Kritik al-Ghazâlî atas Sikap Beberapa Kalangan Terhadap Ta`wîl
C. Kritik al-Ghazâlî atas Sikap Beberapa Kalangan Terhadap Ta`wîl
Dalam kitabnya, Qanûn al-Ta`wîl, al-Ghazâlî memaparkan pemetaannya atas sikap beberapa kalangan, ketika menghadapi teks (al-manqûl) ayat-ayat al-Qur`ân atau pun hadis Nabi saw. yang terkesan bertentangan rasio (al-ma’qûl). Menurutnya, orang-orang yang terlibat dalam menghadapi masalah seperti itu dapat dikelompokkan menjadi lima golongan, 33 dengan rincian sebagai berikut:
Pertama, golongan yang secara ekstrim berpegang semata-mata kepada teks (al-manqûl) dan mengambil pengertian lahirnya; mereka sudah merasa puas dengan apa yang mereka pahami secara tekstual. Jika muncul pertentangan pengertian antara teks dan akal, mereka tetap menolak untuk melakukan pen-ta`wîl-an. Kalau misalnya mereka ditanya, “Bagaimana seseorang dapat melihat setan pada satu waktu di dua tempat dengan dua bentuk yang berbeda?” Mereka akan mengatakan, “Ini sama sekali bukan barang yang aneh dalam kekuasaan Allah swt. Sebab Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu dan tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah swt. jika
dan ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî (w. 412 H./1021 M.) yang menulis kitab tafsir berjudul, Haqâ`iq al- Tafsîr. Periode ketiga (abad VIII – X H.), periode Syî’ah Dua-Belas-Imam, ketika pusat tafsir esoteris bergeser ke wilayah Persia. Periode ini ditandai dengan munculnya teosof-penafsir Syî’ah. Tokoh- tokohnya seperti Haidar Amulî (w. setelah 794 H./1392 M.), Shâ’in al-Dîn ‘Alî Ishfahânî (w. 830 H./1427 M.), dan Shadr al-Dîn al-Syîrâzî (w. 1050 H./1640 M.). Periode keempat (abad XI – XIII H.), periode ini dimulai dengan tampilnya karya-karya sufi besar seperti: Lathâ`if al-Isyârât, karya Abû al- Qâsim al-Qusyairî (w. 465 H./1072 M.) dan Abû Hâmid al-Ghazâlî yang menulis kitab, Yâqût al- Ta`wîl fî Tafsîr al-Tanzîl, namun disayangkan karya ini belum dicetak hingga sekarang. Perode kelima (abad XIV H. sampai sekarang), periode ini ditandai dengan perkembangan tiada henti tafsir teosofis Dua Belas Imam sampai sekarang. Lihat Abdurrahman Habil, “Tafsir-tafsir Esoteris Tradisional Al- Qur`ân”, dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj. Ramani Astuti, (Bandung: Mizan, 2002), h. 32-52.
33 Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî (selanjutnya ditulis al-Ghazâlî), Qanûn al-Ta`wîl, dalam Majmû ’ ah Rasâ`il al-Imâm al-Ghazâlî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), h. 580.
Dia menghendakinya. Al-Ghazâlî tidak menyebut identitas golongan ini, tetapi kemungkinan besar yang dia maksud ialah golongan Hasyawiyyah, karena sesuai
dengan sikap mereka, sebagaimana disebutkannya dalam al-Iqtishâd. 35 Kedua, golongan yang sama sekali berbeda dengan kolompok yang pertama;
golongan ini secara ekstrim berpedoman semata-mata kepada akal dan tidak mempedulikan teks sama sekali. Jika mendengar sesuatu tentang syari’at yang sesuai
dengan akal mereka, mereka terima. Tetapi apabila teks yang didengar itu bertentangan dengan akal mereka, teks tersebut akan mereka ta`wîl-kan sesuai dengan jalan pikiran mereka. Pernyataan pada teks tersebut mereka anggap sebagai suatu taktik Nabi untuk meladeni orang awam – meskipun dengan cara bersilat lidah – demi kemaslahatan mereka. Bahkan, mereka menganggap para Nabi as. telah berbohong
demi kemaslahatan itu. 36 Dalam kitabnya Qanûn al-Ta`wîl, al-Ghazâlî tidak menyebutkan nama golongan ini. Tetapi, dalam kitabnya Faishal al-Tafriqah, dapat
diketahui dengan jelas bahwa golongan yang dideskripsikan al-Ghazâlî dengan karakteristik seperti itu adalah golongan filosof Islam. 37
34 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,…, h. 580. 35 Al-Ghazâlî, Al-Iqtishâd…, h. 3; lihat juga Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 283. 36 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,…, h. 581. 37 Sebagai contoh, Ibn Sina (370 – 428 H.) yang berpendapat bahwa masalah-masalah
kandungan hari akhirat hanya semata-mata untuk kepentingan orang awam agar bisa menjadi baik, tetapi tidaklah begitu hakikat sebenarnya. Baca Abû ‘Alî al-Husain Ibnu Sînâ, Itsbât al-Nubuwwât, diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid dengan judul “Risalah tentang Peneguhan Kenabian dan Tafsir akan Simbul-simbul serta Lambang-lambang Para Nabi”, dalam Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 137-151. Al-Ghazâlî menganggap kafir para filosof yang mengingkari kebangkitan jasad di akhirat kelak dan berpandangan bahwa Allah ta’âlâ hanya mengetahui hal-hal secara umum. Menurut al-Ghazâlî, pandangan mereka itu sama sekali tidak dilandasi oleh burhân (argumentasi) yang pasti, bahkan bertentangan dengan sejumlah ayat dan sejumlah hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Implikasi-implikasi dari pandangan mereka itu, tegas al-Ghazâlî,
Al-Ghazâlî mengkritik kedua golongan di atas. Bagi golongan terakhir dia katakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bahwa siapa pun yang memungkinkan kebohongan dilakukan oleh para nabi, harus dipenggal
lehernya.” 38 Al-Ghazâlî juga menegaskan bahwa pendapat mereka itu adalah batil dan merupakan pendustaan yang terang-terangan kepada Rasul, sekalipun kemudian,
mereka mencari-cari alasan bahwa Rasul tidak berdusta, karena demi kemaslahatan.
Hal semacam itu, kata al-Ghazâlî, merupakan tingkatan pertama dari atheisme (zandaqah). Tingkatannya berada pada pertengahan antara paham Muktazilah dan atheisme yang mutlak. Sebab metode kaum Muktazilah mirip dengan metode kaum filosof, kecuali dalam satu perkara, yaitu bahwa orang Muktazilah tidak
membenarkan adanya kebohongan dilakukan oleh para Rasul. 39 Adapun mengenai golongan yang pertama, menurut al-Ghazâlî, mereka berada pada tataran kebodohan
dan mereka pun puas dengan keadaan ini. 40 Masing-masing paham dari kedua golongan tersebut berbahaya, namun demikian, kata al-Ghazâlî, golongan yang
pertama ini lebih dekat (pada kebenaran) daripada golongan yang kedua. 41 Ketiga, golongan yang menjadikan akal sebagai pokok. Oleh karenanya,
perbincangan mereka tentang akal pun panjang lebar, sementara perhatian mereka
membahayakan keimanan dan keberagamaan orang Islam kebanyakan. Lihat Al-Ghazâlî, Faishal al- Tafriqah…,
h. 246. 38 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,…, h. 581. Kecamanan keras al-Ghazâlî ini, jika tidak
dipahami sesuai konteksnya akan menimbulkan kesan bahwa al-Ghazâlî tidak konsisten dengan pandangannya yang toleran dalam menyikapi adanya perbedaan hasil pen-ta`wîl-an.
39 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…, h. 246. 40 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,…, h. 581; Baca juga urutan tingkat keyakinan (tartîb darajât
al-I ’ tiqâd ) dalam Al-Ghazâlî, Ihyâ`…,jilid 1, h. 122-123. 41 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,….., h. 581.
terhadap naqal sangatlah lemah dan sedikit sekali. Mereka hanya menerima naqal yang bersifat mutawâtir, seperti al-Qur`ân dan hadis mutawâtir. Terhadap hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan akal mereka tolak dan perawinya dianggap pembohong. Adapun naqal yang bertentangan itu mereka ta`wîl-kan dengan ta`wîl yang tidak jauh. Menurut mereka menolak hadis yang bertentangan dengan akal lebih
baik daripada menerimanya tetapi dengan ta`wîl yang jauh. 42 Tampaknya, yang
dimaksud al-Ghazâlî dengan golongan ini ialah golongan Muktazilah; -- sebagaimana deskripsinya dalam Ihyâ` dan Faishal al-Tafriqah – yaitu golongan yang membuka
lebar pintu ta`wîl, meskipun tidak sebebas seperti golongan filosof. 43 Sikap kelompok yang ketiga ini, menurut al-Ghazâlî, juga jelas berbahaya, karena banyak hadis-hadis
shahîh yang diriwayatkan oleh para perawi terpercaya (tsiqât) mereka tolak, padahal dari mereka inilah syari’at sampai kepada kita. 44
Keempat, golongan yang menjadikan naqal sebagai pokok. Mereka memusatkan perhatian kepada naqal dan membahasnya secara panjang lebar, tetapi kurang mendalami wilayah akal. Karena tidak banyak membincangkan akal dan tidak jauh memasuki wilayahnya, mereka kurang merasakan adanya benturan antara naqal dan akal; lebih lanjut, mereka tidak banyak melihat kebutuhan terhadap adanya ta`wîl . Mereka menganggap tidak perlu ada ta`wîl dalam masalah seperti, adanya naqal yang menunjuk kepada adanya arah tertentu bagi Tuhan, karena
42 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,….., h. 581. 43 Al-Ghazâlî, Ihyâ`…., jilid 1, h. 124; Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…, h. 246. 44 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,….., h. 581.
menganggapnya suatu yang tak mustahil adanya. Diduga, yang dimaksud al-Ghazâlî di sini ialah golongan Salafisme ahli hadis atau biasa pula disebut golongan Hanâbilah, yang dikenal menutup pintu ta`wîl kecuali sedikit. Tetapi, sikap golongan ini dipuji oleh al-Ghazâlî dalam kaitannya untuk memelihara stabilitas akidah umat
pada umumnya. 46 Kelima, golongan moderat yang berusaha menggabungkan pembahasan naqal
dan akal sebagai sumber pokok. Akal dan naqal sama-sama dijadikan dasar yang penting. Kelompok ini mengingkari adanya kontradiksi antara akal dan syari’at. Bagi mereka, keduanya sama-sama benar. Inilah, tegas al-Ghazâlî, golongan yang benar. Mereka ini mengikuti metode yang benar dan komprehensif. Hanya saja, tidak jarang mereka menemui kesulitan dalam menerapkan prinsip tersebut dalam banyak
masalah. 47 Al-Ghazâlî merekomendasikan tiga hal bagi mereka ini, ketika menghadapi masalah dalam singkronisasi antara akal dan naqal. Pertama, agar
jangan terlalu ambisius untuk mengetahui semua pengertian tersebut (teks), karena pengetahuan manusia terbatas. Sesuai dengan firman Allah swt. yang artinya, “ Dan tidaklah kalian diberi ilmu pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (Q.S. al-Isrâ`:85). Kedua, hendaknya jangan sekali-kali mendustakan akal, karena mendustakan akal bisa berakibat mendustakan syara’, sebab ketetapan syara’ justeru diketahui melalui akal. Ketiga, hendaklah menahan diri dari melakukan pen-ta`wîl-an pada saat terjadi banyak kemungkinan. Sebab, memastikan maksud Allah dan Rasul-Nya dengan
45 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,….., h. 581-582. 46 Al-Ghazâlî, Ihyâ`…., jilid 1, h. 123-124; Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…, h. 243. 47 Al-Ghazâlî, Qanûn al-Ta`wîl,….., h. 582.
dugaan dan perkiraan itu amatlah berbahaya. Tampaknya, yang dimaksud oleh al- Ghazâlî dengan golongan terakhir ini, adalah golongan Asy’ariyyah, yang dalam Ihyâ` disebutnya sebagai golongan yang moderat (al-iqtishâd), yang memberlakukan ta`wîl dalam bidang-bidang tertentu, seperti tentang sifat-sifat Tuhan, tetapi tidak
dalam bidang kandungan hari akhirat (ma’âd). 49 Al-Ghazâlî sendiri mengikuti jejak langkah kelompok yang terakhir ini dalam ta`wîl-nya menyangkut ayat-ayat
mutasyâbihât. Kecuali dalam pen-ta`wîl-an guna menyingkap makna batin ayat-ayat al-Qur`ân dan hadis-hadis Nabi saw., al-Ghazâlî memiliki pandangan yang khas dalam hal ini, seperti yang akan dijelaskan pada uraian-uraian berikutnya.