pengeluaran pengaturan Know Your Customer KYC; 5 pengeluaran ketentuan untuk membatasi risiko yang terkait dengan pembelian utang dari BPPN; 6
pengaturan mengenai investasi equity oleh bank untuk memberikan kewenangan Bank Indonesia dalam mengontrol ekspansi kegiatan-kegiatan non-perbankan; 7
pengaturan lisensi bank yang diperluas; dan 8 peningkatan minimum capital adequacy ratio atau CAR menjadi 8 delapan persen.
Reformasi hukum dan peraturan perundang-undang diharapkan dapat menyelesaikan krisis di bidang perbankan dan sekaligus dapat menjadi sarana untuk
mencegah timbulnya permasalahan perbankan dikemudian hari, tetapi hal ini tidak seoptimal yang diharapkan. Salah satu kendala utama yang menghambat pelaksanaan
reformasi hukum adalah rendahnya tingkat kesadaran aparatotoritas pembuat dan pelaksana kebijakan, pihak terkait dan masyarakat pada umumnya akan manfaat dan
pentingnya ketentuan hukum yang diberlakukan. Faktor lain yang juga menghambat kelancaran proses reformasi hukum tersebut adalah kurangnya komitmen dari
berbagai stakeholders sehingga reformasi hukum yang semula diharapkan menjasi sarana penyelesaian masalah, justru dipersalahkan oleh banyak pihak sebagai salah
satu penghambat utama penyelesaian krisis.
122
B. Bank Sentral sebagai Lender of the last resort
Bank sentral sebagai lembaga yang memiliki kewenangan sebagai lender of the last resort memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga stabilitas sistem
122
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perbankan. Lender of the last resort adalah suatu instrument pengawasan bank dalam situasi krisis. Sebagai bagian dari fungsi microprudential, bank sentral sebagai lender
of the last resort memberikan bantuan kepada bank bank-bank yang mengalami krisis likuiditas. Di samping itu, lender of the last resort adalah suatu jasa yang
disediakan oleh bank sentral dalam kapasitasnya sebagai banker’s bank.
123
Bank sentral sebelum memutuskan apakah akan melaksanakan kewenangannya bertindak sebagai lender of the last resort, melakukan penilaian
terhadap potensi terjadinya risiko sistemik. Lender of the last resort, bertujuan memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas bank atau perbankan.
Dengan demikian bank sentral pada umumnya akan memilih untuk bertindak sebagai lender of the last resort apabila bank sentral khawatir akan terjadinya suatu krisis
sistemik. Bank sentral dalam menetapkan apakah akan bertindak sebagai lender of the last resort antara lain mempertimbangkan unsur-unsur di bawah ini:
124
a. Ukuran bank dan eksposure interbanknya
Dalam kaitan ini tidak ada bank yang dikategorikan sebagai too big to fail. Namun demikian besarnya bank digabungkan dengan eksposure interbanknya
dapat menjadi pembenaran bagi diberikannya bantuan darurat. b.
Bahaya terhadap pasar tertentu Misalnya Johnson Matthey Bankers, pemain yang signifikan pada pasar emas,
dibantu pada Tahun 1984 karena terancamnya pasar emas atas kejatuhannya.
123
Rosa Maria Lastra, “Crisis Management and Lender of the last resort”, dalam Zulkarnain Sitompul, op.cit, 2002, hal. 347.
124
Ibid., hal. 348.
Universitas Sumatera Utara
c. Reputasi keuangan
Ketika krisis terjdi pada pusat keuangan besar seperti London, New York atau Tokyo, penguasa akan mempertimbangkan secara berhati-hati alasan kepercayaan
dan reputasi bukan suatu yang mudah dibangun akan tetapi sebaliknya sangat mudah hancur. Namun demikian apabila krisis individual berakar dari
pengambilan risiko yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab atau tidak cukupnya disiplin dalam mematuhi peraturan, maka bank sentral akan memilih
tidak memberikan bantuan untuk mencegah moral hazard. d.
Keterkaitan antara bank sentral dengan lembaga pengawas jasa keuangan merupakan masalah krusial.
Harus dipastikan bahwa dalam rangka mencapai kestabilan harga jangan sampai tindakan yang diambil membahayakan stabilitas keuangan financial stability.
Sebaliknya, kelemahan sistem keuangan jangan sampai mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Salah satu risiko mengeluarkan tugas pengawasan dari tugas
bank sentral adalah bank sentral diberikan tanggung jawab untuk stabilitas keuangan secara keseluruhan, tetapi tidak didukung dengan kewenangan yang
diperlukan atau akses terhadap informasi untuk melaksanakannya. Untuk itu, apabila lembaga pengawas telah dibentuk maka adalah penting untuk menyusun
suatu struktur yang dapat meningkatkan pertukaran informasi dan koordinasi.
Universitas Sumatera Utara
Pada hakikatnya, langkah-langkah yang dapat disebut sebagai program penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga
bagian besar, yaitu :
125
1 kelompok penanggulangan yang terdiri dari: a. exit policy; b.Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia; c. blanket guarantee atau penjaminan pemerintah;
2 kelompok penyehatan yang terdiri dari: a. pendirian BPPN; b.
penyelesaian asset; c. akuisisi, merger, dan konsolidasi; d. rekapitulasi bank-bank;
3 kelompok penguatan ketahanan yang terdiri dari: a. restrukturisasi kredit;
b. jaring pengaman keuangan financial safety net. Sebelum terjadinya krisis perbankan pada Tahun 1997, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 untuk menghadapi bank- bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek akibat terjadinya mismatch
dalam pengelolaan dana maupun untuk kesulitan permodalan, Bank Indonesia dapat menyediakan bantuan berupa Kredit Likuiditas Darurat. Pasal 32 ayat 3 Undang-
Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Selanjutnya, dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, disebutkan
bahwa sebagai lender of the last resort Bank Indonesia dapat memberikan kredit
125
Kusumaning tuti SS, op.cit.hal.7.
Universitas Sumatera Utara
likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Ketentuan ini yang disebut lender of the last
resort, yaitu ketentuan yang memberikan kewenangan pada bank sentral sebagai pihak yang terakhir untuk memberikan pinjaman kepada bank dalam hal bank
mengalami kesulitan likuiditas. Disebut sebagai pihak terakhir karena bank-bank akan mencari bantuan dari sumber-sumber lainnya terlebih dahulu terutama dari bank
lain. Setelah terjadinya krisis pada Tahun 1998, pemerintah dan Bank Indonesia
mengalami kekhawatiran apabila fungsi lender of the last resort tersebut digunakan untuk menanggulangi kesulitan keuangan yang sistemik. Oleh karena itu, perumusan
lender of the last resort dalam pembaharuan undang-undang Bank Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dalam Pasal 11 menjadi amat terbatas.
126
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 disebutkan sebagai berikut: ayat 1 : Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank
yang bersangkutan.
ayat 2 : Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berasarkan prinsip Syariah sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, wajib dijamin oleh bank
penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya.
ayat 3 : Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
126
Ibid, hal.71.
Universitas Sumatera Utara
Setelah beberapa waktu berjalan, pemerintah menyadari bahwa ketentuan Pasal 11 tersebut dapat mengulang kembali kondisi krisis karena tidak cukup
tersedianya fungsi lender of the last resort yang dapat merespons situasi krisis, sementara bercermin pada pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI
yang ditujukan untuk menanggulangi krisis, tetapi kemudian banyak dipermasalahkan, antara lain karena belum terdapat kejelasan hukum yang
menegaskan bahwa kesulitan keuangan yang bersifat sistemik dapat diberikan pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia yang pendanaannya menjadi beban
pemerintah. Oleh karena itu, dalam amandemen Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2004, ketentuan Pasal 11 tersebut dilengkapi dengan ayat 4 dan
ayat 5 sebagai berikut: ayat 4 : Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak
sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat
yang pendanaannya menjadi beban pemerintah.
ayat 5 : Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan
darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri yang
ditetapkan selambat-lambatnya akhir Tahun 2004.
Dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, dilakukan perubahan pada Pasal 11 ayat 2 yang menghilangkan kata-kata “dan mudah dicairkan” dan pada Pasal 11 ayat 5 yang menghilangkan kata-kata
“yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir Tahun 2004”.
Universitas Sumatera Utara
Latar belakang perubahan tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum Perpu Nomor 2 Tahun 2008 tersebut, yaitu adanya krisis keuangan akhir-akhir tahun
ini di Amerika Serikat yang merupakan krisis terbesar sejak krisis Tahun 1929 telah memaksa pemerintah Amerika Serikat memberikan dana talangan atau bantuan
likuiditas kepada industri keuangan yang bermasalah sebesar USD 700 tujuh ratus miliar. Krisis keuangan ini dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti subprime
mortgage yang dilakukan kurang hati-hati. Dampak krisis keuangan ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia karena sistem global saling onterdependi.
Pemerintah Indonesia sudah, tengah, dan akan terus melakukan berbagai langkah antisipatif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam membendung dampak
krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara.
C. Penyelamatan terhadap Bank Gagal Pada PT. Bank Century, Tbk