Hukum dan Politik di Indonesia
2. Hukum dan Politik di Indonesia
Buku Dan Lev yang berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,” menggambarkan bagaimana hukum hanya dikuasai oleh banyak kepentingan para politikus tanpa memikirkan para pencari keadilan. Dan Lev juga menggambarkan bagaimana “merangkaknya” perkembangan sistem hukum Indonesia.
Membaca catatannya dalam buku tersebut dengan anak judul “Mahkamah Agung dan Hukum Waris” kita seperti dibukakan kedok kemampuan berhukum Indonesia. Dalam kebingungan Indonesia menata hubungan hukum adat dan hukum nasional yang semakin semberawut, Dan Lev memberikan contoh pandangan dua pakar di masa pemerintahan kolonial dalam memandang keberadaan hukum adat.
24 Opcit, Robertus Robert,…, hlm. 14
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Tentang sebuah Negeri yang bukan Negeriku
Menurut Dan Lev, Cornelis van Vollenhoven dan Barend ter Haar adalah dua ahli hukum yang sangat berkeyakinan untuk mempertahankan keberadaan hukum adat dari upaya menggantikannya dengan hukum nasional yang seragam dan bergaya Eropa. Van Vollenhoven dan ter Haar berkeyakinan bahwa orang Indonesia (masyarakat adat) telah memiliki tatanan norma mereka sendiri yang diyakini kebenarannya. Peradilan di masa kolonial Belanda memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum adat bahkan menugaskan hakim khusus menanganinya.
Hanya saja, menurut Dan Lev, perlakuan khusus terhadap hukum adat tersebut kemudian runtuh ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaan. Dan Lev berpendapat, hal itu disebabkan oleh unifikasi peradilan dan kurangnya hakim yang berpendidikan mumpuni.
Keberadaan hakim yang tidak memiliki kemampuan layak tersebut juga merupakan permasalahan yang banyak ditemukan Dan Lev di negara-negara baru Asia dan Afrika, terutama dalam upaya negara-negara berkembang tersebut memajukan kekuasaaan kehakimannya. Senada dengan Dan Lev, Mahfud MD mengurai benang kusut penegakan hukum tersebut (terutama di Indonesia) dalam bukunya, “Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi.” Menurut Mahfud terdapat kebingungan apparatus hukum saat ini yang menyebabkan kaburnya orientasi antara menegakkan hukum
atau menegakkan keadilan. 25 Pendapat Mahfud tersebut bermuara kepada pernyataan Dan Lev yang menyebutkan mengenai kapasitas kemampuan personal para hakim. Dalam kerangka lebih umum, kesimpulan tersebut juga layak diperuntukkan bagi seluruh penegak hukum. Lalu apakah carut marut penegakkan hukum di Indonesia disebabkan semata-mata oleh “minusnya” para penegak hukum?
Di atas itu semua menurut Dan Lev terdapat kekuasaan politik yang menentukan arah pelbagai penegakkan hukum. Menurut Sri Soemantri yang pernah mengibaratkan hubungan hukum dan politik di Indonesia layaknya sebuah lokomotif dan rel yang dilaluinya. Maka menurut Sri Soemantri penegakkan hukum (lokomotif)
25 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gema Media, 1999), hlm. 305.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Profil Tokoh
seringkali keluar dari jalurnya diakibatkan intervensi politik (rel). 26 Menurut Dan Lev, hal itu disebabkan terlalu kuatnya konsentrasi energi politik, akibatnya otonomi hukum di Indonesia selalu dijarah
oleh kepentingan politik. 27 Ia kemudian menggambarkan betapa powerfull-nya politik terhadap penegakkan keadilan dengan sindiran yang menarik dalam Bab 3 buku “Hukum dan Politik di Indonesia” pada catatan yang berjudul, “Perubahan Hukum Sipil: Dari Dewi Keadilan ke Pohon Beringin.” Dan Lev menuliskan kritiknya kepada penguasa politik Indonesia ketika itu sebagai berikut;
Pada tahun 1960 sang dewi dengan kain penutup mata dan neraca sebagai lambang keadilan di Indonesia diganti dengan pohon beringin yang distilir, dibubuhi perkataan yang berasal dari bahasa
Jawa Pengayoman 28 …pencopotan simbol formal hukum perdata Barat, seperti penggantian sang dewi dengan neracanya melambangkan perpisahan dengan masa silam hukum 29 …perubahan riil sistem hukum bekas jajahan itu sangat ditentukan oleh pembentukan cita-cita baru yang akan memaksa hukum menurutkan arah yang samasekali berbeda dengan cita-cita di masa penjajahan. Sedikit banyak perubahan ini mulai berlangsung pada saat kedaulatan diakui, karena kaum elite politik yang baru menafsirkan hukum yang lama berdasarkan tujuan-tujuan yang berbeda. 30
Para politikus Indonesia sendiri oleh Dan Lev dianggap tidak memiliki visi hukum, mau dibawa kemana penegakkan hukum, sistem hukum seperti apa yang digunakan. Terlihat upaya para politikus (rezim yang berkuasa) pada masa awal berdiri negara hanya “tergiur” dengan perubahan-perubahan lambang tanpa lebih sungguh-sungguh merubah substansi penegakkan hukum (keadilan). Unifikasi hukum yang dicita-citakan pun hanya sekedar prosedural namun miskin makna hakiki. Pencantuman kata pengayoman yang sangat jawanisasi itu tidak hanya di tubuh lembaga peradilan, tetapi juga merambah ke pelbagai bidang. Tak aneh ketika itu jika pelbagai etnis yang ingin langkah politik, bisnis, dan sosialnya tidak terhambat menggunakan namanya dengan “gaya” Jawa.
26 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 13 27 Ibid. 28 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
(Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 77. 29 Ibid, hlm. 93.
30 Ibid, hlm. 107.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Tentang sebuah Negeri yang bukan Negeriku
Dan Lev bukan tidak setuju dengan perubahan hukum nasional Indonesia yang memiliki karakter sendiri tetapi yang menjadi permasalahan adalah simpang-siurnya pondasi politik. Upaya tersebut (perombakan hukum), menurut Dan Lev, diperuwet oleh ketidakpastian yang tak terbilan, oleh keharusan untuk menampung faktor-faktor ideologis, dan oleh keharusan melakukan penyesuaian karena ketidakmampuan badan peradilan yang, tidak bisa tidak, memang mengalami kemunduran sebagai akibat tekanan dan ketidakmantapan politik. 31
Carut marut hukum di Indonesia sebagaimana digambarkan Dan Lev pada awal kemerdekaan dan pada masa rezim pemerintahan Orde Baru sesungguhnya tidak beranjak kepada suasana yang lebih baik jika dibandingkan kondisi kekinian. Faktor politik masih terlalu dominan memengaruhi penegakkan hukum. Selama politik dan politikus tidak berubah menjadi lebih baik dan bijaksana, maka penegakkan hukum (dan keadilan) hanya akan sampai kepada cerita-cerita eutopis belaka. Semu namun terus didengung- dengunkan.