Kalangan Syî’ah

7. Kalangan Syî’ah

Syî’ah secara bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis, istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi

Muhammad saw. atau yang dinamakan sebagai ahl al-bait. 143 Menurut Abû Zahrah, Syî’ah merupakan mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam, aliran ini muncul

pada akhir masa pemerintahan ‘Utsmân ra., kemudian tumbuh dan berkembang pada masa ‘Alî ra. 144

Di antara penganut aliran Syî’ah, terdapat kelompok ekstrim (al-ghulât), yang sampai memposisikan ‘Alî pada derajat ketuhanan, dan ada pula yang mengangkatnya pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad saw. Selain itu, ada pula kelompok yang moderat, yang menganggap ‘Alî lebih utama daripada sahabat Nabi lainnya serta lebih berhak atas jabatan khalifah.

142 Yûsuf al-Qardlâwî, Al-Marji ’ iyyah al- ‘ Ulyâ…,

h. 312-313.

143 Rosihon Anwar, Samudera Al-Quran…, h. 222. 144 Muhammad Abû Zahrah, Târikh al-Madzâhib,…, h. juz. 1, h. 51.

Secara umum, orang-orang Syî’ah bersikap fanatik kepada keluarga Nabi saw. (ahl al-bait 145 ) dari keturunan ‘Alî dan Fâthimah ra.

Aliran Syî’ah, di samping memiliki pokok-pokok keyakinan yang khas, seperti soal al-‘Ishmah, al-Mahdiyah, al-Ruj’ah dan al-Taqiyah, 146 juga mempunyai

paham-paham dasar yang sama dengan Mu’tazilah. 147 Sebagai contoh, beberapa ta`wîl yang mereka ajukan menyangkut ayat-ayat mutasyâbihât, persis sama dengan

yang dikemukakan Mu’tazilah. Mengenai ‘ru`yah Allah’, yang disebutkan dalam surah al-Qiyâmah ayat 22-23 misalnya, mereka memaknainya dengan “menunggu

pahala dari Tuhan atau memandang kepada kenikmatan sorga.” 148 Kemudian tentang makna, “Jâ`a Rabbuka” pada ayat ke 22 surah al-Fajr, mereka memaknainya dengan,

“ 149 Jâ`a Amr Rabbika .” (telah datang ketetapan Tuhanmu). Kalangan Syî’ah juga meyakini adanya makna batin di balik makna lahiriah

yang dinyatakan dalam ayat-ayat al-Qur`ân. Bahkan, di antara mereka terdapat kelompok yang hanya mengakui makna batin saja, sebagaimana yang diyakini sekte

145 Muhammad Abû Zahrah, Târikh al-Madzâhib,…, h. juz. 1, h. 54; Muhammad Husein al- Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah…, h. 57.

146 Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah…, h. 58. 147 Di antara argumentasi yang diajukan untuk menjelaskan mengapa Syî’ah memiliki

kesamaan paham teologi dengan Mu’tazilah adalah 1) setelah popularitas Mu’tazilah dan ahli hadis jatuh, pengaruh Asy’ariyyah meningkat dalam masyarakat Islam, selanjutnya Mu’tazilah berafiliasi dengan kaum Syî’ah untuk menentang aliran Ahli Sunnah. 2) Kaum Syî’ah sebagai kelompok yang dikenal amat mementingkan soal politik, pada waktu itu belum mempunyai ajaran-ajaran teologi. 3) golongan Syî’ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat, sehingga teologi Mu’tazilah yang lebih mementingkan rasio dipandang lebih cocok bagi mereka, ketimbang teologi yang bersifat tradisional. Lihat Harun Nasution Teologi Islam…, h. 74.

148 Lihat penafsiran Abû ‘Alî al-Fadll bin al-Hasan al-Thabrisî, dalam kitab tafsirnya, Majma ’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur`ân, dikutip oleh Al-Sayyid Muhammad ‘Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn:

Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu`assasah al-Thibâ’ah wa al-Nasyr Wizârat al-Tsaqâfah al- Irsyâd al-Islâmî, 1315 H.), h. 612.

149 Al-Sayyid Muhammad ‘Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn…, h. 612.

Ismâ’îliyyah atau Bâthiniyyah yang telah dipaparkan terdahulu. Makna-makna batin al-Qur`ân tersebut, menurut kalangan Syî’ah, hanya dapat disingkap oleh Nabi saw. dan dilanjutkan oleh para imâm ahl al-bait yang ma’shûm dengan menggunakan

perangkat metodologi ta`wîl. 150 Selain untuk menyingkap makna batin al-Qur`ân dan memahami ayat-ayat

mutasyâbihât. Kalangan Syî’ah pada umumnya, menggunakan ta`wîl untuk mencari

justifikasi, baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur`ân maupun hadis-hadis Nabi saw. terhadap konsep-konsep dasar teologi mereka dan juga untuk mendukung gerakan politik mereka. Di antara contoh ta`wîl dari kalangan Syî’ah, adalah seperti yang diajukan oleh ‘Alî bin Ibrâhîm bin Hasyîm al-Qumî dan Abû ‘Alî al-Fadhl bin al- Hasan al-Thabarsî mengenai Surah Ibrâhîm ayat 24-26. Keduanya memaknai kata, “ Syajarah” dengan Rasulullah saw., “Far’ Syajarah” dengan ‘Alî bin Abî Thâlib, “ Ashluhâ” dengan Fâthimah, “Tu`tî ukulahâ kulla hîn” dengan para imam yang

merupakan keturunan ‘Ali dan Fâthimah. 151 Secara umum, prinsip-prinsip ta`wîl di kalangan Syî’ah berbeda dengan

prinsip ta`wîl di kalangan Sunni, yang memberikan persyaratan ketat terutama menyangkut ketentuan tentang makna yang dipilih harus dikenal dalam bahasa Arab klasik.

150 Abdul Tawwab ‘Abdul Hadi, Lambang-lambang Sufi…, h. 50. 151 Lihat ‘Alî bin Ibrâhîm bin Hasyîm al-Qumî, Tafsîr al-Qumî, (Qum: Mu`assasah Dâ al-

Kitâb li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, t.th.), jilid 1, h. 369; Abû ‘Alî al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsî, Majma ’ al-Bayân li ‘ Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr ‘ihyâ` al-Turâts al-Islâmî, 1379 H.), jilid 3, h. 312. Untuk melihat lebih jauh contoh-contoh ta`wîl dari kalangan Syî’ah yang dilakukan untuk mendukung pokok-pokok keyakinan mereka, dapat dirujuk tulisan Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al- Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm: Dawâfi ’ uhâ wa Daf ’ uhâ,…,

h. 57-65; Ignas Goldziher, Madzâhib Al-Tafsîr al-Islâmî…,

h. 323-336.