Pengajuan RUU

B. Pengajuan RUU

1. Bahwa ketentuan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 memberi kewenangan kepada DPD untuk mengajukan RUU tertentu. Kewenangan yang sama diberikan kepada Presiden menurut ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 untuk semua RUU. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan kepada anggota DPR dalam Pasal 21 UUD 1945 untuk mengajukan Usul RUU. Usul RUU dari anggota DPR tersebut belum menjadi produk lembaga DPR karena masih memerlukan proses di internal DPR untuk menjadikannya sebagai RUU dari DPR tanpa kata “Usul” lagi di depannya.

Ahli Moh. Fajrul Falaakh mengatakan bahwa RUU yang dimajukan oleh DPD tidak boleh disejajarkan dengan “Usul RUU” dari internal DPR yang membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Baleg DPR. (Risalah Sidang IV tanggal 1 November 2012, Ahli Moh. Fajrul Falaakh mengatakan bahwa RUU yang dimajukan oleh DPD tidak boleh disejajarkan dengan “Usul RUU” dari internal DPR yang membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Baleg DPR. (Risalah Sidang IV tanggal 1 November 2012,

2. Bahwa dari keterangan DPR dan Pemerintah di depan persidangan MK ternyata tidak dapat memberikan alasan hukum terhadap perbedaan proses antara RUU dari Presiden dan RUU dari DPD tersebut, serta mengapa RUU dari DPD disamakan dengan proses Usul RUU dari fraksi, komisi, dan anggota DPR. Demikian pula, mengapa RUU dari DPD jika disetujui oleh DPR berubah menjadi RUU dari DPR. Keterangan DPR hanya berkutat pada kata “dapat” mengajukan RUU menyebabkan kewenangan DPD direduksi.

Menurut Ahli Laica Marzuki, kata “dapat” merupakan constitutional choice atau pilihan konstitusi yang diberikan konstitusi kepada DPD. Artinya, manakala DPD menempuh pilihan mengajukan RUU kepada DPR maka pilihan yang ditempuh mengandung sifat imperatif. Tidak dapat dimodifikasi, tidak dapat direduksi, dibatasi, disimpangi, apalagi dinegasi oleh DPR dan Pemerintah. Dalam kata “dapat”, terkandung hak dan kewenangan konstitusional DPD. Manakala DPD tidak menggunakan

dimaksud merupakan rechtsverwerking (melepaskan hak). DPD sendiri yang menentukan pilihan konstitusional yang bakal diambil, bukan pihak lain. (Risalah Sidang IV 1 November 2012, hlm. 5).

Lebih lanjut, ahli Andi Irmanputra Sidin mengatakan bahwa wajar ketika DPD dikonstruksikan dengan kata “dapat” dalam mengajukan RUU tidak semata “dapat” dalam arti semantik, tapi dimaknai dapat mengajukan RUU adalah sebuah hak subjektif DPD sebagai representasi wilayah dengan muatan objektif, maka RUU DPD layak menjadi acuan utama atau didahulukan bagi Presiden dan DPR dalam mengajukan usulan RUU yang sama. (Risalah Sidang V 22 November 2012, hlm. 7).

3. Bahwa menurut ahli Moh. Fajrul Falaakh, pembagian kerja antara DPR

dan Pemerintah dalam Prolegnas tidak boleh menghalangi kewenangan konstitusional DPD untuk mengajukan RUU berdasarkan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945. (Risalah Sidang IV tanggal 1 November 2012, hlm. 2). Pendapat tersebut dikuatkan oleh ahli Yuliandri yang menyatakan bahwa berdasarkan tafsir Pasal 5 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, jelas bahwa posisi DPD setara dengan Presiden dalam pengajuan RUU, sama-sama sebagai institusi yang berhak mengajukan RUU, bukan “Usul” RUU. Di samping itu, posisi DPD tidak dapat disetarakan dengan posisi anggota yang hanya diberi hak untuk mengajukan Usul RUU, maka dengan demikian meletakan posisi DPD dalam konteks pengajuan RUU setara dengan anggota DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Oleh karena itu, setiap norma undang-undang yang memposisikan DPD seperti demikian secara jelas dan tegas adalah bertentangan dengan UUD 1945. (Risalah Sidang IV 1 November 2012, hlm. 16).

4. Bahwa dari sudut pandang politik, ahli A.A.G.N. Ari Dwipayana memandang bahwa keterlibatan DPD untuk dapat mengusulkan dan ikut membahas RUU sangat penting karena merupakan aktualisasi dari fungsi representasi. Anggota DPD menyalurkan aspirasi suara rakyat di daerahnya. Dalam siklus kebijakan proses ini disebut dengan agenda setting. Dalam agenda setting, ada beberapa pertanyaan yang sering diajukan, undang-undang apa yang perlu dibentuk, diubah, mengapa undang-undang itu perlu dibentuk, untuk diubah, apa urgensi dan relevansinya dalam pembentukan dan perubahan undang-undang itu? (Risalah Sidang IV 1 November 2012, hlm. 32).

5. Bahwa dapat disimpulkan, UUD 1945 memberi kewenangan kepada DPD untuk mengajukan RUU tertentu sebagaimana juga diterangkan dan dikuatkan para ahli. DPR dan Presiden sebagai pembuat UU pada umumnya, telah secara salah mengaturnya di dalam UU MD3 maupun UU P3 sebagaimana diatur dalam Pasal 102 ayat (1) huruf d dan Pasal 143 ayat (5), Pasal 144 UU MD3 dan Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3. Dari kedua UU dimaksud ternyata RUU dari DPD masih harus diproses di internal DPR melalui alat kelengkapan Badan

Legislasi sebelum disetujui atau ditolak oleh DPR. Apabila disetujui oleh DPR, maka RUU dari DPD tersebut berubah menjadi RUU dari DPR. Dengan demikian, RUU dari DPD telah disamakan dengan proses Usul RUU dari fraksi, komisi, dan anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 143 UU MD3 dan Pasal 46 UU P3. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 102 ayat (1) huruf d dan Pasal 147 UU MD3 dan Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) UU P3 bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.

6. Bahwa demikian pula pemakaian kata “Usul” di depan kata RUU dari Presiden dan dari DPD sebagaimana terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) huruf h, Pasal 147 ayat (2), ayat (3), ayat (4), UU MD3 dan Pasal 48 ayat (2) UU P3 disadari atau tidak telah membawa implikasi hukum terhadap RUU yang berasal dari DPD. Sungguh pun yang dimaksud oleh pembuat UU dengan kata “Usul” dalam Pasal-Pasal UU MD3 dan UU P3 tersebut maksudnya adalah RUU yang berasal dari DPD, namun pemakaian kata usul dalam pasal-pasal tersebut ternyata telah membawa akibat terhadap proses RUU dari DPD serta berubahnya status RUU dari DPD menjadi RUU dari DPR. Dengan demikian pemakaian kata usul di depan RUU dari Presiden dan RUU dari DPD dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22