Kondisi Faktual Kewenangan Legislasi DPD

2. Kondisi Faktual Kewenangan Legislasi DPD

Ketika kita membaca konstitusi dengan seksama maka tidak ada kesangsian sedikitpun bahwa DPD ditempatkan dalam kedudukan yang setara dengan DPR sebagai lembaga representasi. Konstitusi memberikan kewenangan pada DPD seperti diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa DPD dapat

mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD ikut membahas

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Dan terakhir, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,

danagama serta menyampaikan basil pengawasannya itu kepada DPR

sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Namun kondisi faktualnya jelas berbeda dengan apa yang dimaksud oleh konstitusi. Dalam UU MD3 dan UU P3, kewenangan konstitusional DPD di bidang legislasi justru direduksi. Dalam Pasal 251 ayat (3) UU MD3 telah mereduksi makna "dapat mengajukan Rancangan Undang-undang" dengan kata "usul rancangan undangundang ".

Demikian halnya pembatasan kewenangan DPD untuk "ikut membahas" hanya pada acara tertentu (Pengantar Musyawarah dan Pendapat Mini) tetapi pada Pasal 150 ayat (3) UU MD3, DPD tidak ikut serta dalam pembahasan DIM. Padahal pembahasan yang substansial justru akan berlangsung pada pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebuah Rancangan Undang-Undang.

Fakta-fakta tersebut di atas jelas merupakan upaya inkonstitusional untuk "memangkas" kewenangan DPD di bidang legislasi yang dijamin oleh Konstitusi. Karena dalam kedua UU tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu hanyalah ditempatkan sebagai 'co-legislator' di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya hanya menunjang (auxiliary agency terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu Undang-Undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan, membahas, dan berperan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal, sebagai lembaga perwakilan politik, anggota DPD memiliki mandat elektoral dan bahkan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah. Implikasi dari tidak diberikannya kewenangan legislasi pada DPD adalah sebagai berikut: Pertama, DPD menjadi lembaga perwakilan dengan "mandat elektoral" namun tanpa memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan membahas kebijakan nasonal yang berkaitan dengan kepentingan daerah yang diwakilinya. Itu artinya, UU MD3 dan UU P3 telah menjadikan DPD sekedar lembaga perwakilan "asesoris". Kedua, mengingkari harapan dan mandat yang telah diberikan rakyat daerah ketika mereka memilih wakilnya di DPD dalam pemilihan umum. Karena mereka berharap bisa mengartikulasi dan agregasi kepentingan daerahnya dalam perumusan kebijakan nasional yang berkaitan dengan negara dan daerah melalui wakilnya di DPD. Namun anggota DPD yang mewakilinya tidak mempunyai kewenangan untuk mentransformasi aspirasi dan mandat tersebut menjadi produk kebijakan nasional. Ketiga, pemangkasan kewenangan DPD akan menyulitkan terbangunnya "check and balances" karena DPR tidak mempunyai penyeimbang dalam menjalankan fungsinya. Akibatnya, produk kebijakan nasional yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan politik menjadi kurang berkualitas.

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22