Pemegang Otoritas dalam Men-ta`wîl-kan al-Qur`ân
D. Pemegang Otoritas dalam Men-ta`wîl-kan al-Qur`ân
Perselisihan pendapat para ulama menyangkut siapa yang berhak memberikan ta`wîl merupakan sesuatu yang wajar terjadi, mengingat ta`wîl bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan sembarang orang. Berdasarkan kenyataan ini, maka otoritas untuk melakukan pen-ta`wîl-an, oleh sebagian kalangan dibatasi hanya bagi mereka yang memenuhi kriteria tertentu saja.
Kalangan ulama yang menerima adanya ta`wîl berpendapat bahwa orang yang memiliki otoritas untuk men-ta`wîl-kan al-Qur`ân adalah al-râsikhûn fî al-‘ilm. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt. dalam surah Âli ‘Imrân ayat 7, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Al-Râsikhûn fî al-‘ilm, biasanya diartikan dengan orang yang mendalam ilmunya. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
Artinya: Bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang siapa yang dimaksud “ al-Râsikhîn fî al-‘Ilm” , Beliau pun menjawab, (yaitu) orang yang benar sumpahnya, jujur perkataannya, tegak pendiriannya (hatinya), dan orang-orang yang
memelihara perut dan kehormatannya, maka merekalah yang dimaksud orang-orang yang mendalam ilmunya.
Berpijak pada riwayat di atas, dipahami bahwa al-râsikhûn fî al-‘ilm menurut
Rasulullah saw. adalah orang yang menepati janji, berbicara jujur, berpendirian teguh, menjaga perut dari segala yang haram dan mengendalikan nafsu biologisnya.
Mengingat istilah al-râsikhûn fî al-‘ilm memiliki cakupan yang luas dan tidak menunjuk pada orang tertentu, maka wajar jika masing-masing kalangan mengklaim sebagai pihak yang dimaksud dengan istilah itu sehingga berhak untuk men-ta`wîl- kan al-Qur`ân. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa para filosof-lah, selaku ahl al- burhân,
yang dimaksud dalam firman Allah sebagai al-râsikhûn fî al-‘ilm. 57
56 Penulis tidak menemukan riwayat ini dalam kitab-kitab hadis seperti: Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abû Dâûd, Sunan Al-Turmudzî, Sunan al-Nasâ`î dan Sunan Ibn Mâjah. Tetapi,
riwayat tersebut justru dikemukakan secara lengkap matn dan sanad-nya oleh Ibn Jarîr al-Thabarî dan Ibn Katsîr dalam kitab tafsir mereka masing-masing. Al-Thabarî mengajukan dua jalur sanad, yakni: Pertama , dari Mûsâ bin Sahl al-Ramlî, dari Muhammad bin Abdullah, dari Fayyâdh bin Muhammad al-Raqqî, dari Abdullah bin Yazîd bin Âdam, dari Abû al-Dardâ` dan Abû Umâmah. Kedua, dari Al- Matsnâ dan Ahmad bin al-Hasan al-Turmudzî, dari Nu’aim bin Hammâd, dari Fayyâdh al-Raqqî, dari Abdullah bin Yazîd al-Audî, dari Anas ibn Mâlik, Abû Umâmah dan Abû al-Dardâ`. Lihat Al-Thabarî, Jâmi ’ al-Bayân…, Jilid 3, h. 184-185. Sedangkan Ibn Katsîr mengajukan riwayat tersebut dari Ibn Abî Hâtim, dari Muhammad bin ‘Auf al-Himshâ, dari Nu’aim bin Hammâd, dari Fayyâdh al-Raqqî, dari ‘ Ubaidullâh bin Yazîd, dari Abû Umâmah dan Abû al-Dardâ`. Lihat Al-Imâm Abû al-Fidâ al-Hâfizh Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur`ân al- ‘ Azhîm, (Beirut: Maktabah al-Nûr al-‘Ilmiyyah, t.th.), juz
1, h. 328. 57 Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (selanjutnya ditulis Ibn
Rusyd), Fashl al-Maqâl wa Taqrîr Mâ baina al-Syarî ’ ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, (Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1978), h. 33
Para filosof mengklaim bahwa merekalah yang berhak men-ta`wîl-kan al- Qur`ân. Memberikan ta`wîl terhadap teks keagamaan, bagi mereka merupakan keniscayaan. Seorang filosof akan menjadi kafir jika tidak melakukan ta`wîl, karena ajaran-ajaran agama tertentu yang dipahami secara leterleks, seperti surga dan neraka yang dipahami dalam pengertian fisik, adalah tidak masuk akal. Sebaliknya, orang awam harus menerima teks keagamaan apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna
tekstual. Orang awam akan menjadi kafir jika men-ta`wîl-kan al-Qur`ân, karena ketidakmampuan akalnya menjangkau hal-hal yang bersifat abstrak. 58 Sementara itu,
pengikut Syî’ah mengklaim bahwa ta`wîl, hanya dapat dilakukan oleh para imâm yang mereka yakini sebagai wakil dari Rasulullah. Sedangkan kalangan sufi, menyatakan bahwa ta`wîl hanya dapat diberikan oleh mereka yang telah terbuka hijab melalui pengetahuan yang dilimpahkan Allah ke dalam dada mereka (kaum Sufi).
Kendati banyak pihak yang mengklaim sebagai pemegang otoritas ta`wîl, namun semua itu harus dikembalikan kepada argumen yang lebih kuat. Pernyataan Nabi saw. di atas, sebenarnya sudah cukup jelas untuk digunakan melihat sosok orang yang termasuk kategori al-râsikhûn fî al-‘ilm, sebagai orang yang mumpuni dalam men-ta`wîl-kan al-Qur`ân. Nabi, dalam pernyataannya lebih melihat al-râsikhûn fî al- ‘ilm dari sisi kepribadian yang mendasari tindakan seseorang dalam memberikan ta`wîl -an terhadap Kitab Suci, karena kemampuan yang mengabaikan moralitas akan lebih mudah terseret ke dalam kesesatan.
58 Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl…, h. 34.