PERAN DPD DALAM NEGARA DEMOKRATIS-DESENTRALISTIK

I. PERAN DPD DALAM NEGARA DEMOKRATIS-DESENTRALISTIK

Setelah perubahan UUD 1945, sistem keparlemenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (“NKRI”) mengalami perubahan signifikan. Perubahan tersebut termuat di dalam ketentuan Bab VIIA, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945, yakni dengan dimunculkannya DPD sebagai lembaga negara yang berfungsi merepresentasikan kepentingan daerah dalam konstelasi kebijakan politik nasional berdampingan dengan representasi politik yang diwadahi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”). Dalam kedudukan itu, DPD menjadi perwujudan komitmen perubahan konstitusi untuk menegakkan prinsip checks and balances, terutama dalam fungsi legislasi.

Apabila ditinjau dari perubahan sistem ketatanegaraan NKRI setelah Apabila ditinjau dari perubahan sistem ketatanegaraan NKRI setelah

Dengan demikian, “pembacaan” keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan NKRI harus bersumber dari konsep demokrasi-desentralistik yang pada hakikatnya merupakan “roh” dari keseluruhan perubahan konstitusi.

Demokrasi menuntut adanya keterlibatan rakyat untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan politik nasional melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui Pemilihan Umum (“Pemilu”). Sementara desentralisasi tidak lain adalah memberikan tempat bagi daerah-daerah untuk mengembangkan diri guna menopang “bangunan” NKRI dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Lain daripada itu, demokrasi dan desentralisasi dapat diibaratkan merupakan “two sides of one coin” dalam sistem Pemerintahan modern guna mengimplementasikan prinsip kedaulatan rakyat. Daerah sebagai salah satu unsur terbentuknya negara, di samping adanya rakyat dan Pemerintahan yang berdaulat, maka sudah seharusnya daerah memiliki tempat dalam pengambilan keputusan politik di tingkat nasional.

Paham demokrasi-desentralistik ini pada hakikatnya merupakan perwujudan dari teori terbentuknya negara yakni adanya unsur Pemerintah yang berdaulat, rakyat, dan wilayah. Presiden sesungguhnya adalah ahli waris dari unsur Pemerintah yang berdaulat dalam terbentuknya suatu negara. Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan, DPR sendiri lahir dari hak-hak rakyat itu sendiri untuk mengatur dirinya guna melahirkan demos dan cratein. Sementara DPD berasal dari subjek atau unsur wilayah.

Oleh sebab itu, setiap kebijakan nasional harus merupakan hasil kesepakatan bersama (volonte generale) antara stakeholder kekuasaan politik di tingkat pusat, khususnya Pemerintah dan DPR (yang merupakan perwakilan politik Oleh sebab itu, setiap kebijakan nasional harus merupakan hasil kesepakatan bersama (volonte generale) antara stakeholder kekuasaan politik di tingkat pusat, khususnya Pemerintah dan DPR (yang merupakan perwakilan politik

Gambaran tersebut tampak dari cara meletakkan implementasi demokrasi- desentralistik dalam sistematika UUD 1945 setelah perubahan, yakni dengan menempatkan Bab tentang Pemerintahan Daerah (Bab VI) berurutan dengan Bab tentang DPR (Bab VII) dan Bab tentang DPD (Bab VIIA). Lain daripada itu, jika dilihat dari perjalanan proses perubahan UUD 1945, maka proses itu sengaja dilakukan berurutan, yakni Perubahan II tentang Pemerintahan Daerah dan DPR, serta Perubahan III tentang DPD. Kemudian berpijak dari Perubahan II dan III tersebut, dilakukanlah Perubahan IV yakni tentang MPR yang rumusan ketentuannya tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945, bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Setelah perubahan UUD 1945, DPD diberi kewenangan yang terbatas dalam bidang legislasi, anggaran, serta pengawasan. Dalam bidang legislasi, DPD hanya berwenang untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah [Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2)].

Pemberian wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) menunjukkan bahwa core competence DPD erat kaitannya dengan daerah. Hal ini berarti para pembentuk perubahan UUD 1945 benar-benar menghendaki agar kepentingan daerah harus menjadi referensi dalam setiap pengambilan kebijakan nasional. Para pembentuk perubahan menghendaki DPD tidak hanya sekedar “simbol” kepentingan daerah, melainkan harus berperan secara nyata dalam melaksanakan konsep demokrasi-desentralistik dengan cara menjalankan kewenangan konstitusional yang telah digariskan. Konsep berpikir para pembentuk perubahan UUD 1945 ini juga menggambarkan adanya paradigma checks and balances kepentingan pusat dan daerah dalam kebijakan Pemberian wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) menunjukkan bahwa core competence DPD erat kaitannya dengan daerah. Hal ini berarti para pembentuk perubahan UUD 1945 benar-benar menghendaki agar kepentingan daerah harus menjadi referensi dalam setiap pengambilan kebijakan nasional. Para pembentuk perubahan menghendaki DPD tidak hanya sekedar “simbol” kepentingan daerah, melainkan harus berperan secara nyata dalam melaksanakan konsep demokrasi-desentralistik dengan cara menjalankan kewenangan konstitusional yang telah digariskan. Konsep berpikir para pembentuk perubahan UUD 1945 ini juga menggambarkan adanya paradigma checks and balances kepentingan pusat dan daerah dalam kebijakan

UUD 1945 tersebut tidak serta merta menjadi dasar pertimbangan para pembentuk undang-undang yang terkait dengan mekanisme legislasi. Ketentuan Pasal UUD 1945 tersebut telah ditafsirkan berbeda oleh para pembentuk UU MD3 dan UU P3, berbeda dengan semangat awal para pembentuk perubahan UUD 1945 ketika memunculkan DPD. Tafsir berbeda itu menyangkut 3 (tiga) hal penting, yakni pertama, perencanaan yang dilakukan melalui proses penyusunan Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”). Kedua; proses perumusan Undang- Undang (melalui pengajuan RUU baik yang berasal dari Pemerintah, DPR maupun DPD), dan ketiga, proses pembahasan RUU (melalui mekanisme pembicaraan dua tingkat).

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22