DAMPAK APABILA PERMOHONAN PENGUJIAN TIDAK DIKABULKAN

IV. DAMPAK APABILA PERMOHONAN PENGUJIAN TIDAK DIKABULKAN

UU MD3 dan UU P3 merupakan bentuk nyata rekayasa politik yang menciderai semangat cheks and balances dalam kerangka demokrasi desentralistik antara DPR dan DPD dalam proses legislasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Bahkan tidak hanya rekayasa politik, tetapi juga melakukan marjinalisasi secara politik dan konstitusional terhadap kepentingan daerah dalam kerangka kebijakan politik nasional.

Rekayasa politik terhadap representasi daerah oleh DPD dan marjinalisasi kepentingan daerah dalam kerangka kebijakan politik nasional nampak jelas dari indikator- indikator, yaitu:

1. Dalam tahap awal perencanaan program penyusunan kebijakan politik nasional yang diwujudkan melalui penyusunan instrument Prolegnas, keterlibatan DPD yang merepresentasikan kepentingan daerah sangat minim. Proses penyusunan Prolegnas bersifat “top down”, peran dan kedudukan

DPD untuk memberikan sumbangan pemikiran yang bersifat “bottom up” tidak terakomodasi secara penuh dalam UU MD3 dan UU P3. Kondisi seperti ini jika didiamkan akan mengakibatkan setiap perencanaan program pembentukan Undang-Undang melalui Prolegnas, hanya mempergunakan “kacamata” politis dan kepentingan Pemerintah Pusat. DPD hanya diletakkan sebagai “hiasan pemanis” lembaga negara karena tidak diberi kewenangan yang cukup oleh UU MD3 dan UU P3 dalam ikut merencanakan kebijakan legislasi nasional yang berperspektif kepentingan daerah.

2. Dalam tahap pengajuan RUU tertentu, peran dan fungsinya DPD sebagaimana dijamin oleh Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 direduksi oleh DPR bahkan RUU tertentu yang berasal dari DPD secara “politis” diklaim sama dengan Usul RUU yang berasal dari anggota DPR, Komisi, Gabungan Komisi, atau alat kelengkapan DPR. Kondisi seperti ini mengakibatkan dalam proses pengajuan RUU, keberadaan DPD dikonstruksikan “seolah-olah” merupakan bagian dari DPR atau alat kelengkapan DPR. Secara sistemik frasa dapat mengajukan “RUU” sebagaimana dijamin oleh pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 ditafsirkan lebih lanjut dengan cara mengubah menjadi frasa “usul RUU”. Akibat dari konstruksi hukum yang demikian ini, maka kinerja DPD dalam mengimplementasikan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi menjadi “tersamar” atau “disamarkan”. Akibat lanjutannya, peran dan fungsi DPD sebagai salah satu pilar lembaga perwakilan dinafikan, sehingga jika didiamkan, DPD akan menjadi lembaga negara yang dibentuk oleh konstitusi, tetapi tidak memiliki fungsi dan peran signifikan.

3. Dalam tahap pembahasan RUU tertentu, DPD hanya menjadi “pelengkap” karena ada atau tidaknya pertimbangan DPD terhadap RUU tertentu tidak menjadi pengikat bagi DPR dan Presiden untuk memutuskan RUU tertentu itu menjadi Undang-Undang. Praktik legislasi seperti ini mengakibatkan aspirasi kepentingan wilayah (sebagai salah satu unsur terbentuknya negara) tidak tertampung secara wajar, sehingga tidak mustahil jikalau banyak kebijakan politik nasional yang dituangkan dalam suatu undang- undang merugikan daerah (wilayah). Bahkan tidak mustahil, lambat laun terjadi “spanning” hubungan antara Pusat dan daerah.

4. Di tengah kompleksitas permasalahan yang dihadapi daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, kehadiran DPD yang seharusnya secara konstitusional ikut mengurai permasalahan dan memberikan jalan keluar serta mendorong kemajuan daerah melalui keikutsertaan dalam penentuan kebijakan politik nasional menjadi tidak bermakna, karena kewenangan yang diberikan oleh konstitusi – kendati terbatas – justru semakin dibatasi atau dikebiri oleh keberadaan UU MD3 dan UU P3.

5. Nampak jelas adanya upaya inkonstitusional untuk “memangkas” kewenangan DPD di bidang legislasi yang dijamin oleh Konstitusi, karena dalam UU MD3 dan UU P3, DPD hanya ditempatkan sebagai ‘co-legislator’ di samping DPR. Sifat tugasnya hanya sebagai penunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang- undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan, membahas, dan berperan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal, sebagai lembaga perwakilan politik, anggota DPD memiliki mandat elektoral dan bahkan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah.

6. Saksi Isran Noor sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten yang mewakili kepentingan daerah di dalam sidang Panel MK tanggal 19 Desember 2012 mengatakan bahwa terjadi kerugian-kerugian konkret yang dialami oleh Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kota karena dengan adanya UU MD3 dan UU P3 menyebabkan DPD tidak mempunyai peran dan fungsi sebagai lembaga perwakilan yang mewakili kepentingan semua daerah, terutama dalam pembuatan Undang- Undang Sektor. Banyak undang-undang yang dibuat antara Pemerintah dan DPR tidak sinkron dan tidak mengikutsertakan DPD yang secara emosional dan konstitusional seharusnya ada di dalamnya. Saat ini banyak undang-undang yang telah dibuat tanpa memperhatikan aspirasi, keinginan, dan kenyataan di daerah.

7. DPD sebagai lembaga yang dipergunakan sebagai penyeimbang antara 7. DPD sebagai lembaga yang dipergunakan sebagai penyeimbang antara

Bertitik tolak dari 7 (tujuh) indikator tersebut, maka sangat diharapkan kebijaksaan Majelis Hakim MK mengabulkan seluruh permohonan pengujian materiil ini demi mengembalikan semangat demokrasi desentralistik yang menjadi warna UUD 1945 pasca perubahan. MK harus menghentikan pengelabuan sistemik terhadap fungsi legislasi dari DPD dengan memberikan kepastian tafsir terhadap Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, sesuai rumusan yang terdapat dalam semua permohonan pengujian materiil ini.

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22