Analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi (Studi kasus : DKI Jakarta)

(1)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR

BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI

(Studi Kasus : DKI JAKARTA)

RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

RINGKASAN

RAHMAWATI. Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI Jakarta). Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan ANA TURYANTI.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta mengakibatkan menurunnya kualitas udara ambien yang disebabkan oleh meningkatnya pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Jenis dan besarnya pencemar tergantung pada kondisi kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakan. Proses pembakaran bahan bakar akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia.

Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta tahun 2007 menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Pencemar dominan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan mengganggu kesehatan dan lingkungan adalah karbon monoksida, partikel, dan oksida-oksida nitrogen Sedangkan menurut data pemantauan udara ambien di DKI Jakarta tahun 2008 masih terdapat 19 hari yang dinyatakan tidak sehat.

Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk


(3)

kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya pengaruh kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx tahun 2008, menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta serta menganalisis pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan tahun 2020.

Beban emisi dalam penelitian ini dihitung dengan pendekatan panjang perjalanan kendaraan (vehicles kilometers travel-VKT) pada setiap kategori kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Nilai VKT didapatkan dari survei pembacaan odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai VKT terbesar adalah kendaraan bis sedangkan sepeda motor memiliki nilai VKT terkecil. Perjalanan kendaraan bis yang relatif tetap setiap hari dan cenderung jauh mengakibatkan nilai VKT yang dihasilkan besar, hal yang sebaliknya terjadi pada sepeda motor dimana kebanyakan digunakan untuk jarak yang tidak jauh dan waktu yang singkat.

Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di DKI Jakarta didominasi pencemar CO sebesar 72,7%, NOx sebesar 24,6% dan PM10 sebesar 2,7%. Tanpa adanya pengendalian pencemaran udara, beban emisi dari kendaraan bermotor pada tahun 2014 diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat dari tahun 2008 dan dua kali lipat pada tahun 2020. Sedangkan konsentrasi pencemar diperkirakan akan meningkat 1,2 kali lipat pada tahun 2014 dan 2,3 kali lipat pada tahun 2020.

Pengendalian pencemaran udara dengan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor pribadi (sistem P dan P) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kendaraan yang beroperasi (in-use vehicles) yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC, dan opasitas.


(4)

Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.

Penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P pada tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 32%, NOx sebesar 6% dan PM10 sebesar 23%. Sedangkan pada tahun 2020, penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P untuk pencemar CO sebesar 37%, NOx sebesar 4% dan PM10 sebesar 27%.

Sebagaimana diketahui bahwa kualitas bahan bakar minyak yang beredar di pasaran Indonesia belum cukup ramah lingkungan, maka penggunaan bahan bakar alternatif seperti bahan bakar gas (BBG) sangatlah diperlukan dalam rangka penurunan tingkat emisi dari kendaraan bermotor. Salah satu upaya yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pemanfaatan BBG sebagai pengganti BBM untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. Penurunan total beban emisi dengan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 8% dan pencemar NOx sebesar 21% serta pencemar PM10 sebesar 28% sedangkan tahun 2020 CO sebesar 5% dan pencemar NOx sebesar 18% serta pencemar PM10 sebesar 21%.

Penurunan total beban emisi bila kebijakan sistem P dan P serta kebijakan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah dilakukan secara bersamaan pada tahun 2014, untuk pencemar CO sebesar 44% dan pencemar NOx sebesar 33% serta pencemar PM10 sebesar 57%. Pada tahun 2020, potensi penurunannya untuk pencemar CO sebesar 47%, NOx sebesar 33% dan PM10 sebesar 56%.


(5)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR

BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI

(Studi Kasus : DKI JAKARTA)

RAHMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(6)

Judul Tesis : Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI Jakarta)

Nama : Rahmawati

NIM : P051064124

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Imam Santosa, M.S Ana Turyanti, S.Si, M.T

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(7)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Arif Sabdo Yuwono, MSc, Phd.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1972 dari ayah Mustari dan ibu Rini Mistrini. Penulis merupakan putri bungsu dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Achmad Syaifuddin dan dikaruniai dua orang anak , M. Irsyad Ramadhani dan Jihan Nadhifa Putri.

Penulis setelah menyeselaikan pendidikan dasar dan menengah pertama, melanjutkan studi di Sekolah Menengah Analis Kimia Caraka Nusantara sampai tahun 1992. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Satya Negara Indonesia jurusan teknik lingkungan tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke Pascasarjana dan diterima di jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB.

Penulis adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1995 sampai saat ini. Selama ini penulis ditempatkan di Laboratorium Lingkungan


(9)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Pikir ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara ... 7

2.2 Sumber Pencemar Udara ... 7

2.3 Pencemaran dari Kendaraan Bermotor ... 8

2.4 Karbon Monoksida (CO) ... 10

2.5 Partikel (PM10) ... 11

2,6 Nitrogen Oksida (NOx) ... 14

2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor ... 15

2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan... 17

2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar Gas pada Kendaraan Umum... 18

2.5 Bahan Bakar Minyak ... 20

2.5.1 Bensin ... 20

2.5.2 Solar ... 20

2.6 Bahan Bakar Gas ... 21

2.7 Inventory Emisi ... 23

III. GAMBARAN WILAYAH STUDI 3.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta ... 27

3.2 Kondisi Kependudukan, Ekonomi dan Transportasi ... 27

3.2.1 Kependudukan ... 27

3.2.2 Ekonomi ... 28

3.2.3 Transportasi ... 29

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.2 Objek Penelitian ... 32

4.3 Jenis dan Sumber Data ... 32

4.4 Pengumpulan Data ... 33

4.5 Pengolahan Data ... 33

4.6 Perhitungan dan Analisis Data ... 36

4.6.1 Estimasi Jumlah Kendaraan ………. 36

4.6.2 Nilai Panjang Perjalanan Kendaraan ... 37

4.6.3 Penentuan Faktor Emisi ... 37


(10)

v

4.6.5 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban

Emisi……. ... 39

4.6.6 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak ... 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Beban Emisi Pencemar dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta 42 5.1.1 Pertumbuhan Kendaraan Bermotor pada Tahun 2003 sampai 2007 ……… 42

5.1.2 Estimasi Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun 2008, 2014 dan 2020 ……….. 44

5.1.3 Estimasi Panjang Perjalanan Kendaraan ……….. 46

5.1.4 Beban Emisi tahun 2008 ……… 49

5.1.4 Estimasi Beban Emisi Tahun 2014 dan Tahun 2020 ……. 52

5.2 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dalam Mereduksi Beban Emisi. ………. 55

5.2.1 Pengaruh Kebijakan Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi... 56

5.2.2 Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Kendaraan umum dalam Mereduksi Beban Emisi ... 59

5.2.3 Pengaruh kedua Kebijakan diterapkan Bersamaan dalam Menurunan Beban Emisi... 62

5.3 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak ... 64

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 69

6.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(11)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR

BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI

(Studi Kasus : DKI JAKARTA)

RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

RINGKASAN

RAHMAWATI. Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI Jakarta). Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan ANA TURYANTI.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta mengakibatkan menurunnya kualitas udara ambien yang disebabkan oleh meningkatnya pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Jenis dan besarnya pencemar tergantung pada kondisi kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakan. Proses pembakaran bahan bakar akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia.

Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta tahun 2007 menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Pencemar dominan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan mengganggu kesehatan dan lingkungan adalah karbon monoksida, partikel, dan oksida-oksida nitrogen Sedangkan menurut data pemantauan udara ambien di DKI Jakarta tahun 2008 masih terdapat 19 hari yang dinyatakan tidak sehat.

Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk


(13)

kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya pengaruh kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx tahun 2008, menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta serta menganalisis pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan tahun 2020.

Beban emisi dalam penelitian ini dihitung dengan pendekatan panjang perjalanan kendaraan (vehicles kilometers travel-VKT) pada setiap kategori kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Nilai VKT didapatkan dari survei pembacaan odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai VKT terbesar adalah kendaraan bis sedangkan sepeda motor memiliki nilai VKT terkecil. Perjalanan kendaraan bis yang relatif tetap setiap hari dan cenderung jauh mengakibatkan nilai VKT yang dihasilkan besar, hal yang sebaliknya terjadi pada sepeda motor dimana kebanyakan digunakan untuk jarak yang tidak jauh dan waktu yang singkat.

Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di DKI Jakarta didominasi pencemar CO sebesar 72,7%, NOx sebesar 24,6% dan PM10 sebesar 2,7%. Tanpa adanya pengendalian pencemaran udara, beban emisi dari kendaraan bermotor pada tahun 2014 diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat dari tahun 2008 dan dua kali lipat pada tahun 2020. Sedangkan konsentrasi pencemar diperkirakan akan meningkat 1,2 kali lipat pada tahun 2014 dan 2,3 kali lipat pada tahun 2020.

Pengendalian pencemaran udara dengan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor pribadi (sistem P dan P) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kendaraan yang beroperasi (in-use vehicles) yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC, dan opasitas.


(14)

Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.

Penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P pada tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 32%, NOx sebesar 6% dan PM10 sebesar 23%. Sedangkan pada tahun 2020, penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P untuk pencemar CO sebesar 37%, NOx sebesar 4% dan PM10 sebesar 27%.

Sebagaimana diketahui bahwa kualitas bahan bakar minyak yang beredar di pasaran Indonesia belum cukup ramah lingkungan, maka penggunaan bahan bakar alternatif seperti bahan bakar gas (BBG) sangatlah diperlukan dalam rangka penurunan tingkat emisi dari kendaraan bermotor. Salah satu upaya yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pemanfaatan BBG sebagai pengganti BBM untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. Penurunan total beban emisi dengan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 8% dan pencemar NOx sebesar 21% serta pencemar PM10 sebesar 28% sedangkan tahun 2020 CO sebesar 5% dan pencemar NOx sebesar 18% serta pencemar PM10 sebesar 21%.

Penurunan total beban emisi bila kebijakan sistem P dan P serta kebijakan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah dilakukan secara bersamaan pada tahun 2014, untuk pencemar CO sebesar 44% dan pencemar NOx sebesar 33% serta pencemar PM10 sebesar 57%. Pada tahun 2020, potensi penurunannya untuk pencemar CO sebesar 47%, NOx sebesar 33% dan PM10 sebesar 56%.


(15)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR

BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI

(Studi Kasus : DKI JAKARTA)

RAHMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(16)

Judul Tesis : Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI Jakarta)

Nama : Rahmawati

NIM : P051064124

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Imam Santosa, M.S Ana Turyanti, S.Si, M.T

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(17)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Arif Sabdo Yuwono, MSc, Phd.


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1972 dari ayah Mustari dan ibu Rini Mistrini. Penulis merupakan putri bungsu dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Achmad Syaifuddin dan dikaruniai dua orang anak , M. Irsyad Ramadhani dan Jihan Nadhifa Putri.

Penulis setelah menyeselaikan pendidikan dasar dan menengah pertama, melanjutkan studi di Sekolah Menengah Analis Kimia Caraka Nusantara sampai tahun 1992. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Satya Negara Indonesia jurusan teknik lingkungan tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke Pascasarjana dan diterima di jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB.

Penulis adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1995 sampai saat ini. Selama ini penulis ditempatkan di Laboratorium Lingkungan


(19)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Pikir ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara ... 7

2.2 Sumber Pencemar Udara ... 7

2.3 Pencemaran dari Kendaraan Bermotor ... 8

2.4 Karbon Monoksida (CO) ... 10

2.5 Partikel (PM10) ... 11

2,6 Nitrogen Oksida (NOx) ... 14

2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor ... 15

2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan... 17

2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar Gas pada Kendaraan Umum... 18

2.5 Bahan Bakar Minyak ... 20

2.5.1 Bensin ... 20

2.5.2 Solar ... 20

2.6 Bahan Bakar Gas ... 21

2.7 Inventory Emisi ... 23

III. GAMBARAN WILAYAH STUDI 3.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta ... 27

3.2 Kondisi Kependudukan, Ekonomi dan Transportasi ... 27

3.2.1 Kependudukan ... 27

3.2.2 Ekonomi ... 28

3.2.3 Transportasi ... 29

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.2 Objek Penelitian ... 32

4.3 Jenis dan Sumber Data ... 32

4.4 Pengumpulan Data ... 33

4.5 Pengolahan Data ... 33

4.6 Perhitungan dan Analisis Data ... 36

4.6.1 Estimasi Jumlah Kendaraan ………. 36

4.6.2 Nilai Panjang Perjalanan Kendaraan ... 37

4.6.3 Penentuan Faktor Emisi ... 37


(20)

v

4.6.5 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban

Emisi……. ... 39

4.6.6 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak ... 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Beban Emisi Pencemar dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta 42 5.1.1 Pertumbuhan Kendaraan Bermotor pada Tahun 2003 sampai 2007 ……… 42

5.1.2 Estimasi Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun 2008, 2014 dan 2020 ……….. 44

5.1.3 Estimasi Panjang Perjalanan Kendaraan ……….. 46

5.1.4 Beban Emisi tahun 2008 ……… 49

5.1.4 Estimasi Beban Emisi Tahun 2014 dan Tahun 2020 ……. 52

5.2 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dalam Mereduksi Beban Emisi. ………. 55

5.2.1 Pengaruh Kebijakan Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi... 56

5.2.2 Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Kendaraan umum dalam Mereduksi Beban Emisi ... 59

5.2.3 Pengaruh kedua Kebijakan diterapkan Bersamaan dalam Menurunan Beban Emisi... 62

5.3 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak ... 64

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 69

6.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(21)

iv

DAFTAR TABEL

1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek ... 9

2. Jenis dan sumber data penelitian ... 33

3. Faktor emisi kendaraan bermotor di Indonesia ... 37

4. Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014, 2020……….. 45

5. Panjang perjalanan kendaraan berdasarkan kategori (km/tahun) …… 48

6. Estimasi reduksi emisi dengan sistem P & P ...………. 54

7. Estimasi beban emisi dengan sistem P & P (ton/tahun) ……… 55

8. Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG ………... 58

9. Estimasi beban emisi dengan BBG (ton/tahun) ………. 60

10. Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG dan sistem P & P diterapkan bersamaan ………... 62

11. Estimasi beban emisi tahun 2014 dan 2020 bila penggunaan BBG dan sistem P dan P diterapkan bersamaan (ton/tahun) ... 63

12. Distribusi spasial beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI tahun 2008 ………... 65


(22)

v

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir kerangka pemikiran ... 5 2. Kecepatan rata-rata di jalan-jalan utama di Jakarta ... 9 3. Proses pembakaran yang sempurna, baik dan tidak sempurna ... 10 4. Sistem pernapasan manusia ... 12 5. Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor ... 17 6. Survei moda transportasi di JABOTABEK tahun 2002 ... 30 7. Panjang jalan di Provinsi DKI Jakarta ... 30 8. Bagan alir pengolahan data panjang perjalanan kendaraan ….……….. 35 9. Bagan alir perhitungan estimasi beban emisi ……….. 39 10. Total jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2003-2007 … 42 11. Komposisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta. ... 43 12. Trend utilisasi jumlah kendaraan terhadap luas jalan di DKI Jakarta,

1994-2014 ... 44 13. Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020 ... 45 14. Distribusi kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008, 2014 dan

2020 ……….... 46 15. Penggunaan mobil pribadi selama 14 tahun pertama. ... 47 16. Total panjang perjalanan kendaraan bermotor di DKI Jakarta ... 48 17. Beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008 ... 49 18. Komposisi penghasil emisi dari kendaraan bermotor... 50 19. Prosentase beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor... 50 20. Kualitas BBM di JABODETABEK parameter Pb dan Sulfur... 52 21. Estimasi beban emisi total dari kendaraan bermotor 2014 dan 2020

(ton/tahun) ………... 53 22. Beban emisi CO dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 53 23. Beban emisi PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 54 24. Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 55 25. Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan


(23)

vi

26. Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan

Penggunaan BBG tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta …………. 61 27. Total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta(dengan kontrol

dan tanpa kontrol) ... 63 28 Estimasi konsentrasi CO tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ... 65 29 Estimasi konsentrasi PM10 tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ... 65 30 Estimasi konsentrasi NOx tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ... 65


(24)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Nilai panjang perjalanan kumulatif mobil penumpang ... 74 2. Nilai panjang perjalanan kumulatif bis ... 110 3. Nilai panjang perjalanan kumulatif truk ... 111 4. Nilai panjang perjalanan kumulatif sepeda motor ... 112 5. Hubungan usia kendaraan dan panjang perjalanan rerata kategori

sepeda motor ... 113 6. Hubungan usia kendaraan dan panjang perjalanan rerata kategori truk

dan bis ... 114 7. Informasi penduduk dan luas wilayah tahun 2007 ... 115 8. Estimasi konsentrasi pencemar udara tahun 2014 dan 2020 ………….. 116


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat ini isu pencemaran udara sudah menjadi isu lingkungan hidup yang nyata di Indonesia, terutama di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta merupakan tempat tujuan bagi masyarakat pedesaan. Urbanisasi memicu jumlah penduduk di Jakarta semakin meningkat. Jumlah penduduk di Jakarta sampai dengan tahun 2006 sebesar 8,96 juta jiwa dengan luas wilayah 661,52 km2 berarti kepadatan penduduk mencapai 13,5 ribu/km2 (BPS, 2007)

Seiring dengan pertambahan penduduk yang tinggi (± 100 ribu jiwa/tahun) dan kegiatan pembangunan tersebut, kebutuhan akan alat transportasi penduduk juga meningkat. Moda transportasi yang paling diminati adalah kendaraan bermotor dan kereta api. Berdasarkan studi rencana induk transportasi terpadu (Study on Integrated Transportation Master Plan = SITRAMP) fase II tahun 2004 di Jabodetabek, penggunaan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi kota meningkat dari 52,9% pada tahun 1985 menjadi 62,7% tahun 2002, sedangkan kereta api digunakan sebanyak 0,2% tahun 1985 dan 0,8% pada tahun 2002 dan selebihnya memilih berjalan kaki (JICA, 2004).

Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar mencerminkan kurang memadainya sistem transportasi kota. Saat ini jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sekitar 5,4 juta, dengan rata-rata peningkatkan 7% per tahun. Setiap harinya tidak kurang dari 1000 kendaraan mengajukan STNK baru yang memerlukan jalan sepanjang 828 meter (BPS, 2007).

Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2005 terdapat 600.000 kendaraan (1,2 juta orang) dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masuk wilayah Jakarta setiap hari. Jumlah kendaraan bermotor yang bergerak setiap harinya mencapai 4,95 juta (terbagi atas kendaraan roda dua 53%, mobil pribadi 30%, bis 7%, dan truk 10%). Rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98% dibanding 2%.


(26)

2

Penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor bagi banyak orang didorong oleh ketiadaan transportasi umum yang nyaman, aman, dan tepat waktu. Sistem transportasi belum terintegrasi ke dalam pengembangan wilayah. Pembangunan perumahan di luar pusat kota tidak diikuti dengan pengembangan sistem transportasi yang menghubungkan lokasi perumahan dengan lokasi komersial dan perkantoran di pusat kota, sehingga kendaraan pribadi mengambil porsi transportasi jalan yang lebih besar dibanding moda transportasi lainnya. Rasio penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 49,7% dibanding 50,3% dari total 15 juta perjalanan/hari. Perbandingan antara panjang jalan dan total area di wilayah DKI Jakarta hanya 4%, idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10–15% (Ammari, 2005).

Meningkatnya jumlah kendaraan secara terus-menerus, menyebabkan penggunaan bahan bakar minyak menjadi intensif dari sektor transportasi yang akan berdampak pada lingkungan udara. Berdasarkan data Pertamina UMPS III, penjualan bahan bakar minyak didominasi oleh sektor transportasi sebesar 55%, sedangkan sektor industri hanya 14%, electricity dan rumah tangga masing-masing sebesar 12% dan 19% (BPS, 2007). Penggunaan BBM di sektor transpotasi tersebut, 85% digunakan oleh kendaran bermotor baik kendaraan pribadi, bus dan truk sedangkan sisanya untuk pesawat terbang.

Proses pembakaran bahan bakar minyak akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan

gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di

keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia. Besarnya kadar unsur-unsur tersebut akan tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan bakar minyak yang digunakan.

Beberapa hasil kajian terdahulu menyimpulkan bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 65%-75% dari pencemar NOx dan 15%-55% pencemar PM10 (World Bank, 1997;


(27)

3

Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta tahun 2007 memperlihatkan persentase kendaraan yang memenuhi standar baku mutu emisi (BME) yaitu sebesar 51,1% dari total 8400 kendaraan. Hal ini menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Kondisi inilah yang berpotensi menghasilkan pencemar utama seperti CO, NOx, SO2, Particulate Matter (PM)

dan juga gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O.

Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari kendaraan bermotor secara efektif.

Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Sementara disisi lain ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-sumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang, sehingga menyulitkan dalam melakukan pembaruan data, estimasi serta evaluasi beban emisi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan pengendalian pencemaran udara. Oleh karena itu penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya efektifitas kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx) dan debu


(28)

4

1.2 Perumusan Masalah

Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta tiap tahun terus meningkat, hal ini terbukti dengan makin banyaknya jumlah titik kemacetan dan penurunan kecepatan kendaraan di berbagai ruas jalan. Menurut hasil studi pada tahun 1995 rata-rata kecepatan daerah perkotaaan di Indonesia untuk semua jenis kendaraan adalah 22-24 km/jam pada jam puncak dan 32-38 km/jam diluar jam puncak, sementara kecepatan rata-rata angkutan umum hanya 16-18 km/jam pada jam puncak dan 24-28 km/jam diluar jam puncak. Untuk DKI Jakarta terjadi penurunan kecepatan rata-rata dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA,2004). Dengan demikian terjadi pembakaran bahan bakar yang cukup tinggi dari sektor transportasi yang berpotensi meningkatkan pencemaran udara, baik untuk pencemar primer (CO, NOx, PM10,

HC) maupun polutan gas rumah kaca (CO2 dan CH4). Bila di nilai secara ekonomi

kerugian dari kemacetan mencapai 5,5 triliun/tahun di wilayah Jabodetabek. Perlu strategi dan upaya pengendalian yang benar dan efektif agar jumlah emisi yang dikeluarkan dapat sekecil mungkin.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian :

1. Berapa besar beban emisi yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor pada tahun 2008 untuk pencemar CO, PM10 dan NOx?

2. Bagaimana beban emisi di tahun mendatang (tahun 2014 dan 2020) tanpa adanya pengendalian?

3. Bagaimana pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan beban emisi tersebut ?

1.3 Kerangka Pikir

Kendaraan bermotor adalah salah satu sumber antropogenik yang langsung mengemisikan pencemar ke atmosfer dan terkait erat dengan sistem transportasi. Besar emisinya ditentukan oleh karakteristik mesin, jenis bahan bakar serta kecepatan tempuh kendaraan. Pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor akan mempengaruhi kualitas udara ambien dan kesehatan masyarakat. Informasi yang tepat tentang pencemaran udara ini sangat diperlukan untuk menyusun strategi dan kebijakan pengendalian pencemaran udara secara efektif. Sampai


(29)

5

dengan saat ini ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-sumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pembaharuan informasi tentang emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Adapun kerangka pemikiran dilakukannya penelitian analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi di DKI Jakarta tersaji dalam Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian tentang analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx dari sumber

pencemar kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2008.

Konsentrasi Udara ambien. Emisi

pencemar

Strategi/kebijakan pengelolaan kualitas udara Analisis

efektifitas

Reduksi Emisi

BMU ambien.

Sumber pencemar antropogenik (Kendaraan bermotor)

Perbandingan dgn BMU ambien.


(30)

6

2. Menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta

3. Menganalisis besarnya penurunan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan

tahun 2020 dengan penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara

Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan kehidupan binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon dan pemaparan ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996).

2.2 Sumber Pencemar Udara

Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi geografis tertentu (Canter, 1996).


(32)

8

2.3 Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor

Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari

kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian seperti The

Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997),

Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank,

1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater

Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar

NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun

1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total

NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun

2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari

total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005).

Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2005 memperkirakan bahwa pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat akan mencapai tiga juta unit ; pada waktu bersamaan rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan mencapai titik jenuh. Artinya diperkirakan akan terjadi kemacetan total diruas-ruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014.

Masalah sumber pencemar udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tidak terlepas dari kontribusi sumber pencemar dari wilayah Bodetabek karena pada saat ini sekitar 1,3 juta penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Bodetabek melakukan perjalanan dari dan ke Jakarta setiap hari. Volume pergerakan kendaraan di wilayah Jabodetabek paling tinggi adalah pergerakan dari Bekasi ke Jakarta (dan sebaliknya) dibandingkan dari daerah Tangerang dan Bogor atau Depok (Tabel 1).


(33)

9

Tabel 1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek Arah Pergerakan Volume Pergerakan

(kendaraan/hari) DKI Jakarta – Tangerang 412.543 DKI Jakarta – Bogor/Depok 424.219 DKI Jakarta - Bekasi 499.198 Sumber : JICA, 2004

Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, dampak motorisasi juga menyebabkan kemacetan, pecemaran udara dan kebisingan, tingginya konsumsi bahan bakar, dan berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik.

Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan menurun dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA, 2004). Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas

buang minimum. Emisi gas buang ini dapat berupa pencemar SO2, NOx, CO, HC,

debu, timbal (Pb) dan gas pembentuk efek rumah kaca seperti metana (CH4),

dinitrogen oksida (N2O) dan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2).

(Gorham, 2002). Pada Gambar 2 disampaikan kecepatan rata-rata kendaraan mobil penumpang di jalan utama di DKI Jakarta.

Gambar 2 Kecepatan rata-rata mobil penumpang di jalan-jalan utama di Jakarta Sumber : JICA, 2004


(34)

10

2.4 Karbon Monoksida (CO)

Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernapasan dan diabsorpsi di dalam darah. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi

carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat haemoglobin

sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen (O2). Secara langsung hal

ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,sehingga

melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian.

Selain dari bahan bakar, CO juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Dalam proses industri, karrbon monoksida digunakan dalam jumlah kecil saja (Kannan, 1995). CO dihasilkan dari pembakaran material yang mengandung karbon seperti bensin, gas alam, batu bara, kayu dan sebagainya. CO merupakan produk yang tidak diinginkan dalam proses pembakaran. Ia diproduksi dalam proses pembakaran dalam oksigen dibawah jenuh yang melibatkan senyawa karbon. Sehingga jumlah CO yang dihasilkan terutama tergantung dari perbandingan bahan bakar dan udara serta tingkat pencampuran. Pada campuran yang ideal, emisi CO yang terbentuk akan sedikit. Berikut ini disampaikan proses pembakaran dalam mesin kendaraan. (Gambar 3).

Gambar 3 Proses pembakaran dalam mesin kendaraan Sumber : UNEP, 2006


(35)

11

Karbon monoksida hanya larut ringan dalam air dan termasuk zat yang tidak meracuni air. CO memiliki densitas yang kira-kira sama dengan udara. CO masuk

ke atmosfir melalui gas buang dan akan cepat teroksidasi membentuk CO2. CO

berbahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi terhadap manusia dan hewan. Waktu tinggal CO di atmosfir antara 1 sampai 2 bulan. Waktu paruh CO terikat dalam darah kira-kira 250 menit. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemar lokal.

Data kimiawi dan sifat fisik dari CO adalah sebagai berikut :

Rumus Empiris : CO

Berat Molekul Relatif : 28,01 gram

Densitas : 1,25 g/l pada 0 oC

Densitas Gas Relatif : 0,97

Titik didih : -191,5 oC

Titik Leleh : -199 oC

Temperatur nyala : 605 oC

Batas Meledak : 12,5 - 74 vol %

Tekanan Meledak Maksimum : 7,3 x 105 Pa

Faktor Konversi : 1 ppm = 1,164 mg/m3

1 mg/m3 = 0,859 ppm

2.5 Partikel Debu (PM10)

Partikel adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Ukuran partikel antara 0,1 mikron hingga 100 mikron. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru.. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas,

sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di

dalam tubuh dalam waktu yang lama (Gambar 4).

Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10µm (PM10).

PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh


(36)

12

fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat

memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable

tergantung dari komposisinya. Partikel juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas. Partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi pemandangan (mengurangi batas pandang).

Gambar 4 Struktur pernapasan dalam tubuh manusia Sumber : Colls, 2002


(37)

13

Adanya cacahan logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya yang cukup besar bagi kesehatan. Udara yang tercemar pada umumnya hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01 sampai dengan 0,03 mikron dan seluruh partikel di udara, akan tetapi logam tersebut bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi synergistic dalam jaringan tubuh manusia.

Ada beberapa jenis logam yang terkandung dalam partikel udara, diantaranya ada 4 (empat) jenis logam berat yang dianggap berbahaya bagi kesehatan yaitu timah hitam/timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri (Hg). Keempat jenis partikel logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem pernapasan, penyakit paru-paru, kanker paru-paru, serta radang otak.

Menurut Hodges (1976) dalam Satudju (1991), terdapat empat tingkat penyakit yang dihasilkan oleh bahan partikel di udara, yaitu:

• Bronchitis kronis, kerusakan pada tabung bronchial yang tetap atau

permanen, produksi mukus yang berlebihan sehingga mengakibatkan batuk yang kronis.

• Bronchial asthma, bahan-bahan asing yang berupa timah yang memberikan

reaksi alergi pada bronchial membran yang hebat, dan menyebabkan pernapasan pendek dan berbunyi.

• Emphysema, pengerutan bronchiole yang menyebabkan transfer oksigen ke

dalam darah berkurang serta menyebabkan pernapasan menjadi pendek dan kronis.

• Kanker paru-paru, (lung cancer), diakibatkan beberapa partikel yang

terdapat di atmosfer yang tercemar dan kebanyakan terdapat di wilayah perkotaan, yaitu partikel debu logam, asbestos, aromatik hidrokarbon (carcinogen 3, benzylphyrene). Tetapi konsentrasi partikel-partikel tersebut sangat kecil.


(38)

14

2.6 Nitrogen Oksida (NOx)

NOx adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir terdiri atas NO dan

NO2. Walaupun bentuk nitrogen oksida lainnya ada, tetapi kedua gas ini paling

banyak ditemui sebagai polutan udara. NO merupakan gas yang tidak berwarna

dan berbau, sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau

tajam. Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di

udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi antara NO dengan lebih banyak

oksigen membentuk NO2 (Fardiaz, 1992). Persamaan reaksinya adalah sebagai

berikut :

N2 + O2 2 NO

2NO + O2 2NO2

Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen. Pada suhu kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecenderungan untuk

bereaksi satu sama lain. Pada suhu yang lebih tinggi (diatas 1210 oC) keduanya

dapat bereaksi membentuk NO dalam jumlah lebih tinggi mengakibatkan polusi udara. Dalam proses pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai

121 oC-1765 oC dengan adanya udara, oleh karena itu reaksi merupakan sumber

NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan NO merupakan hasil samping dalam proses pembakaran.

Dari seluruh jumlah NO yang dibebaskan ke atmosfer, jumlah yang terbanyak adalah dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktifitas bakteri. Akan tetapi polusi NO dari sumber alam ini tidak merupakan masalah karena tersebar secara merata sehingga jumlahnya menjadi kecil. Hal yang menjadi masalah adalah polusi NO yang diproduksi oleh kegiatan manusia karena jumlahnya akan meningkat hanya pada tempat-tempat tertentu.

Oksida nitrogen yang umum dijumpai di udara dalam bentuk nirogen dioksida dan nitrogen monoksida. Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat yang berbeda dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Udara yang mengandung gas NO dalam batas normal relatif aman dan tidak berbahaya, kecuali bila gas NO


(39)

15

berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Konsentrasi gas NO yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejang-kejang. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi oleh

oksigen sehingga menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali

lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap

pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang terkontaminasi oleh gas

NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat

mengakibatkan kematian (Kannan, 1997).

Udara yang tercemar oleh gas nitrigen oksida dapat menyebabkan bintik-bintik pada permukaan daun tanaman. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nekrosis atau kerusakan pada jaringan daun.

NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog atau asap dan kabut)

dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil (yang mudah menguap) membentuk ozon dan oxidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia. Bila bersamaan dengan air hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang.

Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel

aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan bumi) dapat membahayakan tanaman, pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam aluminium dari tanah serta mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan memusnahkan kehidupan air. Oksida nitrogen diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batu bara dan gas alam.

2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor

Pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi yang merupakan sumber dominan pencemaran di DKI Jakarta, harus mencakup upaya-upaya pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang


(40)

16

mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh atau (2) penurunan jumlah dan kerapatan total kendaraan didalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001). Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial yang akan timbul adalah sekecil mungkin.

Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana transportasi serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara perkotaan adalah (Eggleston, 2000; Sukarto, 2004):

- Tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada

- Pola mengemudi (driving pattern)

- Jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor.

Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan ditunjukkan dengan garis terputus pada diagram dalam Gambar 5. Pengendalian yang paling baik diarahkan kepada pengendalian penyebabnya.

Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara parsial dilakukan dengan cara pembatasan minimum penumpang kendaraan atau pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu,

misalnya kawasan three in one dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan

jumlah berat tertentu di DKI Jakarta. Namun perlu diperhatikan bahwa pengendalian kepadatan lalu lintas disuatu kawasan tanpa upaya mengurangi volume kendaraan secara keseluruhan tidak akan mengurangi emisi gas buang total karena yang terjadi adalah pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan ke ruas jalan lain.

Pada saat ini upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Khusus DKI Jakarta dalam rangka pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah :

1. Sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor


(41)

17

Gambar 5 Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor Sumber USEPA, 1976 dalam Soedomo, 2001

2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan Bermotor

Salah satu strategi pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang dilakukan di berbagai negara maju maupun berkembang adalah sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor (sistem P dan P) atau

dikenal dengan istilah I/M System. Sistem P dan P adalah cara untuk melihat

Variabel Ekonomi

Perencanaan Kota

Sistem Transportasi

Pola Lalu lintas

BBM

Jumlah trip (Kend/km) Jumlah

Kendaraan

PENGENDALIAN

Faktor Emisi

Emisi Pencemar

Dispersi Difusi

Konsentrasi Meteorologi

Reseptor Baku Mutu


(42)

18

apakah sistem kontrol emisi pada kendaraan berjalan dengan benar atau tidak. Tujuan dari sistem P&P ini adalah untuk mengidentifikasi kendaraan-kendaraan yang beroperasi yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC dan opasitas. Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.

Secara umum terdapat tiga struktur (tipe) sistem P dan P, yaitu sentralisasi, desentralisasi dan kombinasi (NAP, 2001).

a. Tipe sentralisasi atau terpusat adalah pengujian yang dilakukan di berbagai

tempat yang dikelola oleh satu atau dua operator (pemerintah atau swasta)

b. Tipe desentralisasi adalah pengujian emisi dilaksanakan di berbagai tempat

yang dikelola oleh banyak operator. Biasanya operator pemeriksaan adalah bengkel-bengkel yang tersebar di berbagai tempat dan perawatan pun dapat dilakukan di bengkel yang sama.

c. Tipe kombinasi adalah merupakan kombinasi kedua tipe sentralisasi dan

desentralisasi.

Di DKI Jakarta, sistem P&P mulai di perkenalkan pada masyarakat tahun

1997 atas dukungan Clean Air Project Swisscontact melalui uji emisi yang

dilakukan dijalan atau tempat tertentu (Spot check). Kemudian pada tahun 2000

diterbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 95/2000 tentang Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan tersebut mewajibkan setiap kendaraan pribadi melakukan pemeriksaan emisi satu tahun sekali pada bengkel yang sudah diakreditasi. Apabila emisinya melebihi ambang batas yang ada maka pemilik kendaraan diharuskan melakukan perawatan kendaraannya hingga emisinya memenuhi nilai ambang batas.

2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar pada Kendaraan Umum

Sejarah perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi di DKI Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi

pilot project nasional. Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan pelaksanaan konversi 300 taksi di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan menjadi ± 4.500 kendaraan dalam waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan


(43)

19

pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit. Setelah itu, jumlahnya turun drastis, dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002, bahkan menjadi hanya 534 unit pada tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan teknis yang dialami Perusahaan umum Pengangkutan Djakarta (PPD) dalam mengoperasikan bus berbahan bakar gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit, dan habis sama sekali di tahun 2004.

Pada saat ini strategi penerapan pemanfaatan bahan bakar gas untuk

kendaraan umum akan diterapkan kepada armada busway khususnya koridor 2 dan seterusnya diwajibkan telah menggunakan BBG, sedangkan untuk busway koridor 1 perlu diupayakan secara bertahap. Penetapan target sasaran mobil penumpang umum dibakukan secara bertahap dengan berorientasi kepada point to point terminal sesuai dengan ketersediaan BBG dan lokasi SPBG.

Peningkatan jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas juga perlu ditunjang oleh bengkel-bengkel instalasi dengan memanfaatkan bengkel-bengkel yang telah ada, menyusun mekanisme perijinan dan pengawasannya serta mendidik teknisi-teknisi yang profesional.

Program yang ditetapkan dalam pemanfaatan BBG untuk transportasi di bidang kendaraan meliputi:

a. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan BBG oleh

angkutan umum dan kendaraan operasional Pemda DKI Jakarta (berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara Nomor 2 Tahun 2005 Pasal 20).

b. Pemberian insentif penggunaan BBG oleh angkutan umum Dz`engan kegiatan

berupa penyusunan kebijakan tentang pemberian insentif kepada pengusaha angkutan umum serta mekanismenya untuk konversi ke BBG

c. Penyusunan mekanisme perijinan bengkel pemasangan dan perawatan

peralatan konversi dengan kegiatan berupa Penyusunan kriteria bengkel dan mekanisme pemberian ijin bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi

d. Peningkatan pengetahuan teknisi bengkel pemasangan dan perawatan

peralatan konversi yang meliputi kegiatan sebagai berikut:


(44)

20

b. Pelaksanaan pelatihan teknisi

e. Sosialisasi tentang pemanfaatan BBG untuk angkutan umum yang meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Penyusunan konsep dan strategi sosialisasi

b. Penyusunan rencana pelaksanaan sosialisasi

c. Produksi materi sosialisasi

d. Pelaksanaan sosialisasi

2.8 Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan energi utama yang di konsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat dari sisi pemakaian BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar (47%) dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikkan. Kemudian di susul oleh sektor rumah tangga (22%), sektor industri (21%) dan pembangkit listrik (10%). Peningkatan konsumsi BBM di sector transportasi berkaitan erat dengan pertumbuhan jumlah kendaraan serta tergantung pada kondisi-kondisi seperti: pola lalu lintas, kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan, pola mengemudi dan prasarana jalan (Hidayat, 2005).

2.8.1 Bensin

Jenis bahan bakar minyak bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang diperuntukkan bagi mesin dengan jenis pembakaran menggunakan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu pembakaran ini

dihitung berdasarkan nilai RON (randon octane number). Berdasarkan RON

tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Premium (RON 88), merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna

tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar

kendaraan bermotor bermesin bensin seperti mobil, sepeda motor, dan lain-lain. b. Pertamax (RON 92), merupakan bahan bakar dengan stabilitas oksidasi tinggi


(45)

21

dan kandungan olefin, aromatik dan benzen pada level yang rendah sehingga menghasilkan pembakaran tang lebih sempurna pada mesin. Pertamax ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi

dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan

yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi

setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converter.

c. Pertamax Plus (RON 95), merupakan bahan bakar dengan kandungan energi

tinggi. Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance international world fuel

charter (WWFC). Pertamax plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang

memiliki kompresi ratio >10,5 dan juga yang menggunakan teknologi electronic

fuel injection, variable valve timing intelligent, turbocharge dan catalytic converter (Bphmigas, 2005).

2.8.2 Solar

High speed diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka Performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin

transportasi jenis diesel dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump)

dan electronic injection . Penggunaan jenis BBM ini adalah untuk transportasi dan mesin industri. Berikut ini memperlihatkan properti dari minyak solar (Bphmigas, 2005).

2.9. Bahan Bakar Gas

Bahan Bakar Gas adalah gas bumi yang telah dimurnikan dan aman, bersih, andal, murah. BBG digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Komposisi BBG sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana kurang lebih 90% dan selebihnya adalah gas propana, butana, nitrogen dan karbondioksida. BBG lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya nilai oktan 120 (Bphmigas,2003)

Gas alam terkompresi (compressed natural gas, CNG) adalah alternatif

bahan bakar selain bensin atau solar. Di Indonesia, kita mengenal CNG sebagai bahan bakar gas (BBG). Bahan bakar ini dianggap lebih 'bersih' bila dibandingkan dengan dua bahan bakar minyak karena emisi gas buangnya yang ramah


(46)

22

lingkungan. CNG dibuat dengan melakukan kompresi metana (CH4) yang

diekstrak dari gas alam. CNG disimpan dan didistribusikan dalam bejana tekan, biasanya berbentuk silinder.

Argentina dan Brazil di Amerika Latin adalah dua negara dengan jumlah kendaraan pengguna CNG terbesar berdasarkan laporan kajian bahan bakar gas untuk transportasi, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral tahun 2003. Konversi ke CNG difasilitasi dengan pemberian harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan bahan bakar cair (bensin dan solar), peralatan konversi yang dibuat lokal dan infrastruktur distribusi CNG yang terus berkembang. Sejalan dengan semakin meningkatnya harga minyak dan kesadaran lingkungan, CNG saat ini mulai digunakan juga untuk kendaraan penumpang dan truk barang berdaya ringan hingga menengah.

CNG bukanlah barang baru di Indonesia. Pencanangan untuk menggunakan CNG yang harganya lebih murah dan lebih bersih lingkungan dari pada bahan bakar minyak (BBM) sudah dilakukan sejak tahun 1986. Pada saat itu ditetapkan bahwa 20 persen dari armada taksi harus memakai CNG. Namun, karena pada saat itu harga BBM masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM terdapat di mana-mana, maka minat untuk menggunakannya tidak sempat membesar.

CNG terkadang dianggap sama dengan LNG. Walaupun keduanya sama-sama gas alam, perbedaan utamanya adalah CNG adalah gas terkompresi sedangkan LNG adalah gas dalam bentuk cair. CNG secara ekonomis lebih murah dalam produksi dan penyimpanan dibandingkan LNG yang membutuhkan pendinginan dan tangki kriogenik yang mahal. Akan tetapi CNG membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih besar untuk sejumlah massa gas alam yang sama serta perlu tekanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu pemasaran CNG lebih ekonomis untuk lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber gas alam. CNG juga perlu dibedakan dari LPG, yang merupakan campuran terkompresi dari propana

(C3H8) dan butana (C4H10) (Wikipedia, 2008)

Bahan bakar gas memiliki emisi karbon monoksida (CO) yang lebih rendah, hampir tidak memancarkan partikulat dan telah mengurangi senyawa organik yang mudah menguap (VOC). Per unit energi, bahan bakar gas mengandung lebih


(47)

23

sedikit karbon dibanding bahan bakar fosil lain, mendorong ke arah emisi gas

karbon dioksida yang lebih rendah (CO2) per kilometer jalannya kendaraan. Emisi

cold-start dari Kendaraan BBG juga rendah, karena pengayaan cold-start tidaklah diperlukan, dan ini mengurangi baik hidro- karbon non metana (NMHC) dan emisi CO. Pengurangan emisi yang spesifik untuk kendaraan BBG dibandingkan dengan bensin adalah (GTZ, 2003):

• CO, 60-80%

• gas organik non metana (NMOG), 87%

• NOx, 50-80%

• CO2, sekitar 20%

• Reaktifitas produksi ozon, 80-90%

2.10 Inventory Emisi

Inventory emisi merupakan kumpulan informasi secara kuantitas tentang pencemaran udara dari keseluruhan sumber yang berada pada suatu wilayah geografis selama periode waktu tertentu. Inventori emisi menyediakan informasi dari semua sumber emisi beserta lokasi, ukuran, frekuensi, durasi waktu, serta konstribusi relatif emisi. Inventori emisi tersebut nantinya dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk tindakan pencegahan terhadap pencemaran udara pada masa yang akan datang serta membantu dalam menganalisa aktivitas yang berperan dalam peningkatan pencemaran di area geografis dalam studi yang dilakukan (Canter, 1996).

Inventory emisi menyajikan perhitungan kuantitas suatu kontaminan yang diemisikan oleh sumber tertentu dan dikombinasikan dengan emisi yang berasal dari sumber lainnya. Metodologi dasar dari inventori emisi menggunakan rata-rata emisi untuk setiap aktivitas yang didasarkan pada kuantitas penggunaan material seperti bahan bakar. Penting untuk diperhatikan bahwa inventori emisi menampilkan perhitungan rata-rata emisi dalam periode waktu tertentu dan tidak mengidikasikan emisi yang aktual dalam satuan hari (Wilton, 2001).


(48)

24

Sasaran utama dari inventory emisi adalah untuk menganalisa sumber

buangan yang mengemisikan kontaminan ke dalam atmosfer. Inventori emisi dapat memberikan indikasi tentang kondisi udara di lingkungan dan gambaran

kualitas udara yang ada. Inventory emisi jika dikaitkan dengan instrumen

pengelolaan kualitas udara, dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber permasalahan mengenai kualitas udara dan membantu dalam mengidentifikasi alternatif pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran udara. Inventori emisi merupakan komponen penting dari sekian banyak strategi pengelolaan kualitas udara. Komponen atau instrumen lainnya dalam strategi pengelolaan kualitas udara antara lain pemantauan, pembuatan tujuan kualitas udara, analisa dampak meteorologi, serta analisa biaya-manfaat.

Inventory emisi juga diperlukan untuk penentuan perencanaan yang mencakup identifikasi konstributor utama, menentukan tingkat pengendalian dan sebagai dasar pengembangan strategi pengendalian. US EPA (2004) mengungkapkan bahwa inventori emisi diperlukan guna penentuan perijinan suatu kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan pada suatu wilayah tertentu seperti penentuan terhadap attainment status suatu wilayah. Selain itu inventori emisi diperlukan untuk sumber informasi publik yang bersifat terbuka mengenai status kondisi kualitas udara dan sebagai alat untuk melacak emisi-emisi sepanjang waktu. Melalui inventori emisi dapat diketahui dimana polusi udara diemisikan, berapa besar emisi yang dikeluarkan oleh setiap sumber dan sumber mana yang lebih efektif dan menjadi skala prioritas untuk dilakukan pengendalian emisinya. Perhitungan emisi yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan data dasar atau indeks dari operasi suatu sistem seperti jumlah dan kandungan material dari energi yang digunakan, proses alamiah, sistem penanganan kontrol emisi yang digunakan, perhitungan keseimbangan massa, dan perhitungan berdasarkan

faktor emisi. Inventory emisi biasanya mencakup dua komponen data penting

yaitu mencakup data kategori polutan dan data kategori sumber emisi.

berdasarkan acuan dari US EPA (1972), pembuatan inventory emisi mengikuti

langkah-langkah sebagai berikut:


(49)

25

2. Identifikasi dan mendapatkan informasi mengenai faktor emisi untuk tiap polutan dan sumber

3. Memperkirakan kuantitas informasi unit produksi

4. Perhitungan rata-rata untuk tiap polutan yang diemisikan ke atmosfer

5. Menyimpulkan emisi polutan yang spesifik untuk masing-masing sumber yang teridentifikasi

Inventory emisi dapat digunakan pada keseluruhan area geografis, akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembaruan informasi termasuk faktor emisi, perubahan informasi (sumber yang hilang dan sumber yang baru), sehingga diperlukan pengecekan atau pengawasan secara periodik terhadap ketersediaan berbagai informasi serta

perubahan-perubahan dalam pembuatan inventory emisi (Canter, 1996).

Menurut IPCC (2006), pelaksanaan inventory harus dapat memberikan

jaminan kualitas mulai dari pengumpulan data sampai pada pelaporan. Indikator dari kualitas inventori meliputi beberapa hal, yaitu :

a. Transparansi. Pihak di luar pelaksana inventory dapat mengerti tentang

bagaimana inventori dilaksanakan dan mudah untuk diaplikasikan dalam skala nasional

b. Kelengkapan. Semua pengukuran yang berdasar pada sumber, parameter gas dan lokasi harus dilaporkan secara lengkap termasuk adanya

komponen-komponen yang terlewatkan selama melakukan inventory

c. Konsistensi. Inventory yang digunakan untuk mengetahui pola tahunan harus

dihitung berdasarkan metode dan sumber data yang tetap setiap tahunnya sehingga mampu memberikan gambaran fluktuasi dari emisi yang dihasilkan

d. Perbandingan. Inventory emisi yang dilakukan harus dapat dibandingkan

dengan inventori emisi di kota atau negara lain untuk skala yang sama

e. Akurasi. Adanya over/under estimate dalam perhitungan inventory emisi harus

dapat dipertanggungjawabkan.

Pembaruan data inventory emisi perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya

setiap dua tahun. Tujuan dan kegunaan pembaruan data inventory emisi adalah:

• Pengkajian kualitas udara


(50)

26

• Input pemodelan kualitas udara

• Mengevaluasi skenario di masa yang akan datang, seperti memperkirakan dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara, dampak adanya sumber pencemaran baru, atau skenario penurunan emisi • Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau


(51)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara

Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan kehidupan binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon dan pemaparan ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996).

2.2 Sumber Pencemar Udara

Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi geografis tertentu (Canter, 1996).


(52)

8

2.3 Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor

Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari

kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian seperti The

Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997),

Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank,

1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater

Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar

NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun

1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total

NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun

2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari

total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005).

Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2005 memperkirakan bahwa pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat akan mencapai tiga juta unit ; pada waktu bersamaan rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan mencapai titik jenuh. Artinya diperkirakan akan terjadi kemacetan total diruas-ruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014.

Masalah sumber pencemar udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tidak terlepas dari kontribusi sumber pencemar dari wilayah Bodetabek karena pada saat ini sekitar 1,3 juta penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Bodetabek melakukan perjalanan dari dan ke Jakarta setiap hari. Volume pergerakan kendaraan di wilayah Jabodetabek paling tinggi adalah pergerakan dari Bekasi ke Jakarta (dan sebaliknya) dibandingkan dari daerah Tangerang dan Bogor atau Depok (Tabel 1).


(53)

9

Tabel 1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek Arah Pergerakan Volume Pergerakan

(kendaraan/hari) DKI Jakarta – Tangerang 412.543 DKI Jakarta – Bogor/Depok 424.219 DKI Jakarta - Bekasi 499.198 Sumber : JICA, 2004

Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, dampak motorisasi juga menyebabkan kemacetan, pecemaran udara dan kebisingan, tingginya konsumsi bahan bakar, dan berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik.

Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan menurun dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA, 2004). Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas

buang minimum. Emisi gas buang ini dapat berupa pencemar SO2, NOx, CO, HC,

debu, timbal (Pb) dan gas pembentuk efek rumah kaca seperti metana (CH4),

dinitrogen oksida (N2O) dan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2).

(Gorham, 2002). Pada Gambar 2 disampaikan kecepatan rata-rata kendaraan mobil penumpang di jalan utama di DKI Jakarta.

Gambar 2 Kecepatan rata-rata mobil penumpang di jalan-jalan utama di Jakarta Sumber : JICA, 2004


(54)

10

2.4 Karbon Monoksida (CO)

Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernapasan dan diabsorpsi di dalam darah. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi

carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat haemoglobin

sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen (O2). Secara langsung hal

ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,sehingga

melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian.

Selain dari bahan bakar, CO juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Dalam proses industri, karrbon monoksida digunakan dalam jumlah kecil saja (Kannan, 1995). CO dihasilkan dari pembakaran material yang mengandung karbon seperti bensin, gas alam, batu bara, kayu dan sebagainya. CO merupakan produk yang tidak diinginkan dalam proses pembakaran. Ia diproduksi dalam proses pembakaran dalam oksigen dibawah jenuh yang melibatkan senyawa karbon. Sehingga jumlah CO yang dihasilkan terutama tergantung dari perbandingan bahan bakar dan udara serta tingkat pencampuran. Pada campuran yang ideal, emisi CO yang terbentuk akan sedikit. Berikut ini disampaikan proses pembakaran dalam mesin kendaraan. (Gambar 3).

Gambar 3 Proses pembakaran dalam mesin kendaraan Sumber : UNEP, 2006


(55)

11

Karbon monoksida hanya larut ringan dalam air dan termasuk zat yang tidak meracuni air. CO memiliki densitas yang kira-kira sama dengan udara. CO masuk

ke atmosfir melalui gas buang dan akan cepat teroksidasi membentuk CO2. CO

berbahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi terhadap manusia dan hewan. Waktu tinggal CO di atmosfir antara 1 sampai 2 bulan. Waktu paruh CO terikat dalam darah kira-kira 250 menit. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemar lokal.

Data kimiawi dan sifat fisik dari CO adalah sebagai berikut :

Rumus Empiris : CO

Berat Molekul Relatif : 28,01 gram

Densitas : 1,25 g/l pada 0 oC

Densitas Gas Relatif : 0,97

Titik didih : -191,5 oC

Titik Leleh : -199 oC

Temperatur nyala : 605 oC

Batas Meledak : 12,5 - 74 vol %

Tekanan Meledak Maksimum : 7,3 x 105 Pa

Faktor Konversi : 1 ppm = 1,164 mg/m3

1 mg/m3 = 0,859 ppm

2.5 Partikel Debu (PM10)

Partikel adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Ukuran partikel antara 0,1 mikron hingga 100 mikron. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru.. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas,

sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di

dalam tubuh dalam waktu yang lama (Gambar 4).

Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10µm (PM10).

PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh


(56)

12

fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat

memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable

tergantung dari komposisinya. Partikel juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas. Partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi pemandangan (mengurangi batas pandang).

Gambar 4 Struktur pernapasan dalam tubuh manusia Sumber : Colls, 2002


(57)

13

Adanya cacahan logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya yang cukup besar bagi kesehatan. Udara yang tercemar pada umumnya hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01 sampai dengan 0,03 mikron dan seluruh partikel di udara, akan tetapi logam tersebut bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi synergistic dalam jaringan tubuh manusia.

Ada beberapa jenis logam yang terkandung dalam partikel udara, diantaranya ada 4 (empat) jenis logam berat yang dianggap berbahaya bagi kesehatan yaitu timah hitam/timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri (Hg). Keempat jenis partikel logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem pernapasan, penyakit paru-paru, kanker paru-paru, serta radang otak.

Menurut Hodges (1976) dalam Satudju (1991), terdapat empat tingkat penyakit yang dihasilkan oleh bahan partikel di udara, yaitu:

• Bronchitis kronis, kerusakan pada tabung bronchial yang tetap atau

permanen, produksi mukus yang berlebihan sehingga mengakibatkan batuk yang kronis.

• Bronchial asthma, bahan-bahan asing yang berupa timah yang memberikan

reaksi alergi pada bronchial membran yang hebat, dan menyebabkan pernapasan pendek dan berbunyi.

• Emphysema, pengerutan bronchiole yang menyebabkan transfer oksigen ke

dalam darah berkurang serta menyebabkan pernapasan menjadi pendek dan kronis.

• Kanker paru-paru, (lung cancer), diakibatkan beberapa partikel yang

terdapat di atmosfer yang tercemar dan kebanyakan terdapat di wilayah perkotaan, yaitu partikel debu logam, asbestos, aromatik hidrokarbon (carcinogen 3, benzylphyrene). Tetapi konsentrasi partikel-partikel tersebut sangat kecil.


(1)

68 0 100 200 300 400 500 600 700 800 Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat

Tahun 2014 Tahun 2020 BMU DKI Jakarta

K on s ent ras i ( µ g/ m 3 ) Ketinggian minimum Ketinggian maksimum


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

a. Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta pada tahun 2008 secara berturut turut adalah 2.124.361 ton/tahun, 676.713 ton/tahun dan 75.466 ton/tahun.

b. Tanpa adanya kebijakan pengendalian emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta maka total beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor diperkirakan akan meningkat 1,4 kali lipat pada tahun 2014 dan 2 kali lipat pada tahun 2020 dari beban emisi tahun 2008. Sedangkan konsentrasi pencemar di udara akan meningkat sebesar 0,9 kali hingga 3,2 kali lipat dari konsentrasi tahun 2008.

c. Penerapan kebijakan sistem P dan P dapat menurunkan total beban emisi lebih besar dibandingkan penerapan kebijakan BBG dan nilai ini akan bertambah jika kedua kebijakan tersebut dilakukan bersamaan.

6.2 Saran

a. Penurunan tingkat emisi yang lebih besar dari kendaraan dapat dicapai bila dilakukan pengembangan sistem transportasi umum menuju pusat-pusat aktivitas ekonomi dan terintegrasi dengan wilayah penyangga (bodetabek). Sehingga besar kemungkinan penggunaa kendaraan pribadi akan menurun. b. Penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang ada di DKI

Jakarta sesuai dengan Perda nomor 2 tahun 2005 terutama untuk sistem P dan P sebaiknya segera dilaksanakan, sehingga beban emisi dari kendaraan bermotor dapat segera berkurang.

c. Adanya kebijakan bahan bakar minyak sesuai standart internasional di Indonesia perlu segera direalisasikan mengingat salah satu sumber tingginya


(3)

70

pencemaran udara dari kendaraan adalah adanya bahan bakar yang tidak ramah lingkungan.

d. Perlu adanya kebijakan pemberian keringanan pajak bagi kendaraan yang menggunaan bahan bakar alternatif, sehingga dapat memicu jumlah kendaraan yang ramah lingkungan lebih banyak lagi.


(4)

71

DAFTAR PUSTAKA

Ammari, F. 2005. Transport and Traffic Draft Working Paper, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (UAQ-i SDP), UAQi ADB TA Consultant

[ARPEL] Regional Association of oil and Natural Gas Companies in Latin America and the Caribbean. 2001. Systemic Approach to Vehicular Emission Control in Latin America and the Caribbean. Argentina.

[BPHMIGAS] Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas. Komoditas dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak. http:// www.bphmigas.go.id. [23 Oktober 2008] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Jakarta dalam Angka Tahun 2007. Badan

Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Strategi dan Rencana Aksi Lokal DKI Jakarta untuk Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan, Jakarta.

Canter. 1996. Environmental Impact Assessment Second Edition : Impact Prediction and Assessment of Air Quality. Kota penerbit :, McGraw Hill Godhish, T. 2004. Air Quality 4th Edition, Atmospheric Pollution and Pollutants,

Chapter 2 pages 31-33 and 49-50. Kota penerbit : Lewis Publisher

Eggleston, S. and Walsh, M. 2000. Emissions : Energy, Road Transport. Paper Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories.

Gorham, R. 2002. Air Pollution from Ground Transportation ; An assessment of causes, strategies and tactics, and proposed actions for the international community, United Nations.

Hidayat, A. 2005. Konsumsi BBM dan Peluang Pengembangan Energi Alternatif, Inovasi online 5/XVII/November 2005 [15 Oktober 2008].November 2005 [6 September 2008]

[IPCC] Intergovermental Panel on Climet Change. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Reference Manual

[JICA] Japan International Cooperation Agency. 1997. The Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Metropolitan Area. Draft Final Report. Nippon Koei Co. Ltd, Suuri Keikaku Ltd.


(5)

72

[JICA] Japan International Cooperation Agency. 2004. The Study on Integrated Transport Master Plan fo JABODETABEK (SITRAMP) Vol. I and Vol II. Kannan, K. 1997. Fundamentals of Environmental Pollution. S. Chand and

Company Ltd. New Delhi. India

Kazakhstani. 2002. GHG Emissions Inventory from Coal Mining and Road

Transportation. Almaty. Kazakhtan. http ://www.pnl.gov/aisu/pubs/

kazakemm.pdf, [7 Juni 2008]

Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Fuel Quality Report 2007. Clean Fuel : A Requirement for Air Quality Improvement. Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup. 2008. Draft Petunjuk Teknis Penghitungan Beban Emisi dari Kendaraan Bermotor Volume 1. Jakarta

{NAP] National Academic Press. 2001. Evaluating Vehicle Emissions Inspection and Maintenance Programs. National Academy of Sciences. Washington, D.C. http ://www.nap.edu/catalog/10133.html [8 Juli 2008]

Satudju, D. 1991. Studi Pencemaran Udara Oleh Kendaraan Bermotor di DKI

Jakarta. Program Studi Ilmu Lingkungan – UI. Jakarta.

Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara, Kumpulan Karya Ilmiah. ITB Bandung, Suhadi dan Damantoro. 2005. Emission Strengths and Spatial Distribution of

Emissions of Primary Pollutants in Agglomeration of Jakarta.

Sukarto,H. 2004. Sistem lalu lintas perkotaan berwawasan lingkungan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 24 (3) : 228-239.

Sutomo H. dan Ammari, F. 2008. Sistem Transportasi yang Berkesinambungan di DKI Jakarta. Inovasi.online 10 (XX)Maret 2008[10 September 2008]. Stewart, R. 2005. Earth’s Radiation Balance and Oceanic Heat Fluxes,

Department of Oceanography, Texas A&M University

Syahril, S., Resosudarmo, B.P., and Satriyo Tomo, B. 2002. Indonesian Multi-Sector Action Plan Group on Vehicle Emission Reduction, Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, RETA 5937 Asian Development Bank.

Swisscontact. 2001. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pekan Urun Turun Emisi IV. Jakarta.

UNEP. 2006. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (versi bahasa Indonesia).


(6)

73

Walsh M, Faiz, A., Weaver, C.S. 1996. Air pollution from Motor Vehicles. Standards

and Technologies for Controlling Emissions.World Bank Washington D.C.

USA

World Bank. 1997. Urban Air Quality Management Strategy in Asia. World Bank Technical Paper No. 378

Wilton, E. 2001. Good Practice Guide for Preparing Emission Inventory, Ministry for The Environment - Sustainable Management Fund