Kalangan Filosof Muslim

5. Kalangan Filosof Muslim

Di antara berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang ada dalam Islam, maka para filosof termasuk kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak menggunakan ta`wîl. Mereka memandang bahwa ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci al-Qur`ân maupun hadis-hadis Nabi saw. adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris. Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan. 127

126 Pergeseran ini disebabkan adanya sikap berlebih-lebihan dari sebagian tokoh Salafisme yang sangat ketat berpegang kepada teks wahyu secara harfiyah, sehingga berbahaya bagi akidah

Islam. Lihat Jalâl Mûsâ, Nasy`at al-Asy ’ ariyyat …, h. 202. 127 Nurcholish Madjid, “Masalah Ta`wîl…, h. 14.

Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat dapat berarti kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Para filosof Muslim sendiri memandang diri mereka sebagai ahl al-hikmah (penganut kearifan) atau al-hukamâ (orang-orang arif- bijaksana). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhân (para penganut kebenaran

demonstratif, yakni kebenaran yang tak terbantah). 128

Para filosof juga mengklaim diri mereka sebagai kelompok khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis (ta`wîl) terhadap teks-teks keagamaan. Filosof Muslim terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin: Averroes) misalnya, berpandangan bahwa para filosof selaku ahl al-burhân itulah yang dimaksudkan dengan firman ilahi (Q.S. Ali ‘ Imrân : 7) sebagai “orang-orang yang mendalam ilmunya,” karena itu, mereka ini berhak atau wajib melakukan ta`wîl terhadap bunyi teks-teks suci. Bagi Ibn Rusyd, firman Tuhan itu harus dibaca sedemikian rupa sehingga “orang-orang yang mendalam ilmunya” atau kaum khawas termasuk ke dalam yang mengetahui ta`wîl ayat-ayat mutasyâbihât. Hal ini dapat dipahami dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf) sehingga terbaca, “…Padahal tidak mengetahui ta`wîl-nya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, “Kami beriman

kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami…” 129

128 Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl…, h. 33 129 Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl…, h. 34

Sebagian filosof Muslim memandang bahwa Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-

makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya. 130 Karena pandangan ini, para filosof rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut

teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan; mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi “kebohongan” Nabi bukanlah

kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain, para filosof menganut teori Nabi telah melakukan “kebohongan untuk kebaikan” (al-

kidzb li al-mashlahah 131 ), seperti yang dituduhkan Ibn Taimiyah. Karena “ pendidikan” itu ditujukan untuk kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para

filosof sendiri, tidak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama. Para filosof harus melakukan ta`wîl terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab al-Qur`ân maupun hadis Nabi saw, sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu. Para filosof akan menjadi kafir jika tidak melakukan ta`wîl (karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan ta`wîl,

130 Pandangan seperti ini dianut oleh Ibn Sina (avicenna). Lihat risalahnya Itsbât al- Nubuwwat, yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid dengan judul Risalah tentang Peneguhan

Kenabian dan Tafsir akan Simbul-simbul serta Lambang-lambang para Nabi, dalam Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 137-151.

131 Tuduhan Ibn Taimiyah tersebut dinyatakan dalam risalahnya, Ma ’ ârij al-Wushûl fî Ma ’ rifat anna Ushûl al-Dîn wa Furû ’ ahû qad Bayyanahâ al-Rasûl, diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid

dengan judul, Tangga Pencapaian, dalam Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 249.

disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tidak terjangkau kemampuan akal mereka. Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran, baik dari pihak khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd berpendapat, ta`wîl harus disimpan dan

dirahasiakan untuk kalangan khawas saja. 132 Meskipun akibatnya sering dinyatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu

akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa sikap kalangan filosof terhadap ta`wîl jauh melebihi kalangan teolog. Jika kalangan teolog, khususnya Mu’tazilah, memberikan ta`wîl secara rasional dan terkadang mengesampingkan keterangan-keterangan hadis Nabi saw. karena meragukan kebenarannya. Kalangan filosof, bahkan beranggapan bahwa Nabi saw. telah berbohong dalam pernyataan- pernyataannya, demi menyelamatkan keyakinan kalangan awam.