Relevansi Metode Ta`wîl al-Ghazâlî di Era Kontemporer

F. Relevansi Metode Ta`wîl al-Ghazâlî di Era Kontemporer

Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa periode lahir dan berkembangnya al-Ghazâlî menjadi seorang tokoh pemikir terkemuka dalam sejarah

Islam merupakan suatu periode yang penuh dengan pelbagai konflik 157 Bagaimana wujud peran penting al-Ghazâlî dalam meredakan sebagian

konflik tersebut, di antaranya dapat dilihat dalam konsep dan metodologi ta`wîl yang dia tawarkan, yakni:

Pertama, al-Ghazâlî memperkenalkan suatu bentuk pen-ta`wîl-an secara terstruktur sesuai dengan lima stratifikasi wujud (yang terdiri dari: wujud dzâtî, hissî, khayâlî, ‘aqlî, dan syabahî). Menurutnya, siapa saja yang mengakui eksistensi apa yang diberitakan al-Qur`ân atau disampaikan oleh Rasulullah saw., dengan salah-satu

156 Baca kewajiban para guru (mursyid) bagi muridnya, dalam Kitâb al- ‘ Ilm, bab kelima  dâb al-Muta ’ allim wa al-Mu ’ allim lihat Al-Ghazâlî, Ihyâ`…, jilid 1, h. 71-72.

157 Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science, diterjemahkan oleh Purwanto, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu

Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali, Qutbh Al-Din Al-Syirazi, (Bandung: Mizan, 1997), h.18.

segi wujud yang lima tersebut, maka bukanlah ia termasuk seorang yang mendustakan wahyu atau apa yang disampaikan Rasul sama sekali. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat divonis sebagai kafir, selama ta`wîl yang ia berikan tidak ke luar dari lima stratifikasi wujud tersebut dan mempunyai dalil (burhân) yang kuat

yang mencegahnya untuk memaknai teks pada wujud sebelumnya. 158 Dengan ketetapannya ini, al-Ghazâlî, sebenarnya telah meletakkan pondasi bagi konstruksi

sikap toleransi di tengah pluralitas pemikiran dari pelbagai aliran yang berbeda di kalangan umat Islam, baik pada masanya maupun yang hidup di zaman sekarang.

Kedua, al-Ghazâlî telah memberikan acuan berupa ketentuan dan syarat- syarat yang ketat bagi sebuah aktivitas pen-ta`wîl-an yang dapat dibenarkan. Berdasarkan acuan tersebut, kaum muslimin, di samping dapat membedakan antara sebuah aktivitas pen-ta`wîl-an yang benar dan sebuah aktivitas ‘pembajakan’, yang dengan menggunakan perangkat metodologi ta`wîl menjadikan ayat-ayat al-Qur`ân sebagai alat untuk meligitimasi paham dan kepentingan tertentu, juga dapat terus berinteraksi secara kreatif dengan ayat-ayat al-Qur`ân.

Ketiga, metode ta`wîl yang ditawarkan al-Ghazâlî, memberikan ruang yang tidak terbatas bagi kalangan elit (kaum khawwâsh) untuk terus menggali makna terdalam dari al-Qur`ân. Karena al-Qur`ân merupakan kalâmullah, maka hanya Allah yang paling mengetahui makna kalâm-Nya. Semakin dekat kedudukan seseorang di sisi Allah swt., semakin besar pula kemungkinan makna-makna kalam-Nya disingkapkan kepadanya. Oleh karenanya, ta`wîl menjadi sebuah aktivitas yang tidak

158 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 240-243.

pernah berakhir dan makna yang didapatkan pun tidak dapat dipandang sebagai makna final yang menutup kemungkinan makna lainnya, sehingga seorang mu`awwil tidak bisa mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Jika kesimpulan terakhir ini sudah terwujud, maka tidak akan ada saling menyalahkan, lebih-lebih lagi saling mengkafirkan di antara tokoh yang berbeda pemahaman.

Keempat, dalam pandangan al-Ghazâlî, antara makna esoteris (bâhtin) al-

Qur`ân dan makna eksoterisnya (zhâhir) tidaklah saling bertentangan. Makna esoteris dinilai sebagai puncak pencapaian dan kesempurnaan dari makna eksoteris. Penilaian ini sejalan dengan motif utama setiap karya al-Ghazâlî, seperti yang ditulis John L. Esposito, yaitu spiritualisasi pemikiran dan praktik keberagamaan; bahwa bentuk

harus diberi ruh, dan hukum serta ritual harus diberi visi etis. 159 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika al-Ghazâlî dinilai oleh banyak kalangan sebagai tokoh yang

berjasa besar dalam mengintegrasikan antara dimensi eksoteris ajaran Islam dengan dimensi esoterisnya. Al-Ghazâlî, kata Nurcholish Madjid, amat berjasa dalam

menstabilkan pemahaman Ummat kepada agamanya. 160 Pemahaman yang tepat dan seimbang terhadap ajaran agama, tentunya senantiasa akan relevan dan diperlukan

sepanjang zaman. Kritik tajam terhadap pemikiran al-Ghazâlî dikemukakan oleh Nasr Hâmid Abû Zaid. Menurutnya, konsepsi ta`wîl al-Ghazâlî lebih banyak dipengaruhi oleh teologi Asy’ariyyah dan ajaran sufistik. Titik tolak Asy’ariyyah yang mempengaruhi

159 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, diterjemahkan oleh Eva Y.N. et.al, Ensiklopedi Oxford*Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2002), jilid 2, h.112.

160 Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 35.

al-Ghazâlî adalah tentang hakikat kalâmullah yang menurut al-Asy’arî merupakan salah satu “sifat” Zat Tuhan, sedangkan titik tolak sufisme yang mempengaruhinya adalah tentang tujuan eksistensi manusia di muka bumi, yang hanya dalam rangka

mewujudkan keberuntungan dan keselamatan di akhirat. 161 Menyatukan al-Qur`ân dengan sifat-sifat ketuhanan (sifat kalâm) seperti yang dilakukan al-Ghazâlî, kata Abû

Zaid, menyebabkan teks berubah menjadi lautan misteri dan ilmu pengetahuan, di

mana akal manusia tidak dapat menangkapnya kecuali yang berada di permukaan. Akibatnya, nilai pengetahuan manusia dikerdilkan, kemampuan dan potensi manusia

menemukan hukum alam direndahkan. 162 Tujuan wahyu, dalam perspektif sufi, tidak lagi bagaimana membangun masyarakat dan realitas di mana teks berfungsi sebagai

petunjuk dan penuntun dalam masyarakat dan realitas tersebut, tetapi tujuannya adalah bagaimana mencapai Yang Mutlak melalui usaha mengurai kode dan simbol- simbol teks. Manusia tidak lagi sebagai anggota masyarakat yang dinamis dan interaktif, tetapi telah menjadi makhluk yang menyendiri bersama Yang Mutlak, mungkin sebagai orang yang mencapai ma’rifah (‘ârif) yang telah menyatu, atau sebagai orang bodoh dan terhijab. Kehidupan manusia menjadi sebuah perjalanan untuk sampai kepada Yang Mutlak, dan dunia menjadi jalan untuk perjalanan

itu. 163 Pada bagian akhir kritiknya, Abû Zaid dengan keras mengatakan bahwa

161 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash…, h. 278. 162 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash…, h. 288. 163 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash…, h. 291.

konsep-konsep (ta`wîl) al-Ghazâlî, seluruhnya – meskipun kemudian diterima secara luas – bertentangan dengan tujuan-tujuan dasar wahyu sekaligus syari’at. 164

Kesimpulan Abû Zaid, bahwa al-Ghazâlî mengadopsi pendekatan teologi Asy’ariyyah dan pendekatan sufistik memang dapat diterima. 165 Tetapi akibat yang

dilukiskan Abû Zaid dari kedua pendekatan tersebut, amatlah dibesar-besarkan. Abû Zaid melupakan sama sekali sumbangan pemikiran ta`wîl al-Ghazâlî bagi konstruksi

sikap toleran antara pelbagai aliran di masanya. Kekeliruan Abû Zaid tampak jelas, ketika mendeskripsikan pandangan al-Ghazâlî bahwa kebersatuan sebagai puncak hubungan seorang ‘ârif dengan Tuhan. Al-Ghazâlî tidak pernah berpendapat seperti itu. Dia, bahkan menolak kemungkinan tersebut, baik dalam bentuk ittihâd

maupun hulûl. 167 Kritikan tajam Abû Zaid terhadap al-Ghazâlî, mungkin akan sirna dengan

sendirinya, jika orang memperhatikan bagaimana pandangan al-Ghazâlî tentang pentingnya pembagian kerja, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Memahami makna terdalam dari al-Qur`ân memang merupakan tugas kaum khawwâsh; mereka yang ‘ârif billah. Sedangkan tugas orang awam adalah melakukan pekerjaan lainnya, seperti bidang perekonomian, perindustrian, pertanian, kedokteran, dan sebagainya

164 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nash…, h. 336. 165 Lihat pula Rosihon Anwar, Samudera Al-Qur`ân…, h. 251-252. 166 Nasr Hâmid Abû Zaid sebenarnya memfokuskan studinya pada pemikiran Ibnu ‘Arabî. Dia

melirik pemikiran al-Ghazâlî, dalam rangka menemukan bibit-bibit bagi pemikiran Ibnu ‘Arabî. Barangkali, karena sudah tercapai tujuannya, maka tidak semua kitab karya al-Ghazâlî dirujuknya; Faishal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zandaqah yang memuat bahasan penting tentang metode ta`wîl al-Ghazâlî sama-sekali tidak dicantumkannya.

167 Al-Ghazâlî, Al-Maqshad al-Asnâ..., h. 146-147; H.M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazâlî…, h. 156 167 Al-Ghazâlî, Al-Maqshad al-Asnâ..., h. 146-147; H.M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazâlî…, h. 156

syari’at. Adapun mengenai adanya anggapan bahwa al-Ghazâlî lah yang menjadi biang kemunduran umat Islam, kiranya menarik untuk menyimak pendapat Nurcholish Madjid tentang hal tersebut. Nurcholish mengungkapkan, bahwa solusi yang ditawarkan oleh al-Ghazâlî sedemikian hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Philip K. Hitti, seperti dikutip Nurcholish, menyebutkan, sedemikian komplitnya solusi yang diberikan al-Ghazâlî atas problematika keagamaan Islam saat itu, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah bagaikan menciptakan sebuah ruang untuk Ummat yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas

intelektual Islam, yang konon sampai sekarang. 170 Nurcholish Madjid tampaknya menolak pendapat tersebut. Menurutnya, masih merupakan tanda tanya besar,

benarkah Ummat secara keseluruhan, dan sama-sekali, terkuasai oleh sistem

168 Baca kembali Al-Ghazâlî, Iljâm al- ‘ Awwâm… , h. 313; Al-Ghazâlî, Ihyâ`…, jilid 1, h. 72. 169 Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, diterjemahkan

oleh Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 331. 170 Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam,… h. 35.

pemahaman yang dibangun oleh orang dari Thus (al-Ghazâlî) di Persia itu? Nampaknya tidaklah demikian, tulis Nurcholish. Sebab, tidak berapa lama sepeninggal al-Ghazâlî, di ujung barat dunia Islam, di kota Cordoba, Spanyol, muncul seorang yang dengan kemampuan intelektual luar biasa berusaha memecahkan sel Ghazaliisme. Dialah Ibn Rusyd (Abu al-Walîd ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd

(w. 595 H./1198 M.). 171

Kalaupun benar telah terjadi kemandegan kreatifitas intelektual Ummat Islam akibat terbuai oleh solusi jitu yang telah diberikan al-Ghazâlî, tentunya bukan al- Ghazâlî sebenarnya yang patut dipersalahkan. Melainkan Ummat Islam sendiri, mengapa tidak mengambil pelajaran tentang bagaimana metode al-Ghazâlî dalam meracik pemikiran guna menyelesaikan problematika pada zamannya.

171 Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam,… h. 35-36.