Pertanggungjawaban Presiden
4. Pertanggungjawaban Presiden
Di dalam sistem pemerintah presidensial pemerintah relatif dijamin stabil, karena dalam masa jabatannya (fixed term), Presiden tidak dapat diminta pertanggungjawaban politik. Sistem pemerintah di Indonesia mengenal pertanggungjawaban politik,
yang berakhir pada pemberhentian Presiden oleh MPR. 30 Abdul Latif mengemukakan, dalam proses peradilan pemberhentian Presiden, bukanlah pertanggungjawaban pidana yang menjadi fokus perhatian, akan tetapi adalah pertanggungjawaban politik atas pelanggaran konstitusi. Proses pemberhentian Presiden adalah menentukan ada
29 Bagir Manan, Jabatan Kepresidenan Republik Indonesia., dalam Opcit, Buku 70 Tahun Prof. Dr. Harun AlRasyid., hlm. 179. Bagir menyatakan bahwa pemilihan Presiden
secara langsung (people direct vote), pemilihan langsung ini akan membawa perubahan sistem pertanggungjawaban. Presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR. Agar Presiden tetap diawasi dan ditindak apabila melakukan pelanggaran hukum harus diciptakan pranata pemakzulan (impeachment).
30 Abdul Latif., Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Total Media, 2007), hlm. 234-235.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Wacana Hukum dan Konstitusi
tidaknya kesalahan politik atau pertanggungjawaban politik yang dapat dibebankan kepada Presiden sehingga layak diberhentikan berdasarkan suara mayoritas kekuatan politik. Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 pembuktian ada tidaknya perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden dimulai dari proses di DPR dengan mengumpulkan fakta-fakta hukum yang membuktikan dan memperkuat alasan pengajuan usulan pemberhentian Presiden.
Presiden wajib memberikan keterangan terhadap kebijakan yang diambil atas permintaan DPR. Wakil Presiden sebagai Kepala Negara tidak dapat diminta pertanggungjawaban politik, karena tidak mengeluarkan keputusan yang bersifat kebijakan. Kepala Pemerintah saja yang dalam menjalankan kekuasaan dapat mengeluarkan keputusan yang bersifat kebijakan. Pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban. Dalam sistem parlementer pertanggungjawaban disampaikan kepada parlemen. Pertanggung jawaban kepada parlemen itu, sebagai konsekuensi dari ikut sertanya parlemen menentukan kabinet. Karakteristik sistem parlementer antara lain ditandai oleh stabilitas pemerintah yang memerlukan dukungan DPR. Di era Pemerintah sekarang ini, Presiden diwajibkan memberikan pertanggungjawaban setiap tahunnya kepada MPR. Pertanggungjawaban politik itu berisikan perkembangan yang dicapai dan kegagalan yang dialami terutama yang berkaitan dengan kebijakan Presiden. Kunjungan Presiden ke Iran dan beberapa negara lainnya yang bermaksud menjalin hubungan perdagangan dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada Presiden. Hasil evaluasi terhadap kebijakan terdapat mempengaruhi posisi Presiden pada akhir atau dalam masa jabatannya.
Mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978. Ketetapan ini mengharuskan adanya pelanggaran terhadap UUD dan APBN (dahulu Garis Besar Haluan Negara). Permintaan keterangan kepada Presiden mengenai kebijakan yang diambil dalam masa jabatannya, dapat berkembang sebagai bentuk penyimpangan terhadap APBN. Oleh karena itu hasil evaluasi dapat berkembang menjadi pendapat DPR yang berisikan memorandum DPR untuk disampaikan kepada Presiden. Presiden diberi kesempatan dalam
3 bulan dalam memorandum pertama. Memorandum kedua dapat 42 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Pilpres Dalam Perspektif Koalisi multiparta
disampaikan dalam waktu 1 bulan dalam hal Presiden tidak memperhatikan memorandum pertama. DPR dapat meminta Majelis menyelenggarakan Sidang istimewa jika Presiden masih belum memperhatikan memorandum kedua. Pertanggungjawaban juga wajib disampaikan oleh Presiden kepada MPR pada akhir masa jabatannya. Pemberhentian yang berawal dari pertanggungjawaban
adalah pertanggungjawaban politik. 31 Penggunaan sistem pertanggungjawaban politik ini masih dapat dipertahankan agar DPR tidak kehilangan fungsi pengawasan dalam sistem pemilihan Presiden secara langsung.
Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan atas alasan pertanggung-jawaban politik, karena Wakil Presiden tidak menjalankan kekuasaan pemerintah. Wakil Presiden tidak mempunyai kewenangan menetapkan kebijakan. Dalam hal Presiden berhalangan, dan Wakil Presiden menjadi tanggungjawab Presiden. Demikian pula dalam hal ada pemberian sebagian tugas pemerintahan oleh Presiden, Wakil Presiden tidak wajib memberikan pertanggungjawaban politik. Hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden dalam hal ini adalah hubungan pemberian kuasa, sehingga Wakil Presiden tidak memikul tanggungjawab eksternal. Dalam pemberian kuasa (Mandaatsverlening) penerima kuasa
31 Bandingkan Jimly Assiddiqie, Semua proses pemberhentian Presiden berdasarkan ketentuan UUD 1945 harus dilakukan melalui persidangan MPR dengan 4
kemungkinan, yaitu: (a) mengadili Presiden atas dasar tuduhan pelanggaran sumpah atau janji jabatan Presiden, termasuk apabila Presiden melakukan tindak pidana kejahatan tertentu ataupun pelanggaran terhadap peraturan perundang- ud angan yang berlaku sebagaimana dinyatakan dalam bunyi sumpah atau janji Presiden (pelanggaran hukum pidana); (b) mengadili Presiden atas dasar tuduhan pelanggaran haluan negara (hukum tata negara); (c) menyidangkan status Presiden atas dasar penilaian politik bahwa Presiden tidak dapat dan tidak mampu lagi menjalankan kewajiban sebagai Presiden, ataupun karena sebab-sebab lain, misalnya karena berhalangan tetap; dan (d) memberhentikan Presiden dengan cara menolak laporannya dengan ”mosi tidak percaya” atas dasar pemungutan suara mayoritas. Lebih lanjut Jimly, mengemukakan bahwa yang pertama dan yang kedua dapat disebut sebagai ’pemakzulan’ yang hanya dapat dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR yang diselenggarakan khusus untuk itu. Yang ketiga dapat disebut sebagai ’penggantian’. Sedangkan yang keempat dapat disebut sebagai ’pemberhentian biasa’ . Kedua yang terakhir tidak bersifat peradilan dan dapat dilakukan melalui persidangan MPR, meskipun tidak dimaksudkan secara khusus untuk itu. Namun, sekali lagi semua ini tergantung bagaimana tata tertib persidangan MPR mengatur hal itu secara rinci, sehingga semua mekanisme yang diuraikan di atas dapat diadopsi menjadi materi prosedural yang dituangkan dalam TAP MPR. Op. Cit. hal. 137.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Wacana Hukum dan Konstitusi
hanya bertanggungjawab secara internal kepada pemberi kuasa. Wakil Presiden memang seharusnya hanya berfungsi sebagai Wakil Kepala Negara. Namun fungsi sebagai Wakil Kepala Negara, berubah menjadi Kepala Pemerintah dalam hal terjadi Presiden berhalangan tetap. Wakil Presiden menggantikan jabatan Presiden sampai habis waktunya. Di samping pertanggungjawaban politik Presiden harus dapat diberhentikan karena melakukan perbuatan yang dapat diancam pidana kejahatan.