Kalangan Bâthiniyyah
6. Kalangan Bâthiniyyah
Kalangan Bâthiniyyah atau al-Bâthiniyyûn, kadang-kadang juga disebut Ahl al-Bawâthin (kaum kebatinan) digunakan secara longgar untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok Islam yang orientasinya cenderung ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha menangkap makna dalam (bâthin) dari suatu teks atau ajaran agama. Karena itu, istilah tersebut dapat saja berlaku bagi hampir semua kelompok esoteris dalam Islam, termasuk kaum Sufi. Oleh kaum Sunni, istilah tersebut secara khusus digunakan untuk mengidentifikasi kelompok Islam tertentu,
132 Lihat Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl…, h. 230-231.
terutama kaum Ismâ’ilî, penganut aliran Syî’ah Ismâ’îliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syî’ah yang muncul sesudah wafatnya Ismâ’îl ibn Ja’far al-Shâdiq sekitar 148
H. (765 M.). Mereka juga dinamakan kaum Syî’ah Sab’iyyah (Syî’ah Tujuh), karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang tujuh (yaitu sejak Hasan ibn ‘Alî sampai Muhammad ibn Ismâ’îl (Ibn Ja’far al-Shâdiq ibn Muhammad al-Bâqir). Dalam hal paham keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syî’ah Itsna
‘ Asyariyyah (Syî’ah Duabelas, karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn ‘Ali sebagai imam pertama, melalui Ja’far al-Shadiq seperti kaum Isma’ili, tapi menyimpang ke Mûsâ al-Kâdhim ibn Ja’far – dan bukannya ke Muhammad ibn Isma’il – kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntazhar, yang diyakini sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai
Imam Mahdi). 134 Syî’ah Isma’iliyyah dikonotasikan sebagai kelompok Bâthiniyyah karena
adanya anggapan banyak pengamat tafsir bahwa sekte ini mempunyai keyakinan hanya makna batinlah sebenarnya yang dikendaki dari ungkapan-ungkapan al-Qur`ân,
133 Mereka ini diidentifikasi dengan beberapa sebutan, di Irak dinamakan dengan “al- Bâthiniyyah,” “al-Qarâmithah,” dan “al-Mazdakiyyah.” Sedangkan di Khurâsân, dinamakan dengan
“ al-Ta’limiyyah” dan “al-Mulhidah”. Mereka sendiri menyebut dirinya sebagai “Ismâ’îliyyah.” Lihat al-Syahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal,…, juz 2, h. 146; al-Zarqânî, Manâhil al- ‘ Urfân fî ‘ Ulûm al- Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz 2, h. 74; ‘Alî al-Shâbûnî, Al-Tibyân fî ‘ Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: ‘Alîm al-Kutub, 1985), h. 184; Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, …, juz 2, h. 10. Syî’ah Isma’iliyyah, menurut Muhammad Abû Zahrah, disebut juga dengan kelompok bâthiniyyah karena merujuk kepada keyakinan mereka yang menyatakan tersembunyinya imam mereka (al-imâm al-mastûr) dan karena mereka banyak mengambil arti batin ayat. Lihat Muhammad Abû Zahrah, Târikh al-Madzâhib,…, h. juz. 1, h. 91. Dalam literature tentang Ilmu Kalâm, kata “ bâthiniyyah” mempunyai konotasi sekte Syî’ah Ismâ’iliyyah yang mempunyai pandangan bahwa al- Qur`ân mempunyai makna lahir dan batin. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Mac Millan, 1970), h. 443.
134 Nurcholish Madjid, “Masalah Ta`wîl…, h. 16.
bukan makna lahirnya. Dengan kata lain, mereka hanya mengakui makna batinnya saja. 135 Kelompok Bâthiniyyah yang bergelut dengan tafsir al-Qur`ân, menurut
Muhammad Husein al-Dzahabî, sebenarnya ada dua kelompok, yaitu kelompok Bâthiniyyah periode awal (mutaqaddimîn), yang diwakili oleh sekte Syî’ah Ismâ’îliyyah dan kelompok Bâthiniyyah periode terakhir (muta`akhkhirîn), yang
diwakili oleh kelompok Bâbiyah dan Bahâ`iyyah. 136 Baik Bâthiniyyah periode awal
maupun periode terakhir, keduanya sama-sama menggunakan perangkat metodologi ta`wîl 137 untuk mengungkap makna batin ayat-ayat al-Qur`ân.
Dalam memberikan ta`wîl terhadap fakta-fakta tekstual agama, kalangan Bâthiniyyah ini banyak sekali menggunakan sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-
Platonisme. 138 Mereka menyatakan bahwa semua ketentuan zhahir dari taklif keagamaan, berita tentang hari kebangkitan, padang mahsyar, dan perkara-perkara
ketuhanan, semuanya merupakan perumpamaan-perumpamaan dan isyarat kepada makna batin yang tersembunyi. 139 Setiap ayat al-Qur`ân yang berhubungan dengan
135 Al-Zarqânî, Manâhil al- ‘ Urfân… , juz 2, h. 74; ‘Alî al-Shâbûnî, Al-Tibyân …, h. 184; Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, …, juz 2, h. 235. Anggapan tersebut
sudah terlanjur diberikan, padahal terdapat informasi lain yang menunjukkan bahwa beberapa tokoh Syî’ah Ismâ’îliyyah, seperti al-Qâdhî Nu’mân (w. 363 H.), Sirmin Abû Ma’âlî dan Hâtim bin ‘Imrân bin Zahrah, ketiganya merupakan dâ’i dari kalangan Syî’ah Ismâ’îliyyah, juga Ja’far bin manshûr al- Yamanî - mereka semua - juga tidak menafikan makna lahiriah ayat. Justru pandangan yang menafikannya, dianggap sebagai pandangan yang keliru dan sesat oleh mereka ini. Lihat Abdul Tawwab ‘Abdul Hadi, Lambang-lambang Sufi di dalam Al-Qur`ân, terj. Oleh Afif Muhammad dari, al-Ramziyyah al-Shûfiyyah fî al-Qur`ân al-Karîm, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 49; Ismail K. Poon wala, “Isma ’ illi ta`wîl of the Qur`an, ” dalam Andrew Rippin (Ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur`an , (Oxford: Clarendon Press, 1988), h. 200.
136 Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, …, juz 2, h. 178. 137 Rosihon Anwar, Samudera Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 205. 138 Nurcholish Madjid, “Masalah Ta`wîl…, h. 16; Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur`ân, (Solo:
Ramadhani, 1989), h. 294. 139 Yûsuf al-Qardlâwî, Al-Marja ’ iyyah al- ‘ Ulyâ…,
h. 312.
taklif, mereka ta`wîl-kan dengan cara mengambil makna batinnya. Shalat, di-ta`wîl- kan sebagai penutur (al-nâthiq) yakni Rasulullah saw., karena Allah telah berfirman, “ Sesungguhnya shalat (Rasulullah) itu dapat mencegah (seseorang) dari perbuatan keji dan munkar.” Zakat adalah penyesuaian jiwa melalui pengetahuan keagamaan versi mereka. Ka’bah adalah Nabi. Marwah adalah ‘Ali. Miqat adalah beramah tamah. Talbiyah adalah menjawab panggilan dakwah. Thawaf tujuh kali
melambangkan kepemimpinan imam yang tujuh, surga adalah istirahatnya badan dari kewajiban-kewajiban, dan neraka adalah kesusahan badan karena terlepasnya beban
kewajiban-kewajiban. 140 Mereka mengingkari mukjizat para nabi dan rasul. Mereka juga tidak
mengakui turunnya malaikat pembawa wahyu Allah dari langit, mengingkari Adam, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj. Tongkat Nabi Mûsâ dimaknai sebagai argumentasinya yang melalap argumentasi artifisial Fir’aun, dan sebagainya. Demikianlah seterusnya, mereka men-ta`wîl-kan setiap ayat al-Qur`ân yang tampaknya, bagi mereka,
bertentangan dengan akal. 141 Di samping memberikan ta`wîl-ta`wîl seperti yang dikemukakan di atas,
Syî’ah Ismâ’îliyyah juga seperti kelompok Syî’âh lainnya, banyak memberikan ta`wîl yang menjurus ke arah politik. Mereka berupaya untuk mencari justifikasi al-Qur`ân terhadap konsep imamah yang mereka yakini. Misalnya, Wudhu, mereka ta`wîl-kan dengan kepemimpinan imâm. Sedangkan tayammum mereka ibaratkan sebagai
140 Yûsuf al-Qardlâwî, Al-Marji ’ iyyah al- ‘ Ulyâ…,
h. 312-313.
141 Yûsuf al-Qardlâwî, Al-Marji ’ iyyah al- ‘ Ulyâ…,
h. 312-313.
mengambil petunjuk dari pengganti imam yang berwenang di saat imam, yang menjadi hujjah sedang tidak ada (gaib). 142
Demikian beberapa contoh ta`wîl dari kalangan Bâthiniyyah dan sikap mereka yang menjadikan ta`wîl sebagai perangkat metodologi untuk semata-mata mendukung keyakinan mereka.