Jual beli. Beberapa Perjanjian Sebagai Alas Hak Pengalihan Hak Milik.

ad. 10. Asas kebiasaan. Dengan asas kebiasaan ini dimaksudkan bahwa dalam pelaksanaan suatu perjanjian haruslah memperhatikan norma-norma yang terdapat dalam kebiasan di masyarakat.

E. Beberapa Perjanjian Sebagai Alas Hak Pengalihan Hak Milik.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dikenal titel-titel khusus yang merupakan dasar pemindahan hak milik, hal ini dapat dilihat dari Pasal 584 KUHPerdata berbunyi : “Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.” Apabila dilihat dari bunyi terakhir pasal tersebut, diantaranya juga disebutkan penyerahan barang sebagai akibat dari suatu persetujuan atau perbuatan hukum yang bermaksud memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari tangan seseorang ke tangan orang lain, hal ini dapat dilakukan dengan persetujuan jual beli, tukar menukar, penghibahan.

1. Jual beli.

Adapun yang diartikan dengan jual beli dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan; “ Jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Universitas Sumatera Utara Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa, yang menjadi unsur perjanjian jual beli adalah mengenai barang dan harga, hal ini relevan dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu telah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. R.Subekti 21 Sifat sepakat dari jual beli ini, terlihat dari bunyi Pasal 1458 KUHPerdata yang menyebutkan ; mengemukakan; unsur pokok “essentialia” perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang- orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Sesuai dengan pengertian jual beli dalam Pasal 1457 KUHPerdata tersebut, maka perjanjian jual beli tersebut baru melahirkan kewajiban bagi pihak penjual untuk menyerahkan barang, ini berarti bahwa dengan adanya persetujuan jual beli, maka barang yang bersangkutan belum berpindah hak miliknya kepada si pembeli. Pemindahan hak milik baru akan terjadi, apabila barangnya sudah diserahkan ke tangan pembeli. Jadi selama penyerahan itu belum dilakukan, maka hak milik atas barang itu tetap berada di tangan sipenjual, hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menentukan : 21 R.Subekti III., Aneka perjanjian, Alumni, Bandung,1984, hal 2. Universitas Sumatera Utara “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahan belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”. Wirjono Projodikoro 22 Oleh karenanya perjanjian jual beli menurut KUHPerdata belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya penyerahan levering. Dengan demikian penyerahan levering merupakan suatu perbuatan hukum guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari jenis benda yang dijual. menyatakan persetujuan jual beli hanya mempunyai sifat “obligatoire” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya”. Jadi jual beli tersebut tidak langsung mengenai kedudukan benda zaakelijk hanya mengikat obligatoir. Dilihat dari jenis barang yang menjadi objek jual beli maka dapat dibedakan atas barang tidak bergerak, barang bergerak dan barang tak berwujud, oleh karenanya penyerahan atas masing-masing barang tersebut berbeda sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya. R.Subekti 23 Adapun subjek dalam perjanjian jual beli adalah si penjual dan si pembeli, yang masing- masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli sedangkan pembeli berkewajiban membayar harga kepada penjual. Selanjutnya objek perjanjian jual beli adalah barang atau mengemukakan, oleh para sarjana Belanda malahan “levering” itu dikonstruksikan sebagai suatu “zakelijke overeenkomst”, ialah suatu persetujuan lagi tahap kedua antara penjual dan pembeli yang khusus bertujuan memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli. 22 Wirjono ProdjodikoroII., Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Alumni, Bandung, 1981 ,hal 18. 23 R.Subekti III., op-cit, hal 11 Universitas Sumatera Utara benda, dimana barang tersebut harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Untuk selanjutnya dapat dilihat pengalihan hak-hak atas tanah dengan titel pendukungnya yaitu jual beli, selain harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di atas, maka tak dapat terlepas pula dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang- undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Menurut Pasal 21 UUPA yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah : 1. Warga Negara Indonesia WNI 2. Badan-badan Hukum, yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia. Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa hanya warga negara dan Badan-badan Hukum yang telah ditentukan oleh Pemerintah Indonesia yang dapat memperoleh hak milik atas tanah Indonesia, warga Negara asing tidak tidak dapat memiliki tanah di Indonesia walaupun untuk hak-hak lain masih diberi kemungkinan untuk menguasainya, misalnya hak guna usaha atau hak guna bangunan. Jadi apabila warga negara asing melakukan pembelian atas tanah dengan maksud untuk menjadi pemilik, adalah batal demi hukum. Tentang bagaimana peralihan hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang berbunyi : “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”. Dengan dibuatnya akta tersebut, maka disaat itulah hak milik atas tanah beralih dari si penjual kepada si pembeli. Untuk sahnya perolehan hak milik, demikian juga setiap peralihan, Universitas Sumatera Utara hapusnya, pembebanan dengan hak-hak lain, harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA No. 5 tahun 1960. Agar suatu peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT maka tanah tersebut harus telah bersertifikat atau sudah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional. Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, menentukan persyaratan yang harus dipenuhi agar PPAT dapat mengabulkan pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat, dengan konsekuensi apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka PPAT dapat menolak jika : 1. Permintaan itu tidak disertai dengan sertifikat tanah yang bersangkutan. 2. tanah yang menjadi persetujuan, masih dalam sengketa 3. Tidak disertai dengan surat tanda pembayaran harga pendaftarannya. Selanjutnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, buku ke III titel 3 bagian 5, ada peraturan istimewa mengenai penjualan piutang-piutang dan hak-hak. Pasal 613 KUHPerdata menentukan harus ada suatu akta penyerahan cessie kalau mengenai piutang yang disebut piutang atas nama seseorang tertentu selaku si berpiutang. Sedangkan ayat 3 menentukan : Penyerahan piutang yang tidak menyebutkan nama si berpiutang dapat dilakukan secara menyerahkan surat-surat hutang dengan disertai “endossemen”, yaitu dituliskan di belakang surat hutang itu nama seseorang berpiutang baru yang menerima penyerahan. Oleh Pasal 1533 KUHPerdata ditegaskan, penjualan suatu piutang meliputi juga segala sesuatu yang menjadi buntut dari piutang itu, seperti misalnya hipotik. Sebaliknya, oleh Pasal 1535 KUHPerdata ditentukan penjual suatu piutang tidak diharuskan menanggung bahwa si berhutang adalah mampu membayar hutangnya, dan kalau penjual masih menanggung juga, maka menurut Pasal 1536 KUHPerdata yang ditanggung hanya kemampuan si berhutang pada Universitas Sumatera Utara saat sekarang, tidak dikemudian hari, kecuali kalau yang tersebut belakangan ini secara tegas ditanggung juga oleh si penjual. Untuk penjualan warisan, diatur dalam Pasal 1537 sd 1539 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan penjualan warisan adalah penjualan hak mewaris barang-barang warisan tertentu. Karena itu penjualan warisan berakibat pula terhadap penyerahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada suatu warisan, misalnya : hutang-hutang yang ditinggalkan si pewaris harus dibayar oleh ahli waris yang menjual warisan itu, maka si pembeli warisan harus membayar kembali uang itu kepada si penjual, hal ini ditegaskan oleh Pasal 1539 KUHPerdata. Sebaliknya, kalau penjual warisan sudah menikmati hasil dari barang-barang warisan, maka ia harus mengembalikannya kepada si pembeli. 2. Tukar menukar. Dalam dunia perdagangan, perjanjian tukar menukar dikenal dengan nama “barter”. Dan dari sejarahnya perjanjian tukar menukar ini lebih dahulu ada dari pada perjanjian jual beli, karena uang berupa alat pembayaran umum yang merupakan salah satu unsur essensil dalam perjanjian jual beli yang ada sekarang, pada zaman dahulu belum dikenal, walaupun mungkin ada dalam bentuk lain. Jadi untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, anggota masyarakat melakukan pemenuhan kebutuhannya dengan jalan tukar menukar, yaitu dengan menyerahkan barang yang mereka miliki dan sekaligus menerima barang lain yang memang dibutuhkannya. Tetapi apabila dilihat dari kenyataan yang ada sekarang, dimana uang telah merata beredar di segala lapisan masyarakat, maka perjanjian tukar menukar ini sudah jarang dilakukan. Hal ini disebabkan dari proses terjadinya, dimana harus adanya kehendak masing-masing pihak yang mempunyai barang Universitas Sumatera Utara untuk melakukan tukar menukar dengan ketentuan bahwa mereka ini juga membutuhkan barang pihak lainnya. Namun demikian, penulis yakin bahwa perjanjian tukar menukar ini masih sering terjadi di masyarakat, misalnya dapat dilihat adanya tukar menukar mobil, sepeda motor, dan sebagainya, atau dalam masyarakat pedesaan, adanya tukar menukar antara ayam dengan beras, kelapa atau mungkin juga menukar ternak hewan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1541 menyebutkan; “Tukar- menukar adalah suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain”. Jadi menurut sistem Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian tukar menukar sudah ada pada waktu adanya persetujuan sebelum penyerahan barang yang ditukarkan. Dengan kata lain perjanjian tukar menukar sebagaimana halnya juga dengan perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian konsensual, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek perjanjian tersebut. Demikian juga dapat dilihat bahwa perjanjian tukar-menukar ini adalah suatu perjanjian “obligatoir” dalam arti bahwa ia belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Hak milik atas barang yang dipertukarkan baru berpindah setelah dilakukan penyerahan levering. Tentang objek persetujuan tukar menukar, ditentukan pada Pasal 1542 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala apa yang dapat dijual, dapat pula menjadi bahan tukar menukar”. Jadi secara analog ketentuan jual beli, yaitu tentang benda dapat pula dijadikan sebagai objek tukar menukar, cuma yang berbeda apabila jual beli dilakukan mengenai barang lawan Universitas Sumatera Utara uang, maka tukar menukar dilakukan pada umumnya dengan barang lawan barang. Dan untuk dapat melakukan perjanjian tukar menukar, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang dijanjikan untuk ditukar, dan syarat harus sebagai pemilik tersebut berlaku pada saat barangnya diserahkan, namun hal ini haruslah memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1977 KUHPerdata yang mengatur tentang kepemilikan atas benda bergerak adalah siapa yang menguasai dianggap sebagai pemilik. Pasal 1544 KUHPerdata, menentukan : “Siapa yang karena suatu penghukuman untuk menyerahkan barangnya kepada orang lain, telah terpaksa melepaskan barang yang diterimanya dalam tukar menukar dapat memilih apakah dari pihak lawannya ataukah ia akan menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan”. Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kewajiban masing-masing pihak untuk menjamin kenikmatan tenteram atas barang yang telah diserahkan dalam tukar menukar. Namun dengan sendirinya pengembalian barang yang telah diserahkan kepada pihak lawan, hanya dapat dilaksanakan selama barang itu masih berada ditangannya dalam miliknya pihak tersebut, sebab dapat juga terjadi pihak tersebut sudah menjualnya kepada orang lain dalam hal yang demikian tinggallah tuntutan ganti rugi yang dapat dilancarkan. Masalah risiko dalam tukar menukar, diatur pada Pasal 1545 KUHPerdata, yang menyebutkan; “Jika sutu barang tertentu, yang telah dijadikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”. Universitas Sumatera Utara Peraturan tentang risiko yang diberikan oleh pasal tersebut di atas, sudah tepat sekali, risiko ini memang seadilnya harus dipikulkan kepada pundak masing-masing pemilik barang, misalnya apabila seorang pemilik sepeda motor mengadakan perjanjian tukar menukar dengan seorang pemilik kuda, kemudian kudanya mati sebelum diserahkan karena suatu kejadian tak disangka, maka sudah adil apabila ia menerima kembali sepeda motor miliknya, kematian kuda harus dipikulkan kepada pemiliknya sendiri dan tidak boleh ditimpakan kepada pemilik sepeda motor.

3. Hibah.