Etika bisnis Kristen

2.4.4 Etika bisnis Kristen

2.4.4.1 Keberatan-keberatan terhadap penggunaan Alkitab

Banyak kritikus yang menyatakan beberapa keberatan mengenai penggunaan Alkitab dalam menemukan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip dalam melakukan aktivitas bisnis (Hidayat, 2006). Keberatan-keberatan tersebut, antara lain:

 Mungkinkah menarik prinsip-prinsip universal dan permanen dari Alkitab yang lahir di tengah kultur yang zaman dan lokasinya berbeda dari dunia dan negara ini?

 Tepatkah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan mengenai prinsip-prinsip ekonomi dari suatu kitab yang pada hakekatnya adalah kitab peribadahan?

 Bagaimana mungkin memberlakukan bagian-bagian Alkitab yang berbicara mengenai berbagai isu ekonomi, bila kebanyakan isi Alkitab terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama, yang tidak memisahkan kehidupan bernegara dari kehidupan beragama (teokrasi), padahal kita hidup dalam negara yang teokratis? Hidayat (2006) menjawab secara lugas seluruh keberatan yang muncul di

banyak kalangan ini, dengan jawaban berikut:  Memang ada perbedaan dan kesenjangan budaya atau zaman antara dunia pada saat Alkitab ditulis dengan dunia modern saat ini. Namun, justru pengambilan prinsip dapat terjadi dengan mempertimbangkan, dan bukan mengabaikan kesenjangan itu. Hal ini dapat di capai melalui usaha-usaha penafsiran Alkitab yang dengan teliti mempertimbangkan banyak kalangan ini, dengan jawaban berikut:  Memang ada perbedaan dan kesenjangan budaya atau zaman antara dunia pada saat Alkitab ditulis dengan dunia modern saat ini. Namun, justru pengambilan prinsip dapat terjadi dengan mempertimbangkan, dan bukan mengabaikan kesenjangan itu. Hal ini dapat di capai melalui usaha-usaha penafsiran Alkitab yang dengan teliti mempertimbangkan

 Alkitab memang bukan buku teks ekonomi, juga bukan buku teks ilmu- ilmu lain, bahkan bukan pula buku teks dogma dan teologi. Karena Alkitab tidak berisikan uraian deskriptif, analitis, dan sistematis tentang hal-hal yang dapat kita temukan dalam buku-buku sumber pelajaran. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat melakukan abstraksi untuk menemukan pola-pola wawasan dan petunjuk-petunjuk prinsipil tentang berbagai segi kehidupan di dunia ini dari dalam isi Alkitab. Karena Alkitab adalah Firman Allah yang tidak saja membentangkan mengenai diri Allah kepada manusia, tetapi juga membentangkan mengenai bagaimana adanya dan bagaimana seharusnya manusia.

 Sebagian besar prinsip-prinsip yang Tuhan nyatakan juga diberlakukan Tuhan atas bangsa-bangsa lain, dan orang bukan Kristen pada umumnya. Tindakan Allah ini menyatakan bahwa Allah bekerja serasi dalam penyataan umum maupun penyataan khusus. Indrayana (2004) menyatakan bahwa nilai kebenaran yang terdapat

dalam hukum Allah (Alkitab) bersifat mutlak, yang sekalipun tidak memberi aturan terhadap segala sesuatunya dengan rinci, namun mengemukakan prinsip- prinsip kehidupan yang sangat luas dan mendalam untuk dijadikan pegangan. Sehingga sangatlah mungkin untuk menggali prinsip-prinsip mengenai ekonomi ataupun bisnis berdasarkan apa yang telah Allah nyatakan dalam Alkitab.

Serupa dengan pernyataan sebelumnya, Van Til (1971: 26) menegaskan “…the Bible does say something about every problem that we face if only we Serupa dengan pernyataan sebelumnya, Van Til (1971: 26) menegaskan “…the Bible does say something about every problem that we face if only we

Alkitab memang tidak secara deskriptif, analitis, dan sistematis menyatakan berbagai macam hal yang ada di dunia ini, namun Alkitab adalah Firman Allah yang tidak saja membentangkan mengenai diri Allah kepada manusia, tetapi juga membentangkan mengenai bagaimana adanya dan bagaimana seharusnya manusia. Dan Alkitab juga tidak mengemukakan aturan- aturan yang sangat rinci dan detail, tetapi mengemukakan prinsip-prinsip kehidupan yang sangat luas dan mendalam untuk dapat dijadikan pegangan. Selain itu, perlu juga diingat bahwa Alkitab adalah firman Allah yang berisi segala sesuatu yang Allah ingin agar manusia ketahui. Sehingga sangatlah logis jika Alkitab digunakan sebagai dasar di dalam melakukan segala aktivitas termasuk di dalamnya ketika berbicara mengenai ekonomi atau bisnis. Alkitab cukup berbicara melalui prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya.

2.4.4.2 Pandangan etika Kristen mengenai ekonomi

Hidayat (2006) menyatakan bahwa kisah penciptaan di dalam Kejadian 1 dan 2 (Alkitab, 1999) merupakan dasar atau fondasi di mana seluruh realitas ciptaan berdiri, dan di dalam kisah penciptaan inilah seluruh realitas harus kita pahami. Karena itu, kisah penciptaan ini memberikan kepada kita beberapa prinsip ekonomi, yaitu:

 Bahwa hanya Allah yang patut disembah dan dilayani oleh segenap hidup manusia,  Bahwa manusia diberi makna hidup yang sangat mulia oleh Allah,  Bahwa panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah yang mulia itu

adalah menjadi hamba Allah,

 Bahwa alam dan segenap potensinya boleh diterima dan dikelola dengan penuh syukur oleh manusia, dan  Bahwa kekayaan alam ataupun kekayaan hasil dari tindak kreatif manusia mengelola alam, bukanlah mutlak milik manusia tetapi milik Allah, sehingga tidak boleh diberi tempat mutlak di dalam keberadaan manusia.

Subeno (2006) juga menyatakan bahwa konsep ekonomi harus kembali pada kisah penciptaan dalam Kejadian 2:15 “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (dalam Alkitab, 1999). Dimana Allah menempatkan manusia di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Kata “mengusahakan”, dalam ayat ini, berdasarkan akar katanya, di dalam bahasa Ibrani yaitu ‘abad’, dapat memiliki arti ‘bekerja’ dan ’melayani’. Bekerja dalam kata ini bukan hanya sekedar bekerja, tetapi ada unsur penyembahan kepada Allah di dalamnya (Kartika, 2006).. Dalam hal ini manusia bebas untuk menggunakan seluruh kreatifitasnya untuk bekerja dan diberi kebebasan untuk mengeksplorasi atau menggunakan alam ini, dan semuanya itu haruslah dilakukan di dalam suatu penyembahan kepada Allah (Sutandi, 2007 dalam http://www.mail-archive.com).

Sedangkan kata “memelihara”, dalam ayat ini, akar katanya dalam bahasa Ibrani adalah ‘shamar’, kata ini dapat berarti mengawasi, mengamati, dan menjaga dengan teliti seluruh alam ini, agar segala yang baik tetap dalam keadaan baik. Kata ini juga berarti menghindarkan dari kerusakan, dan bahkan memperbaiki kerusakan yang ada sehingga menjadi baik kembali (Kartika, 2006). Berdasarkan arti katanya, maka di dalam “memelihara” manusia harus menjaga agar setiap kondisi atau keadaan yang sudah baik adanya tetap dalam kondisi Sedangkan kata “memelihara”, dalam ayat ini, akar katanya dalam bahasa Ibrani adalah ‘shamar’, kata ini dapat berarti mengawasi, mengamati, dan menjaga dengan teliti seluruh alam ini, agar segala yang baik tetap dalam keadaan baik. Kata ini juga berarti menghindarkan dari kerusakan, dan bahkan memperbaiki kerusakan yang ada sehingga menjadi baik kembali (Kartika, 2006). Berdasarkan arti katanya, maka di dalam “memelihara” manusia harus menjaga agar setiap kondisi atau keadaan yang sudah baik adanya tetap dalam kondisi

Jadi, konsep ekonomi yang Allah berikan kepada manusia adalah Ekonomi Kerajaan Allah (God’s Kingdom Economics). Dimana seluruh dunia ini adalah ciptaan Allah, yang Allah percayakan kepada manusia untuk di usahakan dan dipelihara, dan semuanya itu nantinya akan kembali kepada Allah (memuliakan Allah) (Subeno, 2006).

Kantzer dalam Davis (2002) mencatat bahwa “biblical doctrine of creation implies that human are to exercise dominion over natur in such a way as’...to guard those resource...seeing to it that they make their greatest possible contributuion for the good of all humanity.” Dalam pandangannya, kekuasaan atau dominasi yang Allah berikan kepada manusia semata-mata adalah untuk memberikan kontribusi bagi kebaikan seluruh manusia dan seluruh ciptaan Allah.

Sedangkan Worster dalam Mamahit (2007: 15) menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai ekonomi Allah adalah “His extraordinary talent for matching means with end, for so managing the cosmos that each constituent part performed its work with stunning efficiency.” Pemahaman ini mengatakan bahwa ketika mengakui bahwa dunia ini ada di dalam ‘ekonomi Allah’, maka ‘ekonomi manusia’, yang mana di dalamnya sumber daya alam di pakai sebagai modal, seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip ekonomi Allah. Dan sebaliknya, ekonomi apapun yang dijalankan manusia seharusnya menjadi satu bagian atau satu bingkisan (parcel) dengan ekonomi Allah.

Kekristenan memandang ekonomi bukan sebagai sesuatu yang berbeda dengan pandangan khalayak pada umumnya. Etika Kristen melihat ekonomi sebagai ekonomi Kerajaan Allah (God’s Kingdom Economics), yang di dalamnya seluruh dunia ciptaan Allah ini, Allah percayakan kepada manusia untuk di usahakan dan dipelihara, dan kesemuanya itu nantinya akan kembali kepada Allah (memuliakan Allah) (Subeno, 2006). Dan karena itulah maka ‘ekonomi manusia’ pun harus selaras dengan ekonomi yang telah Allah berikan yaitu, ekonomi Kerajaan Allah (God’s Kingdom Economics). Karena itu, bisnis pun dibangun dengan berdasarkan pada ekonomi ini. Di mana keuntungan bukan lagi menjadi tujuan utamanya, melainkan suatu bisnis yang mengusahakan dan memelihara seluruh ciptaan, yang telah Allah berikan kepada manusia, dengan baik dan mengembalikannya semuanya kepada Allah sebagai pemilik sah dari dunia ini. Suatu bisnis yang berdasarkan pada beberapa hal, yaitu:

 Bahwa hanya Allah yang patut disembah dan dilayani oleh segenap hidup manusia;  Bahwa manusia diberi makna hidup yang sangat mulia oleh Allah;  Bahwa panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah yang mulia itu

adalah menjadi hamba Allah;  Bahwa alam dan segenap potensinya boleh diterima dan dikelola dengan penuh syukur oleh manusia; dan  Bahwa kekayaan alam atau pun kekayaan hasil dari tindak kreatif manusia mengelola alam itu bukan milik mutlak manusia tetapi Allah, sehingga tidak boleh diberi tempat mutlak di dalam keberadaan manusia.

2.4.4.2.1 Relasi antara Allah-Manusia-Bumi

Mamahit menyebut relasi ini sebagai Trialetika Allah, manusia, dan bumi (Mamahit, 2007: 9). Disebutkan bahwa Allah, manusia, dan bumi atau lingkungan hidup adalah entitas-entitas yang memiliki hubungan yang dinamis dan saling terkait dengan erat antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, meski saling berhubungan, hakikat ketiganya tetaplah berbeda. Karena Allah adalah pencipta yang independen, sementara manusia dan alam tidaklah independen, sebab mereka diciptakan. Dan uniknya lagi, sebagai sesama ciptaan, manusia san bumi saling bergantung satu dengan yang lainnya (interdependen) di hadapan Allah. Hubungan antara ketiga entitas ini dapat dirumuskan dalam skema berikut:

ALLAH

Theological Angle

INDEPENDEN DEPENDEN DEPENDEN

Social Angle Economic Angle

Gambar 2.1

Skema ini telah menjelaskan bahwa manusia, sebagai ciptaan, tidaklah independen terhadap Allah ataupun bumi. Sebaliknya, manusia dependen terhadap Allah, sebab manusia menerima hidupnya dan menerima mandat untuk mengelola dan memelihara bumi dari Allah. Dan, manusia justru interdependen Skema ini telah menjelaskan bahwa manusia, sebagai ciptaan, tidaklah independen terhadap Allah ataupun bumi. Sebaliknya, manusia dependen terhadap Allah, sebab manusia menerima hidupnya dan menerima mandat untuk mengelola dan memelihara bumi dari Allah. Dan, manusia justru interdependen

Untuk lebih mengetahui apa yang firman Allah katakan mengenai Trialektika Allah-manusia-bumi dan hubungan antara masing-masing entitas ini, Mamahit (2007: 13-23) memberikan suatu penjelasan lebih lanjut mengenai masing-masing dari entitas tersebut, sebagai berikut:

1. Allah sebagai pencipta dan pemilik kehidupan Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi (Kejadian 1:1-2:4 dalam Alkitab, 1999), yang berarti bahwa Allah adalah pemilik bumi ini. Pernyataan ini berdimensi ganda. Di satu sisi dunia ini memang milik manusia, karena Allah memberikan semacam hak pakai, dan bukan hak milik, terhadap seluruh ciptaan-Nya kepada manusia (Stott, 1996: 150). Di satu sisi Allah adalah satu-satunya pemilik sah bumi ini, karena Dia yang menciptakan. Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa tidak ada alasan bagi manusia untuk memonopoli kepemilikan bumi ini, apalagi bersifat arogan dan bertindak abusive (kejam) terhadap ciptaan lain (Kaiser, 1991: 37). Dan sebagai pencipta

berkehendak untuk menyelenggarakan kelangsungan hidup semua ciptaan-Nya di dunia ini, dimana manusia dan ciptaan lain hidup berdampingan untuk memuliakan Dia dan hidup dalam kerajaan shalom (damai sejahtera) bersama ciptaan yang lain (Berkman dalam Mamahit, 2007: 15).

dan

pemilik

ciptaan,

Allah

2. Manusia sebagai Agen Allah dan Penatalayan Lingkungan Hidup Manusia, sebagai ciptaan Allah, menerima dua mandat utama dalam hubungannya dengan ciptaan lain (Gulick, 1998:187), yaitu:  Untuk menjadi representasi Allah di dunia ini, di mana ia menerima

kekuasaan untuk memerintah atas ciptaan yang lain. Mandat ini manusia terima dari Allah sebagai konsekuensi dari makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Moule (1964: 3) mengatakan: “God-like is the responsible authority, the responsibility for rulling natur because human being wears God’s image.” Karena itu, sebagai gambar dan rupa Allah, manusia bukan hanya mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama ciptaan Allah yang lain, sebagaimana Allah sendiri bertanggung jawab atas seluruh ciptaan-Nya.

 Untuk menjadi penatalayan yang baik atas ciptaan yang lain. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah mempunyai kaitan yang erat dengan perannya sebagai penatalayan dan pelaksana atas ciptaan (Deane, 1999: 21). Allah memberikan mandat kepada manusia untuk berkuasa dan menaklukkan bumi ini. Akan tetapi, mandat berkuasa ini dipahami sebagai kepemimpinan diantara pihak-pihak yang seimbang, yang dijalankan dalam kerangka ‘perawatan dan penopang bumi’ (Mamahit, 2007: 18). Karena itu, ada dua aspek yang harus manusia jalankan dengan seimbang dalam tugasnya sebagai penatalayan lingkungan hidupnya, yaitu: penatalayan sebagai tugas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, dan penatalayan sebagai tugas pemelihara alam (Borrong dalam Mamahit, 2007:18).

Kedudukan manusia sebagai ‘mahkota penciptaan’, atau dikenal juga sebagai ‘a print of completeness’, membuat manusia menjadi bagian utama dan langsung dari seluruh ciptaan lain, dan tidak dapat memisahkan diri dari seluruh ciptaan. Allah memanggil manusia untuk menggunakan semua ciptaan yang lain untuk menciptakan kesejahteraan dan membangun suatu peradaban yang kompleks, yang tentu saja dengan jalan yang tidak menghancurkan ciptaan dan dengan demikian menjaga agar seluruh ciptaan tetap memuji Alalh (Mott, 2000: 50).

3. Bumi sebagai Lingkungan Hidup yang Utuh Bumi atau lingkungan hidup juga memiliki nilai spiritual atau dimensi rohani tersendiri dalam fungsinya sebagai media kesenangan Allah. Alam juga memiliki nilai sakral dilihat dari keteraturan, nilai dan arti yang diberikan oleh Allah sendiri, dan karena segala sesuatu Allah ciptakan dengan baik, dan sesuai dengan rancangan dan kehendak-Nya. Allah menciptakan bumi dan segala isinya ini sebagai sebuah arena ‘refleksi dan aksi’ Ilahi, atau sebagai cermin atau buku yang memamerkan kemuliaan Allah (Schreiner, 1995: 65-66). Selain itu, Allah juga menciptakan bumi dan segala isinya untuk melayani kepentingan manusia, yaitu agar manusia mendapat kenikmatan dan kesenangan (enjoyment and pleasure), dan juga sebagai tempat bagi manusia untuk memuliakan Allah (Mamahit, 2007:22). Allah memberikan hukum-hukum yang harus di patuhi oleh seluruh ciptaan-Nya, baik itu manusia maupun ciptaan lain, dan Allah juga memberikan tugas kepada semua ciptaan- Nya untuk berfungsi dengan baik di dalam tatanan kosmis ini. Karena itulah, maka menjaga integritas seluruh ciptaan adalah sesuatu yang 3. Bumi sebagai Lingkungan Hidup yang Utuh Bumi atau lingkungan hidup juga memiliki nilai spiritual atau dimensi rohani tersendiri dalam fungsinya sebagai media kesenangan Allah. Alam juga memiliki nilai sakral dilihat dari keteraturan, nilai dan arti yang diberikan oleh Allah sendiri, dan karena segala sesuatu Allah ciptakan dengan baik, dan sesuai dengan rancangan dan kehendak-Nya. Allah menciptakan bumi dan segala isinya ini sebagai sebuah arena ‘refleksi dan aksi’ Ilahi, atau sebagai cermin atau buku yang memamerkan kemuliaan Allah (Schreiner, 1995: 65-66). Selain itu, Allah juga menciptakan bumi dan segala isinya untuk melayani kepentingan manusia, yaitu agar manusia mendapat kenikmatan dan kesenangan (enjoyment and pleasure), dan juga sebagai tempat bagi manusia untuk memuliakan Allah (Mamahit, 2007:22). Allah memberikan hukum-hukum yang harus di patuhi oleh seluruh ciptaan-Nya, baik itu manusia maupun ciptaan lain, dan Allah juga memberikan tugas kepada semua ciptaan- Nya untuk berfungsi dengan baik di dalam tatanan kosmis ini. Karena itulah, maka menjaga integritas seluruh ciptaan adalah sesuatu yang

unsur-unsur penting berkaitan dengan penciptaan dunia ini, yaitu:  Dunia adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan dunia ini dari yang tidak ada (ex nihilo) menjadi ada. Dari sinilah lahir dua (2) aspek penting mengenai ekologi Kristen, yaitu: kepemilikan Allah dan kepelayanan manusia.

 Dunia adalah milik Allah. Allah-lah yang mempunyai lingkungan dan seluruh bumi ini, sedangkan manusia hanya menempatinya. Karena itu, kepemilikan Allah menjadi dasar dari kepelayanan kita.

 Bumi adalah satu refleksi dari Allah. Dunia natural yang Allah ciptakan, secara mendasar tidak hanya di sebut baik, tetapi juga dikatakan merefleksikan kemuliakan Allah. Sehingga setiap mata yang melihat alam ini, melihat juga bukti-bukti tentang Allah.

 Bumi ditopang dan diselenggarakan oleh Allah. Allah bukan hanya menciptakan segala sesuatu, tetapi Allah juga penegak dan penyelenggara dunia natural yang perlu untuk menopang seluruh kehidupan.

 Dunia ini di bawah kovenan (perjanjian) dengan Allah. Allah, sebagai pemilik dari dunia ini, telah membuat suatu perjanjian dengan segala yang hidup, melalui Nuh, untuk tidak lagi menghancurkan seluruh yang hidup dengan air bah (kitab Kejadian 1:1-17 dalam Alkitab, 1999). Perjanjian ini menimbulkan kewajiban bagi manusia untuk memelihara  Dunia ini di bawah kovenan (perjanjian) dengan Allah. Allah, sebagai pemilik dari dunia ini, telah membuat suatu perjanjian dengan segala yang hidup, melalui Nuh, untuk tidak lagi menghancurkan seluruh yang hidup dengan air bah (kitab Kejadian 1:1-17 dalam Alkitab, 1999). Perjanjian ini menimbulkan kewajiban bagi manusia untuk memelihara

 Umat manusia adalah penjaga lingkungan. Allah adalah pencipta dan pemilik bumi, tetapi manusia adalah pemeliharanya. Ada tiga kewajiban dasar manusia terhadap lingkungan sebagai implikasi dari tugas ini, yaitu:  Berkembang biak dan memenuhi bumi.

Hal penting berkaitan dengan perintah ini adalah bahwa Allah memberikan perintah ini untuk manusia berpopulasi dan bukan untuk membuat populasi yang berlebihan di bumi ini, sehingga menjadi terlalu memenuhi bumi ini. Ini penting untuk menciptakan keseimbangan antara alam, binatang, dan manusia.

 Menaklukkan bumi dan berkuasa atasnya. Dalam hal ini manusia bukan saja berada di dalam alam, tetapi ditempatkan untuk menguasainya. Dapat dikatakan bahwa manusia bukan saja seorang petani di dalam ciptaan, tetapi juga seorang raja yang menguasai ciptaan.

 Mengusahakan serta memelihara. Manusia bukan hanya harus bekerja di dalam dunia ini, tetapi juga harus memeliharanya. Perintah ini membuat manusia terikat dengan tugas untuk melayani dan memelihara bumi.

Tatanan yang ada ini adalah suatu tatanan yang ideal dan dapat dikerjakan. Akan tetapi, kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak hubungan antara Allah, manusia, dan bumi menjadi tidak sempurna dan tidak ideal lagi. Dimana citra diri Allah yang ada pada manusia rusak, sehingga manusia tidak lagi bertanggung jawab atas lingkungan hidupnya, dan tidak lagi dapat hidup Tatanan yang ada ini adalah suatu tatanan yang ideal dan dapat dikerjakan. Akan tetapi, kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak hubungan antara Allah, manusia, dan bumi menjadi tidak sempurna dan tidak ideal lagi. Dimana citra diri Allah yang ada pada manusia rusak, sehingga manusia tidak lagi bertanggung jawab atas lingkungan hidupnya, dan tidak lagi dapat hidup

Kristus datang ke dalam dunia ini untuk menebus dan membebaskan manusia dari dosa. Pembebasan yang Allah lakukan ini, telah memulihkan kembali citra Allah dalam diri manusia yang telah rusak, dan memulihkan pula secara total tanggung jawab manusia, baik kepada Allah, kepada dirinya sendiri, maupun kepada lingkungan hidupnya (Mamahit, 2007: 11-12).

Keutuhan penebusan ciptaan yang Kristus lakukan akan membuat seluruh ciptaan yang rusak, karena dosa manusia, akan mengalami proses transformasi sehingga menjadi langit dan bumi yang baru. Dalam konteks ini, bumi atau lingkungan hidup telah, sedang, dan akan mengalami tiga tahapan yaitu: dari penciptaan (protology), ke penebusan (soteriology), dan kemudian sampai pada pemuliaan dalam langit dan bumi yang baru (eschatology) (Kirkpatrick (1990:42-43) dalam Mamahit, 2007: 22)

Middleton (2006) menyatakan bahwa “Creation was never meant to be static, but was intended by God from the beginning to be developmental, moving toward a goal.…., it is important to emphasize that redemption in the Scriptures is the restoration of God’s creational intent for humanity and the world, including the development of culture and society through humanity’s interaction with the earth.”

Pernyataan di atas semakin menegaskan pernyataan Bolt dalam Mamahit (2007: 12) bahwa karya Allah mempunyai cakupan yang sangat luas, mulai dari Pernyataan di atas semakin menegaskan pernyataan Bolt dalam Mamahit (2007: 12) bahwa karya Allah mempunyai cakupan yang sangat luas, mulai dari

Pada akhirnya, relasi antara Allah-Manusia-Bumi/Dunia di dasarkan pada tiga hal, yaitu: Allah sebagai pencipta dan pemilik kehidupan; manusia sebagai agen Allah dan penatalayan lingkungan hidup; dan bumi sebagai lingkungan hidup yang utuh. Ketiga hal ini harus diperhatikan, dan menjadi suatu kesadaran yang wajib dipahami serta dijadikan pegangan oleh setiap orang dalam melaksanakan aktivitas ekonomi ataupun aktivitas bisnisnya. Karena relasi inilah yang Allah nyatakan kepada manusia sejak awal mula Allah menciptakan dunia ini, dan yang juga telah Allah pulihkan dan nyatakan kepada manusia pada saat ini, melalui penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus lakukan di dunia.

2.4.4.2.2 Prinsip dasar Alkitab mengenai ekonomi

Alkitab membagi sejarah umat manusia ke dalam empat (4) zaman atau sejarah, yang juga menjadi empat (4) asas utama atau perpektif di dalam memahami seluruh cerita / isi Alkitab (Stott,(1996: 35-37) dan Perdana, (2006)):

1. Penciptaan (Creation) Suatu azas yang mutlak dalam iman Kristiani adalah, bahwa pada mulanya Allah menciptakan seluruh alam semesta dari yang tiada menjadi ada, dalam kondisi yang baik. Dengan manusia, yang dicipta serupa dan segambar dengan Allah, sebagai puncak dari kisah penciptaan yang Allah lakukan.

2. Kejatuhan (Fall) Ini adalah saat dimana manusia memberontak kepada Allah dan tidak lagi dengar-dengaran kepada kebenaran Allah. Hal ini telah membuat seluruh 2. Kejatuhan (Fall) Ini adalah saat dimana manusia memberontak kepada Allah dan tidak lagi dengar-dengaran kepada kebenaran Allah. Hal ini telah membuat seluruh

3. Penebusan (Redemption) Walaupun dunia kita telah tercemar oleh dosa, Allah masuk dalam dunia untuk menebus dan menjadikannya baru. Allah memberikan diri-Nya sendiri, dalam diri Yesus Kristus, untuk menebus dosa manusia dan menyelamatkan manusia. Dan melalui Roh-Nya Ia menciptakan ulang umat manusia dan bahkan membawa seluruh ciptaan kembali kepada persekutuan dengan Allah.

4. Penggenapan atau pemuliaan (Consummation) Inilah visi terakhir cerita Allah, sebagaimana Ia telah berjanji memperbaharui seluruh alam semesta dan membawa kerajaan Allah ke dalam penggenapannya yang sempurna. Inilah saat dimana Ia juga akan menghakimi kejahatan, dan Ia akan membebaskan ciptaan-Nya dari kejahatan, yaitu kebebasan daripada kehancuran. Keempat hal inilah yang akan membuat kita mengert dan memaknai

setiap realita yang ada dalam perspektif yang benar, sesuai dengan yang telah Alkitab katakan. Dan dengan berdasarkan pada keempat hal inilah, seluruh prinsip-prinsip penting di dalam ekonomi dibangun, seperti yang telah disampaikan oleh Hidayat dan Subeno diatas. Dimana manusia memiliki pandangan yang benar mengenai siapa Allah, keberadaan dan fungsi manusia di setiap realita yang ada dalam perspektif yang benar, sesuai dengan yang telah Alkitab katakan. Dan dengan berdasarkan pada keempat hal inilah, seluruh prinsip-prinsip penting di dalam ekonomi dibangun, seperti yang telah disampaikan oleh Hidayat dan Subeno diatas. Dimana manusia memiliki pandangan yang benar mengenai siapa Allah, keberadaan dan fungsi manusia di

Dengan keempat asas utama atau perpektif, dan relasi antara Allah- Manusia-Bumi/Dunia inilah seluruh prinsip-prinsip Alkitab mengenai ekonomi dibangun. Subeno (2006) memberikan beberapa prinsip dasar Alkitab mengenai ekonomi, yaitu:

1. Menggarap pekerjaan yang Tuhan perintahkan (sesuai dengan kebenaran Tuhan).

2. Mengupayakan kesejahteraan bersama dan totalitas (memperhitungkan jangka panjang dan jangka pendek).

3. Setiap orang harus bekerja, yang tidak bekerja tidak usah makan.

4. Yang di cari dalam ekonomi adalah proporsional benefit, dan bukannya mencari keuntungan semata.

5. Tidak mempermainkan resiko, tetapi menghindari resiko, karena ekonomi bukanlah judi. Hidayat (2006) juga menarik beberapa kesimpulan awal mengenai

prinsip-prinsip ekonomi, yaitu:

1. Penyataan Allah secara khusus dan secara umum perlu dilihat sebagai dua kekuatan harmonis berdampak ekonomi, keduanya terang terpercaya bagi pola pikir dan pengambilan keputusan ekonomi manusia.

2. Allah adalah Pencipta-Pemelihara-Penebus, sumber dan pemilik mutlak dari segala karunia yang manusia nikmati dalam hidup ini. Hanya Allah- lah yang boleh menerima kepercayaan, ketaatan, dan ketergantungan mutlak manusia.

3. Manusia diciptakan Allah sebagai wakil Allah, dilimpahi berbagai kemungkinan dan potensi untuk menikmati kebaikan-kebaikan Allah, untuk menggunakan wibawa-Nya dengan penuh tanggung jawab, mengembangkan segenap aspek hidup, ekonomi-sosial-politis dalam semangat syukur dan menatalayan. Harta benda adalah berkat Allah.

4. Harta benda baik adanya, patut disyukuri, namun bukan yang terpenting dalam hidup, tidak tepat dijadikan andalan dan orientasi hidup, bukan ukuran mutlak tentang kerohanian. Kita hanyalah pemilik kedua di bawah kepemilikan mutlak Allah, yang menciptakan dan mengadakan semua itu demi kebaikan kita.

5. Dosa adalah

ekonomi, yang mendatangkan berbagai kutuk yang merusak dan menghancurkan. Wawasan ekonomi yang materialistis, egosentris, kompetitif tak terkendali, sekuler, tidak mensyukuri dan memuliakan Allah, menyingkirkan etika dan moral dari ekonomi dan bisnis, adalah akibat dari kerusakan manusia dalam dosa. Reformasi terhadap kondisi jahat itu dapat terjadi bila manusia pada umumnya kembali kepada prinsip-prinsip yang Tuhan telah nyatakan dalam hati nurani, dan prinsip keluhuran hidup dengan pertolongan Allah, dan bila manusia Kristen konsisten memberlakukan prinsip etika Kristennya. Seluruh prinsip ini membangun suatu sistem ekonomi yang bersifat ke-

pemutarbalikkan prinsip-prinsip

Tuhan-an, dengan tidak melupakan kesejahteraan manusia dan kebaikan seluruh ciptaan Allah, dan tidak berfokus pada mencari keuntungan belaka. Karena segala sesuatu dikerjakan untuk Allah, dan tidak ada satu hal pun yang Tuhan-an, dengan tidak melupakan kesejahteraan manusia dan kebaikan seluruh ciptaan Allah, dan tidak berfokus pada mencari keuntungan belaka. Karena segala sesuatu dikerjakan untuk Allah, dan tidak ada satu hal pun yang

2.4.4.3 Pandangan etika Kristen mengenai pekerjaan

Susabda (1994) menegaskan bahwa Alkitab menyaksikan dengan jelas bahwa sebagai peta dan gambar Allah, manusia dipanggil untuk bekerja. Karena manusia adalah mandataris Allah yang di panggil untuk menaklukkan dan mengerjakan bumi (Kejadian 1:27; Efesus 2:10 dalam Alkitab, 1999). Paus John Paul II dalam Susabda (1994) dengan tepat mengatakan, “Man is made to be in the visible universe an image and likeness of god himself, and he is placed in it in order to suddue the earth. From the beginning therefore he is called to work.”

Verkuyl (1982b:16-17) mengatakan Allah itu adalah Allah yang bekerja, maka sebagai gambar dan rupa Allah, kerja pun termasuk hakekat dari manusia. Akan tetapi, kerja manusia ini harus dilihat di dalam hubungan antara Allah dan manusia. Karena Allah-lah yang memberikan kepada manusia suatu jabatan kepercayaan dalam alam ciptaan-Nya, yaitu sebagai mandataris Allah di bumi.

Kerja menurut Alkitab ialah kerja dengan instruksi Allah, dalam pelayanan kepada-Nya, dan ditujukan kepada rencana-Nya. Sehingga kerja itu sendiri adalah dari Allah, oleh Allah, dan bagi Allah (Verkuyl, 1982b:17).

Pandangan mengenai pekerjaan menjadi penting untuk di ketahui. Karena di dalam aktivitas ekonomi ataupun aktivitas bisnis yang dilakukan oleh manusia terdapat unsur pekerjaan di dalamnya. Sehingga ketika kita berbicara mengenai etika bisnis Kristen, kita tidak dapat melepaskannya dari pandangan kekristenan mengenai pekerjaan. Dimana kerja merupakan bagian dari peta dan gambar Allah, yang bertugas sebagai mandataris Allah di bumi, yang di panggil Pandangan mengenai pekerjaan menjadi penting untuk di ketahui. Karena di dalam aktivitas ekonomi ataupun aktivitas bisnis yang dilakukan oleh manusia terdapat unsur pekerjaan di dalamnya. Sehingga ketika kita berbicara mengenai etika bisnis Kristen, kita tidak dapat melepaskannya dari pandangan kekristenan mengenai pekerjaan. Dimana kerja merupakan bagian dari peta dan gambar Allah, yang bertugas sebagai mandataris Allah di bumi, yang di panggil

2.4.4.3.1 Motivasi kerja

Alkitab memberikan beberapa motif, yang berasal dari pekerjaan Kristus dan Roh kudus dalam hati manusia, yang menggerakkan orang untuk bekerja (Verkuyl, 1982b: 34-38), yaitu:

 Kerja karena kasih kepada Allah. Kasih kepada Allah inilah yang hendak Roh Kudus nyatakan di dalam pekerjaan manusia.  Kerja karena kasih kepada sesama manusia. Dengan motif ini orang menjaga supaya ia tidak perlu menjadi beban bagi orang lain, dan supaya dapat menambah kebahagiaan orang lain.

 Kerja karena kasih kepada diri sendiri. Allah mengikat manusia untuk bekerja selagi kita masih berdaya atau mampu untuk bekerja memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

 Kerja karena percaya kepada Allah. Kerja di bawah pimpinan Allah adalah kerja yang dibebaskan dari rasa takut dan kuatir. Dan kerja di bawah pimpinan Roh Kudus adalah kerja dengan suasana Kerajaan Allah, yaitu kerja ‘dari iman ke iman’. Sejak seorang menjadi milik Kristus, segala sesuatu yang ia lakukan

harus benar-benar untuk kemuliaan Allah. Karena itulah, maka motivasi manusia dalam bekerja pun adalah untuk memuliakan Allah. Dan jika manusia mengerjakan sesuatu tanpa bermaksud untuk memuliakan Allah, maka pekerjaan tersebut adalah dosa (Susabda,1994).

Motivasi kerja yang telah disebutkan ini akan menghasilkan citra kerja Kristen (Subeno: 1999), yaitu:

1). God Center Work (kerja yang berorientasi kepada Allah) dan bukan kepada diri, uang, kenikmatan serta sekularisme atau keduniawian. Karena segala sesuatu adalah dari Allah, kepada Allah, dan untuk Allah, bagi Allah kemuliaan untuk selama-lamanya.

2). Orientasi kerja berada di dalam tanggung jawab dan bukan hasil. Dalam hal ini tanggung jawab kita adalah mengerjakan dengan maksimal apa yang menjadi tanggung jawab kita. Karena selebihnya adalah bagian Tuhan.

3). High Quality Effort. Yaitu perjuangan untuk mencapai kualitas tertinggi yang mungkin kita capai. Semangat kerja mengejar mutu yang tertinggi yang kita mampu perjuangkan, tidak pernah takut susah dan mau berkembang mencapai titik maksimal, itu yang harus kita munculkan.

4). Truth Ethics (etika yang sejati). Truth ethics adalah panggilan kerja Kristen. Orang Kristen bukan hanya sekedar semangat kerja keras. tetapi juga melakukan “pekerjaan baik", yang berarti pekerjaan itu harus mencapai kualitas etik tertentu, yaitu kalau ketiga hal yaitu tujuan, motivasi dan caranya baik.

5). Altruistic Consideration (pertimbangan altruistik atrau memikirkan berkat bagi orang lain). Berpikir bahwa apa yang Tuhan percayakan kepada kita juga harus disalurkan pada orang lain, karena baik otak, kemampuan, kesempatan, harta dan segala sesuatu adalah dari Tuhan.

6). Menjadi berkat buat seluruh alam semesta. Bagaimana kita bekerja mendayagunakan dan mengembangkan seluruh budidaya dan potensi alam untuk kesejahteraan seluruh alam.

Motivasi pertama dan utama bagi manusia untuk bekerja adalah kemuliaan Allah. Dimana segala sesuatu yang manusia kerjakan semata-mata Motivasi pertama dan utama bagi manusia untuk bekerja adalah kemuliaan Allah. Dimana segala sesuatu yang manusia kerjakan semata-mata

2.4.4.3.2 Tujuan kerja

Allah menempatkan manusia di atas bumi, supaya ia mengusahakan tanah di bumi. Dan supaya manusia menggali, mempergunakan dan mengembangkan segala kemungkinan-kemungkinan yang hebat, karena Allah menciptakan dunia ini dalam keadaan yang belum dikerjakan, dan dengan segala kemungkinan yang serba hebat tertimbun di dalamnya. Dalam hal ini, maka kerja termasuk di dalam rencana penciptaan Allah sendiri (Verkuyl, 1982b: 23).

Berangkat dari pemahaman tersebut maka arti dan tujuan kerja terletak dalam penggunaan secara sadar kemungkinan-kemungkinan yang terkandung di dalam alam yang diciptakan oleh Allah, untuk kemuliaan Sang Khalik. Dan juga termasuk dalam rencana Allah, bahwa manusia dengan kerjanya akan memenuhi kebutuhannya, dan dengan hasil kerjanya ia akan melayani sesamanya manusia (Verkuyl, 1982b:24).

Susabda (1994) menambahkan bahwa kerja itu pada dirinya adalah karakteristik manusia sebagai peta dan gambar Allah. Oleh sebab itu tujuan utama dari kerja adalah menemukan pemenuhan dari natur dan panggilannya sebagai manusia. Dengan kata lain, tujuan utama dari kerja bukanlah untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Dorothy Sayers dalam Susabda (1994) menyatakan “Work is not primarily one does to live, but a thing one lives to do.” Dengan demikian, hasil dari suatu kerja tidak seharusnya menentukan, mengatur dan mengontrol karakteristik manusia. Bagi umat kristen, “means” (sarana) jauh lebih penting daripada “end”. Karena “means” (apa dan bagaimana manusia Susabda (1994) menambahkan bahwa kerja itu pada dirinya adalah karakteristik manusia sebagai peta dan gambar Allah. Oleh sebab itu tujuan utama dari kerja adalah menemukan pemenuhan dari natur dan panggilannya sebagai manusia. Dengan kata lain, tujuan utama dari kerja bukanlah untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Dorothy Sayers dalam Susabda (1994) menyatakan “Work is not primarily one does to live, but a thing one lives to do.” Dengan demikian, hasil dari suatu kerja tidak seharusnya menentukan, mengatur dan mengontrol karakteristik manusia. Bagi umat kristen, “means” (sarana) jauh lebih penting daripada “end”. Karena “means” (apa dan bagaimana manusia

Melalui kerja, manusia seharusnya menemukan self-fulfillment dari naturnya sebagai peta dan gambar Allah. Susabda (1994) memberikan empat poin penting mengenai kerja, yang melaluinya manusia dapat menemukan Self- fulfillment, yaitu:

a. Kerja yang mengerjakan dan mengembangkan talenta atau bakat yang Allah berikan. Allah adalah Allah yang berencana, yang menyukai keteraturan, dan keteraturan ini bukan hanya berlaku untuk pembangunan tubuh kristus yang visible, tetapi juga untuk mengerjakan setiap pekerjaan yang baik yang sudah disediakan Allah sebelumnya. Setiap individu dipanggil untuk mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan bakat yang Allah telah berikan kepadanya, dengan begitu “Self-fulfillment” dapat dialami oleh manusia. Sebagai peta dan gambar Allah, manusia adalah makhluk yang berkreasi, dan terus-menerus berkembang. Ia menemukan, menaklukkan, mengolah, dan mengembangkan bahkan merekayasa. Itulah sebabnya, melalui apa yang dikerjakannya manusia seharusnya menemukan “self- fulfillment”nya.

b) Kerja yang mengerjakan dan mengembangkan “natur yang baru” dalam kristus Sejak manusia menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, ia menjadi manusia baru dengan “natur yang baru” dalam

Kristus Yesus. Natur yang baru ini harus dipelihara, dirawat, dilatih, dikembangkan dan diaplikasikan dalam setiap aspek kehidupan sesuai dengan maksud dan rencana Allah. Dalam konteks inilah orang Kristen berbicara tentang “kerja” sebagai “self-fulfillment” natur manusia, peta dan gambar Allah. Dan orang yang sudah dilahirkan baru tak mungkin menemukan kepuasan dan self-fulfillment dari pekerjaan, jikalau pekerjaan itu tidak mengerjakan dan mengembangkan “natur yang baru” yang sudah dianugerahkan Allah padanya.

c) Kerja yang mengerjakan dan mengembangkan “keunikan relasi antara dirinya dengan alam dan lingkungannya”. Alkitab menyatakan bahwa “hidup manusia” adalah “hidup dalam ketergantungan dan relasi yang harmonis” dengan alam dan lingkungannya (Kejadian1:26-31 dalam Alkitab, 1999). Ada sesuatu perjanjian (covenant) yang disahkan oleh Allah, antara manusia dengan sesama dan lingkungannya. Yaitu bahwa segala binatang dan tumbuh- tumbuhan boleh menjadi makanan manusia, tetapi “hidup itu sendiri” bukanlah wewenang manusia (Kejadian 9:4 dalam Alkitab,1999). Jadi, satu pihak manusia diciptakan sebagai mandataris yang harus mengelola dan mengerjakan alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi, di lain pihak manusia juga di panggil untuk memelihara kelestarian hidup ini. Bahkan “nilai dan daya kehidupan” dari benda pun harus dipelihara.

d) Kerja yang mengerjakan hal-hal yang memuliakan allah Bisnis dan kerja dalam bentuk apa saja bagi orang Kristen adalah ibadah kepada Allah. “Labore Orare (work is workship)” adalah motto Kristen d) Kerja yang mengerjakan hal-hal yang memuliakan allah Bisnis dan kerja dalam bentuk apa saja bagi orang Kristen adalah ibadah kepada Allah. “Labore Orare (work is workship)” adalah motto Kristen

Allah yang telah ditetapkannya bagi manusia untuk kemuliaan Sang Khalik. Dan juga termasuk dalam rencana Allah ini, bahwa manusia dengan pekerjaannya akan dapat memenuhi kebutuhannya, dan dengan hasil kerjanya itu pula ia akan melayani sesamanya manusia. Sehingga pemenuhan kebutuhan atau keinginan diri, penguasaan atas sesam manusia dan ciptaan lain, dan lain-lain, bukanlah menjadi tujuan utama dari bekerja itu sendiri. Melainkan melalui bekerja inilah, maka manusia dapat menemukan pemenuhan dari natur dan panggilannya sebagai manusia, yang telah Allah ciptakan. Dan dengan itu pula manusia dapat merasakan kebahagian yang kekal yang tidak dapat dirusak oleh waktu.

2.4.4.4 Dasar pengambilan keputusan etika bisnis Kristen

Hill (2001: 10) mengatakan bahwa etika Kristen adalah aplikasi dari nilai- nilai Kristiani terhadap proses pengambilan keputusan. Maka etika Kristen dapat pula diterapkan di dalam dunia bisnis. Sehingga etika Kristen bukanlah etika yang berdiri sendiri dan berbeda dari etika Kristen. Akan tetapi, etika Kristen ini berlaku di setiap segi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bisnis.

Sehingga etika bisnis Kristen dibangun di atas dasar yang sama dengan etika Kristen pada umumnya, dengan lebih memperhatikan pada apa yang Alkitab katakan mengenai aspek ekonomi dan kerja. Karena kedua hal ini berhubungan dengan dunia bisnis.

Berkaitan dengan itu, maka di dalam pengambilan keputusan etis di dalam bisnis ada tiga (3) hal yang perlu untuk diperhatikan (Matakupan, 2006), yaitu:

1) Motif Motif adalah sesuatu yang men’drive’ atau menggerakkan seseorang

untuk melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini motif dari etika Kristen adalah ‘apa yang menjadi kehendak Allah’. Jadi yang menggerakkan orang kristen untuk berperilaku etis adalah kehendak Allah. Frame (dalam http://www.acad.erskine edu, 2007) dan Kelley dalam Indrayana (2004) menyatakan bahwa motif yang benar (right motive), berasal dari: Iman, dan hati yang penuh dengan kebenaran dan keadilan untuk mengerjakan kehendak Allah (lihat Ulangan 6:5; Matius 5:8; 1 Korintus 13:1; Roma 14:23; Ibrani 11:6 dalam Alkitab, 1999).

2) Tujuan Tujuan adalah akhir dari pada tindakan yang manusia lakukan (end of action). Dalam hal ini tujuan dari melakukan tindakan etis atau etika Kristen adalah melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Allah. Frame (dalam http://www.acad.erskine edu, 2007) dan Kelley dalam Indrayana (2004) menyatakan bahwa tujuan yang benar (right goal) adalah untuk kemuliaan bagi Allah (the glory of God) (lihat 1 Korintus 10:31; Kolose 3:23; Matius 6:33; 1Korintus10 : 31; Filipi 4 : 8 dalam Alkitab, 1999).

3) Cara atau standar Standar adalah kriteria dari pada seseorang di dalam menentukan apa

yang baik dan yang tidak baik. Dalam hal ini standar etika Kristen adalah segala yang telah Tuhan katakan di dalam Firman Tuhan (Alkitab). Demikian juga dengan cara yang digunakan harus berdasarkan apa yang Tuhan katakan di dalam Firman Tuhan (Alkitab). Karena di dalam Alkitab terdapat segala hal yang merupakan kehendak Allah yang telah Allah nyatakan kepada manusia dan juga berisi pengetahuan mengenai apa yang benar. Frame (dalam http://www.acad.erskine edu, 2007) menegaskan kembali bahwa standard yang benar (right standard) dalam etika Kristen berasal dari Firman Tuhan (lihat Matius 22:35-38; Yakobus 2:10; Mazmur 119:9-11; Galatia 5:19-25; Matius 6:22-24; Galatia 5:13;

Filipi 4:8 dalam Alkitab, 1999). Subeno (2000) mengatakan bahwa standar harus kembali kepada firman, yang menjadi basis etika dalam menentukan apa yang benar dan yang menjadi satu titik tolak didalam seluruh pola pikir manusia. Ketiga hal ini harus menjadi pertimbangan dalam diri setiap orang Kristen

jika ingin melakukan etika Kristen yang benar. Ketiga hal ini haruslah baik semuanya (motifnya baik, tujuannya baik, dan standarnya baik) barulah suatu tindakan dapat dikatakan beretika Kristen yang baik.

Suatu hal dikatakan ‘baik’, jika memenuhi syarat berikut (Katekismus Heidelberg, 1563):  Timbul dari iman kepada Yesus Kristus.  Dilakukan sesuai dengan hukum Taurat yang telah Allah berikan  Dilakukan hanya demi atau untuk kemuliaan Allah, dan

 Dilakukan bukan berdasarkan atas aturan manusia atau kemauan kita sendiri. Jadi, motif, tujuan, dan cara/standar dikatakan baik, jika masing-masing telah memenuhi ketiga syarat ini. Dan tidak melalaikan salah satu poin yang telah di sebutkan tersebut di atas.

Hill (2001:13-14) juga menambahkan bahwa pengambilan keputusan etis dalam etika Kristen mempunyai hubungan langsung dengan ketiga sifat Ilahi. Etika Kristen menuntut ketiga sifat Ilahi ini senantiasa dipertimbangkan dalam mengambil keputusan. Ketiga sifat Ilahi tersebut adalah:

1) Kekudusan Kekudusan yaitu konsep ibadah yang tulus kepada Allah dan kemurnian etika yang mutlak. Kekudusan juga dapat diartikan sebagai suara yang bersaing, meminta kita untuk menghormati Allah, memuji Dia pada keadaan-keadaan yang baik dan senantiasa berdoa pada keadaan- keadaan yang buruk. Kekudusan ini dibentuk oleh empat elemen utama, yaitu:

 Giat bagi Tuhan. Kekudusan memanggil kita untuk giat menjadikan Allah sebagai prioritas tertinggi  Kemurnian. Kemurnian merefleksikan kesempurnaan moral Allah dan keterpisahan dari semua yang secara etis tidak bersih. Kemurnian etika menunjukkan kesempurnaan moral Allah dan ketidaksenangan akan segala sesuatu yang tidak murni.

 Tanggung jawab. Kekudusan menjadikan kita bertanggung jawab dengan menjunjung kemurnian moral dihargai dan menghukum ketidakmurnian.

 Kerendahan hati. Kerendahan hati adalah akibat alamiah dari usaha meniru kekudusan Tuhan. Kekudusan memberikan kita suatu penilaian diri yang benar, serta mengempiskan balon kebanggaan diri.

2) Keadilan Pada dasarnya keadilan memberikan suatu aturan bagi hubungan antar manusia dengan memberikan suatu hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban bagi mereka yang hidup dalam konteks kemasyarakatan. Kewajiban dan hak merupakan dua sisi pada satu koin uang logam keadilan. Di dalam keadilan terdapat empat aspek dasar, yaitu:

1) Hak-hak prosedural. Hak ini menitikberatkan pada proses-proses dalam pengambilan keputusan. Di dalam hak ini, terkait dua istilah hukum, yaitu: hak asasi dan perlindungan yang sama.

2) Hak-hak substantif (dasar). Hak ini adalah apa yang dilindungi oleh hak-hak prosedural, tetapi sifatnya dapat universal atau memiliki sifat khusus bergantung pada masyarakatnya.

3) Keadilan yang layak diterima. Hal ini berhubungan dengan konsep sebab dan akibat, karena setiap orang menerima berdasarkan keunggulan yang dimiliknya.

4) Keadilan berdasarkan kontrak. Keadilan ini terbatas pada tiga kewajiban yang bersamaan, yaitu: tidak boleh melanggar suatu perintah negatif dengan menyebabkan ancaman bagi orang lain; harus menghormati keadilan prosedural; dan memenuhi perjanjian yang ada.

3) Kasih Definisi kasih menurut Allah mencakup kekudusan (menjadikan Allah sebagai prioritas tertinggi), dan keadilan (memperhatikan kepentingan orang lain dalam setiap keputusan). Lebih menekankan pada hubungan antar manusia dan menciptakan ikatan antar manusia. Kasih Kristen memiliki tiga karakter utama, yaitu

 Empati. Empati membuat kita ikut senang ketika orang lain bahagia, dan turut bersedih di dalam kesusahan mereka.  Belas kasihan. Belas kasihan akan membuat kita mengambil tindakan untuk mereka yang sedang dalam kesulitan.  Pengorbanan diri. Pengorbanan diri di sini merupakan kerelaan untuk melepaskan hak-hak pribadi, yang kita peroleh dengan adil (sesuai dengan hak kita), untuk diberikan kepada orang lain.

Etika Kristen bukanlah suatu analisis yang mementingkan ini dan mengesampingkan yang lain, seolah-olah kita dapat memilih antara kekudusan, keadilan, dan kasih, tetapi lebih merupakan perpaduan dari ketiga kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu tindakan dianggap bermoral (Hill, 2001: 14). Karena itulah, maka suatu bisnis dapat dikatakan sesuai dengan etika bisnis Kristen bukan hanya jika telah memenuhi ketiga syarat, yaitu motif baik, tujuan baik, dan cara/standar baik; dan mempertimbangkan ketiga sifat Ilahi, yaitu kekudusan, keadilan, dan kasih. Akan tetapi, juga dengan memperhatikan secara keseluruhan aspek-aspek yang ada di dalam etika Kristen, antara lain: dasar, tujuan dan karakteristik yang ada di dalam etika Kristen, dan pandangan etika Kristen terhadap hal-hal yang ada di dalam masyarakat. Karena etika bisnis Kristen bukanlah suatu hal yang bersifat parsial, tetapi bersifat keutuhan. Dimana Etika Kristen bukanlah suatu analisis yang mementingkan ini dan mengesampingkan yang lain, seolah-olah kita dapat memilih antara kekudusan, keadilan, dan kasih, tetapi lebih merupakan perpaduan dari ketiga kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu tindakan dianggap bermoral (Hill, 2001: 14). Karena itulah, maka suatu bisnis dapat dikatakan sesuai dengan etika bisnis Kristen bukan hanya jika telah memenuhi ketiga syarat, yaitu motif baik, tujuan baik, dan cara/standar baik; dan mempertimbangkan ketiga sifat Ilahi, yaitu kekudusan, keadilan, dan kasih. Akan tetapi, juga dengan memperhatikan secara keseluruhan aspek-aspek yang ada di dalam etika Kristen, antara lain: dasar, tujuan dan karakteristik yang ada di dalam etika Kristen, dan pandangan etika Kristen terhadap hal-hal yang ada di dalam masyarakat. Karena etika bisnis Kristen bukanlah suatu hal yang bersifat parsial, tetapi bersifat keutuhan. Dimana