif sekali dan tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya. 112

2. Conviction in raison

Ajaran pembuktian ini masih menyandarkan pada keyakinan hakim dan tidak terikat pada alat bukti yang ditetapkan undang-undang. Hakim juga bisa mempergunakan alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun hakim dalam mengambil keputusannya haruslah didasari oleh alasan-alasan yang jelas dan harus dapat diterima oleh akal reasonable. 113

3. Sistem pembuktian negatif

111 Ibid, halaman 14 112 Sistem pembuktian ini dipergunakan dalam sistem peradilan juri Jury Rechtspraak Ibid, halaman 14-15 113 sistem ini lebih sering disebut dengan sistem pembuktian bebas Ibid, halaman 16 Universitas Sumatera Utara Sistem pembuktian ini sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone dimana hakim dalam mengambil keputusan terikat dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

4. Sistem pembuktian positif

Sistem pembuktian positif ini adalah sistem yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Alat bukti yang ditentukan undang-undang adalah penting, keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Intinya, apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP menyebutkan bahwa dalam membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi bersalah atau tidak terdapat 5 lima jenis alat bukti, yaitu: 1 Keterangan Saksi; 114 Dalam memberikan keterangan oleh saksi pada proses pengadilan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi saksi, yaitu: 115 114 Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengena suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu Ibid, halaman 22 115 Ibid, halaman 24-28 Universitas Sumatera Utara a Setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi Pasal 1 Butir 26 KUHAP; b Keterangan saksi sebisa mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa, dalam hal ini KUHAP membagi dalam 3 tiga golongan pengecualian, yaitu: 1. Golongan A Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi Pasal 168 KUHAP: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 2. Golongan B Golongan ini adalah golongan ini yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan Pasal 170 KUHAP: Universitas Sumatera Utara a. Mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, 116 yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundang-undangan; b. Jika ada yang mengatur ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapat kebebasan tersebut. 3. Golongan C Gologan ini adalah golongan yang boleh diperiksa tanpa harus diambil sumpahnya Pasal 171 KUHAP: a. Anak yang umurnya belum 15 lima belas tahun atau belum pernah kawin; b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang0kadang ingatannya baik kembali. 2 Keterangan Ahli; 117 Pasal 186 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Suatu keterangan saksi ahli mempunyai nilai pembuktian apabila ahli tersebut dimuka hakim harus bersumpah dahulu sebelum memberikan keterangan. Jika ahli tidak bisa hadir 116 Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan adalah dokter,apoteker, notaries, dsb. Orang yang karna harkat martabatnya, adalah pastor. Orang yang karena jabatannya adalah banker terhadap keuangan nasabah. Ibid, halaman 27 117 Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang pendidikan khusus Ibid, halaman 56 Universitas Sumatera Utara dalam persidangan dan sebelumnya sudah mengucapkan sumpah di muka penyidik maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang diucapkan dalam persidangan. 118 Keterangan yang dilakukan oleh seorang ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan. 119 Hal ini berbeda dengan keterangan dari seorang saksi yang tidak diperbolehkan memberikan kesimpulan-kesimpulan. 3 Surat; 120 Surat yang dimaksud disini adalah surat yang sesuai dengan ketentuan Pasal 187 KUHAP adalah surat biasa, surat otentik, surat di bawah tangan. Adapun penjelasan dari 3 tiga jenis surat tersebut, yaitu: a. Surat Biasa Surat biasa adalah sebuah alat bukti yang dibuat tanpa maksud dijadikan alat bukti. Jika kemudian dijadikan alat bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan. Dalam pembuktian, surat biasa mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti bebas. Dalam prakteknya surat-surat ini sering dipergunakan untuk menyusun persangkaan. 121 b. Surat Otentik 118 Ibid, halaman 60 119 Ibid 120 Menurut Sudikno Mertokusumo, surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksuddkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian Ibid, halaman 62 121 Ibid, halaman 68 Universitas Sumatera Utara Surat otentik adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian sekalian orang yang mendapat hak daripadanya. 122 c. Akta dibawah tangan Arti dari akta dibawah tangan ini adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta dibawah tangan ii juga mempunyai nilai sebagai “permulaan bukti tertulis”. 123 4 Petunjuk; 124 Ketentuan yang mengatur petunjuk sebagai alat bukti terdapat dalam Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi: 125 a. Petunjuk adalah perbuatan kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; b. Petunjuk sebgaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari: 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 122 Ibid, halaman 69 123 Ibid, halaman 71 124 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya Ibid, halaman 75 125 Ibid, halaman 78 Universitas Sumatera Utara 3. Keterangan terdakwa. c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5 Keterangan Terdakwa. 126 Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa, keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 127 a. Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan; b. Mengaku bersalah. Namun dengan demikian ada kemungkinan terdakwa memberikan pengakuan untuk sebagian: 128 a. Terdakwa mengaku melakukan delik yang didakwakan; b. Tetapi ia tidak mengaku bersalah. Kelima alat bukti inilah yang digunakan oleh para penegak hukum dalam memeriksa dan mengungkap suatu perkara pidana termasuk tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan UU PTPK juga menyebutkan dan mengatur tentang alat bukti yang digunakan dalam mengungkap kasus korupsi. UU PTPK mengatur 126 Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan sendiri tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Sehingga bisa dikatakan bahwa keterangan terdakwa lebih maju daripada pengakuan terdakwa Ibid, halaman 83. 127 Ibid, halaman 83-84 128 Ibid, halaman 84 Universitas Sumatera Utara secara khusus tentang alat bukti yang dapat digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 26A menjelaskan tentang alat bukti yang sah yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam persidangan tindak pidana korupsi. Alat bukti yang dapat diperoleh selain dalam ketentuan dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Selanjutnya disebut dengan KUHAP dijelaskan dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik 129 dengan alat optik atau yang serupa dengan itu 130 ; dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik, apapun selain kertas, mapun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam pasal 26A, secara formal tidak diragukan lagi bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud pasal ini adalah sebagai alat bukti yang kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 tiga alat bukti ; keterangan saksi, surat, dan 129 Ya g di aksud de ga disi pa se ara elektro ik isal ya data ya g disi pa dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory CD-ROM atau Write Once Read Many WORM penjelasan UU PTPK Pasal 26A 130 Ya g di aksud de ga alat optik atau ya g serupa de ga itu dala ayat i i tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronic data interchange, surat elektronik e- mail, telegram, teleks, dan faksimili Ibid Universitas Sumatera Utara keterangan terdakwa pasal 188 ayat 2. Dalam rumusan pasal 26A huruf a disebut secara tegas “ alat bukti lain”. Artinya, kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan alasan itu, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja, tanpa menggunakan alat bukti lain. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 183 KUHAP alat bukti petunjuk tidak boleh menjadi satu-satunya alat bukti yang berdiri sendiri. Haruslah diperlukan satu alat bukti lain yang isinya sama dan bersesuaian. Artinya, haruslah ada salah satu dari alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penjelasan atas ketentuan ini, sebatasnya perluasan alat bukti berupa ”sciencetific evidence” dalam bentuk alat bukti “Pertunjuk” ini karena dalam rumusan pembahasan masih terdapat debatable diantara perumus mengenai sulitnya pembuktian dan disalahgunakannya dari para penegak hukum terhadap perluasan alat bukti tersebut, pula secara teknis, alat bukti berupa teknologi informasi ini memiliki dinamisasi yang polemik. 131 Sehingga dapat disimpulkan bahwa alat bukti dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berupa sebagai berikut: 1. Alat bukti yang sesuai dengan ketentuan pasal 188 ayat 2 KUHAP; 131 Indriyanto Seno Adji, Opcit, halaman 366 Universitas Sumatera Utara 2. Alat bukti lain yang tertuang di dalam pasal 26 A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dari aturan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang mengatur tentan alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Sehingga dalam persidangan, alat bukti yang sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang tersebut yang dapat dihadirkan dalam persidangan. Universitas Sumatera Utara BAB I A. LATAR BELAKANG Korupsi dalam konteks yang komprehensif merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sering kali memerlukan “pendekatan sistem system approach” terhadap pemberantasannya karena cenderung sulit memperoleh procedural pembuktiannya. Korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tetapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana menghadapi invisible crime tsb. 1 Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sector kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis. 2 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hal-hak social masyarakat yang mulai endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa pemerintahankepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat high profile crime dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri. 3 Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Terdapat cukup alasan yang rasional untuk 1 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta,2009, halaman 191. 2 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Paragraf ke-2. 3 Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289. Universitas Sumatera Utara mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa extraordinary crime, sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga extraordinary measure dan dengan menggunakan instrument- instrumen hukum yang luar biasa pula extraordinary instrument. 4 Indonesia pada saat ini mulai aktif dalam penggunaan teknologi elektronik yang berbasis kepada lingkungan serba digital. 5 Perkembangan teknologi tersebut, menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik dan prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. 6 Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan bahwa “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang- undang pidana”. 7 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di siding pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan nasib terdakwa. Hasil dari pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap 4 H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. Halaman 76. 5 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005, halaman 31. 6 Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, halaman, 3. 7 Andi Hamzah,dkk, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, halaman 2. Universitas Sumatera Utara terdakwa, maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut. Pembuktian menurut KUHAP, menganut system pembuktan menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijk stelsel yaitu sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim conviction in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang. Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim dimana media sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif. 8 Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem pembuktian di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan hakim, sistem ini sejalan dengan yang dianut dalam pasal 183 KUHAP yang juga merupakan batas minimum pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standard terbukti secara sah dan meyakinkan beyond a reasonable doubt. Dalam pembuktian di 8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, halaman 278 Universitas Sumatera Utara persidangan tercapainya batas minimum pembuktian namun mengandung cacat materiil yang disebabkan antara lain oleh keterangan palsu, tidak relevan, ketarangan bohong, keterangan tidak jelas sumbernya, lemahnya alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain, tidak bersentuhan dan bertalian, masing-masing alat bukti berdiri sendiri dan dokumen palsu. Dengan demikian maka pembuktian sebagai dasar perkara pidana dapat didasarkan pada petunjuk-petunjuk, hal itu dikarenakan setiap kejahatan khususnya tindak pidana korupsi dilakukan dengan terencana, terorganisir dan melibatkan banyak jaringan yang kemudian akan menghilangkan jejak perbuatannya. Maka dengan demikian Penyadapan dijadikan alat bukti petunjuk dengan tujuan agar kejahatan yang disembunyikan itu dapat terungkap. Tujuan pokok sistem peradilan pidana berdasarkan sah dan meyakinkan untuk mencari dan mewujudkan kebenaran sejati Ultimate Truth, Absolute Truth. Hasil penyadapan bisa mewujudkan kebenaran sejati selama pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan bersesuaian dengan alat-alat bukti yang lain maka keterbuktian kesalahan terdakwa dianggap beralasan. Banyak hal yang akan menimbulkan keraguraguan akan membuat terdakwa bisa dibebaskan atau sebaliknya akan dijatuhi hukuman karena dianggap tidak bersalah oleh karena itu penyadapan dijadikan sebagai alat bukti petunjuk untuk memberikan keyakinan kepada hakim dalam mengambil keputusan. Maka dalam pembuktian tindak pidana korupsi, menurut pasal 26A Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 Universitas Sumatera Utara tentang Perubahan Atas Undang- Undang 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam kasus korupsi, pembuktian didasarkan atas alat bukti yang ditentukan dalam pasal 184 ayat KUHAP, namun khusus tindak pidana korupsi ditambah lagi hasil penyadapan sebagai petunjuk yang diperoleh dari : a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronic data interchange , surat elektronik e-mail, telegram, teleks, dan faksimili; dan b. Dokumen, yaitu rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, banda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 9 Merujuk pada ketentuan mengenai bukti petunjuk di atas, jelas bahwa bagi seorang hakim diwajibkan untuk menggali alat bukti lain sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Diperlukan kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Pasal 26A huruf a dan b. Universitas Sumatera Utara antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum JPU. Kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik electronic evidence sehingga hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan seorang ahli keterangan ahli, kecuali pembicara dalam rekaman tersebut mengakuinya bahwa suara yang diperdengarkan di muka siding pengadilan adalah suara dirinya sendiri. Rekaman elektronik sebagai alat bukti yang tersendiri di tegaskan dalam Pasal 26A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang meyebutkan bahwa alat bukti pemeriksaan di dalam tindak pidana korupsi, termasuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, dan juga alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan rekaman elektronik. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penyadapan Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, di dalam penulisan skripsi ini.

B. Perumusan Masalah