Tren dan Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur`ân

B. Tren dan Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur`ân

Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai bangsa Barat pasca gerakan renaissance ini 22 , sedikit banyak memberikan pengaruh kepada gerakan

20 Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. xii- xiii.

21 Lihat: A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 83

22 Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari usaha seorang filosof Jerman yaitu Schleirmacher, yang memperkenalkan sebuah metode dalam memahami kitab suci melalui pendekatan hermeneutika

yang menekankan unsur kebahasaan. Lebih jelasnya lihat Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, diterjemahkan dari Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gagamer, oleh Munsur Hery & Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke-2, h. 103-105 yang menekankan unsur kebahasaan. Lebih jelasnya lihat Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, diterjemahkan dari Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gagamer, oleh Munsur Hery & Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke-2, h. 103-105

Munculnya gerakan pembaharuan keagamaan ini akan berpengaruh pula pada munculnya berbagai cara atau metode maupun tren atau kecenderungan yang digunakan sebagai pisau bedah guna merekontruksi pemahaman keagamaan yang berkembang selama empatbelas abad. Oleh karena itu, dalam sub bab ini akan memotret kecenderugan atau tren dan metode penafsiran yang berkembang pada era modern.

1. Tren Penafsiran

tren atau kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah suatu warna, arah, atau kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus menggambarkan latar belakang intelektual penafsirnya, dengan

kata lain tren merupakan gambaran umum tentang arah pemikiran mufassir. 23 Berbicara mengenai tren atau kecenderungan mufassir, maka akan

ditemukan pembagian yang dilakukan oleh sarjan Muslim maupun sarjana Barat. Misalnya dari sarjan Barat dikenal Ignaz Goldziher dalam karyanya Madzahib al- Tafsîr, Goldziher berasumsi bahwa terdapt lima kecenderungan dalam penafsiran al-Qur`ân, yaitu: (1) Penafsiran yang menggunakan bantuan hadits Nabi dan Para sahabat; (2) Penafsiran Dogmatis; (3) Penafsiran Mistik; (4) Penafsiran Sektarian;

dan (5) Penafsiran Modern. 24 Akan tetapi Goldziher dalam karya ini, belum

23 Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2008), cet. ke-1, h. 60, Liihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 388 24 Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. ‘Abd al-Halîm al-Najjâr, (Kairo:

Maktabah al-Khânijî, 1995), h. 6-11. Dalam pandangan Jansen, klasifikasi yang dilakukan oleh I. Goldziher diatas terdapat sisi kelemahan, misalnya ia menggolongkan tafsir al-Kasysyâf karya mufassir sekaliber al-Zamakhsyari sebagai tafsir dogmatis, karena keterlibatannya dalam mendukung Maktabah al-Khânijî, 1995), h. 6-11. Dalam pandangan Jansen, klasifikasi yang dilakukan oleh I. Goldziher diatas terdapat sisi kelemahan, misalnya ia menggolongkan tafsir al-Kasysyâf karya mufassir sekaliber al-Zamakhsyari sebagai tafsir dogmatis, karena keterlibatannya dalam mendukung

modern kedalam tiga kecenderungan, yaitu (1) Penafsiran yang bernuansa sosial kemasyarakatan; (2) Penafsiran Saintifik; dan (3) Penafsiran filologik. 26

Sedangkan dari kalangan sarjan Muslim, yang dianggap sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern adalah Muhammad Ibrâhîm Syarîf, yang mengkategorisasikan kecenderungan ini kedalam tiga kategori, yaitu: (1) al- Ittijâh al-Hidâ`î (tren kehidayaan al-Qur`ân); (2) al-Ittijâh al-Adabî (tren filologi

dan sastra); (3) al-Ittijâh al-‘Ilmî (tren saintifik). 27 Lain halnya dengan pembagian yang dilakukan oleh Muhammad Husein

al-Zahabî, yang mengemukakan tujuh macam kecenderungan yang berkembang

dalam ranah ilmu tafsir, yaitu: 29 tafsîr bi al-ma`tsûr, tafsîr bi al-ra`yi, tafsîr sûfî,

30 31 32 tafsîr fiqhî, 33 tafsîr falsafî, tafsîr ‘ilmî, dan tafsîr adab ijtimâ’i.

aliran Muktazilah. Akan tetapi jika dilihat pada sumbangsihnya terhadap penafsiran filologis, tafsir ini mempunyai peranan sangat penting dalam analisis sintaksis ayat-ayat al-Qur`ân. Karena menurut Jansen al-Zamakhsyari merupakan tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap al-Qur`ân setelah Abu Ubaidah. Lebih lanjut lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 5-6

25 Selain Goldziher, terdapat pula sarjana Barat yang dianggap belum secara komprehensif memaparkan tentang perkembangan kecenderungan di era modern seperti J.M.S. Baljon. Lebih lanjut

lihat J.M.S. Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), dan J. Jomier yang hanya mefokuskan kajiannya dalam penelitian yang dilakukan pada penafsiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, hal ini juga diungkapkan oleh J.J.G. Jansen dalam pengantar bukunya dan sekaligus sebagai alasan dia dalam menulis bukunya sebagai kelanjutan dari penelitian yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt,

h. vii 26 J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 96 Pembagian yang

dilakukan oleh Jansen ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Iffat Syarqawi, akan tetapi Jansen menjelaskan dalam catatan kaki pada pengantar bukunya, mengatakan bahwa ia baru menemukan buku Iffat Syarqawi ketika ia hampir selesai dalam merampungkan karya yang merupakan hasil penelitiannya selama satu tahun sejak 1966-1967. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. ix

27 Adapun penjelasan lebih detail dari ketiga kecenderung yang dikategorisasikan oleh Ibrâhim Syarîf, lihat Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, h.

229-441 28 Muhammad Husein al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Beirut: Ihyâ al-Turâts

al-‘Arabi, 1976), h. 20. Sedangkan M. Quraish Shihab, menyebutkan terdapat enam corak atau kecenderungan tafsir yang dikenal hingga saat ini, yaitu: corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqhi atau hukum, corak tasawuf, corak sastra dan budaya

Kemunculan tren adabi ijtimâ’i atau hidâ`i, disebabkan problem yang dihadapi oleh umat Islam saat itu, yang mengalami kemunduran dan terpecah belah, dan dominasi Barat atas pemerintahan Islam dalam berbagai sektor kehidupan, seperti budaya, ekonomi dan militer. Oleh karena itu-permasalahan ini-mendorong munculnya paradigma baru dalam memperbaiki dan membangkitkan kembali kondisi umat Islam dari keterbelakangan tersbut.

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para reformis Islam ini tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ulama pendahulunya, ketika umat yang dihadapinya menghadapi sebuah problem. Namun demikian tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan diantara keduanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Iffat Syarqawi, bahwa mufassir klasik lebih cenderung menggunakan pendekatan filosofis dalam banyak hal untuk menghadapi

kemasyarakatan. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 72

29 tafsîr sûfî adalah tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur`ân dari sudut esoterik atau isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Tasir jenis terbagi kedalam

dua macam, yaitu: 1) tafsir sufi yang didasarkan pada tasawuf teoritis yang cenderung menafsirkan al- Qur`ân berdasarkan teori-teori atau paham-paham tasawuf yang pada umumnya bertentangan dengan makna lahiriyah ayat dan menyimpang dari struktur kebahasaan; 2) tafsir sufi yang didasarkan pada tasawuf praktis, yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur`ân berdasarkan isyarat-isyarat samar yang tampak oleh sufi dalam suluknya. Lihat Alimin Mesra et.al., Ulûm al-Qur`ân, (Jakarta: PSW UIN Jakarta & IISEP, 2005), h. 236

30 tafsîr fiqhî adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum (fiqhi) dari al-Qur`ân. Lihat Alimin Mesra et.al., Ulûm al-Qur`ân, h.

233 31 tafsîr falsafî adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur`ân berdasarkan pendekatan filososfis, baik

yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur`ân, atau tafsir yang menfasirkan al-Qur`ân berdasarkan pandangan filosof dan dihubungkan dengan masalah-masalah filsafat. Lihat M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al- Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 182-183

32 tafsîr ‘ilmî adalah penafsirkan al-Qur`ân yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, atau ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat yang terkait dengan sains atau yang

dekenal dengan ayat-ayat kauniyah. Dengan kata lain usaha para mufassir untuk mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dengan temuan-temuan sains dan teknologi. Lihat Alimin Mesra et.al., Ulûm al-Qur`ân, h. 235

33 tafsîr adab ijtimâ’i adalah tafsir yang menitikberatkan pada penjelasaan ayat-ayat al-Qur`ân pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat al-Qur`ân tersebut dalam

suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan pokok dari tujuan-tujuan yang dimaksud al- Qur`ân, yaitu selaku petunjuk dalam kehidupan; kemudian mengaitkan pengertian ayat dengan hukum- hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 124 suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan pokok dari tujuan-tujuan yang dimaksud al- Qur`ân, yaitu selaku petunjuk dalam kehidupan; kemudian mengaitkan pengertian ayat dengan hukum- hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 124

temuan-temuan muafssir klasik kemudian mengemasnya dengan baik. 34

Adapun penafsiran saintifik, kecenderungan model ini dalam penafsiran al-Qur`ân sebenarnya telah lama dikenal. Jika ditelisik lebih jauh, cikal bakal permulaan penafsiran ini telah ada pada masa khalifa al-Ma`mun (w. 853 M) yang mana pada masa khalifah ini penerjemahan kitab-kitab ilmiah dari Eropa

kedalam bahasa Arab digalakkan. 35 Pola penafsiran ini didasarkan pada asumsi bahwa berbagai macam penemuan seperti sains dan teknologi modern telah

tersadur dalam al-Qur`ân, dan ditemukannya banyak referensi-referensi yang jelas terntang temuan-temuan tersebut dalam al-Qur`ân, seperti kosmologi Copernicus hingga kandungan-kandungan listrik, dari keteraturan reaksi-reaksi kimia hingga

bakteri-bakteri yang dapat menimbulkan penyakit. 36 Tren penafsiran model ini menuai pro dan kontra tentang pengabsahannya

dikalangan mufassir baik klasik maupun modern. Para pendukung model penafsiran ilmiah ini sering mengutip statemen al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Jawâhir al-Qur`ân guna membela keabsahannya, dalam bukunya ini al-Ghazali menjelaskan bahwa al-Qur`ân hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya. Sebagaimana seseorang tidak akan dapat memahami al-Qur`ân tanpa memiliki pengetahuan tentang tata bahasa Arab, demikian pula seseorang tidak dapat memahami apa yang dimaksud oleh ayat yang bunyi artinya “dan apabila aku

34 Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A’mâl al-Mufassirîn, (t.tp.: Maktabah al-Syabâb, 1980), h. 80

35 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 101. Sedangkan menurut Jansen, munculnya tafsir ilmiah modern merupakan pengaruh

Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh abad kesembilan belas dunia Islam di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab ini dikarenakan superioritas teknologi Eropa. Lihat lebih lanjut J.J.G. Jansen, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 67

36 Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi PemikiranKeagamaan & Kebudayaan, No. 18,

Tahun 2004, h. 68 Tahun 2004, h. 68

tafsir ilmiah ini adalah al-Râzî, al-Mursi, al-Suyûtî, al-Ghazâlî, serta Muhammad Abduh dan Tantawi Jauhari. Sedangkan yang menolak penafsiran ilmiah ini diantaranya adalah Muhammad Rasyid Rida, Amin al-Khûlî, Mahmud Syaltut,

Sayyid Qutub, Izzat Darwazahh dan lainnya. 39 Para ulama ataupun mufassir yang tidak mengakui keabsahan model

penafsiran ini, karena mereka memandang bahwa 1) Secara leksikografik, penafsiran saintifik tidak dapat diterima, karena ia secara salah mengaitkan “makna-makna modern” pada kosa-kata al-Qur`ân; 2) Mengabaikan konteks kata- kata dan frase-frase dalam teks al-Qur`ân dan asbâb al-nuzûl; 3) Kurang memperhatikan fakta bahwa al-Qur`ân dapat dipahami oleh audiens pertama; 4) Tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan dan teori-teori saintifik sesuai dengan karakter dasarnya selalu tidak sempurna dan berkembang, karena itu mengadopsi pengetahuan dan teori-teori saintifik dari ayat-ayat al-Qur`ân akan berimplikasi pada pembatasan validitas ayat-ayat tersebut untuk masa dimana temuan-temuan saintifik itu diterima; 5) Kegagalan dalam memahami bahwa al- Qur`ân bukan kitab ilmu pengetahuan, tetapi kitab Agama yang di desain untuk membimbing manusia dengan memberikan kepada mereka sistem keyakinan dan

nilai-nilai moral. 40

37 Q.S. 26 : 80, adapun redaksi ayat tersebut adalah:     

38 Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur`ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Ihyâ` al-‘Ulûm, 1985), h. 45

39 Ahmad ‘Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr al-‘Ilmi Li al-Qur`ân fî al-Mîzan, (Beirut: Dâr al- Kutaibah, 1991), h. 295-336.

40 Lihat Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 71-72. Untuk informasi tentang tanggapan dan

kritikan terhadap tafsir ‘ilmi serta argumentasinya, lebih lanjut lihat ‘Abd al-Majîd Abd al-Salam al- Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-‘Asr al-Râhin, (‘Ammân-Yordan: Mansyûrât Maktabah al-Nahdah al-Islâmiyah, 1982), cet. ke-2.

Polemik-polemik yang terjadi antara yang pro dan kontra terhadap penafsiran saintifik ini pada akhirnya melahirkan sikap kompromistik, sebagaimana yang di lakukan oleh Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa al- Qur`ân memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan, namun demikian al-Qur`ân tidak bisa di perlakukan sebagai sebuah kitab ilmu pengetahuan. al-Qur`ân lebih merupakan kitab petunjuk daripada teori-teori ilmu. Oleh karena itu memahami ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan penemuan-penemuan baru merupakan ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur`âniyah

dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketenteuan bahasa. 41 Pada dasarnya-terlepas dari pro-kontra yang terjadi-upaya yang dilakukan oleh para

mufassir ilmiah ini adalah keinginan untuk membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan modern yang

menjadi simbol peradaban modern. 42 Sedangkan penafsiran filologik dan sastra ini sebenarnya telah dimulai

sejak awal abad modern oleh penganut tren sosial kemasyarakatan yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan al-Marâghi. Akan tetapi belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah yang sistematis sebagaimana yang berkembang setelahnya, akan tetapi masih sebatas pengungkapan retorika al-Qur`ân, karena menurut mereka tujuan dari tafsir al- Qur`ân adalah mewujudkan hidayah al-Qur`ân. Dan tidak salah kiranya jika dikatakan tren ini mencapai puncak kematangannya pada masa Amin al-Khûli, karena dialah yang mengembangkan tren ini secara sistematis. Hal ini dapat dilihat dari pandangan al-Khûli yang menyatakan bahwa al-Qur`ân merupakan kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting (Kitâb al- ‘Arabiyah al-Akbar wa Atsaruha al-Adabi al- A‘zham), oleh karena itu dia mengatakan dalam mengkaji al-Qur`ân ada dua hal yang fundamental harus

41 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 60

42 Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A’mâl al-Mufassirîn, h. 88 42 Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A’mâl al-Mufassirîn, h. 88

ini. 43 Meskipun al-Khûli hingga akhir hayatnya tidak meninggal karya tafsir

yang menjabarkan akan ide dan metodenya, tetapi para murid-muridnya dapat mengaplikasikannya dengan baik dalam karya mereka, misalnya ‘Âisya ‘Abd al-

44 Rahman Bintu al-Syâti`î 45 dan Muhammad Ahmad Khalafullah .

2. Perkembangan Metodologi Tafsir

Dalam menelaah kitab tafsir yang ada hingga saat ini, terdapat sebagian mufassir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf, dan sebagian lainnya merujuk pada temuan ulama modern-kontemporer. Adapun metode tafsir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf, dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk penafsiran, yaitu: 1) tafsir yang berdasarkan riwayat atau dengan istilah populernya disebut dengan al-tafsîr bi al-ma`tsûr; 2) tafsir yang berdasarkan dirâyah atau yang dikenal dengan al-tafsîr bi al-ra`yi; dan 3) tafsir yang berlandaskan pada isyarat

atau populer dengan nama al-tafsîr al-isyârî. 46 Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan pada temuan ulama

kontemporer semisal al-Farmawi, terdapat empat buah metode yang berkembang

43 Lihat Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 73

44 Dalam pengantar tafsirnya, Bintu al-Syâti`î menyatakan bahwa dalam menulis tafsirnya ini ia berharap akan pengukuhan metode yang dicanangkan oleh gurunya yang juga sekaligus suaminya.

Lebih lanjut lihat ‘Âisya ‘Abd al-Rahman Bintu al-Syâti`î, al-Tafsîr al-Bayânî Li al-Qur`ân al-Karîm, Juz 1, (Kairo: Dâr al-Manâr, t.th.), cet. ke-7, h. 15

45 Aplikasi tren filologik dan sastra oleh Khalafullah dapat dilihat dalam karyanya al-Fann al- Qasasî fî al-Qur`ân al-Karîm. Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qasasî fî al-Qur`ân al-

Karîm, Syarh wa Ta’lîq Khalîl ‘Abd al-Karîm, (Beirut: Mu`assasah al-Intisyâr al-‘Arabî, 1999), cet. ke-4.

46 Hasan Yûnus ‘Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, (Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18 46 Hasan Yûnus ‘Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, (Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18

metode tersebut, hanya dua metode yang populer digunakan yaitu tahlîlî dan maudû‘î, sebagaimana hasil pengamatan yang dilakukan oleh Quraish Shihab. 48

Jika berdasarkan hasil orientasi pengembangan ilmu tafsir dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia tahun 1989, terdapat dua rumusan tentang pengelompokkan metode-metode tafsir yang berkembang dari generasi ke generasi. Kelompok pertama rumusan metode yang mengacu kepada sumber rujukan al-Qur`ân yaitu riwâyah, dirâyah dan isyârî, termasuk dalam kategori metode klasik. sedangkan empat metode yang disebutkan terakhir (global, analitis, perbandingan, dan tematik) yang kemudian ditambah dengan satu metode yang berkembang belakangan yaitu metode kontekstual yang menafsirkan al- Qur`ân berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan selama turunnya al-Qur`ân, termasuk dalam kategori tafsir

kontemporer. 49 Dari klasifikasi diatas, penulis hanya akan mengutarakan perkembangan

metode yang berkembang pada era modern-kontemporer berikut ini.

1. Metode Global

Metode global ini disinyalir oleh pakar tafsir sebagai metode yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan penafsiran al-Qur`ân, hal didasarkan atas fakta bahwa pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahasa

47 ‘Abd al-Hayyî al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘î: Dirâsah Manhajiyah Maudû‘iyah, (Kairo: Matba‘ah al-Hadârah al-‘Arabiyah, 1997), h. 23

48 M. Quraish Sihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 86

49 Sebagaimana yang dikutip oleh Zufran Rahman dalam buku Petunjuk Tentang Hasil Orientasi Pengembangan Ilmu Tafsir, yang di terbitkan oleh Ditjen Binbaga Islam, Ditbinpertais,

Departemen Agama RI, 1989 yang dimuat dalam buku yang diterjemahkannya, Ahmad al-Syirbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur`ân al-Karîm, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 231 Departemen Agama RI, 1989 yang dimuat dalam buku yang diterjemahkannya, Ahmad al-Syirbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur`ân al-Karîm, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 231

Dari realitas sejarah diatas, dapatlah dikatakan bahwa metode global merupakan satu-satunya metode yang relevan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur`ân pada masa-masa awal Islam. Agaknya prosedur metode global yang praktis dan mudah ini, memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya tafsir dengan menerapkan metode ini, semisal Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w.864 H) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî (w. 911 H) yang menulis kitab tafsir yang sangat

populer dan dikenal dengan nama Tafsîr al-Jalâlain. 50 Pada era modern, kecenderungan menerapkan metode global ini diikuti pula oleh Muhammad Farid

Wajdi (w. 1940 M) dalam karyanya Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm dan al-Tafsîr al- Wasît. 51

2. Metode Analitis

Selain ketidak puasan terhadap prosedur kerja metode global, terdapat faktor yang sangat dominan yang menentukan hadirnya metode analitis ini. Faktor tersebut adalah semakin meluasnya daerah umat Islam, dengan demikian umat Islampun bertambah secara kuantitas, pemeluk Agama Islam tidak hanya dari orang Arab akan tetapi juga dari orang non-Arab. Dan sebagai konsekwensi logisnya berdampak pada terjadi perubahan besar dalam wacana pemikiran Islam,

50 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 3-5

51 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘î: Dirâsah Manhajiyah Maudû‘iyah, h. 44 51 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘î: Dirâsah Manhajiyah Maudû‘iyah, h. 44

Kondisi demikian inilah yang mendorong para ulama tafsir untuk menemukan sebuah metode yang relevan dengan perkembangan yang terjadi pada saat itu. Maka para ulama tafsir saat itu menerapkan metode analitis dalam menafsirkan al-Qur`ân yang dianggap relevan. Dalam prakteknya, metode analitis ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu al-ma`tsûr dan al-ra`yu, yang dalam penyajiannya meliputi bebagai corak sesuai dengan kecenderungan mufassir saat itu, seperti corak kebahasaan, hukum atau fiqhi, ‘ilmi, sufistik, falsafi, dan sastra

sosial kemasyarakatan. 52

3. Metode Perbandingan

Sebagaiman yang dikemukakan sebelumnya, bahwa kehadiran metode analitis dapat memberikan informasi lengkap tentang kondisi, kecenderungan dan kepakaran mufassir. Akan tetapi jika dihadapkan pada ayat-ayat al-Qur`ân yang beredaksi mirip tetapi pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda, maka metode analitis ini akan dirasa kurang refresentatif untuk diterapkan dalam memahaminya.

Fakta diatas tampaknya menjadi motif hadirnya sebuah metode yang prosedur kerjanya membandingkan ayat-ayat al-Qur`ân yang pernah diartikulasikan oleh ulama terdahulu dalam memahami pesan al-Qur`ân ataupun

hadits-hadits Nabi. Metode ini dikenal dengan metode perbandingan (muqârin). 53 Adapun sasaran kajiannya meliputi tiga aspek, yaitu: perbandingan ayat al-Qur`ân

52 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 6-7

53 Yang dimaksud dengan metode perbandingan adalah suatu metode penafsiran yang bersifat perbandingan dengan mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur`ân yang ditulis oleh mufassir lain.

Dalam hal ini seorang mufassir mengoleksi sejumlah ayat-ayat al-Qur`ân, lalu dikaji dan diteliti penafsiran para mufassir yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut dengan berpedoman pada karya- karya tafsir yang mereka tulis. Lihat ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘î: Dirâsah Manhajiyah Maudû‘iyah, h. 45 Dalam hal ini seorang mufassir mengoleksi sejumlah ayat-ayat al-Qur`ân, lalu dikaji dan diteliti penafsiran para mufassir yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut dengan berpedoman pada karya- karya tafsir yang mereka tulis. Lihat ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘î: Dirâsah Manhajiyah Maudû‘iyah, h. 45

Keunggulan metode perbandingan ini terletak pada 1) Memberikan penafsiran yang relatif luas terhadap pembaca; 2) mentolerir perbedaan pandangan sehingga dapat mencegah sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu; dan 3) Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. Adapun sisi kelemahannya, terletak pada 1) Tidak cocok untuk dikaji oleh para pemula karena muatan materi pembahasannya terlalu luas dan terkadang agak ekstrim; 2) Kurang dapat diandalkan dalam menjawab persoalan sosial yang berkembang di masyarakat; dan 3) Terkesan dominant membahas penafsiran ulama terdahulu

daripada penafsiran baru. 55

4. Metode Tamatik

Selaras dengan perkembangan masyarakat di era globalisasi ini, muncullah berbagai problem dan pandangan yang mendesak untuk ditindak lanjuti secara serius. Sehingga problem dan solusi yang diberikan oleh mufassir sebelumnya seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha agaknya kurang relevan lagi dengan kondisi masa kini, atau dengan kata lain tidak menjadi prioritas utama

untuk kehidupan masyarakat sekarang. 56 Dari sinilah kiranya metode tematik hadir ke permukaan.

Pemikiran dasar dari metode tematik ini diarahkan pada kajian pesan al- Qur`ân secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat

atau surat al-Qur`ân menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. 57 Sebenarnya penafsiran al-Qur`ân secara tematis ini telah dirintis dalam sejarah

54 M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, h. 186-191 55 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, 142-144 56 M. Quraish Sihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,

h. 112-113 57 Pada dasarnya ide ini telah disinggung oleh al-Syâtibî (w. 790 H) dalam karyanya al-

Muwâfaqât. Lebih lanjut lihat Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al- Syarî‘ah, Jilid 3, (Beirut: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), h. 414-415 Muwâfaqât. Lebih lanjut lihat Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al- Syarî‘ah, Jilid 3, (Beirut: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), h. 414-415

menulis Ma’ânî al-Qur`ân, dan yang lainnya. 58 Dari keempat metode yang telah diutarakan diatas, masing-masing metode

memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu menurut penulis kelemahan dan keunggulan yang dimiliki oleh metode-metode tersebut dapat dijadikan sebagai energi positif, paling tidak keunggulannya dapat memperkaya prosedur penafsiran al-Qur`ân, baik yang terdapat dalam karya klasik maupun kontemporer. Sedangkan sisi kelemahannya dapat kita jadikan faktor pemicu dan pendorong untuk menghadirkan sebuah metode yang lebih revresentatif. Dari kelemahan keempat metode diatas, pada akhirnya menghadirkan sebuah metode baru yang dikenal dengan metode tafsir kontekstual sebagaimana yang akan dibahas dibawah ini.

5. Metode Kontekstual

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sekilas apa yang dimaksud dengan metode kontekstual, metode ini merupakan metode yang berusaha menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu al-Qur`ân berlangsung. Kemudian dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam berbagai pendekatan tersebut. Bila dilihat dari subtansi metode kontekstual ini, maka berkaitan erat dengan hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis dan

58 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘î: Dirâsah Manhajiyah Maudû‘iyah, h. 52. Lihat juga Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut:

Mu`assasat al-Risâlah, 1994), cet. ke-25, h. 342 Mu`assasat al-Risâlah, 1994), cet. ke-25, h. 342

dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur`ân hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial dewasa ini.

Sedangkan dalam pandangan Noeng Muhadjir, istilah kontekstual ini memiliki tiga pengertian: (1) upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situsional; (2) pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, dimana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis masa lalu, makna fungsional masa kini, dan memprediksikan makna (yang dianggap relevan) di kemudian hari; dan (3) mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dan periferi, dalam artian bahwa yang sentral adalah teks al-Qur`ân dan yang periferi adalah terapannya. Atau dengan kata lain mendudukkan al-Qur`ân

sebagai sentral moralitas. 60 Syukri Saleh dalam hasil penelitiannya meyatakan bahwa metode

kontekstual ini merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Dimana metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat subtansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, seperti asbâb al-nuzûl dan nâsikh mansukh, dan metode tematik meramu ayat-ayat dibawah satu tema, yang dapat diandalkan dalam menjawab berbagai persoalan aktual dan bersifat pemecahan problem (problem solving). Adapun metode hermeneutika selain memandang ayat-ayat al-Qur`ân secara utuh, meneliti kata-kata al-Qur`ân sesuai dengan konteksnya, dan menjadikan asbâb al-nuzûl sebagai data sejarah yang penting dalam menemukan kontekstual ayat, juga memfungsikan pendekatan

59 Ricard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), h. 34-45

60 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), edisi ke-4, h. 263-264 60 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), edisi ke-4, h. 263-264

Kemunculan metode kontekstual ini pada dasarnya dipicu oleh adanya kekhawatiran akan pengabaian terhadap kondisi dan latar belakang turunnya suatu ayat ketika penafsiran al-Qur`ân dilakukan dengan cara tekstual. Sehubungan dengan hal tersebut, Munawir Sjadzali mengutip pernyataan Abduh yang mengingatkan supaya berhati-hati dalam membaca karya-karya tafsir terdahulu, karena proses penulisannya berlangsung dalam kondisi dan tingkat intelektual masyarakat yang belum tentu sama dengan zaman sekarang. Oleh karenanya Abduh menghimbau untuk mengkaji pesan al-Qur`ân secara langsung dan jika memungkinkan menghadirkan karya tafsir sendiri. Akan tetapi jika ingin mewujudkan poin kedua tersebut, seseorang harus memiliki pengetahuan dan kemampuan bahasa yang memadai, memahami sejarah Nabi khususnya situasi lingkungan masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, dan menguasai sejarah

manusia pada umumnya. 62 Melihat pernyataan yang diungkapkan Abduh tersebut, mencerminkan

perbedaan dalam memposisikan asbâb al-nuzûl dalam metode tematik dengan metode kontekstual ini, dimana dalam metode tematik, asbâb al-nuzûl dipahami sebagai alat Bantu untuk memahami pesan al-Qur`ân sebagai latar belakang mikro turunnya ayat atau surat. Sedangkan dalam metode kontekstual, bukan hanya sebatas mengkaji asbâb al-nuzûl akan tetapi juga mengkaji latar belakang sosiologis-antropologis masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, kemudian dicari prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar dan moral yang terkandung dalam kedua data sejarah tersebut.

Dalam kaitannya dengan hal ini, selain Amîn al-Khûlî (w.1966 M) dan Fazlur Rahman (w. 1988 M) yang dicatat diantara tokoh yang menggagas metode

61 A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 63

62 Munawir Sjadzali, "Ijtihad dan Kemaslahatan Umat", dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h. 121 62 Munawir Sjadzali, "Ijtihad dan Kemaslahatan Umat", dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h. 121

Secara spesifik metode kontekstual yang dirumuskan oleh Amîn al-Khûlî- sebagaimana yang dikutip oleh Bint al-Syâti' dari karyanya Manâhij Tajdîd- terangkum dalam empat aspek: (1) pada dasarnya metodologi adalah penanganan al-Qur`ân secara obyektif dengan cara mengkoleksi semua surah dan ayat yang berkaitan dengan tema yang dikaji; (2) Menata ayat-ayat berdasarkan sebab turunnya demi melacak situasi, waktu dan tempat, seperti yang diisyaratkan dalam asbâb al-nuzûl. Riwayat ini tidak lain adalah konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafazh bukan sebabnya yang khusus. Dalam hal ini, asbâb al-nuzûl dipandang sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan sejauh fungsinya dalam melacak penjelasan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat dan sebab-sebabnya; (3) penulusuran arti linguistik aslinya dalam bahasa Arab demi memahami arti kata-kata yang dimuat dalam al-Qur`ân; dan (4) untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, yang dipedomani adalah konteks nash dalam al-Qur`ân baik yang mengacu pada makna maupun semangatnya. Selanjutnya dikomfirmasikan dengan pendapat para mufassir, dan menghindari penggunaan riwayat isra`iliyat, faham sekretarian, dan

takwil yang bernuansa bid'ah. 63 Sedangkan langkah yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman terdiri dari tiga

langkah, yaitu: pertama, Pendekatan historis demi menemukan makna tekstual al- Qur`ân. Dalam artian al-Qur`ân terlebih dahulu harus dikaji secara kronologis. Melakukan pengujian terhadap wahyu-wahyu awal guna mendapatkan sebuah persepsi yang cukup akurat mengenai motivasi mendasar dari gerakan Islam awal.

63 A'isyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâti', al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`ân al-Karîm, Jilid I, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, 1968), cet. Ke-2, h. 10

Oleh karena itu seseorang harus mempelajari bentangan ajaran al-Qur`ân melalui karir dan perjuangan Nabi saw. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari upaya penafsiran al-Qur`ân secara berlebihan dan artifisial, selain itu metode ini juga akan menghasilkan maksud keseluruhan dari pesan al-Qur`ân secara sistematik dan logis.

Kedua, Pemisahan antara ketentuan hukum dan sarana atau tujuan al- Qur`ân, dengan kata lain seorang mufassir harus membedakan antara ketentuan hukum al-Qur`ân dengan tujuan dan sasaran akhir dimana hukum akan dilaksanakan. Dan ketiga, Tujuan al-Qur`ân harus dipahami dengan selalu memperhatikan setting sosiologisnya, yakni lingkungan dimana Nabi hidup dan berkiprah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktek penafsiran al-Qur`ân secara subyektif. Karean dalam pandangan Rahman setiap tafsir yang dilahirkan

akan diuji dengan kebenaran konteks sosiologis historisnya. 64 Demikian halnya dengan Darwazah, dimana ia sangat memperhatikan sisi

historisitas dan setting sosiologis dimana Nabi hidup dan melakukan dakwahnya. Ini tercermin dari prinsip tafsirnya dimana ia mengatakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur`ân sangat penting kiranya memperhatikan relasi antara sîrah

dan lingkungan Nabi dengan al-Qur`ân dalam melakukan penafsiran yang baik. 65 Dan bila merujuk pada cara penafsiran Darwazahh yang berdasarkan kronologi

pewahyuan, hal ini mengindikasikan bahwa Darwazahh bermaksud untuk memetakan pemahaman historis terhadap pesan-pesan al-Qur`ân. 66 Sedangkan

pandangannya terhadap asbâb al-nuzûl, ia memposisikannya sebagai sebuah referensi dan faktor pendukung yang dapat dipertimbangkan guna memahami makna ayat, atau dengan kata lain asbâb al-nuzûl merupakan kondisi eksternal

64 Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, tahun 1970, h. 329-330

65 Muhammad Izzat Darwaza, Al-Qur’an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 2000), cet. ke- 2, h. 34-35 & 142-143

66 Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur’an, ed. G.R. Hawting and

Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 238 Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 238

isrâ`îliyât dan kisah bangsa-bangsa kuno, karena menurutnya kisah-kisah tersebut bertujuan untuk melukiskan moral. Selain menghindari isrâ`îliyat, Darwazah juga

menghindari perdebatan madzab dan filosofis yang spekulatif. 68