Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

1. Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

Pembentukan parleman bikameral (two houses parliament) menempatkan dua kamar (two houses) pada kedudukan kelembagaan yang setara dan harmonis, dalam hal ini:

Kamar yang satu mengimbangi dan membatasi supremasi kamar yang lain (to curbs the other chamber), demikian sebaliknya. Memperkuat dan memberdayakan peran daerah-daerah dalam membangun sistem negara kesatuan (unitary state system).

Article one, section one, The Constitution of The United States of America (1787) menetapkan, "All legislative powers herein granted shall

be vested in a congress of the United States, which shall be consist of a Senate and House of Representative": Konstitusi Amerika ditandatangani dan disahkan di gedung Pennsylvania State House, Philadelphia, pada tanggal 25 Mei 1787.

Tidak semua menyetujui pemberlakuan sistem parlemen bikameral. Thomas Jefferson kembali dari Perancis, bersamaan dengan seusai Philadelphia Convention, menyatakan ketidaksetujuannya dengan penerapan (adopted) sistem parlemen bikameral. Jefferson menanyakan kepada George Washington mengapa meng-adopted sistem two houses itu. Dalam suatu jamuan coffee morning, Washington bertanya kepada Jefferson, mengapa is menuang kopinya di atas piring cawan. "Why did you pour that coffee into your saucer?"; tanyanya. Jefferson menjawab, "To cool it", mendinginkannya, katanya. Washington menimpali, "Even so, we pour legislation into the senatorial saucer to cool it". Dianutnya sistem parlemen bikameral, mencontoh British Parliament.

Sistem Parlemen Bikameral bukan gagasan baru dalam politik pergerakan kebangsaan di negeri ini.

Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam Memorandum GAP/ Tentang Soesoenan Tata Negara Indonesia, yang ditetapkan dalam rapat Gapi – piano di Kota Djakarta, pada tanggal 31 Januari 1941 mencita-citakan suatu

parlemen yang terdiri dari "doea Madjelis", yakni Madjelis Pertama (Eerste

Kamer) dan Madjelis Kedoea (Tweede Kamer). Dikatakan, hak anggota buat kedua Madjelis diberikan penduduk negara

(staatsburger), baik laki-laki maupun perempuan. Semua anggota dipilih: Buat Madjelis Pertama menurut aturan yang akan ditentukan aturan mana harus memberi tanggungan supaya golongangolongan atau aliran-aliran (groepeeringen en stroomingen) mendapat perwakilan yang pantas dan adil. Pemilihan dari anggota Madjelis Kedoea dilakukan atas dasar berimbangan

(evenredigheid) dan pembagian dalam daerah-daerah (regionaal). Hak memilih adalah umum dan Iangsung, diberikan pada tiaptiap penduduk negara (staatsburger). Jumlah anggota Madjelis Pertama dan Madjelis Kedua adalah masing-masing sedikitnya 100 dan 200. GAPI adalah perhimpunan organisasi-organisasi nasionalis Indonesia yang dibentuk pada bulan Mei 1939, terutama atas inisiatif MH. Thamrin dari Partai Indonesia Raya (Parindra) dan termasuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dan Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). GAPI menuntut penentuan nasib sendiri dan parlemen yang dipilih untuk Indonesia, menggunakan slogan Indonesia Berparlemen. Sistem Parlemen Bikameral tidak digagas dalam sidang BPUPKI (1945) dan baharu di-adopted pada Perubahan Ketiga UUD 1945 di kala Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, incasu diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI, tanggal 2001.

Pasal 22C UUD 1945, di bawah Bab VII A, berjudul Dewan Perwakilan Daerah, menetapkan "Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi jumlahnya sama dengan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (Pasal 22C ayat (2)). DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22C ayat (3)). Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang (Pasal 22C ayat 4). Terdapat tiga kewenangan konstitusional DPD, menurut Pasal 22D UUD 1945, yakni:

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara dan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

(3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi Iainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindakianjuti.

Kewenangan DPD termasuk soft bicameral. Kata dapat merupakan constitutional choice yang diberikan konstitusi kepada DPD. Manakala DPD menempuh pilihan mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, atau menggunakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang a quo maka pilihan yang ditempuh mengandung sifat imperatif, tidak dapat dimodifikasi, direduksi, dibatasi, disimpangi, apalagi di-negasi oleh DPR dan pemerintah. Dalam kata d a p a t itu terkandung hak dan kewenangan konstitusional DPD. Manakala DPD tidak menggunakan pilihannya maka hal dimaksud merupakan rechtsverwerking DPD sendiri yang menentukan pilihan konstitusional yang bakal diambil.

Kata ikut mengandung makna participant. DPD merupakan constitutional participant dalam pembahasan rancangan Undang-Undang

a quo. DPR dan Pemerintah tidak boleh memodifikasi, mereduksi, membatasi, menyimpangi, apalagi menegasi keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo. Pasal 22C ayat (4) UUD 1945 menetapkan, "Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang".

UU MD3 dan UU P3 adalah Undang-Undang (wet, gesetz, droit) yang memuat pengaturan dengan Undang-Undang (bij de wet geregeld). Namun konstitusi tidak hanya memerintahkan penjabaran Pasal-Pasal 22C dan 22D UUD 1945 diatur dengan Undang-Undang (bij de wet geregeld) tetapi juga muatan materi pasal-pasal undangundang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal konstitusi a quo selaku de moeder der wet daripadanya. Pasal 7 ayat (2) UU P3 menetapkan, ".... penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan UU MD3 dan UU P3 adalah Undang-Undang (wet, gesetz, droit) yang memuat pengaturan dengan Undang-Undang (bij de wet geregeld). Namun konstitusi tidak hanya memerintahkan penjabaran Pasal-Pasal 22C dan 22D UUD 1945 diatur dengan Undang-Undang (bij de wet geregeld) tetapi juga muatan materi pasal-pasal undangundang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal konstitusi a quo selaku de moeder der wet daripadanya. Pasal 7 ayat (2) UU P3 menetapkan, ".... penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

aturan hukum yang lebih tinggi. De hogere wet gaat voor de lagere wet.

Beberapa pasal UU MD3 dan UU P3 yang dipersoalkan dipandang bertentangan dengan Pasal 22D UUD 1945.Pasal 71 ayat (1), huruf d, e UU MD3, tidak tepat manakala pengikutsertaan pembahasan rancangan undang-undang oleh DPD berakhir sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Pembahasan rancangan undang-undang yang diajukan DPD kiranya juga menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan pengambilan persetujuan bersama.

Pasal 102 ayat (1) huruf d, huruf e UU MD3 tidak tepat dan keliru tatkala menggolongkan secara bersama-sama rancangan undan g undang dari DPD

dengan rancangan undang-undang yang diajukan oleh ".... anggota, komisi, gabungan komisi ..." yang kesemuanya adalah alat perlengkapan DPR belaka. Konstitusi menetapkan rancangan undang-undang pengajuan DPR secara selbstandig, setara dengan rancangan undang-undang pengajuan DPR. Seharusnya pengajuan rancangan undang-undang oleh ".... anggota, komisi, gabungan komisi ..." diintegrated sebagai rancangan undang- undang DPR. Secara konstitusional, hanya ada tiga rancangan undang-

undang yang bakal dibahas menjadi undang-undang, yakni RUU dari DPR,

Pemerintah dan DPD. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 tidak tepat manakala Rancangan Undang-Undang dari DPD kaiak ditiadakan dan dilebur menjadi Rancangan Undang-Undang (dari) DPR. Konstitusi tidak menetapkan hal peleburan Rancangan Undang-Undang oleh DPD menjadi Rancangan Undang-Undang produk DPR.

Sama tidak tepatnya, manakala Pasal 43 ayat (2) UU P3 menetapkan bahwa Rancangan Undang-Undang yang berasal dad DPR dapat berasal dari DPD. Rancangan Undang-Undang produk DPD yang diberikan konstitusi (constitutional given) tidak boleh dihilangkan dan dilebur menjadi Rancangan Undang-Undang produk (usul) DPR.

Selaku lembaga konstitusi, DPD harus pula mendapatkan kehormatan (de eere) yang menjadi hak dan kewenangan konstitusionalnya. Pepatah Belanda mengatakan: "Sere wien eere toekomst”. Berikan kehormatan Selaku lembaga konstitusi, DPD harus pula mendapatkan kehormatan (de eere) yang menjadi hak dan kewenangan konstitusionalnya. Pepatah Belanda mengatakan: "Sere wien eere toekomst”. Berikan kehormatan

Dokumen yang terkait

KETERAMPILAN MANAJEMEN KELAS MELALUI GERAKAN SEDERHANA SENAM OTAK (BRAIN GYM) DI SD PELITA 2, JAKARTA BARAT

0 1 70

PERBANDINGAN ESTIMASI KANAL DENGAN PENDEKATAN LINIER PIECEWISE DAN POLINOMIAL PADA SISTEM OFDM

0 0 8

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PELATIHAN PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN IPA BAGI GURU-GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DI YAYASAN PERGURUAN BIRRUL WAALIDAIN

0 1 29

SUPPORT VECTOR REGRESSION UNTUK PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

0 0 10

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS IV A SDN KEBON JERUK 11 JAKARTA

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORI - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III PADA MATA PELAJARAN IPS DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 10 13

USULAN PERBAIKAN KESELAMATAN KERJA UNTUK MEMINIMALKAN KECELAKAAN KERJA DENGAN PENDEKATAN JOB SAFETY ANALYSIS (JSA) PADA AREA LANTAI PRODUKSI DI PT. ALAM PERMATA RIAU

0 7 8

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBIASAAN DI SDN KELAPA DUA 06 PAGI JAKARTA

0 0 135

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - FUNGSI DAN KEWENANGAN LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF SEBAGAI LEMBAGA YANG MENGHIMPUN DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

0 1 22