Kalangan Sufi

8. Kalangan Sufi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa kalangan Sufi termasuk mereka yang meyakini adanya makna batin (esoteris) bagi ayat-ayat al-Qur`ân di samping makna lahirnya (eksoteris). Kaum Sufi berpendapat, bahwa di balik ungkapan kata-kata dan kalimat al-Qur`ân terdapat sejumlah makna yang mendalam dan sangat halus. Menurut mereka, hakekat al-Qur`ân tidak hanya terbatas pada

pengertian yang bersifat lahiriah saja, tetapi tersirat pula makna batin (makna yang tersembunyi di balik kata-kata) yang justru merupakan makna terpenting. 152

Menurut kalangan Sufi, ta`wîl terhadap ungkapan-ungkapan al-Qur`ân dan hadis Nabi saw. hanya dapat diketahui oleh para ahli hakekat. Yakni mereka yang bersungguh-sungguh mengamalkan petunjuk al-Qur`ân dan sunnah Rasulullah saw., sehingga Allah swt. melimpahkan kepada mereka pengetahuan yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya (‘Ilm al-Kasyfî). Para ahli hakekat tersebut, menurut kaum Sufi, mampu mengetahui makna yang tersembunyi di balik kata-kata, bahkan di balik huruf dalam al-Qur`ân menurut tingkat dan martabat kedekatan mereka masing-

masing kepada Allah swt. 153 Penafsiran kaum Sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, menurut Muhammad

Husein al-Dzahabî, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni: Tafsir Sufi al- Nazharî dan Tafsir Sufi al-Isyârî / al-Faidhî. Tafsir al-Nazharî adalah penafsiran- penafsiran kaum Sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`ân dengan berdasarkan teori-teori

152 Ahmad al-Syirbashî, Sejarah Tafsir Qur ’ an, terj. Pustaka Firdaus, (t.t.: Pustaka Firdaus, 1994), h. 133.

153 Ahmad al-Syirbashî, Sejarah Tafsir Qur ’ an…,

h. 134-136.

atau ajaran-ajaran filsafat. Sedangkan Tafsir al-Isyârî / al-Faidhî, adalah penafsiran- penafsiran kaum Sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`ân dengan berdasarkan isyarat-isyarat

suci dari alam gaib yang mereka peroleh dari hasil latihan rohani. 154 Sebagai contoh penafsiran dari kalangan Sufi, adalah penafsiran yang dikemukakan Ibnu ‘Arabi (w.

638 H.) terhadap firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 163, yang berbunyi:

Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ibnu ‘Arabi menyatakan, “Dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum Muslimin bahwa orang-orang yang menyembah benda-benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri dengan-Nya, sebenarnya sama dengan menyembah Allah juga. Ingatlah ketika mereka mengatakan: “Sebenarnya kami menyembah benda- benda ini hanya untuk lebih mendekatkan kami kepada Allah,” sambil mengemukakan alasan mereka. Kemudian Allah pun berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang musyrik dengan perantaraan benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, adalah sama; karena itu sebenarnya kamu semua tidak berbeda dalam pengakuan

terhadap Tuhan Yang Esa itu.” 155 Contoh tafsir Sufi lainnya, adalah seperti yang

154 Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,…, juz 2, h. 238-246. 155 Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah…,h. 80. Pada bagian akhir

tulisannya tentang tafsir dari kalangan Sufi, Muhammad Husein al-Dzahabî, mengutip pendapat yang umumnya disepakati oleh para ulama tentang kriteria tafsir Sufi yang dapat diterima. Lihat pada Foot Note nomor 161 Bab ini.

dikemukakan Sahl bin ‘Abdillah al-Tustarî (w. 283 H.) mengenai firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah ayat 22, yang berbunyi:

Artinya: Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu

janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

Sahl al-Tustûrî memaknai kata “andâdan” dalam ayat tersebut dengan nafsu amarah yang senantiasa menjerumuskan orang ke dalam perbuatan jahat; yang hanya mengedepankan keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi tanpa

memperhatikan petunjuk dari Allah swt. 156 Mengenai tafsir atau ta`wîl yang diajukan oleh kalangan Sufi tersebut, di

samping terdapat sebagian ulama yang mengecamnya, juga terdapat sebagian ulama yang mendukungnya. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, setelah menghimpun sejumlah pendapat dari kedua kalangan ulama tersebut, dalam kitabnya, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, menutup uraiannya dengan mengutip pendapat dari Syeikh Tâj al-Dîn Ibn ‘Athâ`illâh, dalam kitabnya, Lathâ`if al-Minan, yang menyatakan bahwa penafsiran kaum Sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`ân ataupun hadis-hadis Nabi saw. dengan makna-makna yang tidak biasa, bukanlah pengingkaran terhadap makna lahiriahnya, tetapi mengambil pengertian dari makna yang dimaksud oleh suatu ayat menurut kelaziman

156 Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah…,h. 83.

bahasa. Di dalam al-Qur`ân dan hadis terdapat pelbagai pengertian yang tersembunyi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang hatinya telah dibukakan oleh Allah. Apa yang mereka lakukan, tegas Ibn ‘Athâ`illâh, tidak dapat dituduh sebagai telah mengubah Kalam Ilahi. Dapat disebut “perubahan” kalau mereka mengatakan: “Ayat ini tidak bermakna lain kecuali itu.” Menurut kenyataannya, kaum Sufi tidak menyatakan hal seperti itu, bahkan mereka mengakui adanya makna lahiriah

sebagaimana dinyatakan lahiriah ayat. Namun, di samping itu mereka memahami suatu ayat berdasarkan pengertian yang mereka peroleh dari Allah swt. 157

Menyikapi adanya perbedaan pendapat dari para ulama menyangkut ta`wîl dari kalangan Sufi, sebagian ulama menetapkan beberapa kriteria untuk ta`wîl kaum Sufi yang dapat diterima. Di antara kriteria tersebut, adalah: 1) Makna yang dipilih dalam pen-ta`wîl-an tidak bertentangan dengan pengertian-pengertian yang berlaku dalam bahasa Arab. 2) Makna tersebut juga didukung oleh dalil berupa nash atau makna lahir yang ada di tempat lain. 3) Pen-ta`wîl-an tersebut tetap mengakui makna ayat atau hadis secara lahiriah. 4) Makna ta`wîl yang diberikan tidak menyimpang dari ketentuan syari’at atau bertentangan dengan rasio. 5) Ta`wîl yang diungkapkan

tidak dimaksudkan untuk mendukung teori atau paham tertentu. 158

157 Baca Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘ Ulûm al-Qur`ân,…, juz 2, h. 184-185. 158 Lihat Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,…, juz 2, h. 263.