Definisi etika

2.4.1 Definisi etika

Kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘ethos’. Kata ‘ethos’ di dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap cara berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak (ta etha), artinya adalah adat kebiasaan. Arti etika dalam bentuk jamak inilah yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya istilah ‘etika’. Kata ini lebih berarti kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan (Verkuyl, 1982a: 15). Sedangkan jika hanya berdasarkan asal-usul kata, maka kata ’etika’ memiliki arti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 1999: 4).

Kata ‘etika’ ini memiliki keterkaitan yang erat dengan kata ‘moral’. Karena kata ‘moral’ sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu ‘mos’ (dalam bentuk jamaknya menjadi ‘mores’) yang juga berarti: kebiasaan, adat (Bertens, 1999: 5). Verkuyl (1982a:15) menyatakan bahwa di dalam bahasa latin, istilah “ethos” juga sering disebutkan dengan kata “mos”, oleh karena itulah maka kata “etika” sering pula diterangkan dengan kata “moral”. Bertens (1999: 5) juga menyatakan bahwa secara etimologi, kata ‘etika’ sama dengan etimologi kata ‘moral’, karena keduanya berasal dari kata yang berarti sama, yaitu ‘adat kebiasaan’. Hanya Kata ‘etika’ ini memiliki keterkaitan yang erat dengan kata ‘moral’. Karena kata ‘moral’ sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu ‘mos’ (dalam bentuk jamaknya menjadi ‘mores’) yang juga berarti: kebiasaan, adat (Bertens, 1999: 5). Verkuyl (1982a:15) menyatakan bahwa di dalam bahasa latin, istilah “ethos” juga sering disebutkan dengan kata “mos”, oleh karena itulah maka kata “etika” sering pula diterangkan dengan kata “moral”. Bertens (1999: 5) juga menyatakan bahwa secara etimologi, kata ‘etika’ sama dengan etimologi kata ‘moral’, karena keduanya berasal dari kata yang berarti sama, yaitu ‘adat kebiasaan’. Hanya

Arti kata yang sama membuat kata ‘etika’ sering pula diterangkan dengan kata ‘moral’. Akan tetapi, di dalam perkembangannya kata moral telah mengalami pendangkalan arti. Karena, kadang kala kata ‘moral’ atau ‘mores’ sering kali hanya berarti kelakuan lahir seseorang. Sedangkan kata ‘etika’ tidak hanya menyinggung perbuatan lahiriah saja, tetapi senantiasa menyinggung juga kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam. (Verkuyl, 1982a: 15)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 1988) dalam Bertens (1999: 5) mendefinisikan etika sebagai berikut:

1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

2. Kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Iman ( http://www.nofieiman.com , 2006) memberikan definisi sebagai

berikut ”Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.”

Sedangkan Verkuyl (1982a:15-16) menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan etika dapat dinyatakan dalam kata ‘kesusilaan’. Kata ‘sila’ memiliki dua (2) arti, yaitu:

1. Berarti norma (kaidah), peraturan hidup, perintah;

2. Menyatakan sikap, keadaan, siasat batin, perikelakuan, sopan santun, dan sebagainya. Sedangkan kata ‘su’ berarti: baik, bagus. Sehibgga kata ‘kesusilaan ini

menghasilkan dua arti, yaitu:

1) Menunjukkan norma dan menerangkan bahwa norma itu baik;

2) Menunjukkan sikap terhadap norma itu dan menyatakan bahwa perilakuan harus sesuai dengan norma. Bertens (2000: 33) mencoba untuk menganalisis definisi etika, dengan

membedakan antara “etika sebagai praktis” dan “etika sebagai refleksi”:  Etika sebagai praktis.

Hal ini berarti nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak di praktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Atau dapat dikatakan juga bahwa etika sebagai praktis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai dengan atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.

 Etika sebagai refleksi. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika ini kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh. Etika sebagai refleksi berbicara mengenai etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai objeknya.

Dalimunthe (2004) menyatakan bahwa etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat, akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.

Bertens (1999:15) juga menyatakan bahwa etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas, atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan Bertens (1999:15) juga menyatakan bahwa etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas, atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan

1. Etika deskriptif Etika ini melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya: adat

kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan- tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika ini hanya melukiskan, maka ia tidak dapat melakukan penilaian terhadap sesuatu.

2. Etika normatif Dalam etika ini peneliti tidak bertindak seperti penonton netral, tetapi ia

melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Penilaian atau pendirian dalam etika ini dibentuk di atas dasar norma-norma. Etika ini dapat dirumuskan dengan mengatakan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Etika ini bertujuan untuk merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan di dalam praktek. Etika normatif terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Etika umum. Etika ini membahas mengenai tema-tema umum.

b. Etika khusus. Etika ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus.

3. Metaetika Awalan ‘meta’ dalam kata ini berasal dari bahasa Yunani, yang berarti

‘melebihi’, ‘melampaui’. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Karena, jika di pandang dari segi tata bahasa, kalimat-kalimat etis tidaklah berbeda dari kalimat-kalimat jenis lainnya, khususnya kalimat- kalimat yang mengungkapkan fakta.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa etika merupakan kecenderungan hati seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, yang berkaitan dengan benar atau salah sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dalam hal ini setiap orang tidak bertindak sebagai penonton, tetapi setiap orang diharuskan untuk bertindak sesuai dengan aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku, dan terlibat juga di dalam mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Sehingga, etika bukan hanya merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, akan tetapi dapat juga digunakan di dalam praktek.