Ayat-ayat yang Dapat Di-ta`wîl-kan
C. Ayat-ayat yang Dapat Di-ta`wîl-kan
Bagi mereka yang berpendapat tentang kebolehan ta`wîl, bukan berarti tanpa masalah, sebab akan muncul masalah yang baru lagi, yaitu mengenai kriteria ayat yang boleh di-ta`wîl-kan dan siapa saja yang memiliki otoritas dalam memberikan ta`wîl .
Secara semantis, ayat al-Qur`ân diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Pertama,
wâdhih al-dilâlah , yakni ayat yang memiliki pengertian yang jelas yang terdiri atas zhâhir, nash, mufassar dan muhkam. Karena kejelasannya ini, maka ayat ini tidak perlu di-ta`wîl-kan. Kedua, mubham al-dilâlah, yakni ayat yang memiliki pengertian samar (tidak jelas) yang terdiri dari khafiy, musykil, mujmal dan mutasyâbih. Karena ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut, maka pemahamannya memerlukan ta`wîl. Dari pengklasifikasian ini, jelas mana ayat yang harus di-ta`wîl-
kan dan mana ayat yang tidak perlu di-ta`wîl-kan. 51 Sedangkan secara tematis, dalam wacana pemikiran Islam, ayat mutasyâbihât
yang dapat di-ta`wîl-kan memiliki cakupan yang cukup luas, yakni tidak hanya menyangkut keimanan, tetapi juga menyangkut hukum (ibadah) dan sosial (akhlak). Memang ada kesan, bahwa perdebatan sekitar ta`wîl lebih banyak menyangkut
otoritas di bidangnya, yakni Allah. Hal ini dapat diketahui jika ta`wîl didasarkan pada pandangan dunia atau ide moral al-Qur`ân yang meliputi kemaslahatan, persamaan / keseimbangan, keadilan, kemanusiaan dan ketauhidan / kesucian Tuhan. 2). Arti yang pilih dikenal dalam bahasan Arab klasik. 3). Makna yang ditetapkan sebagai ta`wîl merupakan salah satu kemungkinan makna yang dimiliki nas yang di-ta`wîl-kan. 4). Penetapan makna sebagai ta`wîl atas nas didasarkan pada suatu dalil yang sahih. Lihat Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl…, h. 300-301; Abû Ishâq al-Syâthibî, Al-Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarî ’ ah, (Kairo: al-Tijâriyah al-Kubrâ, t.th.), jilid 2, h. 100.
51 Muhammad Adîb Shâlih, Tafsîr al-Nushûsh…, juz 1, h. 137-459.
masalah keimanan. Kesan seperti ini wajar, karena keimanan merupakan fondasi bagi ajaran Islam yang dianggap sebagai ajaran Islam yang sangat sensitif. Dengan alasan ini, sebagian ulama ada yang lebih memilih tidak men-ta`wîl-kan ayat-ayat akidah, sebagaimana yang ditempuh Ibn Taimiyah (w. 728 H.) dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah
(w. 751 H.). 52 Ayat-ayat akidah yang menjadi polemik dalam pen-ta`wîl-annya relatif cukup
banyak. Hal ini dapat ditelusuri dalam pemikiran ulama dalam bidang teologi Islam. Sebagai contoh, ayat-ayat akidah tersebut adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, keadilan Allah, takdir, ru`yatullah, surga dan neraka, malaikat dan lain-lain.
Al-Qur`ân menjelaskan secara tegas tentang adanya ayat-ayat yang bermakna jelas atau pasti (muhkam) dan ayat-ayat yang bermakna samar atau tidak pasti (mutasyâbihât). Namun demikian, ulama berbeda pendapat dalam menentukan ayat mana yang termasuk muhkamat dan ayat mana yang termasuk mutasyâbihât. Perbedaan pendapat ini membawa implikasi terhadap adanya ayat-ayat yang dianggap sebagai muhkamat oleh kalangan ulama tertentu, tetapi dianggap sebagai mutasyâbihât oleh kalangan ulama tertentu lainnya. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang surga dan neraka, misalnya, dianggap sebagai ayat muhkamat oleh mayoritas umat Islam, namun bagi kalangan al-Bathiniyyun, dipandang sebagai ayat
52 Yûsuf al-Qardlâwî, Al-Marja ’ iyyah al- ‘ Ulyâ…,
h. 309-310.
mutasyâbihât yang tidak menunjuk kepada hakekatnya dan harus dipahami sebagai bentuk kiasan. 53
Persoalan lebih lanjut tidak hanya sekedar menyangkut penentuan ayat-ayat mutasyâbihât , apakah semua ayat mutasyâbihât memungkinkan untuk di-ta`wîl-kan. Penganut aliran Mu’tazilah memandang bahwa ayat-ayat yang dianggap mutasyâbihât , seperti ayat yang menyebutkan tangan, wajah, mata bagi Allah,
haruslah di-ta`wîl-kan, karena jika tidak di-ta`wîl-kan, menurutnya bertentangan dengan akal. Tidak masuk akal, jika Allah yang bukan materi memiliki tangan, wajah
dan mata. 54 Menurut penganut aliran Sunni, ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah tersebut tidak perlu di-ta`wîl-kan dengan kekuasaan, keredhaan dan
pengetahuan Allah. Kendatipun mereka meyakini bahwa ayat-ayat tersebut tidak dapat dipahami secara leterlek. Prinsip ulama Sunni dalam menanggapi ayat-ayat tajsim (antropomorfisme) tampak dalam ungkapan Imam Malik ketika ditanya seseorang tentang makna al-istiwa` (bersemayam):
Artinya: “Istawa` sudah dikenal, bagaimana bentuknya tidak dapat dipikirkan, beriman kepadanya adalah wajib dan menanyakannya merupakan suatu bid’ah (heresy).”
53 Nurcholish Madjid, “Masalah Ta`wîl…, h. 12-13. 54 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 137. 55 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân..., juz 2, h. 6; Abu Bakr Ahmad bin Husain al-Baihaqî, Al-
Asmâ` wa al-Shifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h.408; Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al- Bârî…, juz 13, h. 406-407 Ibn Hajar menegaskan bahwa riwayat lain yang umumnya dinisbahkan kepada Mâlik bin Anas, yang menyatakan bahwa
ﻝﻮﻬﳎ ﻒﻴﻜﻟﺍ ﻭﺃ ﺔﻟﻮﻬﳎ ﺔﻴﻔﻴﻜﻟﺍ adalah riwayat yang tidak memiliki sanad yang shâhîh, keterangan seperti itu, menurut Ibn Hajar, hanya akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar tentang makna istiwâ` yang diyakini kalangan salaf.
Contoh lain yang paling populer yang menunjuk pada perbedaan pendapat mengenai kemungkinan ayat-ayat mutasyâbihât dapat di-ta`wîl-kan adalah berkenaan dengan potongan-potongan huruf di awal surah (al-muqaththa`ât fî awâ`il al-suwar). Sebagian ulama men-ta`wîl-kan potongan-potongan huruf tersebut dan sebagian yang lain enggan untuk men-ta`wîl-kannya.
Persoalan lainnya lagi yang mewarnai perdebatan menyangkut ayat-ayat yang boleh di-ta`wîl-kan, adalah pendapat sebagian kalangan bahwa hakikat makna ayat-
ayat al-Qur`ân, sebenarnya tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan zahirnya. Kelompok yang ekstrim dari kalangan ini, bahkan menapikan makna zahir yang ditunjuk ayat-ayat al-Qur`ân.