Saat ini khusus untuk peralihan hak milik atas tanah telah diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang – Undang Pokok
Agraria No. 5 tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960, dimana pasal tersebut menegaskan setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah sebagai jaminan ataupun sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
yang dalam peraturan ini disebut Pejabat Pembuat Akte Tanah PPAT, dan tindakan yang demikian ini disebut dengan penyerahan menurut hukum.
3. Sistem Penyerahan Levering Yang Dianut KUHPerdata
Berkaitan dengan sistem penyerahan levering ini dalam berbagai sistem hukum dikenal apa yang disebut dengan “Causal stelsel” dan “Abstracts stelsel”.
Di dalam stelsel causal maka kekuatan yang berlaku dari penyerahan ditentukan oleh titel dari penyerahan itu, sedangkan didalam stelsel abstrak maka berlakunya penyerahan itu terlepas
dari pada apa yang menjadi dasar atau yang menjadi titel dari penyerahan itu. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
29
Pentingnya membicarakan kedua sistem penyerahan levering ini karena kedua sistem ini berkaitan dengan keabsahan perbuatan penyerahan levering tersebut dikaitkan dengan
keabsahan dari perjanjian obligatoir obligatoir overeenkomst yang menjadi dasar dari penyerahan dimaksud. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penyerahan levering sebagai
suatu perbuatan hukum mengalihkanmemindahkan hak milik bukanlah merupakan perbuatan mengemukakan bahwa sistem hukum yang terbanyak
diikuti ialah yang menganut sistem Code Civil, yaitu perpindahan hak atas barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian sedangkan penyerahan merupakan suatu feitelijke-daad saja.
29
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
hukum yang berdiri sendiri melainkan penyerahan levering adalah merupakan perbuatan lanjutan dari suatu perbuatan hukum berupa persesuaian kehendak dari pihak-pihak yang saling
mengikatkan diri yang bertujuan mengalihkanmemindahkan hak milik yang disebut sebagai perjanjian obligatoir obligatoir overeenkomst seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-
menukar dan perjanjian hibah. Dengan kata lain apabila perjanjian yang menjadi dasar dari suatu penyerahan levering
tersebut, misalnya perjanjian jual belinya, atau perjanjian tukar menukarnya ataupun perjanjian hibahnya dikemudian hari dibatalkan karena sesuatu hal, apakah serta-merta berakibat batalnya
perpindahanperalihan hak milik yang telah dilakukan tersebut atau apakah sebaliknya walaupun perjanjian obligatoirnya yaitu perjanjian jual beli, tukar-menukar atau hibahnya dibatalkan tidak
serta merta membawa akibat kepada pembatalan peralihan hak milik tersebut. Berkaitan dengan sistem yang dianut KUHPerdata mengenai pemindahan atau
pengalihan hak milik yang terdiri atas dua tahapan yaitu tahap obligatoire overeenkomst dan tahap zakelijke overeenkomst sebagaimana telah diuraikan di atas, maka persoalan yang penting
dalam hal ini adalah bagaimana keterkaitan antara kedua tahapan atau perbuatan hukum tersebut. Dengan kata lain berkaitan dengan hal tersebut timbul pertanyaan apakah sah pembalikan nama
dalam jual beli atas benda tidak bergerak tersebut tergantung pada sah atau tidak sahnya perjanjian obligatoir? Ataukah harus dipandang terlepas dari obligatoir overeenkomst itu.
Pertanyaan ini penting baik bagi pembeli yang telah menerimamemiliki benda tersebut terutama juga bagi pihak ketiga yang telah memperolehnya kemudian dari pihak pembeli misalnya
pembeli tersebut kemudian menjualnya lagi kepada orang lain pihak ketiga, karena ada kemungkinan perjanjian jual beli yang pertama tadi dibatalkan atas gugatan orang lain dengan
dasar misalnya bahwa penjual tidak berhak menjual benda tersebut. Contohnya; A menjual
Universitas Sumatera Utara
sebidang tanah kepada B yang telah diikuti dengan penyerahan bendanya dan telah dibalik- namakan atas nama B. Kemudian B menjual tanah tersebut kepada C. Atas gugatan X,
pengadilan memutuskan membatalkan jual beli antara A dengan si B dengan alasan bahwa A tidak berhak menjual benda tersebut. Timbul pertanyaan apakah pembalikan nama yang telah
dilakukan oleh B menjadi tidak sah dan bagaimana pula hak yang diperoleh oleh C dalam hal tersebut?
Terhadap contoh tersebut di atas, maka menurut sistem causal “causal stelsel” dengan dibatalkannya perjanjian jual beli tersebut, maka secara otomatis batallah juga peralihan hak
milik tersebut, sedangkan menurut sistem abstrak abstact stelsel peralihan hak milik tersebut tetap sah walaupun perjanjian jual belinya dibatalkan.
R.Subekti
30
KUHPerdata menganut sistem causal causal stelsel yaitu suatu sistem yang menggantungkan sahnya penyerahan levering itu pada dua syarat ;
menyatakan bahwa menurut pendapat yang lazim dianut oleh para ahli hukum dan para hakim, dalam BW berlaku apa yang dinamakan “causal stelsel”, dimana
memang sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir, misalnya, perjanjian jual beli atau perjanjian schengking dan sebagainya.
Dalam sistem ini diberatkan pemberian perlindungan pada si pemilik, dengan mengorbankan kepentingan orang-orang pihak ketiga.
1. Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya penyerahan levering;
2. Penyerahan dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas
beschikkingsbevoegd terhadap barang yang diserahkan. Adapun dasar hukum dianutnya sistem causal ini dalam KUHPerdata adalah ketentuan
yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata, pada kalimat yang menyatakan, karena penunjukan
30
R. Subekti I., op-cit,hal 72
Universitas Sumatera Utara
atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.
Ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut mensyaratkan bahwa yang memindahkan hak milik itu haruslah orang yang berwenang pemilik sebagaimana disimpulkan dari Pasal 584
KUHPerdata yang menentukan bahwa penyerahan itu haruslah dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu yang berarti haruslah sebagai pemilik, kecuali mengenai
benda bergerak terdapat penyimpangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1977 KUHPerdata yang menentukan bahwa mengenai benda bergerak, bezitter dianggap sebagai pemilik dan karenanya
berhak memindahkan hak milik secara sah. R.Subekti
31
mengemukakan “sistim abstrak” yaitu sistem yang dianut di Jerman Barat. Menurut sistem ini levering yang dikonstruksikan sebagai suatu “zakelijke overenkomst” sudah
dilepaskan hubungannya dengan perjanjian obligatoirnya dan berdiri sendiri. Dengan demikian maka kalau di Prancis obligatoir dan zakelijke overeenkomst diperas menjadi satu, di negeri
Belanda merupakan dua peristiwa yang interdependen, maka di Jerman Barat zakelijke overeenkomst itu dipandang sebagai dan dijadikan suatu perbuatan hukum Rechtsgeschaft
tersendiri.
B. Tentang Hak Milik. 1. Pengertian Hak Milik