Penggantian Presiden Atas Pelanggaran Hukum
5. Penggantian Presiden Atas Pelanggaran Hukum
Pertanggungjawaban hukum adalah pertanggungjawaban atas dakwaan terhadap perbuatan kejahatan pidana yang diatur dalam konstitusi. 32 Pertanggungjawaban atas dakwaan kriminal akan mempengaruhi Presiden dalam masa jabatannya. Karena itu, satu hal yang perlu memperoleh perhatian adalah pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden karena melakukan tindak pidana tertentu. Ada dua alternatif yang dapat digunakan, yaitu:
Pertama, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, apabila ternyata mengkhianati negara, melakukan tindak pidana (kejahatan), penyuapan dan melakukan perbuatan yang tercela, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Kedua, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila terbukti telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, penyuapan, korupsi, melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukum pidana penjara lima tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Ketentuan di atas seyogyanya dilengkapi dengan lembaga yang diberikan otoritas melakukan dakwaan (to impeach) dan lembaga yang diberikan kewenangan memeriksa dan memutus perkara dakwaan kriminal terhadap Presiden. Dengan ketentuan tentang “impeachment” ini maka akan semakin jelas tentang
32 Pasal 7A UUDN R.I. 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
44 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Pilpres Dalam Perspektif Koalisi multiparta
pembedaan mekanisme pemberhentian dalam masa jabatan melalui pertanggungjawaban politik dengan pertanggungjawaban hukum. Dengan dipertahankannya pertanggung jawaban politik di samping pertanggungjawaban hukum, menunjukkan adanya penggunaan sistem campuran antara Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer. Pertanggungjawaban politik yang dapat berakibat jatuhnya kabinet adalah tradisi dalam sistem parlementer, sedangkan jatuhnya Presiden karena dakwaan tindak pidana kejahatan merupakan karakteristik sistem Presidensial.
Penggantian Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal
6 (2) dan Pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan, 33 serta Ketetapan MPR No. VII Tahun 1987. Di dalam ketentuan Pasal 6 (2) UUD 1945 dinyatakan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak”. Pasal 8 UUD 1945 dinyatakan, jika Presiden mangkat berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Memilih dan mengganti adala h proses penentuan orang yang akan diberi kepercayaan mengemban suatu jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Hasil pemilihan itu memerlukan proses penetapan oleh MPR, yang tradisinya dilakukan dengan pengangkatan dilakukan oleh MPR, pemberhentiannya dilakukan secara konsisten dalam masa pemerintahan orde baru. Presiden Soeharto diangkat oleh MPR. Sedangkan B.J. Habibie adalah Presiden de facto yang belum pernah secara de yure diangkat, tetapi pernah diberhentikan secara
de yure oleh MPR. Hal ini adalah sebuah portrait yang tidak konsisten terhadap penggunaan sebuah ketetapan MPR untuk pengangkatan dan pemberhentian Presiden. Dalam setiap proses penetapan jabatan politik, menurut saya disamping diperlukan proses pemilihan, harus dilanjutkan dengan proses penetapan administrative oleh lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan pengangkatan. Penetapan jabatan Wakil Presiden oleh MPR masih tetap diperlukan, walaupun dalam pasal 8 UUD 1945 telah dinyatakan bahwa jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya. Pengangkatan Presiden oleh
33 Bandingkan Pasal 6A, 7A, dan Pasal 7B UUD 1945 Setelah Perubahan.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Wacana Hukum dan Konstitusi
MPR masih dapat dipertahankan, walaupun menggunakan sistem pemilihan Presiden secara langsung. MPR wajib mengangkat calon Presiden hasil pemilihan secara langsung. Hal ini berlaku pula pada pemberhentiannya, MPR memberhentikan Presiden atas dasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 34
Pengalaman ketatanegaraan membuktikan, Penggantian Presiden Soekarno oleh pengemban supersemar, dilakukan penuh dengan rekayasa perubahan konstitusi. Penggantian rekayasa konstitusional itu dilakukan secara sistematik, yang diawali dari terbitnya Ketetapan MPR No. IX/MPR/1966 tentang pengukuhan Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan ketetapan ini tidak ada lagi kekhawatiran tentang penarikan pelimpahan kuasa kepada Soeharto sebagai pemegang supersemar. Kemudian diterbitkan ketetapan MPR No. yang berisikan sikap MPR No. XV/MPR/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Di Dalam keteberhalangan, maka Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden. Pemanfaatan jabatan Presiden dilakukan dengan didampingi oleh Pimpinan MPRS dan pimpinan DPRS. Ketentuan pemanfaatan tentang pendampingan ini tidak jelas, apakah setiap mengambil harus konsultasi dengan Pimpinan MPRS dan Pimpinan DPRS atau harus meminta persetujuan kepada Pimpinan kedua lembaga negara ini.
Dua kali mengalami pergantian kekuasaan dengan sistem yang berbeda, jika Presiden Soekarno dicabut kekuasaannya dengan Ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967, Soeharto tidak diberhentikan dengan menggunakan instrument hukum. Pergantian kekuasaan yang tidak menggunakan hukum itu, didukung oleh suatu pendapat yang menyatakan pergantian kekuasaan saat itu bersifat declaratoir, sehingga tidak perlu penetapan pemberhentian oleh MPR. Pengalaman dua kali pergantian dengan menggunakan cara yang berbeda ini, harus memberikan dorongan diterbitkannya peraturan tentang pergantian kekuasaan yang lengkap agar tidak melahirkan interprestasi yang beranekaragam.
Hasil finalisasi kesepakatan tim perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR memberikan alternatif penambahan dalam hal
34 Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan. 46 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Pilpres Dalam Perspektif Koalisi multiparta
terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, sebagai berikut : “Jika Presiden dan Wakil Presiden berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, Pemegang Jabatan Sementara Kepresidenan (Presiden) adalah (Pimpinan MPR) (Ketua DPR dan Ketua DPD) (Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan)”. Rumusan pasal ini membuka penafsiran terhadap mekanisme pemberhentian Presiden, diberhentikan memberikan penafsiran bahwa pemberhentian Presiden tidak harus dilakukan dengan penetapan MPR. Ketentuan ini justru memberikan pembenaran pemberhentian Presiden secara declaratoir, sehingga tidak diperlukan penetapan administrasi oleh MPR.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan dua macam sistem pemerintahan. Pertama, sistem pemerintahan presidensil yang mempunyai ciri-ciri pokok, yaitu:
1. Di samping mempunyai kekuasaan sebagai Kepala Negara, Presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (yang blakangan ini lebih dominan).
2. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat.
3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif.
4. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan. Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas, diklasifikasikan
konstitusi sistem pemerintahan presidensil. Adapun klasifikasi konstitusi sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kabinet yang dipilih oleh Perdana Menteri dibentuk atau berdasrkan kekuatan-kekuatan yang menguasi perlemen.
2. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebagian adalah anggota parlemen.
3. Perdana Menteri bersama kabinet bertanggungjawab kepada parlemen.
4. Kepala Negara dengan saran atau nasihat Perdana Menteri dapat membubarkan Parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Wacana Hukum dan Konstitusi
Dari klasifikasi sistem pemerintahan di atas, UUD 1945 Perubahan termasuk konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 disamping mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil, juga mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan parlementer, yang tidak secara tegas bagian mana yang bercirikan presidensil dan bagian mana bercirikan parlementer. Di sinilah keunikan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.