Ta`wîl Ayat Mutasyâbihât dalam Kerangka Hierarki Wujud

1. Ta`wîl Ayat Mutasyâbihât dalam Kerangka Hierarki Wujud

Sebelum menguraikan bagaimana metode pen-ta`wîl-an ayat-ayat mutasyâbihât , al-Ghazâlî berbicara tentang lima stratifikasi wujud, yaitu wujud dzâtî (esensial), wujud hissî (sensual/indrawi), wujud khayâlî (khayal/imajinasi), wujud ‘aqlî (rasional), dan wujud syabahî (metaforis). Menurut al-Ghazâlî, barangsiapa mengakui eksistensi apa yang diberitakan al-Qur`ân atau disampaikan oleh Rasulullah saw., dengan salah-satu segi wujud yang lima tersebut, maka bukanlah ia termasuk seorang yang mendustakan wahyu atau apa yang disampaikan Rasul sama

sekali. 112 Al-Ghazâlî, kemudian memaparkan makna kelima wujud tersebut dengan

contoh-contohnya masing-masing. Menurutnya, yang dimaksud dengan wujud dzâtî (esensial) ialah wujud yang sebenarnya (hakiki) dari sesuatu yang berada di luar perasaan (indera) dan akal, tatapi perasaan dan akal masih dapat menangkap suatu

111 Contoh-contoh sikap saling mengkafirkan antar masing-masing pengikut mazhab yang berbeda dapat dibaca pada al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 240.

112 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 240.

gambaran daripadanya, yang dinamakan sebagai persepsi (al-idrâk). Misalnya, wujud langit, bumi, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud lahir. Bahkan inilah wujud yang diketahui, yang kebanyakan orang tidak mengetahui

wujud selain dalam pengertian ini. 113 Adapun wujud hissî (sensual/indrawi), ialah wujud yang tergambar dalam

daya penglihatan mata terhadap sesuatu yang berada di luar mata, yang sebenarnya

tidak berwujud. Misalnya, wujud suatu yang terlihat oleh orang yang sedang tidur (mimpi), atau seperti apa yang disaksikan oleh seorang yang sakit, yang sadar. Sebab kadang-kadang bagi orang yang sakit itu tergambar suatu bentuk, tetapi bentuk itu tidak ada wujudnya di luar perasaannya, sehingga ia bisa menyaksikan wujud-wujud lain di luar perasaannya. Dan juga termasuk wujud penglihatan para nabi terhadap

malaikat yang menyampaikan wahyu kepada mereka. 114 Adapun wujud khayâlî (khayal/imajinasi), ialah wujud yang tergambar dalam

benak terhadap segala objek indera setelah objek tersebut berlalu dari indera. Misalnya, gambaran wujud komplit seekor gajah di dalam benak setelah indera tidak

lagi menyaksikan wujud hakiki gajah tersebut. 115 Sedangkan wujud ‘aqlî (rasional), adalah wujud yang diangkat oleh akal dari pengertian hakiki atau spirit dari wujud

suatu objek tanpa membayangkan wujudnya yang hakiki. Misalnya, “tangan”, ia mempunyai wujud hakiki, baik berupa wujud esensial, sensual atau khayal. Tetapi, karena tangan juga mempunyai makna dalam spiritnya, yaitu kemampuan memukul,

113 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 240. 114 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 240. 115 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 241.

maka “kemampuan memukul” itulah yang menjadi wujud rasional dari “tangan”. Contoh lainnya adalah “pena” (qalam), ia mempunyai bentuk, tetapi hakikat pena adalah sesuatu yang menggoreskan ilmu pengetahuan. Inilah yang ditangkap oleh akal tanpa dibarengi dengan gambaran tentang bambu, kayu, dan lain-lain gambaran khayâlî

dan inderawi. 116 Adapun wujud syabahî (metaforis), adalah sesuatu yang tidak mempunyai

wujud berupa wujud esensial, wujud sensual, wujud khayal dan wujud rasional, tetapi wujudnya ada pada sesuatu yang lain yang memiliki persamaan dengan salah satu karakteristik yang dimilikinya. Misalnya, sifat “marah” yang dinisbahkan kepada Tuhan. Sifat ini tidak mungkin berupa wujud esensialnya ada pada Tuhan, begitu pula wujudnya yang sensual, khayal dan rasional; tetapi hanya ada suatu ciri dari karakteristik marah itu, yaitu “ingin menghukum”. Maka, “ingin menghukum” inilah

wujud metaforis dari wujud “marah” ada pada Tuhan. 117 Berdasarkan stratifikasi wujud tersebut, maka pen-ta`wîl-an, menurut al-

Ghazâlî, dapat dilakukan secara berjenjang. Maksudnya, pada tahap pertama, makna sebuah kata (ungkapan) harus dipahami dalam wujudnya yang esensial (dzâtî). Hal ini sesuai dengan kaidah umum yang disepakati para ulama, yaitu bahwa teks wahyu, baik al-Qur`ân maupun hadis Nabi saw. pada prinsipnya mesti dipahami atau diamalkan sesuai makna lahiriyahnya, kecuali jika terdapat petunjuk lain yang mengharuskan pengalihan kepada makna lainnya. Dengan kata lain,

116 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 241. 117 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 241 dan 243.

diperbolehkannya mengadakan ta`wîl, tergantung kepada adanya (dalil) burhân atas kemustahilan pengertian lahiriyah. 118 Sebagai contoh, pemberitaan Rasulullah saw.

tentang adanya ‘arsy (singgasana), tujuh lapis langit, kursî, dan sebagainya, semuanya itu dipahami menurut makna lahirnya dan tidak di-ta`wîl-kan, sebab semuanya itu adalah substansi-substansi dengan sendirinya bersifat wujud, baik dapat

ditangkap oleh indera dan khayal atau pun tidak. 119

Kemudian, bila ada dalil (burhân) yang mencegah pengertian itu menurut wujud esensialnya, maka bisa di-ta`wîl-kan dengan wujud di atasnya, yakni wujud sensual. Untuk hal ini, al-Ghazâlî mencontohkan dengan sabda Nabi Muhammad saw, yang artinya, “ Diperlihatkan kepadaku sorga seluas dinding ini.” Bagi orang yang mempunyai dasar pengetahuan bahwa substansi-substansi tidak saling memasuki (dalam hal ini, sorga tidak masuk ke dinding dan juga sebaliknya), dan yang kecil tidak bisa memuat yang besar (di sini, dinding tidak bisa memuat sorga), maka dia akan menganggap hadis ini bertentangan dengan akal, oleh karenanya dia boleh men-ta`wîl-kannya dengan wujud sensual, yaitu tergambar oleh indera bentuk

sorga di dinding, sehingga seakan-akan sorga itu disaksikan oleh beliau. 120 Selanjutnya, jika terdapat dalil yang mencegah pen-ta`wîl-an dengan

mempergunakan wujud esensial dan wujud sensual, maka boleh di-ta`wîl-kan dengan wujud khayal. Misalnya, situasi yang diberitakan Nabi saw. dalam sabdanya, “ Seakan-akan aku memandang kepada Yûnus ibn Matius tengah memakai jubah

118 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 244. 119 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 241. 120 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 241.

yang bagaikan sayap sambil memanggil-manggil, dan gunung-gunung pun menyahut. Kemudian Allah Ta’âlâ berfirman: “ Aku di sini, wahai Yûnus!” Karena tidak mungkin dipergunakan wujud esensial dan sensual, sebab Nabi Muhammad saw. dan Nabi Yûnus as. hidup tidak sezaman, maka hadis tersebut boleh di-ta`wîl-kan ke

wujudnya yang khâyalî. Jadi, maksudnya seperti memandang dalam imajinasi. 121 Berikutnya, jika masih terdapat dalil yang mencegah pen-ta`wîl-an dengan

wujud khayal, maka dibolehkan bergeser ke jenjang berikutnya, yaitu wujud rasional. Misalnya, dicontohkan al-Ghazâlî dengan sebuah hadis yang artinya, “ Allah Ta`âlâ telah mengolah tanah liat Adam dengan tangan-Nya selama empat puluh hari.” Makna “tangan” Tuhan di sini, tidak dapat diartikan dengan wujud esensial, dan tidak bisa pula dengan wujud sensual dan khayal, karena dimustahilkan oleh akal. Oleh karena itu, dipergunakan ta`wîl dengan wujud rasional, yaitu dengan spirit yang terdapat dalam “tangan”, yaitu kekuasaan berbuat, memukul, memberi atau

menghalangi, dan sebagainya. 122 Terakhir, jika masih terdapat dalil yang memustahilkan pengertiannya dalam

wujud esensial, sensual, khayal, dan sensual, maka dibolehkan beralih ke wujud metaforis. Cotohnya, seperti yang telah diungkapkan, yaitu sifat “marah”, “rindu”, “ senang”, “sabar”, dan sifat-sifat lain yang dihubungkan dengan Tuhan. Karena hakikat “marah” (al-ghadlab) misalnya, ialah mendidihnya darah dalam hati, karena keinginan hendak memuaskan dendam. Sifat ini pasti tidak terlepas dari kekurangan

121 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 242. 122 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 242.

dan penderitaan. Bagi siapa yang memiliki burhân tentang mustahilnya adanya nafsu marah pada Allah Ta`âlâ, baik secara esensial, sensual, khayal, maupun rasional, maka dia boleh men-ta`wîl-kan ke wujud metaforisnya, dalam hal ini kepada salah satu karakteristik yang berhubungan dengan sifat marah, yaitu keinginan untuk

menghukum. 123 Dengan tata-cara pen-ta`wîl-an seperti itu, menurut al-Ghazâlî, faktor yang

menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat di antara para pemikir, hanyalah perbedaan dalam memantau ada atau tidaknya suatu dalil demonstratif (burhân) yang mencegah penggunaan ta`wîl pada strata wujud tertentu. Umpamanya, sebagian pemikir menganggap belum ada dalil yang mencegah pen-ta`wîl-an kata tertentu dengan wujud rasional, karena itu dia mengartikannya dengan wujud rasional; tetapi pemikir lain sudah melihat adanya dalil yang mencegahnya, maka dia men-ta`wîl- kannya dengan wujud metaforis. Namun, tegas al-Ghazâlî, seorang (mu`awwil) pen- ta`wîl tidak dapat divonis sebagai kafir, selama ta`wîl yang ia berikan tidak ke luar dari lima stratifikasi wujud tersebut dan mempunyai dalil yang mencegahnya untuk

pen-ta`wîl-an dengan wujud sebelumnya. 124 Dengan demikian, al-Ghazâlî telah menanamkan bibit toleransi yang besar di kalangan umat Islam, terutama kalangan

teolog dalam melihat adanya perbedaan pendapat menyangkut masalah akidah. Meskipun memberikan solusi untuk memahami teks-teks mutasyâbihât dengan model pen-ta`wîl-an secara terstruktur, al-Ghazâlî tetap konsisten dengan

123 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 243. 124 Al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah…,h. 243.

pandangannya, bahwa ta`wîl merupakan wilayah kerja para intelektual, bukan kerja dan konsumsi orang awam. 125 Rekomendasi al-Ghazâlî bagi orang awam ketika

berhadapan dengan teks-teks mutasyâbihât, sejalan dengan pendapat imâm al- Asy’ari, yaitu memahami sebagaimana yang diberitakan dalam teks wahyu, dengan tetap mengedepankan sikap tanzîh (memahasucikan Tuhan dari terserupa dengan

makhluk-Nya). 126