Urgensi Lembaga Representasi Politik Alternatif
1. Urgensi Lembaga Representasi Politik Alternatif
Kebutuhan objektif untuk memiliki saluran perwakilan alternatif memiliki beberapa basis pijakan yang sekaligus menjadi fondasi kokoh bagi keberadaan Dewan Perwakilan Daerah. Perspektif historis, apa yang kita pikirkan sebagai saluran perwakilan alternatif bukan sesuatu yang baru, karena berakar pada pemikiran dari the founding fathers. Ketika memperdebatkan tentang bangun negara kita, the founding fathers telah menyadari kelemahan sistem representasi politik yang hanya berbasis partai politik. Untuk itu, gagasan yang dibangun adalah perimbangan antara representasi politik (partai politik) dengan representasi fungsional yang berunsurkan perwakilan daerah dan golongan-golongan yang tidak terwakili dalam perwakilan politik. Hal itu ditegaskan dalam UUD 1945 yang menyebutkan MPR terdiri dari DPR dan utusan daerah dan utusan golongan. Perspektif sosiologi-politis. Perkembangan perjalanan praktik demokrasi di Indonesia, telah muncul koreksi atas sistem perwakilan politik. Pada tahun 1998, muncul koreksi dari warga di daerah terhadap sistem perwakilan politik yang tidak memberi ruang bagi aspirasi daerah. Aspirasi itu menginginkan hadirnya kebijakan nasional yang juga mengakomodasi kepentingan daerah. Berpijak dari aspirasi itu dilakukan reformasi pada sistem perwakilan politik dengan munculnya institusi Dewan Perwakilan Daerah. Peningkatan peran "utusan daerah" dari sekedar utusan yang dipilih oleh DPRD Provinsi menjadi "perwakilan" yang dipilih secara langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing mempunyai tujuan untuk memperkuat penyaluran aspirasi daerah di pusat. Hal ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan ekonomi dan politik yang lebih adil dan egaliter antar pusat dan daerah (Valina Singka Subekti: 2008). Dengan demikian, amandemen UUD meletakan reformasi struktural terhadap lembaga perwakilan; dimana lembaga perwakilan dibagi menjadi dua kamar: DPR
yang mewakili kepentingan partai-partai dengan DPD yang mewakilia daerah yang diwakilinya. Perspektif konseptual-akademis. Kehadiran DPD sebagai lembaga representasi alternatif juga memiliki pijakan akademis. Dalam studi-studi tentang demokrasi, salah satu konsep utama yang digunakan adalah teori perwakilan atau juga terkait dengan konsep mandat perwakilan. Yang dimaksud dengan perwakilan (representation) adalah konsep dimana seseorang atau satu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Karena mempunyai kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama yang diwakilinya maka seorang wakil dipilih oleh yang diwakilinya dalam proses elektoral. Itu artinya karakteristik utama lembaga perwakilan adalah memiliki mandat elektoral; dimana pihak-pihak yang diwakili memberikan mandat pada yang mewakili melalui pemberian vote (suara) dalam pemilu. Konsekuensi selanjutnya dengan duduknya seseorang di lembaga perwakilan melalui pemilihan mengakibatkan timbulnya hubungan antara wakil dengan diwakilinya. Gilbert Abcarian dan George Massanat (1970), menyatakan bahwa ada beberapa tipe hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya: model trustee, model delegate, model politicos, dan model partisan. Sedangkan Hoogerwer (1985) menambahkan model kesatuan dan model penggolongan. Yang dimaksud dengan Hoogerwer sebagai model penggolongan adalah wakil menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi dari kelompok yang diwakilinya, balk dalam kategori territorial atau sosial-politik tertentu. Dengan demikian, soal siapa mewakili siapa menjadi perdebatan yang sangat penting dalam perumusan desain maupun praktik demokrasi perwakilan.Pertanyaan yang paling mendasar dalam perdebatan ini adalah apakah aspirasi rakyat bisa terepresentasikan dalam satu jenis perwakilan? Ataukah dibutuhkan berbagai bentuk saluran perwakilan? Beranjak dari perdebatan itu muncul tiga jenis perwakilan. Pertama, perwakilan politik (politica/representation). Dalam model ini, perwakilan berbasiskan keterwakilan individu (konstituen) dan para wakil bersumberkan pada partai politik. Kedua, perwakilan fungsional, yang merupakan bentuk perwakilan
dari kelompok atau asosiasi yang ada dalam masyarakat. Dan ketiga, dari kelompok atau asosiasi yang ada dalam masyarakat. Dan ketiga,
berbasis partai politik dianggap memiliki beberapa keterbatasan: Pertama,
tidak semua warga (citizen) berkehendak mengelompokan diri dan menyalurkan aspiranya dalam partai politik. Warga menginginkan saluran lain di Iuar partai politik. Kedua, keterbatasan sistem pemilu dalam perwakilan politik, baik distrik dan proporsional, hanya menekankan suara (vote) sebagai sesuatu yang penting untuk bisa dikonversi menjadi kursi. Dalam sistem plurality/majority, pemenang akan mengambil semua (the winner take ails). Sedangkan sistem proporsional, menekankan konversi suara ke kursi secara proporsional. Sehingga kedua sistem itu hanya menguntungkan mayoritas (peraih suara terbanyak) dan dalam sistem proporsional juga akan lebih menguntungkan daerah yang memiliki jumlah pemberi suara (voters) terbesar. Lebih-lebih dalam sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia berlangsung redesain sistem pemilu kearah "pemurnian" sistem proporsional. Pemurnian bertujuan meningkatkan derajat proporsionalitas yang ukurannya adalah one man, one vote, one values. Semakin sesuai antara proporsi perolehan suara pemilih dengan kursi maka semakin tinggi derajat proporsionalitasnya. Sebaliknya apabila muncul ketidaksesuian kursi di parlemen dengan suara pemilih maka akan meninggikan disporporsionalitas keterwakilan politik dari sistem ini. Kosekuensi dari pemurnian sistem proporsional ini adalah keterwakilan politik ditentukan oleh jumlah suara. Semakin besar jumlah pemberi suara (penduduk) maka semakin besar kursi dalam lembaga perwakilan politik. Kosekuensinya, tingkat keterwakilan yang penduduknya populasinya sedikit akan lebih kecil dibandingkan penduduk yang padat. Dalam konteks Indonesia hal ini memunculkan persoalan karena akan ditandai dengan tinggi tingkat keterwakilan Jawa yang padat jumlah penduduknya dibandingkan beberapa daerah di luar Jawa. Akibat berikutnya dari ketimpangan representasi ini adalah berpulang untuk memunculkan bias kebijakan. Ketiga, lembaga perwakilan politik yang bersandar pada partai politik seringkali menghadapi krisis kepercayaan (distrust). Turunnya tingkat kepercayaan pada lembaga perwakilan politik itu sebagai akibat dari tidak semua warga (citizen) berkehendak mengelompokan diri dan menyalurkan aspiranya dalam partai politik. Warga menginginkan saluran lain di Iuar partai politik. Kedua, keterbatasan sistem pemilu dalam perwakilan politik, baik distrik dan proporsional, hanya menekankan suara (vote) sebagai sesuatu yang penting untuk bisa dikonversi menjadi kursi. Dalam sistem plurality/majority, pemenang akan mengambil semua (the winner take ails). Sedangkan sistem proporsional, menekankan konversi suara ke kursi secara proporsional. Sehingga kedua sistem itu hanya menguntungkan mayoritas (peraih suara terbanyak) dan dalam sistem proporsional juga akan lebih menguntungkan daerah yang memiliki jumlah pemberi suara (voters) terbesar. Lebih-lebih dalam sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia berlangsung redesain sistem pemilu kearah "pemurnian" sistem proporsional. Pemurnian bertujuan meningkatkan derajat proporsionalitas yang ukurannya adalah one man, one vote, one values. Semakin sesuai antara proporsi perolehan suara pemilih dengan kursi maka semakin tinggi derajat proporsionalitasnya. Sebaliknya apabila muncul ketidaksesuian kursi di parlemen dengan suara pemilih maka akan meninggikan disporporsionalitas keterwakilan politik dari sistem ini. Kosekuensi dari pemurnian sistem proporsional ini adalah keterwakilan politik ditentukan oleh jumlah suara. Semakin besar jumlah pemberi suara (penduduk) maka semakin besar kursi dalam lembaga perwakilan politik. Kosekuensinya, tingkat keterwakilan yang penduduknya populasinya sedikit akan lebih kecil dibandingkan penduduk yang padat. Dalam konteks Indonesia hal ini memunculkan persoalan karena akan ditandai dengan tinggi tingkat keterwakilan Jawa yang padat jumlah penduduknya dibandingkan beberapa daerah di luar Jawa. Akibat berikutnya dari ketimpangan representasi ini adalah berpulang untuk memunculkan bias kebijakan. Ketiga, lembaga perwakilan politik yang bersandar pada partai politik seringkali menghadapi krisis kepercayaan (distrust). Turunnya tingkat kepercayaan pada lembaga perwakilan politik itu sebagai akibat dari
tersalurkan dalam proses pembuatan kebijakan nasional. Ketiga,
memperkuat check and balances diantara lembaga representasi, sehingga kehadiran DPD menjadi penyeimbang dari DPR. Dengan cara itu maka demokrasi perwakilan semakin bermutu (berkualitas). Dengan adanya dua majelis (two-chambers) akan menjamin mutu semua produk legislatif karena dapat diperiksa dua kali (double check), Perspektif komparatif. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan munculnya koreksi atas perwakilan politik yang berbasis partai dengan menyediakan saluran alternatif yang menyalurkan kepentingan kelompok- kelompok minoritas dalam proses pengambilan kebijakan nasional. Representasi politik alternatif itu dibangun untuk meningkatkan legitimasi dari sistem perwakilan politik secara keseluruhan. Dan dari beberapa studi menunjukkan sistem representasi alternative, baik bikameral maupun tri Kameral bukan hanya diterapkan di negara federal melainkan juga di negara kesatuan. Selain itu dari beberapa studi memperlihatkan bahwa dari
10 negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, terdapat delapan negara (80%) negara memilih sistem bikameral dan hanya dua negara yang memilih model unikameral. Dengan demikian, sistem representasi alternatif tidak selalu identik dengan bentuk negara atau sistem pemerintahan, melainkan kebutuhan objektif sebuah negara-bangsa untuk meningkatkan kualitas demokrasinya.