Problem Penegakan Hukum Pemilu
2. Problem Penegakan Hukum Pemilu
a. Pidana pemilu Regulasi
Membaca ketentuan hukum tentang penanganan pelanggaran pidana pemilu dalam UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, membuat pesimis akan efektifitasnya. Memang UU 10/2008 telah membuka keran kriminalisasi terhadap perbuatan dalam setiap tahapan pemilu. Terjadi perkembangan yang luar biasa dalam pengaturannya. Undang-undang ini mengatur 52 pasal dan jika dipecah berdasarkan perbuatannya menjadi 64 jenis pelanggaran pidana pemilu. Jika dibandingkan dengan pengaturan dalam UU 13/2003, terjadi peningkatan jumlah pasalnya, yaitu 21 pasal dari sebelum nya yang hanya 31 pasal. 15
Namun sayang, pengaturan pelanggaran yang begitu detail berbanding terbalik dengan waktu yang tersedia dalam
14 Topo Santoso, Sistem Penegakan Hukum Pemilu, dalam Jurnal Pantarei, Penegakan Hukum Pemilu, (Jakarta : KRHN , volume 1 nomor 2, Nopember 2009), hlm,
16. 15 Veri junaidi “Pidana Pemilu Rawan Dipecundangi, Opini suara karya, 14
Nopember 2008.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Wacana Hukum dan Konstitusi
penegakannya. Waktu efektif untuk menyelesaikan pelanggaran pidana pemilu dari pelaporan hingga eksekusi hanya 53 hari. Bandingkan dengan pengaturan UU 13/2003 yang memberikan waktu relatif lebih panjang hingga 156 hari. Beberapa kelemahan regulasi diantaranya : 16 • Waktu terjadinya pelanggaran
Laporan pelanggaran harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Permasalahan muncul dalam penentuan waktu terjadinya perkara (tempus delicti) yaitu sejak pelanggaran dilakukan atau setelah menimbulkan akibat hukum? Kepastian akan definisi ini juga sering menimbulkan masalah, misalnya terhadap nasib tindak pidana pemilu yang baru diketahui setelah lewat 3 hari, padahal secara substansi mempengaruhi proses pemilu.
• Kejelasan tentang “putusan pengadilan terhadap pelanggaran pidana pemilu yang dapat memengaruhi perolehan suara peserta pemilu harus diselesaikan paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional”.
• Pengertian “hari” Tidak ada definisi yang jelas mengenai pengertian “hari”, begitu juga dengan sikap penegak hukum yang saling bertentangan.
Akibatnya, pelanggaran yang masuk harus dimentahkan dengan alasan lewat waktu penanganan.
• Sanksi pembatalan calon atau calon terpilih hanya untuk perkara politik uang, yaitu menjanjikan atau memberikan uang dan tidak untuk tindak pidana lainnya.
Aparat Penegak Hukum
Regulasi yang memunculkan banyak celah hukum, justru menjadikan alasan logis bagi penegak hukum untuk tidak menangani perkara. Permasalahan itu semakin lengkap menyebabkan tidak efektifnya penegakan hukum pemilu. Permasalahan yang terkait pengawas pemilu dan penegak hukum antara lain : 17
• Kesiapan penegak hukum dalam mengantisipasi meningkatnya kategori tindak pidana pemilu.
16 Yulianto dan veri junaidi, Op. Cit. Hal 17-18. 17 Wirdyaningsih, Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu DPR, DPD dan DPRD 2009,
makalah disampaikan dalam diskusi publik KRHN, Rabu 6 Mei 2009.
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
• Pengawas pemilu tidak mampu membedakan antara pelanggaran administrasi dan pidana pemilu.
• Perbedaan pemahaman terhadap pelanggaran pidana pemilu dalam sentra penegakan hukum terpadu (sentra gakkumdu)
• Kepolisian tidak menerima laporan Bawaslu/ pengawas pemilu, dengan alasan stabilitas daerah/ nasional.
• Pengadilan tidak menindaklanjuti perkara karena tidak bisa menghadirkan terdakwa dan kemudian menjadi daluarsa
• Perbedaan penafsiran undang-undang oleh penyidik dan hakim terutama terkait definisi kampanye, pelaksanaan kampanye, money politic dan kampanye diluar jadwal.
• Pelanggaran yang dilakukan pejabat atau mantan pejabat cenderung tidak ditangani
b. Administrasi Pemilu
Sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, kuantitas pelanggaran administrasi pemilu selalu menduduki peringkat teratas dibanding dengan pelanggaran lainnya. Jumlah pelanggaran yang cukup signifikan itu justru tidak tertangani secara maksimal. beberapa catatan terkait itu antara lain :
• KPU kurang kooperatif. • Potensi ketegangan KPU/ KPUD dengan Bawaslu/ Panwaslu, yaitu banyak aturan yang mengarahkan pengawasan Bawaslu/ Panwaslu kepada KPU/ KPUD. • KPU sebagai pemberi sanksi. • Perbedaan persepsi antara pengawas pemilu dan KPU di daerah terkait pelanggaran administrasi. • KPU tidak menghiraukan rekomendasi pengawas pemilu, terutama pada tahap pemungutan dan penghitungan suara. • Administrasi yang tidak baik di KPU sehingga surat yang berisi tindak lanjut laporan pelanggaran dari pengawas pemilu tidak tertangani dengan baik.
c. Sengketa Administrasi Pemilu
UU tentang penyelenggara pemilu dan UU Pemilu tidak menegaskan tentang sifat Keputusan KPU, final dan mengikat.
Padahal Keputusan KPU berpotensi menjadi objek sengketa penyelenggara dengan peserta pemilu. Keadaan ini diperparah
Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 3, September 2009
Wacana Hukum dan Konstitusi
dengan tidak adanya pengaturan mekanisme penyelesaian. Sementara mekanisme yang biasa digunakan, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menuai perdebatan. Pasal 2 huruf g UU 9/2004 tentang PTUN menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun ketentuan itu secara eksplisit mengatur mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Akibatnya permasalahan sengketa administrasi pemilu tidak memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas.