Motif tanggung jawab sosial perusahaan dalam perspektif etika Kristen
4.5. Motif tanggung jawab sosial perusahaan dalam perspektif etika Kristen
Di dalam bukunya, Rudito tidak memaparkan secara langsung mengenai hal-hal apa yang memotivasi, atau yang menjadi motif perusahaan dalam melakukan tanggung jawab sosial perusahan. Akan tetapi, hal ini dapat diketahui dengan cara menelaah latar belakang timbulnya tanggung jawab sosial perusahaan, kemudian menarik beberapa hal yang diperkirakan menjadi motivasi (motif) yang mendorong timbulnya tanggung jawab sosial perusahaan. Dari proses ini, didapati beberapa hal yang menjadi motif timbulnya tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu:
1. Perbedaan tingkat kesejahteraan hidup atau taraf hidup, yang diukur dengan tingkat ekonomi dan pendapatan, antara negara-negara selatan dan negara-negara utara, yang mendorong lahirnya konsep economic sustainability.
2. Kerusakan lingkungan sebagai efek dari penggunaan pengetahuan dan teknologi, yang semakin maju, dalam dunia industri dengan membabi buta, sehingga mendorong lahirnya konsep environtment sustainability.
3. Ketidakmampuan untuk dapat hidup secara berkelanjutan sebagai akibat dari usaha meningkatkan ekonomi dan pendapatan, dengan kondisi lingkungan yang tidak sejalan. Hal ini mendorong lahirnya konsep social sustainability.
4. Terabaikannya aspek mendasar, yaitu manusia dan komunitas, dalam 4. Terabaikannya aspek mendasar, yaitu manusia dan komunitas, dalam
5. Keuntungan finansial yang akan diperoleh perusahaan pada masa yang akan datang, setelah perusahaan melakukan tanggung jawab sosialnya.
6. Tuntutan dari khalayak umum dan dunia internasional terhadap kontribusi perusahaan dalam masalah-masalah lingkungan dan sosial. Berdasarkan apa yang telah di sampaikan di atas, motif-motif inilah yang
menggerakkan perusahaan untuk melakukan kewajibannya terhadap lingkungan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Berikut akan dibahas tanggapan etika Kristen terhadap masing-masing motivasi tersebut:
Perbedaan tingkat kesejahteraan hidup atau taraf hidup, yang diukur
dengan tingkat ekonomi dan pendapatan, antara negara-negara selatan dan negara-negara utara, yang mendorong lahirnya konsep economic sustainability.
Tidaklah benar menilai manusia hanya dengan menggunakan nilai ekonomi dan tingkat pendapatannya. Karena nilai manusia yang utama bukan berasal dari materi, yaitu uang, pendapatan, kekayaan dan lain- lain. Nilai manusia yang utama pertama-tama berasal dari Allah. Allah-lah yang memberikan manusia nilai, dengan menciptakan manusia segambar dengan Allah, dan hanya Dia-lah yang berhak untuk menilai baik- buruknya manusia. Dia-lah yang menciptakan manusia dari ‘yang tidak ada menjadi ada’, karena itu hanya Penciptalah yang berhak menilai baik buruknya hasil ciptaan-Nya. Dalam hal ini, semua manusia baik adanya dan berharga di mata Allah. Karena setiap kali Allah selesai mencipta, Ia
mengevaluasi setiap hasil ciptaan-Nya, dan didapati bahwa seluruh ciptaan-Nya itu baik adanya, termasuk manusia. Selain daripada itu, nilai manusia berada di dalam dirinya sendiri. Karena di dalam diri manusia melekat gambar Allah, yang membuat manusia menjadi representasi Allah di bumi ini (Mott, 2000: 50). Gambar Allah yang melekat pada manusia inilah, yang membuat manusia memiliki sifat- sifat Ilahi dalam dirinya. Kualitas inilah yang menjadi perbedaan mendasar dari seluruh ciptaan yang telah Allah jadikan. Hal ini membuat manusia menjadi ‘mahkota dari ciptaan Allah’ atau ‘a print of completeness’. Kedua hal inilah yang harus dipakai menjadi acuan dalam mengukur tingkat kesejahteraan manusia. Pada waktu menciptakan manusia, Allah mempunyai tujuan bagi masing- masing manusia ciptaan-Nya, dan karena itulah maka Allah memberikan kepada setiap manusia kapasitasnya masing-masing, sesuai dengan tujuan yang telah Allah tetapkan pada setiap orang sejak kekekalan. Allah memberikan ‘cukup’ kepada setiap orang untuk mengerjakan tujuan- tujuan yang telah Allah tetapkan bagi dirinya dan setiap orang tidak akan kekurangan. Jadi, pada dasarnya jika manusia mengerjakan tujuan yang telah Allah tetapkan di dalam hidupnya, niscaya dia akan hidup sejahtera dan tidak akan kekurangan sama sekali. Kesejahteraan yang Allah berikan kepada manusia bukan hanya meliputi kesejahteraan jasmani saja. Kesejahteraan yang Allah berikan adalah kesejahteraan yang utuh, yang meliputi kesejahteraan jasmani dan juga kesejahteraan rohani. Karena pada dasarnya, hidup manusia adalah satu keutuhan, yang terdiri dari jasmani dan rohani. Jikalau salah satunya dipisahkan dari yang lain,
atau hanya fokus pada satu hal saja, jasmani ataupun rohani, maka akan terjadi ketidakseimbangan di dalam diri manusia, karena keduanya adalah satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Karena Allah memberikan keduanya di dalam diri manusia sebagai satu kesatuan, yang melaluinya manusia memuliakan Allah. Tetapi dosa telah merusak semua itu, sehingga manusia memberikan dirinya tunduk di bawah materi, dan tidak ada satu bagian pun dalam dirinya yang tidak bergantung pada materi. Inilah yang membuat manusia mengukur segala sesuatu yang ada dalam dirinya dengan menggunakan uang atau materi. Sehingga tingkat pendapatan atau tingkat ekonomi telah menjadi ukuran mutlak dari kesejahteraaan manusia. Akan tetapi, manusia lupa bahwa ada hal-hal berkaitan dengan kesejahteraan yang tidak dapat diukur dengan uang, seperti kebahagiaan. Karena kesejahteraan bukan hanya meliputi hal-hal fisik atau jasmani saja, tetapi sejahtera juga meliputi hal-hal yang rohani pula. Kesejahteraan yang utuh ini hanya dapat di capai jikalau manusia mengenal Allah, mengenal kehendak Allah, dan mengerjakan kehendak Allah. Inilah yang seharusnya menjadi motif dalam hidup dari setiap orang. Dan motif ini hanya dapat keluar dari iman kepada Allah yang benar. Iman kepada Allah yang disertai dengan hati yang penuh dengan kebenaran dan keadilan, yang akan mendorong setiap orang untuk mencari, menemukan dan mengerjakan kehendak Allah di dalam hidupnya dan hidup berkenan kepada Allah seumur hidupnya (Kelley dalam Indrayana, 2004). Hakl ini dapat terjadi karena di dalam diri manusia terdapat “sense of divine” atau hasrat beragama, yang membuat
manusia mau tidak mau harus menyembah dan mengerjakan kehendak ‘sesuatu yang lebih besar’ dari dirinya sendiri. Bagian ini hanya dapat diisi oleh Allah sendiri. Jika bagian ini kosong, maka manusia tidak akan dapat menemukan kebahagiaan yang sejati. Kesejahteraan hidup atau taraf hidup seperti inilah yang menjadi tolak ukur di dalam hidup manusia. Bukan hanya materi saja yang menjadi tolak ukurnya, melainkan juga pengenalan setiap manusia akan Allah, akan kehendak Allah, dan mengerjakan kehendak Allah sebagai yang utama. Perbedaan tingkat pendapatan atau taraf hidup antar negara seharusnya tidak serta-merta diatasi dengan cara meningkatkan perekonomian. Perlu juga untuk memperhitungkan aspek dosa di dalamnya, yang telah secara pasti mempengaruhi masyarakat bangsa tersebut. Baik itu pada mental atau etos kerja, budaya, dan lain-lainnya. Karena peningkatan kesejahteraan tidak selalu dapat selesaikan dengan peningkatan ekonomi. Hal yang paling penting dalam mencapai kesejahteraan adalah dengan melakukan memperbaiki kualitas manusia yang telah dipengaruhi oleh dosa, agar semakin menyerupai nilai yang telah Allah berikan kepada manusia, yaitu sebagai gambar Allah .
Kerusakan lingkungan sebagai efek dari penggunaan pengetahuan
dan teknologi, yang semakin maju, dalam dunia industri dengan membabi buta, sehingga mendorong lahirnya konsep environtment sustainability.
Sebagai makhluk yang dicipta segambar dengan Allah, manusia juga memiliki kemampuan-kemampuan yang juga dimiliki oleh Allah, walaupun tetap terdapat perbedaan kualitas dengan Allah, dan tidak akan mungkin
menyamai Allah. Karena itulah di dalam diri manusia juga terdapat kemampuan untuk berkreasi (mencipta). Dengan daya kreasinya ini, manusia dapat menciptakan apapun juga dengan menggunakan segala sesuatu yang telah Allah ciptakan di dalam dunia. Inilah yang membedakan kemampuan mencipta yang ada pada manusia dan pada Allah. Manusia mencipta dari apa yang telah Allah ciptakan, dari yang ada menjadi bentuk lain yang lebih baik. Sedangkan Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada. Seluruh kemampuan mencipta yang Allah berikan ini bermanfaat bagi manusia di dalam mengerjakan tugas yang Allah berikan kepada manusia, yaitu tugas mengelola dan memelihara alam ini. Di dalam misi untuk mengerjakan tugas yang Allah berikan inilah, maka manusia menciptakan berbagai macam hal, yang juga di sebut sebagai teknologi, untuk dapat membantu manusia menjalankan dengan maksimal seluruh tugas yang telah Allah berikan. Stackhouse (2001) mengatakan “properly cultivated, technology could help us to reclaim the wisdom and virtue God implanted in humans with the gift of the image of God.” Dengan keberadaan teknologi ini, manusia seharusnya dapat mengeksplor alam ini dengan baik, untuk memuliakan Allah dan menggunakannya bagi kesejahteraan sesamanya. Dan dengan tidak melupakan bahwa dengan teknologi ini, manusia dapat memelihara alam ini agar tidak menjadi rusak, melainkan tetap lestari, dan menjadi semakin baik keadaannya. Akan tetapi, yang terjadi saat ini sungguh jauh daripada yang seharusnya. Dosa telah membuat manusia tidak lagi memfungsikan teknologi untuk
mengerjakan mandat yang Allah berikan padanya. Karena teknologi telah dipakai manusia menjadi alat pemuas keinginannya. Kuasa yang Allah berikan untuk mengelola dan memelihara alam ini telah menjadi berat sebelah. Dimana manusia hanya fokus pada usaha untuk mengelola atau mengekplor saja, tanpa ada usaha untuk memelihara alam ini. Hal inilah yang telah membuat manusia mengeksplorasi alam ini secara membabi buta, semua itu dilakukan hanya untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi, yang dengan itu manusia memperoleh kekuasaan yang semakin besar juga. Semua ini dilakukan dengan tidak menghiraukan kemungkinan kehancuran ciptaan lain, yang mungkin jugfa dapat menghancurkan dirinya sendiri. Manusia bahkan berlomba-lomba mencapai teknologi yang paling tinggi, dengan anggapan bahwa teknologi akan dapat menyelamatkan manusia dari kesulitan yang dihadapinya. Teknologi yang semula berfungsi sebagai ‘alat’ untuk menjalankan kehendak Allah, telah menjadi ‘tuan’ atas hidup manusia, yang tanpanya manusia tidak dapat hidup. Padahal, alam adalah hal baik yang Allah berikan pada manusia, yang melaluinya Allah dimuliakan dan manusia dapat memfungsikan natur ‘kerja’ yang ada pada diri manusia. Namun, keberadaan teknologi inipun tidak seluruhnya salah. Kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak penyakit yang dapat ditemukan obatnya dengan kemajuan teknologi, sehingga banyak orang yang tertolong hidupnya. Yang harus dirubah bukanlah teknologi, karena sampai kapan pun teknologi tetap seperti itu adanya. Yang harus berubah adalah manusianya. Manusia harus kembali tunduk kepada Allah, mengenal Allah dan kehendak-Nya serta melakukan kehendak Allah. Dengan mengerjakan mandat yang Allah berikan padanya. Karena teknologi telah dipakai manusia menjadi alat pemuas keinginannya. Kuasa yang Allah berikan untuk mengelola dan memelihara alam ini telah menjadi berat sebelah. Dimana manusia hanya fokus pada usaha untuk mengelola atau mengekplor saja, tanpa ada usaha untuk memelihara alam ini. Hal inilah yang telah membuat manusia mengeksplorasi alam ini secara membabi buta, semua itu dilakukan hanya untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi, yang dengan itu manusia memperoleh kekuasaan yang semakin besar juga. Semua ini dilakukan dengan tidak menghiraukan kemungkinan kehancuran ciptaan lain, yang mungkin jugfa dapat menghancurkan dirinya sendiri. Manusia bahkan berlomba-lomba mencapai teknologi yang paling tinggi, dengan anggapan bahwa teknologi akan dapat menyelamatkan manusia dari kesulitan yang dihadapinya. Teknologi yang semula berfungsi sebagai ‘alat’ untuk menjalankan kehendak Allah, telah menjadi ‘tuan’ atas hidup manusia, yang tanpanya manusia tidak dapat hidup. Padahal, alam adalah hal baik yang Allah berikan pada manusia, yang melaluinya Allah dimuliakan dan manusia dapat memfungsikan natur ‘kerja’ yang ada pada diri manusia. Namun, keberadaan teknologi inipun tidak seluruhnya salah. Kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak penyakit yang dapat ditemukan obatnya dengan kemajuan teknologi, sehingga banyak orang yang tertolong hidupnya. Yang harus dirubah bukanlah teknologi, karena sampai kapan pun teknologi tetap seperti itu adanya. Yang harus berubah adalah manusianya. Manusia harus kembali tunduk kepada Allah, mengenal Allah dan kehendak-Nya serta melakukan kehendak Allah. Dengan
Ketidakmampuan untuk dapat hidup secara berkelanjutan sebagai
akibat dari usaha meningkatkan ekonomi dan pendapatan, dengan kondisi lingkungan yang tidak sejalan. Hal ini mendorong lahirnya konsep social sustainability.
Dalam ekonomi kerajaan Allah (God’s Kingdom Economics), kesejahteraan manusia yang semakin baik akan membawa kondisi alam menjadi semakin baik pula. Hal ini dapat terjadi karena, ketika manusia mengelola alam ini untuk kesejahteraan seluruh manusia, mereka juga melakukan pemeliharaan terhadap alam, sehingga kondisi alam semakin lama semakin baik dan manusia pun akan semakin sejahtera. Berangkat dari pemahaman ini dapat dikatakan bahwa kesejahteraan manusia dan kondisi alam berbanding lurus. Semakin sejahtera manusia, maka kondisi alam akan semakin baik. Sebaliknya, semakin melorot kesejahteraan manusia, maka akan semakin melorot pula kondisi alam. Kenyataan yang terjadi di dalam dunia yang berdosa ini adalah
kemelorotan kesejahteraan manusia. Dimana manusia hanya berfokus pada kebutuhan materi saja, tanpa menghiraukan kebutuhan rohaninya. Yang lebih parah lagi, pada kondisi dosa ini manusia telah menjadi budak dari ‘keinginan jasmaninya’. Dan yang menggerakkan manusia untuk melakukan segala sesuatu, hanyalah nafsu atau keinginannya yang tak pernah puas akan apa yang telah ada padanya. Nafsu manusia ini telah membuat manusia menjadi makhluk yang egois dan tidak lagi memikirkan keberlangsungan hidupnya dalam jangka panjang. Yang dipikirkan manusia adalah bagaimana agar keinginannya dapat terpenuhi secepatnya. Maka tidaklah mengherankan jika di dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak memikirkan mengenai masalah keberlanjutan lingkungan hidup atau alam. Keberlanjutan yang ada dalam pikiran manusia hanyalah keberlanjutan usaha yang dilakukannya agar tetap dapat menghasilkan keuntungan, dan usaha yang dilakukan tetap menguntungkan. Ini adalah hal yang tidak mengherankan bagi manusia yang berdosa, karena memang seluruh pikiran yang ada, selain kemakmuran diri, telah disingkirkan jauh-jauh dari dalam pikirannya. Hukum Termodinamika yang kedua menyatakan bahwa materi semakin lama akan semakin rusak. Hukum ini menyatakan bahwa dunia ini semakin lama tidak akan semakin membaik, tetapi sebaliknya akan semakin rusak. Adapun penyebab dari semua kerusakan ini adalah dosa manusia. Dunia semakin lama akan semakin rusak, hal ini akan membuat tidak adanya lagi pengharapan bagi generasi yang akan datang. Karena generasi yang akan datang akan berhadapan dengan kondisi alam yang kemelorotan kesejahteraan manusia. Dimana manusia hanya berfokus pada kebutuhan materi saja, tanpa menghiraukan kebutuhan rohaninya. Yang lebih parah lagi, pada kondisi dosa ini manusia telah menjadi budak dari ‘keinginan jasmaninya’. Dan yang menggerakkan manusia untuk melakukan segala sesuatu, hanyalah nafsu atau keinginannya yang tak pernah puas akan apa yang telah ada padanya. Nafsu manusia ini telah membuat manusia menjadi makhluk yang egois dan tidak lagi memikirkan keberlangsungan hidupnya dalam jangka panjang. Yang dipikirkan manusia adalah bagaimana agar keinginannya dapat terpenuhi secepatnya. Maka tidaklah mengherankan jika di dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak memikirkan mengenai masalah keberlanjutan lingkungan hidup atau alam. Keberlanjutan yang ada dalam pikiran manusia hanyalah keberlanjutan usaha yang dilakukannya agar tetap dapat menghasilkan keuntungan, dan usaha yang dilakukan tetap menguntungkan. Ini adalah hal yang tidak mengherankan bagi manusia yang berdosa, karena memang seluruh pikiran yang ada, selain kemakmuran diri, telah disingkirkan jauh-jauh dari dalam pikirannya. Hukum Termodinamika yang kedua menyatakan bahwa materi semakin lama akan semakin rusak. Hukum ini menyatakan bahwa dunia ini semakin lama tidak akan semakin membaik, tetapi sebaliknya akan semakin rusak. Adapun penyebab dari semua kerusakan ini adalah dosa manusia. Dunia semakin lama akan semakin rusak, hal ini akan membuat tidak adanya lagi pengharapan bagi generasi yang akan datang. Karena generasi yang akan datang akan berhadapan dengan kondisi alam yang
Terabaikannya aspek mendasar, yaitu manusia dan komunitas,
dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mendorong lahirnya konsep human sustainability.
Manusia adalah gambar dan rupa Allah, yang juga merupakan mahkota ciptaan Allah. Manusia adalah bagian penting dari penciptaan dunia yang Allah lakukan. Dan sudah seharusnyalah jika manusia menjadi fokus utama diantara seluruh ciptaan Allah, bahkan di dalam usaha pembangunan yang dilakukan oleh manusia ataupun perusahaan. Hal yang justru terjadi adalah tingkat pendapatan yang diidentikkan dengan keuntungan, menjadi fokus utama dari seluruh usaha yang manusia lakukan. Sehingga pembangunan bukan lagi berfungsi untuk membangun manusia yang seutuhnya. Hal ini bukan hanya menghina diri manusia sendiri, tetapi juga telah menghina Allah sebagai pencipta yang gambar
diri-Nya melekat pada manusia. Bahkan dengan berfokus dan digerakkan oleh uang atau materi, manusia telah menghina dirinya sendiri dan nilai yang Allah taruh di dalam dirinya. Dosa telah menjungkirbalikkan semua tatanan yang Allah ciptakan dengan baik, yaitu tatanan antara Allah-Manusia-alam, menjadi rusak. Manusia sendirilah, di dalam keberdosaannya, yang telah menempatkan dirinya pada posisi yang paling rendah dari tatanan itu, yaitu berada di bawah alam (materi). Hal ini berbeda dengan yang Yesus lakukan di dunia ini. Dia pertama-tama membereskan manusia (dosanya) dengan menebus manusia dari dosa. Hal ini dilakukan-Nya karena manusialah yang berdosa kepada Allah, dan mengakibatkan seluruh alam ikut rusak. Yesus menyelesaikan terlebih dahulu inti masalahnya, yaitu manusia, barulah kemudian usaha perbaikan dunia ini dapat dilakukan. Demikianlah jugalah yang harus dilakukan jika kita ingin memperbaiki alam ini. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah manusia, karena manusialah yang telah Allah berikan kuasa atas dunia ini. Jika manusia sudah beres, maka urusan memperbaiki lingkungan adalah hal yang dapat dilakukan. Sedangkan jika manusianya saja belum beres, maka usaha perbaikan ini akan semaikin sulit dilakukan, karena kunci permasalahannya tidaklah dibereskan terlebih dahulu, yaitu dosa manusia.
Keuntungan finansial yang akan diperoleh perusahaan pada masa
yang akan datang, setelah perusahaan melakukan tanggung jawab sosialnya.
Keuntungan finansial tidak seharusnya menjadi kunci utama perusahaan
dalam mengambil keputusan bisnis, dan tidak menjadi tujuan utama dari usaha perusahaan. Dalam God’s Kingdom Economic’s, usaha yang manusia lakukan bukanlah untuk mencari keuntungan. Manusia berusaha di dalam dunia ini, di dalam kerangka tujuan untuk memenuhi kehendak Allah atas diri setiap manusia, yaitu menjadi penguasa atas dunia ini, dan mengusahakan serta memelihara alam ini. Pada waktu menciptakan dunia ini, Allah membuat dunia ini dalam keadaan yang belum dikerjakan, dan mengandung banyak kemungkinan yang serba hebat tertimbun di dalamnya. Allah menempatkan manusia di atas bumi ini supaya manusia mengusahakan tanah bumi ini (Verkuyl, 1982:23). Pekerjaan manusia di tanah bumi ini termasuk di dalam rencana penciptaan Allah. Dan berdasarkan rencana Allah, maka manusialah yang harus menggali, mempergunakan
seluruh kemungkinan- kemungkinan itu. Dalam hal ini, keuntungan finansial bukanlah menjadi hal yang tidak penting. Keuntungan finansial menjadi salah satu alat untuk mengevaluasi apa yang telah dikerjakan, apakah sudah maksimal atau belum. Dan setiap keuntungan yang diperoleh perusahaan digunakan kembali untuk mengembangkan usaha yang telah berjalan, agar mendatangkan kesejahteraan bagi lebih banyak orang atau masyarakat. Keuntungan ada bukan untuk memenuhi keinginan manajemen dan shareholders. Dalam hal ini pun keuntungan tetap menjadi alat bagi perusahaan demi kebaikan seluruh manusia.
dan
mengembangkan
Tuntutan dari khalayak umum dan dunia internasional terhadap
kontribusi perusahaan dalam masalah-masalah lingkungan dan sosial.
Adalah hal yang wajar jika khalayak umum menuntut perusahaan, untuk peduli terhadap lingkungan sekitar perusahaan. Selain itu, bukankah pada dasarnya perusahaan ada untuk menjalankan kehendak Allah atas dunia ini, yaitu memuliakan Allah dengan cara mengusahakan dan memelihara bumi ini, serta memperhatikan kebutuhan sesamanya manusia! Khalayak umum dan dunia internasional seharusnya menjadi suatu organisme besar yang mengerjakan kehendak Allah. Maksud dari organisme besar adalah bahwa seluruh manusia dan perusahaan yang ada di dunia ini bekerja selayaknya bagian tubuh, yang bekerja dengan saling bersinergi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, dan bagian yang satu saling mendukung dengan bagian lainnya. Seluruh anggota tubuh ini digerakkan oleh kehendak Allah, yang ada pada setiap orang untuk membangun Ekonomi Kerajaan Allah. Akan tetapi, yang terjadi bukanlah sinergi antar bagian, melainkan persaingan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lain demi mendapat keuntungan yang maksimal. Sehingga perusahaan tidak lagi memperhatikan kehendak Allah atas diri mereka. Bahkan tidak lagi memperhatikan keadaan lingkungan sosial di sekitar mereka. Karena perusahaan lebih fokus pada usaha untuk mencapai laba, menguasai pasar dan mengalahkan para saingan usahanya.
Dari keseluruhan motif-motif diatas, dapat dikatakan bahwa seluruhnya merupakan motif yang bersifat menjawab keadaan. Berdasarkan model
keterlibatan perusahaan terhadap lingkungan yang di sampaikan Belkaoui (1984) dalam Arianti (2000), dapat dilihat bahwa perkembangan kepedulian perusahaan pada dasarnya tidaklah berangkat dari ‘visi’ perusahaan itu sendiri. Melainkan karena perusahaan merasa ‘harus’ melakukan hal itu, jika tidak maka keberlangsungan usahanya tidaklah akan terjamin. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan model tersebut, yang dimulai dari perusahaan hanya memperhatikan laba, lalu mulai memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan dan manajemen, lalu berkembang lagi dengan memperluas tanggung jawab manajemennya sampai kepada masalah hukum dan beberapa masalah lingkungan sekitar perusahaan, kemudian mencakup hal-hal yang non-ekonomi, dan barulah pada akhirnya perusahaan harus mulai melewati batas-batas tanggung jawabnya, kemudian mulai terlibat secara total dalam tugas-tugas sosial.
Berdasarkan empat (4) aspek sustainable development dalam tanggung jawab sosial perusahaan, yang diberikan oleh Rudito (2007: 204-207), yaitu: economic sustainability, environment sustainability, social sustainability, dan human sustainability, kita dapat melihat kedenderungan perkembangan pandangan perusahaan terhadap lingkungan yang sama, seperti yang kita lihat pada model diatas. Perusahaan pada mulanya hanya berfokus pada aktivitas mencari laba tanpa memperhatikan lingkungan dan sumber daya alam yang ada, lalu berkembang kepada memperhatikan lingkungan, sebagai respon dari rusaknya lingkungan alam akibat eksploitasi yang berlebihan. Setelah melihat kepentingan dalam memperhatikan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, barulah pandangan perusahaan berkembang dan mulai melihat aspek social sustainability. Aspek-aspek inipun merupakan respon terhadap kerusakan alam.
Dimana setelah berjalan sekian lama, barulah perusahaan memperhatikan aspek mendasar dalam pembangunan, yaitu manusia dan komunitasnya.
Hal ini tidaklah seharusnya terjadi, karena sejak manusia memulai memikirkan suatu usaha, manusia juga harus memikirkan mengenai kontribusi usaha yang dilakukannya bagi peningkatan mutu kehidupan masyarakat dunia pada umumnya, dan masyarakat sekitar tempat usaha pada khususnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah perusahaan yang di dalamnya terdiri kumpulan manusia, justru tidak memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan sebagai hal yang utama. Mereka justru fokus pada benda mati, yaitu keuntungan atau laba, dari pada memperhatikan makhluk hidup yang telah diciptakan segambar dengan Allah. Satu hal yang dapat menjelaskan mengenai seluruh sikap manusia ini adalah ‘dosa’. Kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak tatanan antara Allah, manusia, dan bumi menjadi tidak sempurna dan tidak ideal lagi. Dimana citra diri Allah yang ada pada manusia menjadi rusak, dan manusia tidak lagi bertanggung jawab atas lingkungan hidupnya, serta tidak lagi dapat hidup berdampingan dengan damai sejahtera bersama dengan sesama ciptaan Allah yang lain (Fransiskus dalam Mamahit, 2007:19). Semua ini terjadi sebagai akibat dari dosa. Yang lebih parah lagi adalah, manusia memahami bumi dan seluruh ciptaan sebagai suatu komoditas ekonomi, sosial, dan politik belaka. Dan Karena itulah, manusia dapat dengan mudahnya mengeksploitasi dan merusak seluruh ciptaan Allah yang baik ini, dan tidak lagi menghargai pemberian Allah. Dalam kesemuanya ini, manusia tidak lagi berfungsi sebagai mandataris Allah di dunia, melainkan telah menjadi budak materi.
Dalam etika Kristen, yang menjadi motif utama dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia adalah melakukan ‘apa yang menjadi kehendak
Allah’. Dengan kata lain, orang kristen berperilaku etis semata-mata atas dasar kehendak Allah (Matakupan, 2006). Motif ini haruslah merupakan motif yang benar, yaitu yang berasal dari iman, dan hati yang penuh dengan kebenaran dan keadilan untuk mengerjakan kehendak Allah. Dari seluruh motif yang telah di sampaikan, tidak ada satu pun motif yang bersifat ke-Allah-an.
Kehendak Allah atas manusia di bumi ini adalah agar manusia bekerja mengusahakan bumi ini dengan semaksimal mungkin, demi kesejahreaan seluruh manusia. Dengan tidak lupa untuk melakukan pemeliharaan, demi menjaga dan merawat seluruh ciptaan Allah yang sudah Allah ciptakan dengan baik dan telah diberikan kepada manusia.
Kejatuhan manusia ke dalam dosa, telah mengakibatkan seluruh ciptaan Tuhan yang lainnya, seperti alam dan binatang, terkena dampaknya. Dimana seluruh alam telah menjadi rusak, bahkan semakin lama semakin rusak. Manusia pun tidak lagi mencari dan menjalankan kehendak Allah lagi, melainkan hidup untuk memenuhi keinginannya sendiri, yang malah membuat manusia semakin berdosa kepada Allah. Hal ini berdampak pada dunia bisnis yang berfokus pada mencari keuntungan semata.
Kepedulian dunia usaha terhadap masalah lingkungan dan masalah masyarakat dewasa ini, adalah suatu kemajuan yang baik. Walaupun kesadaran ini datangnya terlambat, yaitu di tengah dunia yang sudah semakin rusak dan setumpuk masalah sosial masyarakat yang rumit. Yang sangat disayangkan dalam kepedulian perusahaan ini adalah, motivasi manusia atau perusahaan yang tetap pada usaha untuk mendapatkan keuntungan dan mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan, di tengah-tengah tuntutan masyarakat dan dunia usaha secara global. Tidak ada Allah dalam motif ini. Allah tidak lagi Kepedulian dunia usaha terhadap masalah lingkungan dan masalah masyarakat dewasa ini, adalah suatu kemajuan yang baik. Walaupun kesadaran ini datangnya terlambat, yaitu di tengah dunia yang sudah semakin rusak dan setumpuk masalah sosial masyarakat yang rumit. Yang sangat disayangkan dalam kepedulian perusahaan ini adalah, motivasi manusia atau perusahaan yang tetap pada usaha untuk mendapatkan keuntungan dan mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan, di tengah-tengah tuntutan masyarakat dan dunia usaha secara global. Tidak ada Allah dalam motif ini. Allah tidak lagi
Akan tetapi, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan hal yang tetap baik untuk dilakukan. Karena hal ini dapat memperlambat proses kerusakan dunia ini, yang semakin parah, dan mempersiapkannya untuk generasi-generasi yang akan datang. Dan yang paling penting dalam melaksanakan semua itu adalah, tanggung jawab sosial perusahaan dijalankan dengan motivasi untuk menjalankan kehendak Allah atas dunia ini, yaitu memuliakan Dia melalui hidup dan pekerjaan manusia di dunia ini, dan menjalankan fungsi mandataris Allah di dunia, dengan mengusahakan dan memelihara dunia ini.