Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A Sistem Bikameral

8. Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A Sistem Bikameral

Mengutip pendapat Lord Bryce, CF Strong menjelaskan model likameral dalam sejarah lembaga perwakilan bahwa no lesson of constitutional history has been more deeply imbided than that which teaches the uses of second chamber (Strong, 1975: 177). Menggunakan dasar argumentasi begitu, Lord BrYc a berpendapat, second chamber memiliki empat fungsi utama, yaitu : (1) revisirn of legislation, (2) initiation of noncontroversial bills, (3) delaying legislation lof fundamental constitutional importance so as 'to enable the opinion of thi nation to be adequately expressed upon it, dan (4) public debate (dalam Purnomowati, 2005). Pandangan itu menuju ke satu tujuan, dengan hadirnya scond chamber, monopoli proses legislasi oleh satu kamar dapat dihindari.

Alasan pentingnya kamar kedua dalam lembaga legislatif menimbulkan perdebatan pula terutama relasi antarkamar di lembaga perwakilan. Karena itu, Giovanni Sartori (1997), membagi model bikameral menjadi tip model, yaitu: (1) asymmetric bicameralism/weak bicameralism/soft bicameralism, yaitu dalam hal kekuatan salah satu kamar lebih dominan terhadap kamar yang lainnya; (2) symmetric bicameralism atau strong bicameralism, yaitu apabila kekuatan antara kamar nyaris sama kuat; dan (3) perfect bicameralism yaitu pabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.

Terkait dengan tiga model bikameral yang dikemukakan Sartori, Denny Indrayana (2005) berpandangan, weak bicameralism baiknya dihindari karena akan menghilangkan tujuan dibentuknya bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol antar-kamar. Bagaimanapun, dominasi salah satu kamar Terkait dengan tiga model bikameral yang dikemukakan Sartori, Denny Indrayana (2005) berpandangan, weak bicameralism baiknya dihindari karena akan menghilangkan tujuan dibentuknya bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol antar-kamar. Bagaimanapun, dominasi salah satu kamar

Berbeda dengan Sartori, hubungan antar-kamar terutama yang bersifat kuat atau lemah (strong versus weak bicameralism) bagi Arend Lijphart (1999) ditentukan oleh tiga aspek. Pertama, the first important aspect is the formal constitutional power that the two chambers have. Dalam aspek ni, kata Lijphart, pola umum yang terjadi, kamar kedua cenderung merupakan subordinat kamar pertama. Misalnya, dalam proses legislasi, negative veto kamar kedua kerap kali diabaikan oleh kamar pertama.

Kedua, the actual political importance of second chambers depends not only on their formal power but also their method of selection. Mengelaborasi soal ini, menurut Lijphart, semua kamar pertama dipilih secara langsung sementara sebagian besar kamar kedua tidak dipilih secara langsung. Karena perbedaan ini, kamar yang tak dipilih secara langsung akan mengalami lack the democratic legitimacy. Sebaliknya, pemilihan secara langsung kamar kedua dapat menjadi kompensasi guna meningkatkan kekuasaan karena pembatasan yang dilakukan. Karena legitimasi yang didapat dengan cara pemilihan, sistem "bikameral diklasiHkasikan menjadi symmetrical atau asymmetrical. Dalam pandangan Lijphart, symmetrical chambers are those with equal or only moderatly Unequal constitutional powers and democratic legitimacy. Asymmetrical chambers are highly unequal in these respect".

Ketiga, the crucial difference between the two chambers of bicameral legislature is that second chambers may be elected by different methods or designed so as to overrepresant certain minorities. Dalam hal ini, tambah Lijphart, perbedaan komposisi kamar disebut bikameral incongruent, Contoh paling nyata terjadi pada kamar kedua digunakan pada kamar federal untuk mewakili unit-unit komponen yang lebih kecil dalam federasi.

Pada sebagian negara unitaris, masalah yang seringlt.ali dikemukakan sebagai penolakan atas sistem bikameral, karena model ini llebih merupakan Pada sebagian negara unitaris, masalah yang seringlt.ali dikemukakan sebagai penolakan atas sistem bikameral, karena model ini llebih merupakan

Selain, soal teknis legislasi, dikemukakan pula bahwa model bikameral kurang efisiens dalam proses legislasi. Karena harus melalui dua kamar, banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan menganggu/menghanbat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang ( mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem kamar tersebut di atas dibanding dengan "ongkos yang harus dibayar" dalam bentuk kecepatan proses legislasi. Apalagi, gejala ini bukan merupakan masalah yang aneh dalam proses legislasi. Contoh dalam hubungan antarkamar di Amerika Serikat, praktik yang kerap terjadi apa yang disebut dengan filibuster. Sebagaimana dipaparkan Gina Misiroglu (2003), the word "filibuster" is an informal term for} any attempt to block or delay Senate action on a bill or other matter by debating it at lenght, by offering numerous procedural motions, or by any other delaying or obstructive actions.

Untuk mengatasi persoalan ini, negara-negara yang menerapkan sistem kamar ganda (bikameral) memiliki caranya masing-masing. Misalnya memberi batas waktu maksimal untuk menyelesaikan sebuah rancangan undang- undang. Di Inggris, misalnya, House of Lord diberi batas waktu maksimal untk menunda sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh House of Commons sebelum mendapat pengesahan Ratu. Batas waktu tersebut, maksimal satu bulan untuk menunda RUU APBN dan maksimal satu tahun untuk RUU yang lain. Secara teknis, membuat conference ' committee guna

menyelesaikan perbedaan yang ada antar-kamar (Isra dan Zainal, 2008). Yang pasti, sekiranya dikelola dengan baik, model dua kamar akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan kedua sehingga fungsi-fungsi konstitusional kedua lembaga dapat dioptimalkan. Karenanya, seperti dikemukakan Jimly Asshiddiqie (1996), dengan adanya dua kamar menyelesaikan perbedaan yang ada antar-kamar (Isra dan Zainal, 2008). Yang pasti, sekiranya dikelola dengan baik, model dua kamar akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan kedua sehingga fungsi-fungsi konstitusional kedua lembaga dapat dioptimalkan. Karenanya, seperti dikemukakan Jimly Asshiddiqie (1996), dengan adanya dua kamar

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22