Pemilu dan Demokrasi Prosedural

1. Pemilu dan Demokrasi Prosedural

Titik berat demokrasi adalah partisipasi sebesar-besarnya rakyat dalam berjalannya kekuasaan negara. Maka tepatlah jika memaknai demokrasi secara sederhana sebagai kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Bahwa kekuasaan atau kedaulatan sesungguhnya berasal dari rakyat, begitu juga dengan pelaksanaanya, rakyatlah yang akan menjalankan kedaulatan itu untuk mencapai kesejahteraan dan memenuhi harapan atas kesejahteraan rakyat sebesar mungkin.

Konteks ke-Indonesiaan, rakyat secara sadar maupun tidak telah menjalankan gagasan demokrasi. Melalui pemilu, rakyat Indonesia mendedikasikan diri untuk membangun negara demokrasi dengan mendesain sebesar-besarnya peran rakyat dalam menjalankan kekuasaan Negara. Pemilihan umum adalah mekanisme yang dipilih untuk mewujudkannya. Tahun 2009, dapat dikatakan sebagai tahun penentu demokrasi, karena di tahun ini kekuasaan negara dirotasi melalui pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2009 – 2014. Pesta demokrasi itu akan terus berjalan sepanjang tahun, tidak berhenti di tahun ini, karena untuk 2010 nanti tidak kurang dari 245 daerah merayakan pesta yang sama dalam pemilihan kepala daerah, yaitu 7 daerah pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta 238 pemilihan bupati dan wakil bupati/ walikota dan wakil

walikota. 1 Namun benarkah yang sedang bangsa ini lakukan benar- benar menuju negara demokrasi? Aristoteles dalam gagasan demokrasi klasik, menguraikan bahwa suatu negara dikatakan sebagai negara demokrasi, memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 2

1. Pemilihan atas suatu jabatan oleh semua dari semua;

1 Nur Hidayat Sardini, “Empowering Lembaga Pengawas Pemilu Pasca Putusan MK”, Badan Pengawas Pemilu, 25 Agustus 2009.

2 Aristoteles, The Politics, hal 195-195 dalam David Held, Models of Democracy, Edisi Bahasa Indonesia, penerjemah : Abdul Haris, (Jakarta : The Akbar Tandjung

Institute, 2006), hlm. 9-10.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009

2. Semua memerintah tiap orang dan tiap orang memerintah semua secara bergiliran;

3. Jabatan yang diisi oleh orang banyak, baik semuanya atau pokoknya mereka yang tidak membutuhkan pengalaman atau keterampilan;

4. Tidak ada suatu masa jabatan yang tergantung pada kualifikasi kepemilikan atau properti, atau hanya pada yang paling rendah yang mungkin;

5. Orang yang sama tidak boleh memegang jabatan yang sama dua kali atau boleh tapi jarang atau hanya sedikit jabatan selain yang berhubungan dengan peperangan;

6. Jangka waktu yang pendek untuk semua jabatan atau sebanyak mungkin jabatan;

7. Semua akan bertindak sebagai juri di pengadilan, yang dipilih dari semua dan yang dipilih dari semua dan menghakimi semua atau sebagian besar masalah, yaitu yang tertinggi dan paling penting, semisal masalah yang mempengaruhi konstitusi, pengawasan dan kontrak antar individu;

8. Majelis sebagai otoritas tertinggi dalam segala hal atau setidaknya dalam masalah-masalah yang paling penting, sedangkan para pejabat tidak memiliki kekuasaan lebih tinggi dari siapapun atau kalaupun punya maka sangat sedikit;

9. Pembayaran atas pelayanan, dalam majelis, dalam ruang pengadilan dan di kantor-kantor, dikenakan biaya yang sama untuk semua;

10. Karena kelahiran, kekayaan dan pendidikan adalah tanda-tanda menentukan dalam oligarkhi, jadi kebalikannya, yaitu kelahiran yang hina, kemiskinan dan pendidikan yang rendah dianggap umum dalam demokrasi;

11. Tidak ada pejabat yang memiliki masa jabatan tanpa batas dan bila jabatan itu lowong sebelum waktunya, maka orang banyak memilih penggantinya dari sekian banyak kandidat.

Kriteria di atas merupakan karakterisitik umum dari demokrasi yang dikenalkan Aristoteles. Demokrasi memberikan porsi kekuasaan rakyat lebih besar dalam menjalankan kekuasaan Negara. Lebih lanjut, Aristoteles memberikan petunjuk dalam menjalankan kekuasaan yang lahir dari proses yang demokratis, agar terhindar dari tirani kekuasaan. Bahwa kekuasaan yang dilahirkan dari

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009

Wacana Hukum dan Konstitusi

pelaksanaan demokrasi harus dijalankan secara bergantian dan kunci pokok adalah adanya mekanisme rotasi kekuasaan. Diharamkan berlakunya monopoli kekuasaan hingga waktu yang cukup lama. Karena gagasan keadilan demokrasi adalah kesetaraan numerik,

bukan berdasarkan jasa. 3 Gagasan ini menghendaki adanya rotasi pemegang kekuasaan secara berkala berdasarkan masa tugas tertentu. Rakyat terpilih untuk menduduki jabatan politik, akan digantikan dengan penguasa baru dalam jangka waktu yang disepakati.

Rotasi kekuasaan mutlak terjadi dan menjadi prasarat berjalannya Negara demokrasi. Namun rotasi kekuasaan harus dijalankan dengan mekanisme yang demokratis dan bukan sekedar prosedur demokrasi semata. Mekanisme yang digunakan merupakan pilihan, akan tetapi kebanyakan Negara demokrasi menggunakan pemilu sebagai prasarat tegaknya demokrasi.

Pemilihan umum banyak digunakan karena mekanisme ini memberikan peran besar bagi rakyat untuk menentukan pilihan politiknya sendiri. Rakyat dapat menentukan keterpilihan wakil rakyat yang akan menduduki jabatan politik tertentu. Pemilu memberikan peluang bagi rakyat untuk mengekspresikan kehendak dan kuasannya. Dengan demikian, jabatan politik hasil pemilu merupakan representasi dari kekuasaan rakyat yang telah dimandatkan. Mekanisme demikianlah yang dikenal sebagai demokrasi prosedural, yaitu persaingan partai politik dan atau para calon pemimpin politik meyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan (legislative dan eksekutif) baik pusat maupun daerah. 4

Merujuk pada pengertian di atas, maka pemilu merupakan bentuk demokrasi yang paling sederhana. Karena pemilu dimaknai sebagai prosedur untuk mencapai demokrasi. Pemilu merupakan prosedur untuk memindahkan kedaulatan yang rakyat miliki kepada kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Konsep ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan J.J Rousseau, bahwa dalam kehidupan bernegara diperlukan “badan politik” yang merupakan kesediaan sukarela individu warga masyarakat untuk

3 Ibid hal 9. 4 Ramlan Surbakti, dkk, Perekayaasaan System Pemilihan Umum, Untuk Pembangunan

Tatanan Politk Demokratis, (Jakarta : Kemitraan, 2008), hlm. 9.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009

menyatukan diri ke dalam suatu Negara-bangsa. 5 Memang konsep yang dikenalkan Rousseau tidak secara eksplisit menyebutkan mekanisme yang disebut dengan pemilu, namun konsep pemilu yang dikenal sekarang merupakan perwujudan atas apa yang dimaksud dengan penyaturan diri individu warga masyarakat untuk memilih badan atau jabatan politik.

Proses pemilihan jabatan politik menggunakan mekanisme pemilihan umum merupakan prasarat awal mewujudkan negara demokratis. Namun tidak serta merta pemilu identik dengan demokrasi. Menurut Aristoteles, prinsip yang harus dipenuhi dalam demokrasi adalah adanya kebebasan dan kesetaraan dalam

menjalankan hak untuk dipilih dan memilih. 6 Hak dipilih dijalankan sesuai dengan kehendaknya, tanpa ada tekanan dan pembatasan yang menghambat dalam mengekspresikan diri mengambil simpati rakyat. Penyampaian visi, misi dan program merupakan pilihan bebas sehingga rakyat pemilih dapat mengakses informasi itu dengan leluasa. Kebebasan itu harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. Bahwa kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal dan dikenal rakyat yang akan memilihnya.

Prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk dipilih, tidak boleh melanggar prinsip yang sama bagi rakyat untuk memilih. Rakyat harus memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Partai politik dan kandidat harus memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih dan menilai siapapun tanpa dihalang-halangi. Banyak cara yang dilakukan, baik secara langsung dan terang-terangan maupun tidak. Intimidasi dan tekanan untuk memilih atau tidak calon tertentu merupakan cara langsung yang terkategorikan sebagai tindakan menghalang-halangi. Namun lebih berbahaya jika tindakan itu dilakukan melalui monopoli dan memanipulasi informasi atau dengan bujuk rayu untuk tidak memilih kandidat tertentu.

Mempertegas prinsip kebebasan dan kesetaraan, terdapat standar internasional untuk menguji apakah pelaksanaan pemilu berjalan secara demokratis atau tidak. Setidaknya terdapat 15 point, kriteria pemilu demokratis. Standar internasional ini merupakan syarat minimum bagi kerangka hukum yang harus terpenuhi untuk menjamin pemilu demokratis. Standar ini bersumber pada

5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : Grasindo, 2007), hlm. 28. 6 David Held, Loc. Cit, hal 10.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009

Wacana Hukum dan Konstitusi

berbagai deklarasi dan konvensi internasional maupun regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik 1960, konvensi eropa 1950 untuk perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi serta Piagam Afrika 1981 tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat. Berdasarkan dokumen itu, dirumuskan 15 aspek pemilu

demokratis 7 , yaitu :

1. Penyusunan kerangka hukum pemilu;

2. Pemilihan sistem pemilu;

3. Penetapan daerah pemilihan;

4. Hak untuk memilih dan dipilih;

5. Badan penyelenggara pemilu;

6. Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih;

7. Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat;

8. Kampanye pemilu yang demokratis;

9. Akses media dan kebebasan berekspresi;

10. Pembiayaan dan pengeluaran;

11. Pemungutan suara;

12. Penghitungan dan rekapitulasi suara;

13. Peranan wakil partai dan kandidat;

14. Pemantau pemilu;

15. Kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu.

Mengurai 15 point standar Internasional pemilu sebagai alat ukur pemilu demokratis adalah penting. Namun dalam pembahasan ini, akan dibatasi pada pembahasan tentang point ke-15, yaitu kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu. Point ini penting untuk menjaga kepatuhan terhadap aturan main penyelenggaraan pemilu. Kepatuhan terhadap hukum akan menjamin berjalannya aturan main pemilu sehingga dapat diminimalisir pelanggaran yang dapat merusak demokratisasi penyelenggaraan pemilu.

Kerangka hukum pemilu harus mengatur ketentuan yang terperinci, tegas, jelas dan tidak bermakna ambigu serta memadai untuk melindungi hak pilih masyarakat. Kerangka hukum demikian harus mampu memastikan bahwa peserta pemilu dan masyarakat

7 Internasional IDEA, Standar-Standar Internasional Pemilihan Umum, dalam Topo Santoso, dkk, Penegakan Hukum Pemilu, Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009- 2014, (Jakarta : Perludem, 2006), hlm. 11-18.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009

berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu, atau lembaga peradilan yang berwenang dalam hal terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, ketentuan hukum pemilu harus memberikan kewenangan dan kewajiban untuk menindaklanjuti pelanggaran dan sengketa dalam hal terjadi penghilangan hak pilih masyarakat.