B. Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.H.

4. B. Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.H.

 Keterangan Ahli berjudul Mengembalikan Semangat Check and Balance Lembaga Legislasi Menuju Konsolidasi Sistem Ketatanegaraan Demokrasi Desentralistik

 Dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945, ada sebuah semangat yang luar biasa yang disampaikan oleh para Perancang Undang- Undang Dasar 1945 khususnya amandemen. Pada waktu itu tuntutan untuk membongkar otoritarian, sentralistik, dan oligarkis menuju kepada demokrasi yang disentralistik. Dalam konstruksi yang demikian itulah, maka kemunculan DPD sebagai lembaga negara merupakan bersama-sama dengan konsep desentralisasi, otonomi luas, dimana daerah dalam Pasal

18 itu diberi kewenangan yang sangat luas. Oleh sebab itulah, maka harus ada perekat di dalam konteks sistem ketatanegaraan kita khususnya dalam kerangka pengambilan kebijakan politik di tingkat nasional yang harus juga memperhitungkan mengambil referensi dari daerah, kepentingan- kepentingan daerah. Dalam konstruksi yang demikian itulah, maka Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) kemudian dilakukan “penafsiran” oleh para pembentuk Undang-Undang, yang dalam hal ini jelas merupakan kewenangan dari DPR dan Presiden.

 Dalam konteks penerapannya yang merupakan bentuk penafsiran, ada beberapa hal yang harus diluruskan kembali. Di dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR. Kemudian ayat (2)-nya, “DPD ikut membahas RUU.” Kemudian di dalam Undang-Undang MD3, Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang P3, justru mengalami perubahan frasa. Perubahan frasanya itu tidak lain adalah usul RUU DPD, sementara di dalam Undang-Undang Dasar 1945 semuanya mengatakan mengajukan rancangan undang-undang. Kemudian di Pasal 147 ayat (1) Undang-Undang MD3, pertama kali dinyatakan pimpinan DPR menerima rancangan undang-undang dari DPD, tapi begitu masuk di dalam ayat kedua ditegaskan bahwa usul rancangan itu kemudian diberitahukan. Jadi perlahan dan pasti telah terjadi pengelabuan sistemik fungsi legislasi DPD, pertama kali disebut RUU, kemudian selanjutnya disebut usul RUU.

 Dalam proses pembentukan undang-undang, memang ada 3 mekanisme, 3 tahapan, tahapan perencanaan penyusunan, tahapan penyusunan Rancangan Undang-Undang, dan pembahasan sampai mekanisme pengambilan keputusan. Dalam konstruksi 3 hal itulah, ada 3 lembaga yang membuat kewenangan legislasi. Pertama, adalah Presiden; kedua, adalah DPR (aspek sistematika Undang-Undang Dasar 1945); ketiga, adalah DPD.

 Presiden dan DPD-RI hanya memiliki hak yang satunya dan satunya memiliki dapat, sementara kewenangan kekuasaan itu ada pada DPR. Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Negara Republik Indonesia tertentu, maka DPD diberi kesempatan untuk dapat mengajukan dan ikut membahas.

 Di dalam Prolegnas, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang P3 dinyatakan, “Penyusunan program legislasi dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.” Kemudian ada dua ketentuan di dalam Undang-Undang MD3 dan P3 yang tidak taat mempergunakan frasa. Pasal 224 ayat (1) huruf i Undang-Undang MD3 dinyatakan, “DPD mempunyai tugas dan wewenang ikut serta dalam penyusunan Prolegnas Undang-Undang tertentu.” Artinya, DPD dalam hal Undang-Undang tertentu seperti yang diamanatkan oleh Pasal 22D itu, berarti dia ikut aktif dalam seluruh proses.

 Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang P3 menyatakan, “Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat”. Kata pertimbangan jelas merupakan hal yang tidak mengikat. Itu yang pertama. Yang kedua, mempersatukan fraksi komisi anggota DPR dan DPD, sementara DPD itu adalah lembaga negara masih mempergunakan paradigma cara berpikir lama bahwa DPD itu dianggap fraksi utusan daerah di MPR, sementara aturannya sudah baru.

 Di dalam konteks pengajuan Rancangan Undang-Undang ada mekanisme check and balances. Presiden itu Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengemukakan berhak mengajukan RUU. Arti kata hak, makna hak sudah disampaikan oleh keterangan Ahli yang terdahulu. Kemudian anggota DPR berhak mengajukan usul RUU. Selanjutnya DPD dapat mengajukan RUU tertentu.

Pertanyaannya adalah mengapa konstruksinya untuk Presiden dan DPD, itu yang diajukan RUU, sementara untuk anggota DPR yang diajukan usul RUU? Mengapa usul RUU yang diajukan oleh anggota DPR justru dimasukkan di dalam konstitusi, padahal itu merupakan bagian dari lembaga negara. Pertanyaan yang kedua ini jawabannya adalah karena memang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah pada DPR. Oleh sebab itu, apa yang terjadi di dalam konteks DPR diberi jaminan konstitusi, tapi hanya sekadar usul. Namun di dalam konteks Presiden dan DPD, yang diajukan adalah RUU karena ini adalah kerja kelembagaan. Artinya usul RUU sudah dibahas, sudah diajukan oleh unsur-unsur yang ada di eksekutif, kementerian, kemudian melakukan harmonisasi, hasilnya adalah RUU. Di DPD pun juga demikian, usul RUU bisa diajukan oleh komite atau alat kelengkapan, kemudian diharmonisasi oleh panitia perancang Undang- Undang, kemudian diputuskan di dalam Rapat Paripurna DPD menjadi Rancangan Undang-Undang. Ini pola pengajuan RUU dalam konteks mekanisme check and balances.

 Kemudian “penafsiran” terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 22D. Oleh sebab itu, DPR dan Presiden yang nanti akan melakukan lebih lanjut dengan pola-pola penerapannya yang dituangkan, ditafsirkan, kemudian masuk ke dalam norma sebuah Rancangan Undang-Undang. Ayat (1) Pasal 147, “Pimpinan DPR setelah menerima Rancangan Undang- Undang dari DPD memberitahukan adanya usul Rancangan Undang- Undang”. Kembali lagi ada perubahan frasa rancangan undang-undang dari DPD menjadi usul Rancangan Undang-Undang tersebut kepada anggota DPR. Kemudian DPR memutuskan usul Rancangan Undang-Undang dalam rapat paripurna dan seterusnya. Dengan demikian frasa RUU dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menjadi frasa usul RUU DPD dan RUU DPD bermetamorfosa menjadi RUU DPR. Hal ini tidak tepat dalam mengatur lebih lanjut Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Karena RUU dari Presiden pun Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak berubah menjadi RUU usul DPR. Artinya dengan kekuasaannya sebetulnya DPR bisa mengklaim, tetapi kenapa yang diklaim cuma RUU dari DPD.

 Pasal 48 juga sama mengenai terjadinya metamorfosa secara sistemik frasa RUU DPD menjadi frasa usul RUU dari DPD. Kemudian dengan pola yang sedemikian inilah maka posisi RUU DPD disamakan dengan posisi usul RUU dari anggota DPR, komisi gabungan komisi atau alat kelengkapan. DPD sebagai lembaga tinggi negara disejajarkan dengan anggota komisi gabungan komisi atau alat kelengkapan DPR. Artinya, apa yang akan, apa yang dirancang dan digagas oleh para perancang Undang- Undang Dasar 1945 Amandemen mempergunakan, memunculkan sebuah lembaga untuk melaksanakan check and balances tidak serta-merta dilaksanakan dengan konsekuen, bahkan hanya semata-mata merupakan alat kelengkapan DPR.

 Pasal 20 pembahasan, Pasal 22 dikaitkan dengan Pasal 22D ayat (2), harusnya frasa ikut membahas dalam Pasal 20 ayat (2) itu menjadi satu kesatuan dengan Pasal 22D, manakala yang dibahas itu tidak lain adalah rancangan undang-undang tertentu.

 Pasal 20 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 22D ayat (2) ini meminggirkan DPD untuk terlibat secara penuh dalam pembicaraan tahap pertama, terutama dalam ikut mengajukan dan membahas daftar inventarisasi masalah yang justru merupakan inti pembahasan rancangan undang- undang. Fraksi yang sejatinya bukan alat kelengkapan DPR justru memegang porsi kewenangan yang menentukan dalam pembahasan setiap Rancangan Undang-Undang. Dalam praktiknya, praktik legislasi telah mengubah norma konstitusional, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama berubah menjadi setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh fraksi-fraksi dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Seharusnya pembahasan di tingkat fraksi harus selesai di dalam tubuh DPR.

 Kesimpulan, pertama, Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang P3 tidak taat pada norma konstitusional dalam menafsirkan makna fungsi legislasi DPD-RI sebagai tercantum dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; kedua, mekanisme check and balances yang dikehendaki oleh para penyusun Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 luput dari sasaran karena politik perundang-undangan yang dipilih oleh DPR dan Presiden;  Kesimpulan, pertama, Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang P3 tidak taat pada norma konstitusional dalam menafsirkan makna fungsi legislasi DPD-RI sebagai tercantum dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; kedua, mekanisme check and balances yang dikehendaki oleh para penyusun Amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 luput dari sasaran karena politik perundang-undangan yang dipilih oleh DPR dan Presiden;

 fungsi legislasi DPD yang ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) dalam proses pembentukkan Undang-Undang semakin tidak memiliki peran yang signifikan, sehingga aspirasi kepentingan daerah sebagai bentuk check and balances antara kepentingan pusat dan daerah menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22