Etika bisnis

2.4.3 Etika bisnis

2.4.3.1 Definisi

Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah lepas dari sorotan etika. Bahkan, sejak manusia terjun dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak dapat terlepas dari masalah etis. Di dalam prakteknya, etika dalam perniagaan atau perdagangan lebih berbicara mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam bisnis itu sendiri.

Caroll dan Buchholtz dalam Iman ( http://www.nofieiman.com , 2006) mendefinisikan etika bisnis sebagai berikut: Ethics is the discipline that deals with what is good and

bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.

Sims dalam Iman ( http://www.nofieiman.com , 2006) juga mendefinisikan etika bisnis sebagai: “

Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.

Iman ( http://www.nofieiman.com , 2005) membagi etika bisnis dalam dua bagian, yaitu:

 Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.

 Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values. Dapat disimpulkan bahwa, etika bisnis merupakan bagian dari aktivitas

bisnis perusahaan yang membahas mengenai baik buruk atau benar salah di dalam konteks bisnis. Yang di dalamnya terdapat dua (2) bagian, yaitu:

 Etika normatif. Yang fokus pada menyampaikan dan memberikan batasan

yang masuk akal dari sistem moral berpikir dan mempertimbangkan.  Etika deskriptif. Yang fokus pada menggambarkan, menggolongkan, dan mempelajari moralitas manusia, budaya atau masyarakat.

2.4.3.2 Pentingnya etika bisnis

Bertens (2000: 377-380) menyatakan bahwa di dalam sejarah pemikiran filsafat Yunani kuno sudah ada tiga alasan mengapa bisnis harus berperilaku etis, yaitu:

1. Tuhan adalah hakim kita. Menurut agama, sesudah kehidupan jasmani ini manusia hidup terus di dunia baka, di mana Tuhan sebagai Hakim Maha Agung akan menghukum kejahatan yang pernah di lakukan dan mengganjar kebaikannya. Pada saat itu tidak mungkin terjadi impunity (sesuatu dibiarkan tak terhukum).

2. Kontrak sosial. Dan di dalam para filsuf modern menganggap “kontrak sosial” sebagai dasar moralitas. Dalam “kontrak sosial” ini umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma moral. Karena setiap kegiatan yang manusia lakukan bersama-sama dalam masyarakat menuntut adanya norma-norma dan nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari padanya.

3. Keutamaan. Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik justru karena hal itu baik. Dan keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Dalam hal ini pebisnis di tuntut untuk melakukan yang baik karena hal itu baik, atau dengan kata lain pebisnis harus memiliki integritas. Iman

menyatakan mengenai pentingnya perilaku etis untuk mencapai kesuksesan jangka panjang dalam

( http://www.nofieiman.com ,

1. Perspektif Makro

Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market sysem untuk dapat efektif: Hak memiliki dan mengelola properti swasta; Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa. Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan mengambat pertumbuhan sistem secara makro. Perilaku tidak etis dalam dunia bisnis akan berpengaruh juga pada perspektif makro, yaitu: Penyogokan atau suap, Coercive act, Deceptive information, Pencurian dan penggelapan, dan Unfair discrimination.

2. Perspektif Mikro

Dalam lingkup ini, perilaku etis identik dengan kepercayaan atau trust. Di dalamnya terdapat rantai relasi, dimana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan di dalam kegiatan bisnis, yang akan memberikan pengaruh pada lingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya, untuk selalu menjaga etika sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.

Kesimpulannya, etika bisnis telah menjadi penting dikarenakan beberapa hal, yaitu:

 Tuhan adalah hakim kita. Tuhan sebagai Hakim Maha Agung akan menghukum kejahatan yang pernah di lakukan oleh manusia dan mengganjar kebaikannya.

 Kontrak sosial. Dalam “kontrak sosial” ini umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma moral. Kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari padanya.

 Keutamaan. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik, ini adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Karena itu, pebisnis di tuntut untuk melakukan yang baik karena hal itu baik, dan untuk itu pebisnis harus memiliki integritas.

 untuk mencapai kesuksesan jangka panjang dalam sebuah bisnis. dapat berlaku dapat dilihat dari lingkup makro ataupun mikro. o Perspektif Makro Jika salah satu subsistem dalam market system

melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan mengambat pertumbuhan sistem secara makro.

o Perspektif Mikro. Dalam lingkup ini perilaku etis identik dengan kepercayaan atau trust. Di dalamnya terdapat rantai relasi dimana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan

kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada lingkup makro.

2.4.3.3 Pelaksanaan etika bisnis

Dalimunthe (2004) menyatakan bahwa di dalam menciptakan dan menjalankan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Pengendalian diri. Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain, dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan tersebut, walaupun itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial. Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Sebagai contoh, kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi, sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis, dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar.

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi. Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi 3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi. Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi

4. Menciptakan persaingan yang sehat. Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu, dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan." Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang secara maksimal tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan di masa datang, walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi). Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar. Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit, (sebagai contoh) karena 7. Mampu menyatakan yang benar itu benar. Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit, (sebagai contoh) karena

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah. Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah. Semua ini dilakukan agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama-sama dengan pengusaha lainnya, yang sudah besar dan mapan. Selama ini kepercayaan itu hanya ada antara golongan pengusaha yang kuat saja, sekarang sudah waktunya untuk memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau melakukan secara konsekuen dan konsisten etika tersebut. Mengapa? Karena seandainya semua etika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum" lain, baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, maka semua konsep etika bisnis itu jelas akan "gugur" satu semi satu.

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati. Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.

Keseluruhan poin-poin ini haruslah dilaksanakan untuk dapat menciptakan dan menjalankan suatu bisnis yang beretika dan tidak merugikan pihak yang lainnya.

2.4.3.4 Dasar pengambilan keputusan etika bisnis.

Iman ( http://www.nofieiman.com , 2005) menyatakan bahwa ada dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etis di dalam pengambilan keputusan bisnis, yaitu :

1) Prinsip Consequentialist

Konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya, keputusan dinilai etis atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut.

2) Prinsip Nonconsequentialist

Terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk atau panduan pengambilan keputusan etis dan berdasarkan alasan, bukan berdasarkan akibat (konsekuensi).

a. Prinsip Hak. Prinsip ini menjamin hak asasi manusia. Hak ini berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain.

b. Prinsip Keadilan. Keadilan biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

1. Keadilan distributif. Keadilan ini sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban sosial.

2. Keadilan retributif. Keadilan ini terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggung jawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain.

3. Keadilan kompensatoris. Keadilan ini terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

Akan menjadi lebih baik jika dasar pengambilan keputusan di dalam bisnis tidak hanya didasarkan pada akibat (konsekuensi) yang dapat ditimbulkan, tetapi juga dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk atau panduan-panduan pengambilan keputusan etis dan dengan berdasarkan alasan-alasan yang jelas. Karena perusahaan juga harus memperhitungkan hal-hal lain di dalam setiap keputusan yang akan dibuatnya, agar bukan hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga merugikan pihak lain yang ada disekitar atau berkaitan dengan perusahaan.