Pengaruh Variabel Moneter dan Utang Luar Negeri Terhadap Inflasi di Indonesia

(1)

LAMPIRAN Lampiran 1 Data Penelitian

TAHUN

JUB BI

RATE GWM IHSG

UTANG LUAR NEGERI

INFLASI (Milyar

Rupiah) (%) (%) (Poin) (US $ juta) (%)

1986 27661 14 15 339,7708 17242,5 8,84

1987 33885 13,54 15 328,864 33412,1 8,9

1988 41998 15,3 2 305,12 32131,9 5,47

1989 58705 11,64 2 399,69 56387,7 5,97

1990 84630 17,87 2 417,79 58242 9,53

1991 99059 18,03 2 247,39 65067 9,52

1992 119053 13,79 2 274,33 69945 4,94

1993 145202 9,08 2 588,77 71185 9,77

1994 174512 11,59 2 489,64 88367 9,24

1995 222638 13,34 2 513,85 98432 8,64

1996 288632 14,26 3 637,43 96706 6,47

1997 355643 17,38 5 401,71 100326 11,05

1998 577381 37,93 3 398,03 122033 77,63

1999 646205 12,64 3 676,91 120567 2,01

2000 747028 14,31 3 416,32 110934 9,35

2001 844053 17,63 3 392,04 133073 12,55

2002 883908 13,12 3 424,94 131343 10

2003 955692 8,34 3 679,3 135401 5,16

2004 1033527 7,29 5 1000,23 137024 6,4

2005 1203215 12,83 5 1162,63 134967,5 17,11

2006 1382074 9,8 4 1805,5 75820 6,6

2007 1643203 8 4 2745,8 80615 6,59

2008 1883851 10,8 4 1355,4 86600 11,06

2009 2141384 6,5 4 2534,4 99265 2,78

2010 2469399 6,26 5 3703,51 118624 6,96

2011 2870220 6,58 5 3821,99 118642 3,79

2012 3304645 5,77 4 4316,69 126119 4,3

2013 3413437 7 4 4274,18 92933 8,38

2014 3475640 7,52 5 33983,59 223077,7 8,36 2015 4292433 7,52 8 68635,8148 4376000 6,38


(2)

Lampiran 2 Hasil Uji OLS Dependent Variable: INFLASI

Method: Least Squares Date: 03/17/16 Time: 15:32 Sample: 1986 2015

Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

X1 5.65E-06 1.40E-06 4.046120 0.0005

X2 2.297435 0.214263 10.72251 0.0000

X3 0.162033 0.352265 0.459976 0.6497

X4 -0.000141 0.000231 -0.610252 0.5474

X5 -3.99E-07 3.48E-06 -0.114764 0.9096

C -24.81462 4.115100 -6.030136 0.0000

R-squared 0.831098 Mean dependent var 10.12500 Adjusted R-squared 0.795910 S.D. dependent var 13.11438 S.E. of regression 5.924596 Akaike info criterion 6.572958 Sum squared resid 842.4200 Schwarz criterion 6.853198 Log likelihood -92.59438 Hannan-Quinn criter. 6.662609 F-statistic 23.61882 Durbin-Watson stat 1.766111 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 3

Hasil Uji Multikolinieritas

Y X1 X2 X3 X4 X5

Y 1.000000 -0.138734 0.829996 -0.054031 -0.078585 -0.047604 X1 -0.138734 1.000000 -0.530431 0.101545 0.654386 0.497934 X2 0.829996 -0.530431 1.000000 -0.103621 -0.251125 -0.154671 X3 -0.054031 0.101545 -0.103621 1.000000 0.217162 0.202784 X4 -0.078585 0.654386 -0.251125 0.217162 1.000000 0.905905 X5 -0.047604 0.497934 -0.154671 0.202784 0.905905 1.000000


(3)

Lampiran 4

Hasil Uji Multikolinearitas dengan Log

LY LX1 LX2 LX3 LX4 LX5

LY 1.000.000 -0.117513 0.641279 -0.001858 -0.231082 -0.025686 LX1 -0.117513 1.000.000 -0.584090 0.159757 0.766278 0.660630 LX2 0.641279 -0.584090 1.000.000 -0.256419 -0.696672 -0.298123 LX3 -0.001858 0.159757 -0.256419 1.000.000 0.369024 0.094625 LX4 -0.231082 0.766278 -0.696672 0.369024 1.000.000 0.710272 LX5 -0.025686 0.660630 -0.298123 0.094625 0.710272 1.000.000

Lampiran 5

Hasil Uji Heterokedastisitas Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 2.589880 Prob. F(5,24) 0.0521 Obs*R-squared 10.51389 Prob. Chi-Square(5) 0.0619 Scaled explained SS 6.357711 Prob. Chi-Square(5) 0.2730

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 03/17/16 Time: 15:42 Sample: 1986 2015

Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.79927 24.15904 0.488400 0.6297 X1 -4.15E-06 8.21E-06 -0.505348 0.6179

X2 2.762313 1.257900 2.195971 0.0380

X3 -3.110192 2.068085 -1.503900 0.1457

X4 -0.000106 0.001359 -0.077901 0.9386

X5 4.15E-06 2.04E-05 0.203205 0.8407

R-squared 0.350463 Mean dependent var 28.08067 Adjusted R-squared 0.215143 S.D. dependent var 39.26112 S.E. of regression 34.78228 Akaike info criterion 10.11295 Sum squared resid 29035.36 Schwarz criterion 10.39319 Log likelihood -145.6942 Hannan-Quinn criter. 10.20260 F-statistic 2.589880 Durbin-Watson stat 2.275974 Prob(F-statistic) 0.052076


(4)

Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas

0 1 2 3 4 5 6

-10 -5 0 5 10 15

Series: Residuals Sample 1986 2015 Observations 30 Mean -3.55e-15

Median -0.110162

Maximum 12.69035

Minimum -8.289712

Std. Dev. 5.389709

Skewness 0.541333

Kurtosis 2.889676

Jarque-Bera 1.480422 Probability 0.477013


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Admadja, A. S, 1999. “Inflasi di Indonesia: Sumber-Sumber Penyebab Dan Pengendaliannya”,Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Volume 1 Nomor 1. Aprillia, Hafsyah, 2011. “Analisis Inflasi di Sumatera Utara: Suatu Model Error

Correction (ECM)”,QE Journal, Volume 1 Nomor 2 hal 29-39. Boediono, 1988. Ekonomi Moneter, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, Sumatera Utara Dalam Angka, Berbagai Edisi, Medan. Dewi, Murti Sari, 2011. “Analisi Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap

Inflasi Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Diterapkannya Kebijakan Inflation Targeting Framework Periode 2002:1 – 2010:12”, Media Ekonomi, Volume 19 Nomor 2.

Endri, 2008. “Analisis Faktor-faktor Inflasi Di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 13 Nomor 1 hal 1-13.

Kamaluddin, Rustian. 1999. Pengantar Ekonomi Pembangunan, Edisi 2, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Perlambang, Heru, 2010. “Analisis Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga

SBI, Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi”,Media Ekonomi, Volume 19 Nomor 2.

Roberts, John M. 2006. “Monetary Policy and Inflation Dynamics”, International Journal of Central Banking, Volume 2 Nomor 3.

Rosadi, Dedi, 2011. Analisis Ekonometrika dan Runtun Waktu Terapan dengan R, CV Andi Offset, Yogyakarta.

Subri, Mulyadi, dan Yuswar Zainul Basri, 2005. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, Edisi 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tambunan, Tulus T.H, 2008. Pembangunan EkonomidanUtang Luar Negeri,


(6)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum, operasi pasar terbuka (IHSG) dan utang luar negeri terhadap inflasi di Indonesia selama periode 1985 – 2014 menggunakan uji regresi berganda dan asumsi klasik.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana data ini diperoleh atau dikumpulkan dari peneliti-peneliti terdahulu dari sumber yang sudah ada. Data ini bersumber dari Bank Indonesia dalam angka dan BPS. Jenis data yang digunakan adalah data time series (data tahunan) selama 30 tahun, yaitu tahun 1985 – 2014.

3.3. Pengolahan Data

Program pengolahan data yang digunakan oleh peneliti adalah data program komputer E-views.

3.4. Model Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda dan asumsi klasik untuk melihat bagaimana pengaruh jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum, operasi pasar terbuka dan utang luar negeri terhadap inflasi di Indonesia.

Model persamaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai: Y = α + β1X1+β2X2+β3X3+β4X4 + β5X5+ ε


(7)

Dimana:

Y = inflasi

X1 = Jumlah Uang Beredar X2 = Suku Bunga

X3 = Giro Wajib Minimum X4 = Operasi Pasar Terbuka X5 = Utang Luar Negeri

α = Intercept β = Koefisien ε = Error Term

3.5 Test of Goodness Fit ( Uji Kesesuaian )

Uji ini dikembangkan oleh Pearson pada tahun 1900 yang merupakan perhitungan suatu kuantitas yang disebut bermanfaat ketika data yang tersedia hanya berupa frekuensi (disebut count). Uji kai kuadrat untuk satu sampel dapat dipakai untuk menguji apakah data sebuah sampel yang diambil menunjang hipotesa yang menyatakan bahwa populasi asal sampel tersebut mengikuti suatu distribusi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu uji ini disebut juga uji keselarasan (goodnessof fit test), karena untuk menguji apakah sebuah sampel selaras dengan salah satu distribusi teoritis (seperti distribusi normal, uniform, binomial dan lainnya).

3.5.1 Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi dengan simbol R2 merupakan proporsi variabilitas dalam suatu data yang dihitung didasarkan pada model statistik dengan variabilitas nilai data asli. Secara umum R2 digunakan sebagai informasi mengenai kecocokan suatu model. Regresi R2 dijadikan sebagai pengukuran seberapa baik garis regresi mendekati nilai data asli yang dibuat model. Jika R2 sama dengan 1, maka angka tersebut menunjukkan garis regresi cocok dengan


(8)

data secara sempurna.Interpretasi lain ialah bahwa R2 diartikan sebagai proporsi variasi tanggapan yang diterangkan oleh regresor (variabel bebas / X) dalam model. Dengan demikian, jika R2 = 1 akan mempunyai arti bahwa model yang sesuai menerangkan semua variabilitas dalam variabel Y. jika R2 = 0 akan

mempunyai arti bahwa tidak ada hubungan antara regresor (X) dengan variabel Y. 3.5.2 Uji F-Statistik

Uji F digunakan untuk menguji hipotesis, apakah variansi dari sebuah populasi normal sama dengan variansi dari populasi normal lainnya. Satu variansi sampel yanglebih besar ditempatkan pada pembilang, sehingga rasio minimalnya adalah 1,00. Distribusi F jugadigunakan untuk menguji asumsi-asumsi bagi beberapa statistik uji.

3.5.3 Uji t-statistik

Uji t diujikan statistika untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari nilai yang diperkirakan dengan nilai hasil perhitungan statistika. Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Uji-t menilai apakah mean dan keragaman dari dua kelompok berbeda secara statistik satu sama lain. Analisis ini digunakan apabila kita ingin membandingkan mean dan keragaman dari dua kelompok data, dan cocok sebagai analisis dua kelompok rancangan percobaan acak.

3.6 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik merupakan terjemahan dari clasical linear regression model (CLRM) yang merupakan asumsi yang diperlukan dalam analisis regresi liniar dengan ordinary least square (OLS). CLRM juga sering disebut dengan The Gaussian Standard, yang sebenarnya terdiri dari 10 item. Akan tetapi, yang sering


(9)

dijumpai dalam berbagai penelitian, atau berbagai buku statistik mungkin hanya 4 atau 5 saja.

3.6.1 Multikolinearitas

Model ini digunakan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi (keterkaitan) yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda. Jika ada korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikatnya menjadi terganggu. Sebagai ilustrasi, adalah model regresi dengan variabel bebasnya motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan variabel terikatnya adalah kinerja. Logika sederhananya adalah bahwa model tersebut untuk mencari pengaruh antara motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja. Jadi tidak boleh ada korelasi yang tinggi antara motivasi dengan kepemimpinan, motivasi dengan kepuasan kerja atau antara kepemimpinan dengan kepuasan kerja.

Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI).

3.6.2 Heterokedastisitas

Model ini digunakan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu ke pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap atau disebut homoskedastisitas.Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode


(10)

scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya).

3.6.3 Normalitas

Asumsi dalam OLS adalah nilai rata-rata dari faktor pengganggu (µi) adalah nol. Untuk menguji apakah normal atau tidaknya faktor pengganggu, maka perlu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan Jarque – Bera Test (J-B test). Cara lain untuk melihat apakah data telah berdistribusi normal dengan menggunakan J-B test adalah dengan melihat angka probability. Apabila angka probability> 0.05 maka data berdistribusi normal. Sebaliknya apabila angka probability < 0.05 maka data tidak berdistribusi normal.

3.7 Defenisi Operasional

a) Jumlah uang beredar adalah jumlah nilai keseluruhan uang yang berada di tangan masyarakat dan beredar dalam sebuah perekonomian suatu negara, dimana perubahan jumlah uang yang beredar ini ditentukan oleh hasil interaksi antara masyarakat, lembaga keuangan serta bank sentral.

b) Suku Bunga adalah persentase dari modal yang dipinjam dari pihak luar atau tingkat keuntungan yang didapatkan oleh penabung di Bank atau tingkat biaya yang dikeluarkan oleh investor yang menanamkan dananya pada saham.

c) Giro wajib minimum adalahjumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga (DPK).


(11)

d) Operasi pasar terbuka (IHSG) adalahpembelian atau penjual pemerintah yang dilakukan oleh dari dewan gubernur adalah salah satu kali pada tanggal di BEJ, Indeks ini mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di BEI.

e) Utang luar negeri adalah posisi kewajiban aktual penduduk Indonesia kepada bukan penduduk, tidak termasuk kontinjen yang membutuhkan pembayaran kembali bunga dan/atau pokok pada waktu yang akan datang. f)Inflasi adalahsuatu proses kenaikan harga, yaitu adanya kecenderungan bahwa harga barang meningkat secara terus menerus.


(12)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Indonesia

Suatu bangsa yang merdeka harus memiliki mata uang sendiri dalam system moneternya. Maka tepat pada bulan oktober 1946 pemerintah Indonesia mengeluarkan mata uangnya sendiri yaitu Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Setelah diberlakukannya mata uang ORI, mata uang sebelumnya, uang Jepang sudah tidak berlaku lagi. Pada saat tersebut sistem moneter murni milik Indonsia telah berlaku. Mengingat tahun-tahun pertama uang ORI, peredaran uang Indonesia mengalami pertumbuhan yang lambat.Titik puncak shock ekonomi yang terjadi pada periode 1960-an adalah akibat pengeluaran pemerintah membengkak tajam. Program-program mercusuar menambahkan pembiayaan-pembiayaan negara. Meningkatnya pengeluaran pemerintah tidak diimbangi dengan kenaikan penerimaan. Defisit anggaran ini dibiayai oleh pinjaman dari Bank Sentral sehingga uang beredar meningkat tajam mencapai 1000% pada akhir 1966.

Kenaikan uang beredar yang tinggi tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini mendorong terjadi hiperinflasi yang mencapai 635%. Hiperinflasi menurunkan minat masyarakat untuk menabung. Akhirnya perbankan kesulitan mendapatkan dana untuk bisa dijadikan modal pemberian kredit.


(13)

Tabel 4.1

Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Indonesia

TAHUN JUMLAH UANG BEREDAR

1986 27661 1987 33885 1988 41998 1989 58705 1990 84630 1991 99059 1992 119053 1993 145202 1994 174512 1995 222638 1996 288632 1997 355643 1998 577381 1999 646205 2000 747028 2001 844053 2002 883908 2003 955692 2004 1033527 2005 1203215 2006 1382074 2007 1643203 2008 1883851 2009 2141384 2010 2469399 2011 2870220 2012 3304645 2013 3413437 2014 3475640 2015 4292433

Sumber: Bank Indonesia

Gambar diatas menjelaskan bahwa pada tahun 1986 terdapat jumlah uang beredar yang paling rendah yaitu Rp. 27661. Sedangkan pada tahun 2015 terdapat jumlah uang beredar yang paling tinggi yaitu Rp. 4292433.


(14)

4.2 Perkembangan Suku Bunga di Indonesia

Suku bunga merupakan variabel penting dalam kebijakan moneter di Indonesia. Suku bunga menjadi lebih penting bagi Indonesia sejak dilepaskannya sistem nilai tukar managed floating pada Agustus 1997 dan digantikan dengan sistem nilai tukar mengambang bebas. Salah satu upaya untuk mendukung perubahan sistem nilai tukar dan penerapan target inflasi adalah penggunaan suku bunga sebagai sasaran antara kebijakan moneter. Bila sebelumnya jangkar moneter Indonesia adalah jumlah uang beredar (JUB), maka selanjutnya jangkar moneter dialihkan pada suku bunga. Menurut literatur-literatur ekonomi, penentuan tingkat suku bunga yang diatur dan direncanakan secara tepat oleh pengambil kebijakan (bank sentral), merupakan salah satu cara untuk mengurangi perubahan kurs yang tidak menentu sebagai akibat dari perubahan tingkat inflasi (Stephen, 2006). Di Indonesia terdapat beberapa jenis suku bunga nominal di antaranya, yaitu PUAB, deposito berjangka 1 bulan sampai dengan 2 tahun, suku bunga kredit konsumsi, modal kerja, dan suku bunga kredit investasi.


(15)

Tabel 4.2

Perkembangan Suku Bunga di Indonesia

TAHUN SUKU BUNGA

1986 14 1987 13,54 1988 15,3 1989 11,64 1990 17,87 1991 18,03 1992 13,79 1993 9,08 1994 11,59 1995 13,34 1996 14,26 1997 17,38 1998 37,93 1999 12,64 2000 14,31 2001 17,63 2002 13,12 2003 8,34 2004 7,29 2005 12,83 2006 9,8 2007 8 2008 10,8 2009 6,5 2010 6,26 2011 6,58 2012 5,77 2013 7 2014 7,52 2015 7,52

Sumber: Bank Indonesia

Gambar diatas menjelaskan bahwa suku bunga tertinggi terjadi pada tahun 1988 dengan angka 37,93 dan suku bunga terendah terjadi pada tahun 2012 dengan angka 5,77.


(16)

Perkembangan suku bunga Indonesia dibandingkan dengan suku bunga asing (yang diproksi dengan suku bunga LIBOR) terlihat dalam gambar 3.2 berikut. Suku bunga Indonesia dari kuartal 1 tahun 1990 sampai dengan kuartal 4 tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga asing. Bahkan pada tahun 1997-1999 suku bunga Indonesia memiliki senjang yang relatif lebar dengan suku bunga asing. Perkembangan suku bunga dalam negeri ditandai dengan beberapa hal penting. Kenaikan suku bunga SBI tertinggi terjadi pada tahun 1997, yaitu mencapai lebih dari 70%. Kenaikan suku bunga SBI ini dimaksudkan untuk membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang beredar dari sistem perbankan yang dikonversikan ke dalam SBI di Bank Indonesia. Akibat terjadinya bank panic pada tahun 1997, maka pada 1998 kuartal 4, Bank Indonesia menaikkan suku bunga deposito tertinggi menjadi 52,32% dengan tujuan untuk menaikkan tingkat likuiditas bank. Tahun 1998-2000, semua suku bunga mengalami penurunan. Namun pada tahun 2001, suku bunga deposito naik lebih tinggi dibandingkan kenaikan suku bunga lain, sehingga menyebabkan pergeseran preferensi masyarakat dalam menempatkan dana. Kondisi ini dirasa tidak memperbaiki kondisi sektor perbankan, maka suku bunga ditekan agar menjadi semakin rendah, sehingga spread dengan suku bunga luar negeri tidak terlalu tinggi. Pada 2004 kuartal 2, suku bunga domestik secara keseluruhan mencapai titik yang relatif rendah dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, namun mulai meningkat pada tahun 2005.

Pembahasan suku bunga berkaitan erat dengan inflasi, terutama bila suku bunga digunakan sebagai sasaran antara dalam kebijakan moneter. Suku bunga


(17)

dapat digunakan sebagai alat untuk mengelola inflasi, namun di lain pihak suku bunga nominal juga akan dipengaruhi oleh peningkatan ekspektasi inflasi. Semakin tinggi inflasi maka suku bunga pun akan mengalami kenaikan karena selisih antara suku bunga nominal dan inflasi mencerminkan beban sesungguhnya dari biaya suku bunga yang di hadapi individu dan perusahaan. Kenaikan inflasi akan diikuti oleh kenaikan suku bunga, merupakan bentuk kebijakan moneter kontraksi agar tidak terjadi ekspansi kredit yang berlebihan. Apabila tidak terjadi ekspansi kredit maka perekonomian diharapkan akan lebih stabil sehingga menekan terjadinya inflasi. Kebijakan uang ketat dengan cara menaikkan suku bunga di satu sisi dapat meredam terjadinya inflasi, namun di sisi lain, kebijakan ini dapat mengorbankan sektor riil. Tingginya suku bunga kredit akan menyebabkan sektor riil tidak dapat mengembangkan usaha, menghambat investasi baru, yang berakibat melemahnya dunia usaha. Apabila penurunan inflasi sebenarnya lebih disebabkan karena penurunan daya beli masyarakat maka penggunaan suku bunga yang ketat untuk meredam inflasi tentunya tidak tepat sasaran karena justru akan melemahkan dunia usaha.

4.3 Perkembangan Giro Wajib Minimum di Indonesia

Mengenai berbagai krisis yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 krisis ini berkembang secara cepat menjadi krisis keuangan dan perbankan,krisis ekonomidan didramatisir dengan terjadinya krisis social (antara lain terjadinya kerusuhan,pembakaran,pengrusakan dan penjarahan berbagai asset ekonomi pada tanggal 13 dan 14 mei 1998). Krisis yang melanda perbankan ditandai dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, selain itu NPL (Non


(18)

Performance Loans) semakin meningkat yang mengakibatkan bank mengalami kerugian. Krisis perbankan tersebut juga ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Tanggal 24 November 1997 yang mencabut izin usaha 16 Bank Swasta, dilanjutkan dengan pembekuan operasi 7 Bank Swasta dan pengambilalihan (Take Over) 7 Bank Swasta dan BUMN oleh BPPN. Dengan kondisi tersebut berbagai langkah-langkah telah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyehatkan kembali Industri perbankan Nasional.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi bank. Dengan kewenangannya tersebut Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan - ketentuan yang harus dipatuhi oleh perbankan yang tertuang dalam peraturan Bank Indonesia, salah satunya adalah penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).

Penetapan Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan salah satu instrument moneter Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter yang bertujuan untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Berdasarkan surat edaran No. 30 / 10 / UPPB Tanggal 20 Oktober 1997 Bank Indonesia menetapkan besarnya GWM dalam rupiah sebesar minimal 5% dari dana pihak ketiga rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga Valuta Asing.

Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan liquiditas wajib minimum bank yang wajib dijaga dan dipelihara oleh setiap bank. liquiditas tersebut dimaksudkan agar bank dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu. Untuk itu setiap bank harus mengelolah liquiditasnya dengan baik agar setiap penarikan dana masyarakat dapat terpenuhi, sehingga


(19)

kepercayaan masyarakat terhadap bank semakin meningkat dan kegiatan operasional bank akan berjalan dengan baik.

Tabel 4.3

Perkembangan Giro Wajib Minimum Di Indonesia

TAHUN GIRO WAJIB MINIMUM 1986 15 1987 15 1988 2 1989 2 1990 2 1991 2 1992 2 1993 2 1994 2 1995 2 1996 3 1997 5 1998 3 1999 3 2000 3 2001 3 2002 3 2003 3 2004 5 2005 5 2006 4 2007 4 2008 4 2009 4 2010 4 2011 4 2012 4 2013 4 2014 4 2015 7,5


(20)

4.4 Operasi Pasar Terbuka (IHSG)

Pada awal perkembangannya operasi pasar terbuka lebih diarahkan untuk menggairahkan bank dalam melakukan transaksi surat-surat berharga termasuk memperkenalkan warkat-warkat yang diperdagangkan yaitu SBI dan SPBU.

Dalam perkembangan selanjutnya, tata cara pelaksanaan operasi pasar terbuka semakin disempurnakan sehingga Bank Indonesia dapat secara aktif mengendalikan variabel-variabel moneter sesuai dengan sasaran moneter yang di tetapkan.

Sehubungan dengan penggunaan peralatan moneter tersebut, jika pemerintah menginginkan adanya pengetatan moneter, maka Bank Indonesia akan memperbesar penjualan SBI dengan menaikkan tingkat diskontonya. Cara ini akan menyerap kelebihan likuditas bank melalui pasar sekunder (secondary market) dan akan dapat menyerap kelebihan likuiditas di luar sistem moneter.

Tabel 4.1

Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan di Indonesia

Tahun IHSG

1986 339,7708

1987 328,864

1988 305,12

1989 399,69

1990 417,79

1991 247,39

1992 274,33

1993 588,77

1994 489,64

1995 513,85

1996 637,43

1997 401,71

Tahun IHSG


(21)

1999 676,91

2000 416,32

2001 392,04

2002 424,94

2003 679,3

2004 1000,23

2005 1162,63

2006 1805,5

2007 2745,8

2008 1355,4

2009 2534,4

2010 3703,51

2011 3821,99

2012 4316,69

2013 4274,18

2014 33983,59

2015 68635,815

Sumber: Bank Indonesia

4.5 Perkembangan Utang Luar Negeri di Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya.

Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soehartomembebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar.


(22)

Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD135 miliar.

Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto.Bagaimanapun, pewarisan utang pemerintah suatu era kepada era berikutnya telah berlangsung. Tidak ada penghapusan beban utang dalam besaran yang cukup berarti, yang disebabkan oleh pergantian kekuasaan atau kebijakan pemerintah baru. Keringanan atas beban utang hanya diberikan oleh para kreditur berupa penjadwalan pembayaran untuk waktu yang tidak terlampau lama, ketika terjadinya krisis 1997. Krisis justeru memaksa pemerintah untuk menambah posisi utangnya melalui pinjaman kepada IMF. Meskipun sifatnya adalah untuk berjaga-jaga dan akhirnya ”tidak dipergunakan”, biaya utangnya tetap harus dibayar. Selain itu, krisis memberi beban tambahan bagi pemerintah. Diantaranya berupa jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta tanggungan pemerintah atas beberapa utang swasta yang gagal bayar (default).

Kreditur luar negeri malah cenderung sedikit berbaik hati tatkala Indonesia mendapat musibah tsunami Aceh dan Nias. Beberapa miliar dolar ULN


(23)

pemerintah yang mestinya jatuh tempo pada tahun itu, dijadwal ulang pembayarannya untuk lima tahun ke depannya, dengan masa jeda pembayaran antara satu sampai dengan dua tahun.Hutang luar negeri Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Selama 30 tahun dimulai dari pemerintahan orde lama, Selama masa orde baru saja jumlah hutang luar negeri Indonesia mencapai US$ 27 milliar atau rata–rata US$900 juta per tahunya. Mulai tahun 1980-an hinggapertengahan 1990-an perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata sekitar 8% dengan laju tahunan 7,4%. Pada masa itu sebenarnya ada kekhawatiran terutama dari kalangan bank sentral bahwa ekonomi mulai mengalami overheating, namun tidak ada tanda – tanda yang menunjukan bahwa krisis akan melanda (Boediono, 2008 ). Pada masa–masa ini Indonesia memiliki cadangan devisa sekitar US$18 miliar. Namun pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang mengakibatkan tranksaksi berjalan semakin membengkak. Krisis ini membuat Indonesia mulai mengalami kesulitan likuiditas dalam melakukan pembayaran bunga dan cicilan hutangnya (Basri, 2002). Penyebabterjadinya krisis moneter ini bisa dilihat dari beberapa faktor, seperti terdepresiasinya nilai tukar rupiah yang membuat cadangan devisa Indonesia semakin berkurang yang digunakan untuk menutupi depresiasi nilai tukar rupiah, selain itu cicilan hutang Indonesia yang terus membengkak juga turut andil menghabiskancadangan devisa negara, yang membuat Indonesia pada akhirnya mengalami krisis ekonomi secara keseluruhan.

Pada masa ini Indonesia benar-benar mengalami kondisi perekonomian yang parah. Menurut Pasaribu (2012) pengalaman masa lalu terutama pada masa krisis telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, seperti pemerintah perlu


(24)

secara terencana mengurangi dan mengakhiri ketergantungan pada utang luar negeri dengan jalan mengoptimalkan pemerintah melalui pajak. Selain itu dari sisi APBN, memperbesar surplus melalui upaya meningkatkan pendapatan negara dan penghematan belanja negara sehingga surplus tersebut dapat digunakan untuk mengurangi pokok hutang pemerintah. Meningkatakan dan melakukan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman dan hibah luarnegeri baik dari aspek kebijakan, kelembagaan, dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatanya. Serta mengadakan pengendalian terhadap hutang luar negeriswasta agar pengelolaan neraca pembayaran dan stabilitas ekonomi makro lebih terkendali. Pasca terjadinya krisis, untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang sudah hancur, pemerintah memerlukan stimulus untuk kembali merangsang perekonomian negara. Keadaan ini membuat Indonesia bekerja sama dengan IMF untuk memperbaiki perekonomian Indonesia bersama-sama, bentuk kerjasama tersebut berupa bantuan pinjaman yang diberikan oleh IMF kepada Indonesia. Pinjaman dari IMF ini dimaksudkan agar kembali terciptanya kepercayaan yang besar kepada kemampuan negara untuk menghadapi berbagai kewajiban pembayaran ke luar negeri, termasuk impor, dengan memperlihatkan jumlah cadangan devisa negara yang lebih baik pada negara peminjamnya. Pinjaman pertama IMF dikucurkan pada tanggal 5 November 1997sekitar US$ 3 milliar. Sampai akhir


(25)

tahun 2003, jumlah pinjaman dari IMF telah mencapai US$ 14,6 milliar (Pasaribu, 2012).

Tabel 4.4

Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia

TAHUN UTANG LUAR NEGERI

1986 17.243 1987 33412,1 1988 32131,9 1989 56387,7 1990 58242 1991 65067 1992 69945 1993 71185 1994 88367.00 1995 98432.00 1996 96706 1997 100326 1998 122033 1999 120567 2000 110934 2001 133073 2002 131343 2003 135401 2004 137024 2005 134967,5 2006 75820 2007 80615 2008 86600 2009 99265 2010 118,624,00 2011 118,642,00 2012 126,119,00 2013 1.968.288 2014 3.919.333 2015 4,376,000,00


(26)

Menurut gambar diatas bahwa pada tahun 2015 terdapat jumlah utang luar negeri paling tinggi dibanding tahun 1986.

4.6 Perkembangan Inflasi di Indonesia

Bila ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya pemerintah Indonesia menjaga kestabilan mata uang telah menuju ke arah yang lebih baik. Prof. M. Sadli, 2005, mengungkapkan bahwa inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (kalau perlu uang, cetak saja). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah.


(27)

Tabel 4.5

Perkembangan Inflasi di Indonesia

TAHUN INFLASI 1986 8,84 1987 8,9 1988 5,47 1989 5,97 1990 9,53 1991 9,52 1992 4,94 1993 9,77 1994 9,24 1995 8,64 1996 6,47 1997 11,05 1998 77,63 1999 2,01 2000 9,35 2001 12,55 2002 10 2003 5,16 2004 6,4 2005 17,11 2006 6,6 2007 6,59 2008 11,06 2009 2,78 2010 6,96 2011 3,79 2012 4,3 2013 8,38 2014 8,36 2015 6,38

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada tahun 1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat inflasi dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis moneter Indonesia dan Asia 1997 Inflasi kembali


(28)

meningkat menjadi 11,10% dan kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana saat itu nilai tukar rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per dolar AS (1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan kebijakan moneter yang sangat ketat dan menghasilkan tingkat inflasi yang paling rendah yang pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.

Selanjutnya pada tahun 2000 hingga 2006 Inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10%. Inflasi tahun 2005 dengan nilai sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia (1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total konsumsi energi Indonesia.

Inflasi bergerak pada angka yang sangat mendekati yaitu 6,60% (2006) dan 6,59% (2007). Bila saja inflasi yang terjadi pada tahun 2005 dapat diabaikan dengan alasan bahwa BBM sebagai faktor utama yang mempengaruhi inflasi tahun 2005 berada diluar kendali Pemerintah, maka tingkat inflasi dalam 2000-2006 tahun terakhir dapat dikatakan cukup terkendali.

Pemerintah (pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi, namun berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih sangat tinggi mempengaruhi pergerakan perekonomian


(29)

Indonesia. Inflasi yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat inflasi Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di bawah 1%. Bila sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di sektor moneter menjaga kestabilan makro ekonomi dalam jangka panjang hanya akan menjadi hal yang sia-sia.

4.7 Analisis Data 4.7.1 Hasil Uji OLS

Untuk melihat seberapa besar pengaruh jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum, indeks harga saham gabungan, utang luar negeri dan inflasi di Indonesia, maka dilakukan estimasi dengan menggunakan uji Ordinary Least Squared (OLS) dengan menggunakan program Eviews 7.

Tabel 4.2 Hasil Uji OLS Dependent Variable: INFLASI

Method: Least Squares Date: 03/17/16 Time: 15:32 Sample: 1986 2015

Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

X1 5.65E-06 1.40E-06 4.046120 0.0005

X2 2.297435 0.214263 10.72251 0.0000

X3 0.162033 0.352265 0.459976 0.6497

X4 -0.000141 0.000231 -0.610252 0.5474

X5 -3.99E-07 3.48E-06 -0.114764 0.9096

C -24.81462 4.115100 -6.030136 0.0000

R-squared 0.831098 Mean dependent var 10.12500 Adjusted R-squared 0.795910 S.D. dependent var 13.11438 S.E. of regression 5.924596 Akaike info criterion 6.572958 Sum squared resid 842.4200 Schwarz criterion 6.853198 Log likelihood -92.59438 Hannan-Quinn criter. 6.662609 F-statistic 23.61882 Durbin-Watson stat 1.766111 Prob(F-statistic) 0.000000


(30)

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, hasil estimasi yang dilakukan menggunakan metode Ordinari Least Squared (OLS) untuk jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum, indeks harga saham gabungan, utang luar negeri memberikan pengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi R2 0,831098 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas dalam estimasi tersebut mampu menjelaskan variabel inflasi sebesar 83 persen selama kurun waktu 1986-2015, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan.

4.7.2 Hasil Uji t-Statistik

Uji t-statistik merupakan pengujian hipotesis secara individual untuk membuktikan nilai koefisien regresi itu signifikan yang diperoleh secara statistik dan dapat menentukan nilai dependent variabel.

a) Jumlah uang beredar Hipotesis :

H0 : β = 0 H1: β ≠ 0

α = 5% ; df = n – k ; df = 30 – 6 =24 ; ttabel = 2.06 Uji t-statistik ; thitung = 4.05

thitung (4,05) >ttabel (2,06), berarti jumlah uang beredar mempengaruhi inflasi di Indonesia.

b) Suku bunga Hipotesis :


(31)

H0 : β = 0 H1: β ≠ 0

α = 5% ; df = n – k ; df = 30 – 6 =24 ; ttabel = 2.06 Uji t-statistik ; thitung = 10,72

thitung (10,72) >ttabel (2,06), berarti suku bunga mempengaruhi inflasi di Indonesia.

c) Giro wajib minimum Hipotesis :

H0 : β = 0 H1: β ≠ 0

α = 5% ; df = n – k ; df = 30 – 6 =24 ; ttabel = 2.06 Uji t-statistik ; thitung = 0,45

thitung (0,45) <ttabel (2,06), berarti giro wajib minimum tidak mempengaruhi inflasi di Indonesia.

d) Indeks harga saham gabungan Hipotesis :

H0 : β = 0 H1: β ≠ 0

α = 5% ; df = n – k ; df = 30 – 6 =24 ; ttabel = 2.06 Uji t-statistik ; thitung = 0,61

thitung (0,61) >ttabel (2,06), berarti indeks harga saham gabungan tidak mempengaruhi inflasi di Indonesia.


(32)

Hipotesis : H0 : β = 0 H1: β ≠ 0

α = 5% ; df = n – k ; df = 30 – 6 =24 ; ttabel = 2.06 Uji t-statistik ; thitung = 0,11

thitung(0,11) <ttabel (2,06), berarti utang luar negeri tidak mempengaruhi inflasi di Indonesia.

4.7.3 Hasil Uji F

Uji f dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum, indeks harga saham gabungan dan utang luar negeri secara bersama-sama terhadap variabel inflasi.

a. Hipotesa: H0 : β1= β2 Ha : β1≠ β2

b. α = 5%; F-tabel = 2.62 V1= k-1 V2 = n-k V1 = 6-1=5 V2 = 30-6 = 24

c. F-statistik (23.62) > F-tabel (2.62), maka H0 diterima, berarti secara bersama-sama variabel jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum, indeks harga saham gabungan dan utang luar negeri berpengaruh terhadap variabel inflasi.

4.7.4 Uji Asumsi Klasik 4.7.4.1 Multikolinieritas


(33)

Uji multikolinearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji kolerasi parsial yang dikemukakan oleh L.R.Klein. Metode ini membandingkan lower case (kolerasi antar masing-masing variabel independen). Dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel independen, dapat diputuskan apakah data terkena multikolinearitas atau tidak. Diduga terdapat gejala multikolinearitas apabila r > 0,8. Hasil pengujian multikolinearitas menggunakan uji kolerasi (r) dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4. 3

Hasil Uji Multikolinearitas

Y X1 X2 X3 X4 X5

Y 1.000000 -0.138734 0.829996 -0.054031 -0.078585 -0.047604 X1 -0.138734 1.000000 -0.530431 0.101545 0.654386 0.497934 X2 0.829996 -0.530431 1.000000 -0.103621 -0.251125 -0.154671 X3 -0.054031 0.101545 -0.103621 1.000000 0.217162 0.202784 X4 -0.078585 0.654386 -0.251125 0.217162 1.000000 0.905905 X5 -0.047604 0.497934 -0.154671 0.202784 0.905905 1.000000

Dari output di atas dapat kita lihat bahwaantara variabel utang luar negeri dan IHSG terdapat multikolinearitas karena memiliki nilai lebih dari 0,8, sehingga dapat disimpulkan terjadi multikolinearitas dalam model regresi.

Tabel 4. 4

Hasil Uji Multikolinearitas Model Log

LY LX1 LX2 LX3 LX4 LX5


(34)

LX1 -0.117513 1.000.000 -0.584090 0.159757 0.766278 0.660630 LX2 0.641279 -0.584090 1.000.000 -0.256419 -0.696672 -0.298123 LX3 -0.001858 0.159757 -0.256419 1.000.000 0.369024 0.094625 LX4 -0.231082 0.766278 -0.696672 0.369024 1.000.000 0.710272 LX5 -0.025686 0.660630 -0.298123 0.094625 0.710272 1.000.000 Dari output di atas dapat kita lihat bahwa tidak terdapat variabel yang memiliki

nilai lebih dari 0,8, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas dalam model regresi.

4.7.4.2 Heterokedastisitas

Heterokedastisitas merupakan salah satu asumsi ordinary least square (OLS) jika varian residualnya tidak sama. Pengujian heterokedastisitas menggunakan uji white heterokedasticity,yang harus diperhatikan Obs* R-Square dan juga nilai probabilitynya. Apabila nilai probability lebih rendah dari 0,05 berarti terdapat heterokedastisitas pada hasil estimasi. Sebaliknya, apabila nilai probabilitynya lebih tinggi dari 0,05 maka hasil estimasi tidak terkena heterokedastisitas.

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 2.589880 Prob. F(5,24) 0.0521 Obs*R-squared 10.51389 Prob. Chi-Square(5) 0.0619 Scaled explained SS 6.357711 Prob. Chi-Square(5) 0.2730

Dari hasil estimasi diatas tidak ditemukan adanya heterokedastisitas (0,06 > 0,05).

4.7.4.3 Normalitas

Untuk melihat apakah data terdistribusi normal maka perlu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan jarque-bera (J-B test) dengan melihat probability. Apabila angka probability > 0,05 maka data berdistribusi normal, sebaliknya apabila angka probability < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.


(35)

Gambar 4.1 Hasil Uji Normalitas

Dari hasil uji normalitas diperoleh nilai probability yang lebih besar dari 0,05 (0,47 > 0,05). Dengan demikian data-data pada penelitian ini berdistribusi normal.

0 1 2 3 4 5 6

-10 -5 0 5 10 15

Series: Residuals Sample 1986 2015 Observations 30 Mean -3.55e-15

Median -0.110162

Maximum 12.69035

Minimum -8.289712

Std. Dev. 5.389709

Skewness 0.541333

Kurtosis 2.889676

Jarque-Bera 1.480422 Probability 0.477013


(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah saya lakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Jumlah uang beredar di Indonesia terus mengalami peningkatan yang sangat drastis dari tahun 1986-2015.

2. Suku bunga di Indonesia terus mengalami penurunan hingga tahun 2015, kecuali pada tahun 1998 akibat dampak dari krisis moneter yang terjadi. 3. Giro Wajib Minimum di Indonesia pada tahun 1986 sangat tinggi. jika

dibandingkan pada tahun 2015.

4. Operasi Pasar Terbuka (IHSG) di Indonesia dari tahun 1986 terus mengalami peningkatan yang sangat drastis hingga pada tahun 2015. 5. Utang Luar Negeri di Indonesia dari tahun 1986 mengalami kenaikan yang

sangat drastis pada tahun 2015, dan pada tahun 1990 terdapat jumlah utang luar negeri yang paling rendah.


(37)

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran kepada pihak-pihak terkait, dan diharapkan dapat memberi masukan dalam membuat suatu kebijakan. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah diharapkan mampu mengambil kebijakan ekonomi moneter untuk mencapai kestabilitasan perekonomian Indonesia.

2. Kepada peneliti selanjutnya untuk dapat di pergunakan dalam mengkaji hal yang sama.

3. Kepada Bank Indonesia agar dapat menimbang dan mengambil kebijakan apa yang bisa membuat pekonomian Indonesia maju.

4. Kepada presiden diharapkan untuk bisa dipertimbangkan dalam hal mengambil keputusan yang tepat untuk perekonomian Indonesia.


(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jumlah Uang Beredar

Di dalam membahas mengenai uang yang terdapat dalam perekonomian sangat penting untuk membedakan diantara mata uang dalam peredaran dan uang beredar. Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah uang yang telah dikeluarkan dan telah diedarkan oleh Bank Sentral,dimana mata uang tersebut terdiri dari dua jenis yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian mata uang dalam peredaran sama dengan uang kartal. Sedangkan uang beredar adalah semua jenis uang yang ada di dalam perekonomian yaitu jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. Uang beredar atau money supply dibedakan menjadi dua pengertian yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.

a) Uang Beredar Dalam Arti Sempit (M1)

Uang beredar dalam arti sempit (M1) didefinisikan sebagai uang kartal ditambah dengan uang giral (currency plus demand deposits).

M1 =C + DD Dimana :

M1 = Jumlah uang beredar dalam arti sempit C = Currency (uang kartal)

DD = Demand Deposits (uang giral)

Uang giral (DD) di sini hanya mencakup pada saldo rekening koran/giro milik masyarakat umum yang disimpian di bank. Sedangkan saldo rekening koran milik bank pada bank lain atau bank sentral (Bank Indonesia) ataupun saldo


(39)

rekening koran milik pemerintah pada bank atau bank sentral tidak dimasukkan dalam definisi DD.

Pengertian jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) bahwa uang beredar adalah daya beli yang langsung bisa digunakan untuk pembayaran, bisa diperluas dan mencakup alat-alat pembayaran yang mendekati uang, misalnya deposito berjangka (time deposits) dan simpanan tabungan (saving deposits) pada bank-bank. Uang yang disimpan dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan ini sebenarnya adalah juga daya beli potensial bagi pemiliknya, meskipun tidak semudah uang tunai atau cek untuk menggunakannya. (Boediono, 1994 :3-5).

b) Uang Beredar Dalam Arti Luas (M2)

Berdasarkan sistem moneter Indonesia, uang beredar M2 sering disebut juga dengan likuiditas perekonomian. M2 diartikan sebagai M1 plus deposito berjangka dan saldo tabungan milik masyarakat pada bank-bank, karena perkembangan M2 ini juga bisa mempengaruhi perkembangan harga, produksi dan keadaan ekonomi pada umumnya.

M2 = M1 + TD +SD Dimana :

TD = time deposite (deposito berjangka) SD = savings deposits (saldo tabungan)

Definisi M2 yang berlaku umum untuk semua negara tidak ada, karena hal-hal khas masing-masing negara perlu dipertimbangkan. Di Indonesia besarnya mencakup semua deposito berjangka dan saldo tabungan dalam bentuk Rupiah pada bank-bank dengan tidak tergantung besar kecilnya simpanan tetapi tidak


(40)

mencakup deposito berjangka dan saldo tabungan dalam mata uang asing (Boediono, 1994:5-6).

c) Jumlah Uang Beredar Dalam Arti Lebih Luas (M3)

Definisi jumlah uang beredar dalam arti lebih luas adalah M3, yang mencakup semua deposito berjangka (TD) dan saldo tabungan (SD), besar kecil, rupiah atau mata uang asing milik penduduk pada bank oleh lembaga keuangan non bank. Seluruh TD dan SD ini disebut uang kuasi atau quasi money.

M3 = M2 + QM Dimana :

QM = Quasi Money

Di negara yang menganut sistem devisa bebas (artinya setiap orang boleh memiliki dan memperjualbelikan devisa secara bebas), seperti Indonesia, memang sedikit sekali perbedaan antara TD dan TS dalam Rupiah serta TD dan TS dalam Dollar milik bukan penduduk tidak termasuk dalam defenisi uang kuasi (Boediono, 1994:6).

Teori - teori jumlah uang beredar oleh beberapa pakar ekonomi : a. Teori Cambridge (Marshall-Pigou)

Teori Cambridge mengatakan bahwa kegunaan dari pemegangan kekayaan dalam bentuk uang adalah karena uang berbeda dengan bentuk kekayaan lain). Sehingga dengan mudah bisa ditukarkan dengan barang lain. Uang dipegang atau diminta oleh seseorang karena sangat mempermudah transaksi atau kegiatan – kegiatan ekonomi lain dari orang tersebut.


(41)

Teori Cambridge lebih menekankan kepada faktor – faktor perilaku (pertimbangan untung atau rugi). Yang menghubungkan anatara permintaan uang seseorang dengan volume transaksi yang direncanakannya.

Teori Cambridge, berpokok pada fungsi uang sebagai alat tukar umum (mean of exchange). Karena itu, teori – teori klasik melihat kebutuhan uang (permintaan akan uang) dari masyarakat sebagai kebutuhan akan alat likuid untuk tujuan transaksi.

a) Teori Keynes

Teori uang Keynes adalah teori yang bersumber pada teori Cambridge, tetapi Keynes memang mengemukakan sesuatu yang betu – betul berbeda dengan teori moneter tradisi Klasik. Pada hakekatnya perbedaan ini terletak pada penekanan oleh Keynes pada fungsi uang yang lain, yaitu sebagai store of value dan bukan hanya sebagai means of exchange. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori Liquidity Preference (Boediono, 1994:7).

Menurut Keynes, ada tiga tujuan masyarakat memegang uang, yaitu : 1) Tujuan transaksi

Keynes tetap menerima pendapat golongan Cambridge, bahwa orang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksi – transaksi yang dilakukan, dan permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional semakin besar volume transaksi semakin dan semakin besar pula kebutuhan uang untuk


(42)

memenuhi tujuan transaksi. Demikian pula Keynes berpendapat bahwa permintaan akan uang untuk tujuan transaksi inipun tidak merupakan suatu proporsi yang konstan, tetapi dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga.

2) Tujuan berjaga-jaga

Keynes juga membedakan permintaan akan uang untuk tujuan melakukan pembayaran – pembayaran yang tidak reguler atau yang diluar rencana transaksi normal, misalnya untuk pembayaran keadaan – keadaan darurat seperti kecelakaan, sakit dan pembayaran yang tak terduga. Permintaan uang seperti ini disebut dengan permintaan uang untuk tujuan berjaga – jaga (precautionary motive). Menurut Keynes permintaan akan uang untuk tujuan berjaga – jaga ini dipengaruhi oleh faktor – faktor yang sama dengan faktor yang mempengaruhi permintaan akan uang untuk tujuan bertransaksi, yaitu terutama dipengaruhi oleh tingkat penghasilan dan tingkat bunga.

3) Tujuan spekulasi

Motif dari pemegang uang untuk tujuan spekulasi adalah terutama bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang bisa diperoleh dari seandainya si pemegang uang tersebut meramal apa yang terjadi dengan betul.


(43)

2.2 Suku Bunga

Suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan untuk membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dnegan masa depan, sebagaimana harga lainnya, maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran.

Tingkat bunga merupakan suatu variabel penting yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih bentuk kekayaan yang ingin dimilikinya, apakah dalam bentuk uang, finnancial asset, atau benda – benda riil seperti tanah, rumah, mesin, barang dagangan dan lain sebagainya. Suku bunga dibedakan menjadi dua, suku bunga nominal dan suku bunga riil. Tingkat suku bunga nominal adalah penjumlahan dari unsur – unsur tingkat bunga, yaitu tingkat bunga “murni” (pure interest rate), premi risko (risk premium), biaya transaksi (transaction cost) dan premi untuk inflasi yang diharapkan. Tingkat bunga inilah yang harus dibayar debitur kepada kreditur di samping pengembalian pinjaman pokoknya pada saat jatuh tempo. Sedangkan suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal minus laju inflasi yang terjadi selama periode yang sama (Boediono, 1994:86-89).

Suku bunga nominal adalah suku bunga yang biasa dilaporkan, dan ini pula yang biasa ditawarkan oleh kalangan perbankan atas simpanan para nasabahnya. Sedangkan suku riil adalah suku bunga yang sudah memperhitungkan perubahan nilai atau daya beli uang dari waktu ke waktu (Mankiw Gregory, 20004:47).


(44)

2.3 Giro Wajib Minimum

Giro wajib minimum adalah perbandingan antara saldo giro bank yang wajib ditempatkan terhadap Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga (DPK) yang dimiliki bank.

Kewajiban memelihara dan pemenuhan persentase GWM dihitung dengan membandingkan jumlah Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam satu masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam satu masa laporan pada masa dua laporan sebelumnya.

Giro wajib minimum memiliki dua tujuan, yaitu sebagai berikut :

1. Menyerap kelebihan cadangan yang besar atau mengimbangi adanya kehilangan cadangan dalam jumlah besar. Dalam contoh, dalam suatu krisis likuiditas penurunan cadangan wajib memberikan cara untuk memelihara solvabilitas dari sistem keuangan.

2. Mengumumkan keputusan kebijaksanaan penting baik kepada masyarakat maupun bank. Perusahaan cadangan wajib merupakan tindakan yang terbuka dan dipublikasikan dengan baik dan demikian memberikan jalan yang lebih baik untuk menjaga likuiditas setiap bank.

2.4 Operasi Pasar Terbuka (IHSG)

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah. Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat.Pada waktu perekonomian


(45)

mengalami resesi, maka uang yang beredar perlu diadakan penambahan untuk mendorong kegiatan ekonomi yaitu dengan cara membeli surat-surat berharga. Sedangkan pada waktu inflasi, untuk mengurangi kegiatan ekonomi yang berlebihan, uang yang beredar harus dikurangi dengan cara menjual surat-surat berharga.Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2.5 Utang Luar Negeri

Sejarah Singkat Utang Pemerintah Indonesia eksploitasi sumber-sumber agraria perusahaan-perusahaan transnasional Amerika di Indonesia, telah berlangsung semenjak periode sejarah penjajahan hingga sekarang. Untuk kepentingan itulah, Amerika Serikat senantiasa melakukan intervensi politik terhadap perkembangan situasi di Indonesia semenjak masa Perang Revolusi Kemerdekaan Nasional Indonesia di tahun 1945 hingga sekarang.Dengan difasilitasi pemerintah kolonial Hindia-Belanda, terutama setelah diberlakukannya Agrarische Wet pada tanggal 9 April 1870, perusahaan-perusahaan transnasional seperti Caltex (California Texas Oil Corporation), pada tahun 1920-an telah meneguk laba di tengah kemelaratan rakyat Indonesia di bawah penindasan kolonialisme Belanda.

Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat


(46)

pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar.Pinjaman luar negeri adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam Rupiah. Termasuk dalam pengertian pinjaman luar negeri adalah pinjaman dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri. Pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah, dimaksudkan untuk pembiayaan pembangunan, disamping sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri berupa hasil perdagangan luar negeri, penerimaan pajak dan tabungan, baik tabungan masyarakan dan sektor swasta. Salah satu masalah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah keterbatasan modal dalam negeri.

Todaro (1998) berpendapat bahwa akumulasi utang luar negeri (external debt) merupakan suatu gejala umum yang wajar. Rendahnya tabungan dalam negeri tidak memungkinkan dilakukannya investasi secara memadai, sehingga pemerintah negara-negara berkembang harus menarik dana pinjaman dan investasi dari luar negeri. Bantuan luar negeri dapat memainkan kendala utamanya yang berupa kekurangan devisa, serta untuk mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonominya.

Menurut Anton Bawono dari sudut pandang makro ekonomi, salah satu tujuan pembangunan adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Dalam pencapaian pertumbuhan tersebut diperlukan indikator kinerja perekonomian yang tangguh dan hal ini sangatlah tergantung dari beberapa faktor pendukungnya. Beberapa faktor tersebut antara lain kapital, sumberdaya alam,


(47)

tenaga kerja dan teknologi serta struktur masyarakat (termasuk aturan dan kebijakan). Dari lima faktor diatas, unsur kapital dan aturan (kebijakan) adalah komponen utama dalam tinjauan khusus atas kebijakan moneter.

Pada awalnya bantuan luar negeri sangat efektif sebagai injeksi untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi agar tetap tinggi dengan rata-rata diatas 6% pertahun. Tetapi hal tersebut hanya membuat kecanduan untuk semakin tergantung pada bantuan luar negeri dari tahun ketahun dan sampai saat ini. Bahkan oleh beberapa pengamat ekonomi, dikatakan bahwa utang luar negeri Indonesia telah berada pada posisi rawan dan dapat mengganggu perekonomian Indonesia. Hal ini perlu diwaspadai oleh pemerintah dan swasta yang menerima modal sehingga diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat.

Menurut Didik J. Rahbini hutang luar negeri sebenarnya tidak sesederhana bila ditinjau dalam jangka panjang. Khususnya menyangkut implementasi pemanfaatannya serta evaluasinya. Meskipun dalam jangka waktu pendek berperan sebagai injeksi, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi beban ekonomi jika tidak digunakan secara tepat, inilah yang perlu dipertahankan seleksi pemanfaatannya yang lebih baik.

Menurut prasetiantono (dalam Bawono; 1997) bahwa pendapat tentang peran hutang luar negeri bukan lagi bukan lagi sebagai pelengkap akan tetapi sebagai sokoguru. Sebenarnya ada benarnya akan tetapi hal ini ada salahnya. Menurut Prasetiantono tidak seluruh hutang luar negeri tersebut milik dari sektor swasta, yang beliau juga katakan, bahwa secara mikro, utang luar negeri oleh swasta tersebut tidak salah karena memang pada kenyataannya bahwa suku bunga


(48)

diluar negeri lebih rendah dan murah dari pada di dalam negeri, akan tetapi ditinjau secara makro hutang tersebut justru memberatkan pada neraca pembayaran dan pada cadangan devisa. Jadi pendapat tersebut tidak salah akan tetapi juga tidak benar. Tergantung bagaimana pemerintah memanfaaatkan hutang luar negeri tersebut dengan sebaliknya dan mengendalikan jumlah hutang luar negeri yang diciptakan oleh pihak swasta dengan berbagai strategi dan kebijakannya.

Bentuk pinjaman luar negeri dapat di lihat dari dua aspek yaitu : 1. Sumber Dananya

Bila di lihat dari sumber dananya, pinjaman luar negeri dapat di bedakan menjadi :

a) Pinjaman Multilateral

Yaitu pinjaman yang berasal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).

b) Pinjaman Bilateral

Yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam CGI maupun anatar negara secara langsung (Intergovernment). c) Pinjaman Sindikasi

Yaitu pinjaman yang di peroleh dari beberapa bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman tersebut dikoordinir oleh satu bank /LKBB yang bertindak sebagai sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat


(49)

komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.

2. Segi Persyaratannya

Bila di lihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat di bedakan menjadi :

a) Pinjaman Lunak (Consessional Loan)

Yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Pinjaman lunak biasanya di peroleh dari negara-negara yang tergabung dalam rangka CGI maupun non CGI. Pengertian dengan dana sendiri atau dana pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat dalam bentuk Suppliers Credit ataun Buyers Credit.

b) Purchase Installment Sale Agreement (PISA)

Yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.

c) Pinjaman Komersial (Commercial Loan)

Yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loankarena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai serta penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat.


(50)

2.6 Inflasi

Inflasi yaitu suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus menerus (Nanga, 2001). Sedangkan menurut Turvey (1997), inflasi adalah variabel yang melambung yaitu tingkat harga ataupun upah umum (Wage Spiral Inflation). Menurut F.W. Paish, (1997), inflasi adalah pendapatan nominal meningkat jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan peningkatan arus barang dan jasa yang dibeli (pendapatan nasional riil).

Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terhadinya inflasi, yaitu:

• Inflasi karena kenaikan permintaan (Demand Pull Inflation)

Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan untuk beberapa jenis barang. Peningkatan permintaan ini dapat terjadi karena peningkatan belanja pada pemerintah, peningkatan permintaan akan barang untuk diekspor, dan peningkatan permintaan barang bagi kebutuhan swasta. Kenaikan permintaan masyarakat (aggregate demand) ini mengakibatkan harga-harga naik karena penawaran tetap.

• Inflasi karena biaya produksi (Cost Pull Inflation)

Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi. Kenaikan pada biaya produksi terjadi akibat karena kenaikan harga-harga bahan baku, misalnya karena keberhasilan serikat buruh dalam menaikkan upah


(51)

atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan biaya produksi mengakibatkan harga naik dan terjadilah inflasi.

• Inflasi karena jumlah uang yang beredar bertambah

Teori ini diajukan oleh kaum klasik yang mengatakan bahwa ada hubungan antara jumlah uang yang beredar dan harga-harga. Bila jumlah barang itu tetap, sedangkan uang beredar bertambah dua kali lipat maka harga akan naik dua kali lipat. Penambahan jumlah uang yang beredar dapat terjadi misalnya kalau pemerintah memakai sistem anggaran defisit. Kekurangan anggaran ditutup dengan melakukan pencetakan uang baru yang mengakibatkan harga-harga naik.

Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali, keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat atau mengadaka Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri ata serta kaum sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.


(52)

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang di konsumsi masyarakat. Dimana sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survey Biaya Hidup (SBH) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:

a. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)

Harga PerdaganganBesardari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.

b. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuranlevel harga barang akhir (final goods) dan ajsa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

Pengelompokan Inflasi :

Inflasi yang diukur dengan IHK Indonesia dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the classification of individual consumption by purpose – COICOP), yaitu :


(53)

1) Kelompok Bahan Makanan

2) Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau 3) Kelompok Perumahan

4) Kelompok Sandang 5) Kelompok Kesehatan

6) Kelompok Pendidikan dan Olah Raga 7) Kelompok Transportasi dan Komunikasi. 2.7 Hubungan Jumlah Uang Beredar dan Inflasi

Pada variabel utang luar negeri dalam jangka panjang maupun jangka pendek tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Sesuai dengan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, menyebutkan bahwa pemerintah membatasi defisit nasional 3% dari PDB sehingga meskipun dalam kondisi defisit tetapi tetap dalam porsi yang tepat. Dengan demikian tambahan utang untuk pembiayaan defisit akan dibatasi pula karena upaya efisiensi belanja oleh pemerintah. Maka dengan adanya batasan-batasan tersebut, defisit fiskal Indonesia cenderung kecil sehingga efeknya terhadap moneter juga kecil atau bahkan juga tidak memiliki dampak moneter karena dampak terhadap moneter karena dampak terhadap output tidak banyak. Aloysius Deno Hervino (2011), mengatakan bahwa sisi moneter yang diwakili jumlah uang beredar lebih dominan dalam mempengaruhi volatilitas tingkat inflasi di Indonesia dari pada sisi fiskal yang diwakili utang luar negeri karena tidak cukup mampu mempengaruhi inflasi di Indonesia.


(54)

Nilai tukar akan memperlancar kegiatan ekonomi antar negara. Karena fungsinya sangat vital dalam perdagangan antar negara maka perubahan nilai tukar akan berpengaruh langsung pada stabilitas harga barang-barang hasil impor. Kenaikan nilai tukar disebut depresiasi atas mata uang dalam negeri. Mata uang asing menjadi lebih mahal, ini berarti nilai mata uang dalam negeri merosot turun. Sedangkan turunnya nilai tukar disebut apresiasi mata uang dalam negeri. Mata uang asing menjadi lebih murah, hal ini berarti nilai relatif mata uang dalam negeri meningkat. Depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika mengakibatkan para pemegang dollar AS menjual dollarnya dan membeli rupiah lalu ditabung dalam bentuk rupiah, yang menyebabkan jumlah uang beredar M2 mengalami peningkatan.

2.8 Hubungan Suku Bunga dan Inflasi

Dalam menanggapi hubungan sebab-akibat antara jumlah uang beredar dan laju inflasi, awam cenderung berpendapat bahwa tambahan jumlah uang beredar menyebabkan kenaikan harga-harga secara umum. Dengan perkataan lain, jumlah uang beredar merupakan penyebab inflasi, bukan sebaliknya inflasi menyebabkan penambahan jumlah uang beredar.

Dalam ilmu teori ekonomi makro dapat disebutkan bahwa suku bunga akan berpengaruh pada kesdiaan orang untuk berinvestasi, dimana investasi tersebut pada gilirannya akan berpengaruh pada sisi permintaan. Dan permintaan inilah yang akhirnya akan mempengaruhi inflasi.


(55)

2.9 Hubungan Utang Luar Negeri dan Inflasi

Hutang luar negeri diartikan sebagai penerimaan negara dalam bentuk devisa ataupun dalam bentuk devisa yang di rupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diterima dari Pemberi/Pinjaman Hibah Luar Negeri (PPHLN) yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu atau hutang luar negeri adalah sumber penerimaan negara yang berasal dari negara asing, badan/lembaga keuangan internasional atau dari pasar uang internasional yang berbentuk devisa, barang, dan atau jasa termasuk pinjaman yang mengakibatkan pembayaran dimasa yang akan datang yang harus dibayar kembali sesuai kesepakatan bersama.

Dalam rangka pencapaian tujuan suatu negara maka perlu adanya program-program pembanguna yang berkesinambungan dengan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Salah satu syarat utama untuk mencapai tujuan pembangunan adalah cukup tersedianya dana investasi.Kebutuhan dana investasi tersebut secara ideal seharusnya dapat dibiayai dari dana (tabungan) dalam negeri. Tetapi dalam kenyatanyaannya seperti negara Indonesia masih mengahadapi masalah keterbatasan modal dalam negeri yang dibutuhkan untuk pembiayaan pembangunan. Hal tersebut tercermin dengan adanya kesenjangan tabungan dalam negeri dengan dana investasi yang diperlukan. Untuk menutup investasi yang diperlukan ini, pinjaman luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan ekonomi Indonesia. Disamping itu, pinjaman luar negeri diperlukan dalam upaya menutup kesenjangan antara kebutuhan valuta asing yang telah ditargetkan dengan devisa yang diperoleh dari penerimaan hasil kegiatan ekspor.


(56)

2.10 Penelitian Terdahulu

1. Heru Perlambang (2012), yang berjudul “Analisis Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi”. Penelitian ini menganalisis pengaruh jumlah uang beredar,suku bunga SBI, nilai tukar terhadaptingkat inflasi dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai tukar dan jumlah uang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi, sedangkan suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap inflasi.

2. Hadi Sasana (2004) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dan Filipina”. Penelitian ini menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia dan Filipina dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan menggunakan pendekatan ECM (Error Correction Model). Hasil dari penelitian ini adalah jumlah uang beredar dalam jangka pendek maupun jangka panjang mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Di Filipina, dalam jangka pendek variabel jumlah uang beredar mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi, tetapi dalam jangka panjang mempunyai hubungan yang negatif dan berpengaruh secara signifikan.nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi baik di Indonesia maupun di Filipina.


(57)

3. Hafsyah Aprillia (2011) yang berjudul “Analisis Inflasi di Sumatera Utara: Suatu Model Error Correction Model”. Penelitian ini menganalisis pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap inflasi menggunakan metode ECM. Hasil penelitian ini adalah suku bunga berpengaruh signifikan tehadap inflasi, nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap inflasi dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang tidakberpengaruh signifikan.

2.11 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.12 Hipotesis

a) Jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap inflasi di Indonesia. b) Suku bunga berpengaruh negatif terhadap inflasi di Indonesia.

c) Giro wajib minimum berpengaruh positif terhadap inflasi Indonesia.

d) Operasi pasar terbuka (IHSG) berpengaruh negatif terhadap inflasi Indonesia.

e) Utang luar negeri berpengaruh negatif terhadap inflasi di Indonesia. Jumlah Uang Beredar

Giro Wajib Minimum Operasi Pasar Terbuka (IHSG)

Inflasi Suku Bunga


(58)

BABI PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fenomena yang sangat penting di perhatikan oleh pemerintah baik negara maju maupun negara berkembang adalah Inflasi. Dimana inflasi merupakan indikator stabilitas perekonomian yang menjadi salah satu fokus perhatiandalam kebijakan makro ekonomi sehingga laju perubahannya selalu diupayakan berada pada tingkat yang rendah dan stabil.

Pada masa sebelum krisis moneter pada tahun 1997, Indonesia pernah mengalami hiperinflasi, tepatnya pada tahun 1965 yang mencapai sekitar 600%. Dimana kondisi ini berawal dari peran bank Indonesia sebagai agen pembangunan. Sebagai dampak dari kebijakan fiskal yang ekspansif, bentuk pembiayaan oleh bank Indonesia terdapat defisit anggaran pemerintah yang relatif besar dan tidak terkontrol. Bentuk pembiayaan tersebut adalah melalui pencetakan uang karena besarnya kepentingan politik. Inflasi yang tinggi terulang di tahun 1998 sebesar 77,63% yang disebabkan adanya krisis moneter yang melanda negara-negara sedang berkembang yang sangat mengganggu strukturperekonomian. Inflasi yang sangat tinggi pada saat itu membawa dampak yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia, seperti pengangguran dan meningkatnya angka kemiskinan dari 17,47% hingga 24,2% akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kurangnya lapangan pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang sangat tajam di tahun 1997-1998, yang semula sebesar 4,65 menjadi -13,1%.


(59)

Krisis yang telah terjadi memberikan pelajaran yang berharga akan pentingnya penciptaan kestabilan moneter. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka terbentuklah UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang di amandemen pada UU N0. 3 tahun 2004, dimana BI mengarahkan kebijakan moneter sebagai bagian dari kebijakan makroekonomi dengan sasaran akhir yang lebih diarahkan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dalam hal ini adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Kebijakan moneter Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF) yang diterapkan secara formal sejak juli 2005. BI yang berperan sebagai Bank Sentral mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil yang merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai peraturan, fungsi bank sentral adalah mengontrol inflasi supaya mencapai target yang di tetapkan pemerintah dengan mengendalikan tingkat harga dengan melakukan kebijakan moneter melalui instrumen (seperti uang beredar atau suku bunga) bank Indonesia. Keberhasilan pelaksanaan ITF ini sangat dipengaruhi oleh identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi. Karena berfluktuasinya tingkat inflasi di Indonesia dengan beragam faktor yang mempengaruhi mengakibatkan semakin sulitnya pengendalian inflasi, sehingga dalam pengendaliannya bank Indonesia dan pemerintah harus mengetahui faktor-faktor pembentuk inflasi. Pemikiran bahwa inflasi merupakan fenomena moneter, sehingga usaha untuk mengurangi inflasi atau faktor-faktor yang mempengaruhi merupakan domain dari kebijakan


(60)

moneter. “Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon’’. Pemikiran ini terkait dengan teori kuantitas uang yang menjelaskan bahwa inflasi adalah hasil dari perubahan relatif dari penawaran uang. Selain itu ada teori yang menjelaskan bahwa inflasi bukan hanya dipengaruhi oleh instrumen moneter, melainkan juga dari unsur fiskal. Teori ini dikenal dengan teori fiskal tentang tingkat harga (Fiscal Theory of The Price Level-FTPL). Teori ini menjelaskan bahwa kebijakan fiskal memiliki peranan penting terhadap tingkat harga (inflasi) yang disebabkan oleh utang pemerintah (government debt), pajak saat ini dan akan datang, maupun rencana pengeluaran pemerintah (Hervino, 2011).

Rio Maggi dan Birgitta Dian Saraswati (2013) menyebutkan bahwa variabel jumlah uang beredar hanya dalam jangka panjang terhadap inflasi di Indonesia berpengaruh signifikan positif. Penelitian Adrian Sutawijaya dan Zulfahmi (2012) dan Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu (2014) menyebutkan bahwa suku bunga BI berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Menurut Yulia Indrawati (2007), bahwa adanya shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan negatif terhadap inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Penelitian Aloysius Deno Hervino (2011) menyebutkan bahwa dalam jangka pendek peningkatan utang luar negeri dan jumlah uang beredar dapat meningkatkan inflasi di Indonesia. Kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan kestabilan harga (inflasi) akan mempengaruhi suatu perekonomian dari sisi permintaan dan penawaran agregat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dari uraian diatas dapat dapat di ambil pokok permasalahan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi


(61)

yaitu jumlah uang beredar, BI rate dan utang luar negeri. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel jumlah uang beredar, BI rate dan utang luar negeri terhadap inflasi di Indonesia.Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).

Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.


(62)

Secara sederhana inflasi dapat diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Apakah jumlah uang beredar berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia ? 2. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia ? 3. Bagaimana pengaruh giro wajib minimum terhadap inflasi di Indonesia? 4. Bagaimana pengaruh operasi pasar terbuka (IHSG) terhadap inflasi di

Indonesia?


(63)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga terhadap inflasi di Indonesia.

3. Untuk mengetahui pengaruh giro wajib minimum terhadap inflasi di Indonesia.

4. Untuk mengetahui pengaruh operasi pasar terbuka (IHSG) terhadap inflasi di Indonesia.

5. Untuk mengetahui pengaruh utang luar negeri terhadap inflasi di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat di peroleh dari penelitian ini adalah :

1. Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti terutama dalam hal masalah moneter dan utang luar negeri terhadap inflasi di Indonesia, serta merupakan salahsatu syarat bagi peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan.

2. Sebagai tambahan informasi bagi pemerintah Indonesia khususnya dalam hal kebijakan fiscal dan moneter dalam membuat anggaran perencanaan. 3. Menjadi referensi/pedoman atau di harapkan sebagai bahan kajian bagi


(64)

ABSTRAK

PENGARUH VARIABEL MONETER DAN UTANG LUAR NEGERI TERHADAP INFLASI DI INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel moneter dan utang luar negeri terhadap inflasi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data tahunan variabel moneter, utang luar negeri dan inflasi di Indonesia selama tahun 1986-2015.

Metode yang digunakan dalam analisis faktof-faktor yang mempengaruhi Inflasi di Indonesia tersebut adalah Ordinary Last Squared (OLS) dengan menggunakan alat analisis untuk mengolah data yaitu dengan menggunakan Eviews 7.

Hasil analisis dari uji OLS yaitu jumlah uang beredar, suku bunga, giro wajib minimum berpengaruh positif terhadap inflasi di Inflasi di Indonesia sedangkan indeks harga saham gabungan dan utang luar negeri berpengaruh negatif di Indonesia. Berdasarkan uji asumsi klasik semua variabel terbebas dari multikolinearitas, heterokedastisitas dan normalitas.

Kata Kunci : Jumlah uang beredar, Suku bunga, Giro wajib minimum, Indeks harga saham gabungan, Utang luar negeri dan Inflasi.


(65)

ABSTRACT

VARIABLE EFFECT OF MONETARY AND EXTERNAL DEBT OF INFLATION IN INDONESIA

This study aims to analyze the effect of monetary variables and external debt on inflation in Indonesia. The data used is annual monetaryvariable, foreign debt and inflation in Indonesia for the period of 1986-2015.The method used to analyse the inflation-affecting factors in Indonesia is the Last Ordinary Squared (OLS) in which the analytical tool to process data is Eviews 7.

The analysis results that money supply, interest rates, and statutory minimum have positive effects on inflation in Indonesia, while the stock price index and foreign debt have negative influence. Based on the classic assumption test, all variables are free of multicollinearity, heteroscedasticity and normality.

Keywords: money supply, interest rates, minimum mandatory Giro, the


(66)

SKRIPSI

PENGARUH VARIABEL MONETER DAN UTANG LUAR NEGERI TERHADAP INFLASI DI INDONESIA

OLEH

MISNA DOHARNI HARAHAP 120501034

PROGRAM STUDI S-1 EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(1)

dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis mulai dari awal hingga selesainya skripsi ini.

4. Bapak Dr. Rujiman, SE, M.A selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk, saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Rachmat Sumanjaya HSB, M.Si selaku Dosen Penguji II yang juga telah memberikan petunjuk,saran serta kritik dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Pengajar dan Staff Fakultas Ekonomi dan

BisnisUniversitas Sumatera Utara, khususnya Departemen EkonomiPembangunan yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. 7. Terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman angkatan 2012

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan memberikan kritik dan sarannya selama pengerjaan skripsi ini.

8. Kepada seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,April 2016 Peneliti,

Misna Doharni Harahap NIM: 120501034


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jumlah Uang Beredar ... 7

2.2 Suku Bunga ... 12

2.3 Giro Wajib Minimum ... 13

2.4 Operasi Pasar Terbuka (IHSG) ... 13

2.5 Utang Luar Negeri... 14

2.6 Inflasi ... 19

2.7 Hubungan Jumlah Uang Beredar dan Inflasi ... 22

2.8 Hubungan Suku Bunga dan Inflasi ... 23

2.9 Hubungan Utang Luar Negeri dan Inflasi ... 24

2.10 Penelitian Terdahulu ... 25

2.11 Kerangka Konseptual ... 26

2.9 Hipotesis ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 27

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 27

3.3 Pengolahan Data ... 27


(3)

3.6 Uji Asumsi Klasik ... 29

3.6.1Multikolinearitas ... 30

3.6.2Heterokedastisitas ... 30

3.6.3Normalitas ... 31

3.7 Defenisi Operasional ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Indonesia ... 33

4.2 Perkembangan Suku Bunga di Indonesia ... 34

4.3 Perkembangan Giro Wajib Minimum di Indonesia ... 37

4.4 Operasi Pasar Terbuka (IHSG) ... 39

4.5 Perkembangan Utang Luar Negeri di Indonesia ... 35

4.6 Perkembangan Inflasi di Indonesia ... 45

4.7 Analisis Data ... 47

4.7.1Hasil Uji OLS ... 47

4.7.2 Hasil Ujit-Statistik ... 49

4.7.3Hasil Uji F ... 51

4.7.4Uji Asumsi Klasik ... 51

4.7.4.1Multikolinearitas ... 51

4.7.4.2Heterokedastisitas ... 53

4.7.4.3Normalitas ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 57

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(4)

DAFTAR TABEL

No. Gambar Judul Halaman

4.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Indonesia ... 34 4.2 Perkembangan Suku Bunga di Indonesia ... 36 4.3 Perkembangan Giro Wajib Minimum ... 40 4.4 Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan di Indonesia..41 4.5 Perkembangan Utang Luar Negeri ... 46 4.6 Perkembangan Inflasi di Indonesia ... 48


(5)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual... ... 26 4.1 Hasil Uji Normalitas... ... 56


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Tabel Judul Halaman

1 Data Penelitian... ... 58

2 Hasil Uji OLS... ... 59

3 Hasil Uji Multikolinearitas ... 59

4 Hasil Uji Multikolinearitas Dengan Log ... 60