Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Kronologi Pewahyuan al-Qur`ân (Tartîb Suwar Hasba al-Nuzûl) Perspektif Izzah Darwazah

A. Penafsiran al-Qur`ân Berdasarkan Kronologi Pewahyuan al-Qur`ân (Tartîb Suwar Hasba al-Nuzûl) Perspektif Izzah Darwazah

Di atas telah dibahas bahwa salah satu faktor yang melatarbelakangi Darwazah untuk menulis sebuah tafsir lengkap 30 juz adalah keinginan menawarkan sebuah metode baru, menarik, dan sederhana sehingga dapat dengan mudah memberikan pemahaman yang baik. Di samping itu, juga karena pengaruh rasa kecewa terhadap tafsir-tafsir terdahulu yang menurutnya masih terdapat banyak kekurangan dan kejanggalan di dalamnya. Metode baru yang dimaksud adalah menafsirkan al-Qur`ân sesuai dengan tata urutan (kronologi) pewahyuan dengan tidak mengikuti tata urutan mushaf yang tersebar luas sekarang ini, dengan maksud agar memungkinkan bagi mufassir ataupun umat Islam dapat Di atas telah dibahas bahwa salah satu faktor yang melatarbelakangi Darwazah untuk menulis sebuah tafsir lengkap 30 juz adalah keinginan menawarkan sebuah metode baru, menarik, dan sederhana sehingga dapat dengan mudah memberikan pemahaman yang baik. Di samping itu, juga karena pengaruh rasa kecewa terhadap tafsir-tafsir terdahulu yang menurutnya masih terdapat banyak kekurangan dan kejanggalan di dalamnya. Metode baru yang dimaksud adalah menafsirkan al-Qur`ân sesuai dengan tata urutan (kronologi) pewahyuan dengan tidak mengikuti tata urutan mushaf yang tersebar luas sekarang ini, dengan maksud agar memungkinkan bagi mufassir ataupun umat Islam dapat

Terdapat dua faktor yang mendorong Darwazah menafsirkan al-Qur’ân berdasarkan kronologi pewahyuan, yang pertama, adanya keinginan untuk menawarkan sebuah metode baru dan menarik. Dalam menulis tafsirnya ini,

Darwazah ingin memaparkan al-Qur`ân secara komprehensif dan integratif 1 , guna menampakkan sisi filosofis proses turunnya al-Qur`ân, prinsip-prinsip dasar,

kandungannya secara umum, dengan stilistika dan tata urutan (kronologi) yang terbaru, serta dapat memberikan solusi terhadap kebutuhan mendesak kaum muda yang sudah bosan dengan stilistika atau retorika tradisional yang menjenuhkan. Menurut Darwazah retorika tradisional ini menyebabkan adanya gap atau kerenggangan hubungan antara mereka dengan al-Qur`ân yang berdampak pada

hati yang tidak tercerahkan. 2 Kedua, kekecewaan Darwazah terhadap tafsir-tafsir sebelumnya. Dari

hasil telaahnya terhadap kitab-kitab tafsir yang ditemuinya, Darwazah menemukan berbagai kekurangan dan kekeliruan serta kejanggalan, yang pada

1 Langkah ini merupakan upaya penyempurnaan paradigma Darwazah dalam menjelaskan kandungan al-Qur`ân, karena pada tiga serial kitab sebelumnya yaitu ‘Asr al-Nabi wa Bî’atuhu Qabl

al-Bi’tsah; Suwar al-Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm wa Dirâsât wa Tahlîlât Qur`âniyah, Sîrah al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam; Suwar al-Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm dan al-Dustûr al-Qur`âniyah wa al-Sunnah al-Nabawiyah fî Syu`ûn al-Hayât. Darwazah memaparkannya dalam pasal-pasal secara tematik. Lihat: Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts,

h. 5 2 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 5, Abdullah Saeed

mengutip pernyataan singkat Darwazah mengenai kebutuhan mendesak kaum muda untuk memahami kandungan al-Qur`ân melalui sebuah penafsiran yang baru (modern) yang relevan dengan spirit zaman. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting The Qur`ân; Towards a Contemporery approach, (London and New York, Routledge, 2006), cet. ke-1, h. 17-18. Bandingkan juga dengan Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwazah’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur’an, h. 236-237 mengutip pernyataan singkat Darwazah mengenai kebutuhan mendesak kaum muda untuk memahami kandungan al-Qur`ân melalui sebuah penafsiran yang baru (modern) yang relevan dengan spirit zaman. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting The Qur`ân; Towards a Contemporery approach, (London and New York, Routledge, 2006), cet. ke-1, h. 17-18. Bandingkan juga dengan Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwazah’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur’an, h. 236-237

Karena terdapat banyak riwayat yang menerangkan tentang urutan turunnya ayat dan surat, maka Darwazah pun melakukan penelusuran penelaahan terhadap berbagai sumber. Setelah melakukan penelaahan terhadap beberapa buku seperti al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân karya al-Suyûti, Muqaddimah Tafsîr al-

4 Khâzin 5 , Muqaddimah Tafîr Majma’ al-Bayân , dan mushaf yang ditulis oleh kaligrafer ulung Mesir Baqdar Oglî, 6 ia menemukan perbedaan susunan tentang versi urutan turunnya surat. 7

Di akui bahwa problem yang dihadapi ketika mengkaji tentang kronologi pewahyuan al-Qur`ân adalah minimnya jumlah riwayat yang dijadikan sebagai data historis yang membantu dalam penanggalan al-Qur`ân. Selain jumlahnya sedikit, secara histories data tersebut juga meragukan dan umumnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak begitu penting serta tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya, khususnya yang berhubungan dengan wahyu yang diturunkan pada periode Mekkah. Adapun karakter riwayat-riwayat yang

3 Kritikan-kritikan Darwazah ini dapat dilihat pada pembahasan pada sub bab sebelumnya B, dan juga tercermin dalam prinsip-prinsip yang melandasi metodologi penafsirannya. Dan lebih

jelasnya lihat: Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 141-203 dan 205- 275

4 Lebih jelasnya dapat dilihat dalam: al-Imâm ‘Alâ` al-Dîn ‘Alî bin Muhammad al-Baghdâdî al-Ma’rûf bi al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin al-Musammâ Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Jilid I,

(t.tp., Dâr al-Fikr, t.th.), h. 8 5 Dalam pengantar tafsirnya, al-Tabarsî menyatakan bahwa pada masa Rasulullah, telah

ditetapkan tata urutan surat dan kodifikasi al-Qur`ân sebagaimana urutan surat dalam mushaf utsmani sekarang ini, ia melandaskannya pada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwasanya al-Qur`ân pada masa Rasulullah telah dihafal seluruhnya oleh para sahabat, serta hafalan para sahabat ini telah membacakannya dihadapan Rasulullah. Disamping itu terdapat beberapa sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab dan lainnya telah menghatamkan al-Qur`ân dihadapan Nabi, hal ini menunjukkan bahwa al-Qur`ân al-Qur`ân telah dikodifikasi secara sistematis. Lihat al-Syaikh Abû Alî al-Fadl bin al-Hasan al-Thabarsî, Majma’ al-Bayân fî al-Tafsîr al-Qur`ân, Juz I, (Beirut: Dâr al- Maktabah al-Hayât, t.th.), h. 31

6 Mengenai siapa dan apa sebenarnya bidang keahlian Baqdar Oglî ini, hingga saat ini penulis belum menemukan biografi yang lengkap.

7 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 12 7 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 12

menampakkan bagian-bagian pendek al-Qur`ân sebagai unit orisinal wahyu. 8 Sekalipun dalam upaya-upaya kesarjaan Islam diatas terdapat kelemahan

bukan berarti tidak berharga, karena upaya-upaya tersebut telah membentuk basis bagi kajian kronologi al-Qur`ân.

Terdapatnya berbagai kelemahan dalam upaya tersebut, sejumlah sarjan Muslim belakangan meninggalkan riwayat-riwayat yang membingungkan dan melakukan penyusunan kronologi pewahyuan dengan menggunakan pendekatan susastra atau dengan kata lain menelaah secara kritis gaya bahasanya. Kemudian mereka berasumsi bahwa tempat-tempat munculnya ungkapan "yâ ayyuhâ al- lazîna âmanû", sebagian besar darinya adalah wahyu periode Madinah, sementara

ungkapan "yâ ayyuhâ al-nâs", sebagian darinya adalah wahyu periode Mekkah. 9 Kemudian pernyataan lainnya menyatakan bahwa ayat-ayat Makkiyah lebih

pendek bila dibandingkan dengan ayat-ayat Madaniyyah. 10 Asumsi-asumsi yang mendasari seluruh sistem penanggalan al-Qur`ân

kesarjanaan Islam, adalah: 1) bahwa surat-surat al-Qur`ân yang ada sekarang ini merupakan unit-unit wahyu yang orisinil; 2) adalah memungkinkan menentukan

8 Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 96-100

9 Al-Suyûtî, al-Itqân, juz I, h. 7 10 Abd al-Rahmân Ibn Khaldûn, Muqaddimah, (Lebanon-Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 87 9 Al-Suyûtî, al-Itqân, juz I, h. 7 10 Abd al-Rahmân Ibn Khaldûn, Muqaddimah, (Lebanon-Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 87

Sedangkan dalam menentukan sikapnya untuk menerapkan metode yang dipilihnya dalam menafsirkan al-Qur`ân yang berdasarkan tata urutan (kronologi) turunnya surat, pada awalnya menimbulkan problem berat bagi Darwazah karena ia khawatir dituduh melakukan pelecehan terhadap kesucian al-Qur`ân yang susunannya dalam mushaf Utsmâni yang sesuai dengan ketetapan Rasulullah dan telah diterima oleh umat Islam secara luas. Namun disisi lain Darwazah memandang metode ini sangat baik dan berguna dalam mengungkap kandungan al-Qur`ân secara komprehansif dan integratif.

Setelah melakukan penelaahan secara mendalam atas idenya dari berbagai sisi dan meminta pertimbangan dan pendapat para ulama besar seperti Syaikh Abû al-Yasar ‘Abidin Mufti Syria, dan Syaikh Abd al-Fattâh Abu Guddah mantan Mufti Aleppo (Halaba), ia pun semakin mantap dengan metodenya dan berkesimpulan bahwa metodenya tidak salah karena ia tidak bermaksud merubah urutan mushaf al-Qur`ân dan tidak pula bertujuan untuk melecehkan kesucian al- Qur`ân, sebagaimana yang diasumsikan oleh sebagian sarjana dan pemerhati al- Qur`ân bahwa terdapat intervensi dan kesalahan para sahabat dalam mengatur tata

letak surat-surat al-Qur`ân, 12 sehingga perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap

11 Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur`ân, h. 115 12 Asumsi akan adanya kesalahan karena intervensi para sahabat ini dilontarkan semisal ‘Âbid

al-Jâbirî, Luis Jardeh dan Papa Qanawati (kedua nama terakhir ini merupakan tokoh orientalis). Bahkan Yûsuf Râsyid, dalam papernya- dipublikasikan dalam Majalah al-Azhar di Kairo pada bulan Ramadân tahun 1370 H/1950 M, edisi ke-22-yang bertajuk ”Rattibû al-Qur`ân al-Karîm Kamâ Anzalahu Allâh”, menghimbau kepada umat Islam, khususnya kepada para ulama agar melakukan penataan ulang terhadap susunan surat-surat al-Qur`ân dengan berpedoman kepada kronologi urutan turunnya, yang dimulai dari surat al-’Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatstsir, al-Fâtihah, dan seterusnya sampai pada surat yang paling terakhir turun yaitu surat al-Nasr. Ia berasumsi bahwa tata letak susunan surat-surat dalam mushaf Utsmâni merupkan susunan yang bersifat kacau dan dapat mengacaukan pikiran serta menghilangkan signifikansi proses penurunan al-Qur`ân. Hal ini karena tata letak seperti itu dipandang tidak sinkron dengan prinsip tasyri’ yang graduatif, serta merusak tatanan kesistematisan dan kebersinambungan pemikiran yang disebabkan adanya benturan antara al-Jâbirî, Luis Jardeh dan Papa Qanawati (kedua nama terakhir ini merupakan tokoh orientalis). Bahkan Yûsuf Râsyid, dalam papernya- dipublikasikan dalam Majalah al-Azhar di Kairo pada bulan Ramadân tahun 1370 H/1950 M, edisi ke-22-yang bertajuk ”Rattibû al-Qur`ân al-Karîm Kamâ Anzalahu Allâh”, menghimbau kepada umat Islam, khususnya kepada para ulama agar melakukan penataan ulang terhadap susunan surat-surat al-Qur`ân dengan berpedoman kepada kronologi urutan turunnya, yang dimulai dari surat al-’Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatstsir, al-Fâtihah, dan seterusnya sampai pada surat yang paling terakhir turun yaitu surat al-Nasr. Ia berasumsi bahwa tata letak susunan surat-surat dalam mushaf Utsmâni merupkan susunan yang bersifat kacau dan dapat mengacaukan pikiran serta menghilangkan signifikansi proses penurunan al-Qur`ân. Hal ini karena tata letak seperti itu dipandang tidak sinkron dengan prinsip tasyri’ yang graduatif, serta merusak tatanan kesistematisan dan kebersinambungan pemikiran yang disebabkan adanya benturan antara

tertentu. 13 Keputusan Darwazah ini juga diperkuat dengan adanya beberapa riwayat

yang berbeda-beda mengenai status suatu surat sebagi Makkiyah atau Madaniyyah. Sehingga sebagian ulama dan sarjana muslim berasumsi bahwa tidak ada urutan surat yang baku dari Rasul. Akan tetapi jika melihat pada komentar dan pandangannya mengenai pengumpulan dan pembukuan al-Qur`ân, pada dasarnya Darwazah meyakini bahwa susunan surat dan ayat-ayat al-Qur`ân

bersifat tauqîfî. 14 Pemilihan Darwazah dalam menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan kronologi

turunnya surat bukan pada kronologi turunnya ayat, barangkali, dikarenakan hampir tidak ditemukannya berbagai riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian ditempatkan setalah ayat ini dan sebagainya. Bahkan karya-karya sedetail al- Burhân dan al-Itqân, serta karya-karya asbâb al-nuzûl tidak mampu menukil

konsep dan pokok yang dikemukakan oleh surat Makkiyah dan surat Madaniyah yang diletakkan secara tidak beraturan. Selanjutnya Yûsuf Râsyid mengibaratkan hal ini dengan keadaan seorang yang sedang mempelajari Ilmu Nahw, yang kemudian dipaksa untuk beralih ke materi tentang huruf-huruf abjad, lalu beralih lagi ke materi Balâghah, dan demikian seterusnya terjadi peralihan yang secara spontan dari materi ke materi yang lainnya. Lihat Muhammad Abdullah Dirâz, al-Naqd al-Fannî Li al- Masyru’ Tartîb al-Qur`ân al-Karîm, Hasba Nuzûlihi; Taqrîr Marfu’ Ilâ Idârah al-Jâmi’ al-Azhar, dalam Hassâd Qalam, h. 45. mengenai tuduhan adanya intervensi terhadap al-Qur`ân yang dilontarkan dua orientalis yang disebutkan dapat dilihat dalam Anwar al-Jundi, al-Islâm fî Wajh al-Tagrîb, (Kairo: Dâr al-I’tisâm, t.th.), h. 348

13 Darwazah, al-Qur`ân al-Majîd, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 9-10 14 Darwazah, al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 115-116 13 Darwazah, al-Qur`ân al-Majîd, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 9-10 14 Darwazah, al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 115-116

turunnya surat yang memperhatikan bagian awal dari surat, meskipun diakui dalam hal ini terdapat kelemahan mendasar sebagaimana yang telah disebutkan.

Setelah melakukan pemilahan terhadap beberapa mushaf dan riwayat mengenai kronologi pewahyuan al-Qur`ân, Darwazah pun memutuskan untuk mempedomani susunan kronologi turunnya surat dalam mushaf yang ditulis oleh Baqdar Oglî dengan alasan bahwa mushaf tersebut telah mendapat persetujuan dan rekomendasi dari Kementrian Dalam Negeri dan para pakar Qirâ`ât Mesir setelah dilakukan penela’ahan terhadap riwayat-riwayat susunan turunnya surat yang kontradiktif dan memperkuat (tarjîh) salah satu dari sekian riwayat tersebut,

sehingga tingkat akurasinya lebih dapat dipercaya. 16 Meskipun berpedoman pada tata urutan turunnya surat dalam mushaf

yang ditulis Baqdar Oglî, Darwazah tidak sepenuhnya mengikuti peletakan urutan surat tersebut. Ada beberapa surat al-Qur`ân yang harus dioper posisinya oleh

Darwazah, karena beberapa alasan yang menurutnya kurang tepat. 17 Dari tabel perbandingan antara urutan surat dalam mushaf Baqdar Oglî

yang ia pedomani dengan urutan surat berdasarkan kronologis turun surat dalam tafsirnya serta urutan dalam mushaf 'Utsmâni, dapat dilihat beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam ketiga versi mushaf tersebut. Jika dibandingkan dengan versi mushaf Utsmânî, tampak jelas perbedaannya dengan urutan dalam Tafsir Darwazah. Dari tabel tersebut, tafsir Darwazah hampir sama dengan mushaf Baqdar Oglî yang memang ia pedomani dalam tafsirnya. Namun ada

15 M. Quraish Shihab, Kata Pengantar dalam Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al- Qur`ân, h. v

16 Darwazah, Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 14 17 Adapun tabulasi perbandingan urutan surat dalam mushaf Baqdar Oglî yang ia pedomani

dengan urutan surat berdasarkan kronologis turunnya dalam tafsirnya serta urutan dalam mushaf 'Utsmâni, dapat dilihat dalam tabel 1 pada lampiran 1 dengan urutan surat berdasarkan kronologis turunnya dalam tafsirnya serta urutan dalam mushaf 'Utsmâni, dapat dilihat dalam tabel 1 pada lampiran 1

Penempatan surat al-Fâtihah dalam mushaf Baqdar Oglî, terletak pada urutan ke lima setelah surat al-‘Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil, dan al- Muddatstsir, sedangkan dalam tafsirnya, Darwazah menempatkan surat al- Fâtihah tersebut pada urutan pertama dan disusul kemudian oleh keempat surat

tersebut. 18 Ia beralasan bahwa al-Fâtihah merupakan induk segala surat dalam al- Qur`ân (umm al-Kitâb). Dan isinya pun mencakup penjelasan dasar-dasar dakwah

Nabi. Darwazah menambahakan alasannya meletakkan surat al-Fâtihah di awal tafsirnya, karena al-Fâtihah merupakan pembuka mushaf (fâtihah al-kitâb) dan merupakan surat yang wajib dibaca pada setiap rakaat dalam dalam shalat.

Selain itu, al-Fâtihah juga merupakan surat pertama yang turun secara utuh ayat-ayatnya, meskipun bukan surat pertama turun. Dalam hal ini, Darwazah juga mencoba memadukan beberapa dalil yang kontradiktif mengenai ayat atau surat yang pertama turun. Ada empat pendapat mengenai hal ini, yang masing-

masing memakai riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. 19 Salah satu pendapat tersebut menyatakan bahwa al-Fâtihah sebagai yang

18 Lebih jelasnya susunan surat yang dimaksudkan dapat dilihat dalam tabel 1 kolom 4 pada lampiran 1

19 Pendapat pertama menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah lima ayat pertama surat al-'Alaq. Pendapat ke dua berasumsi bahwa lima ayat pertama surat al-Muddattsir-lah yang

pertama kali turun. Sedangkan yang ke tiga mengatakan al-Fatihah sebagai yang pertama kali turun. Adapaun pendapat yang terakhir adalah lafal basmalah sebagai pembuka turunnya al-Qur`ân. Lihat keterangan lengkapnya dalam, Muhammad Abdul 'Azhim al-Zurqâni, Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al- Qur'ân, (Kairo: Dâr el-Hadîth, 2001), juz I, h. 81-85. Dalam hal ini Darwazah juga merujuk kepada al- Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân karya al-Suyûthî yang disadur dari perdebatan tentang surat yang petama turun antara surat al-‘Alaq dan al-Fâtihah dalam Tafsîr al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyari yang sanadnya disandarkan kepada Ibn ‘Abbâs dan Mujâhid, dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqî dan al-Wâhidî yang disandarkan kepada Syurahbil-yang dianggap tsiqah-dari Nabi, dan hadits yang diriwayatkan bukhârî dari ‘Âisyah. Lebih lanjut lihat: al-Imâm Abî al-Qâsim Jâr Allah Muhmûd bin ‘Umar bin Muhammad al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Jilid IV, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), cet. ke-1, h. 766, bandingkan dengan al-Suyûthî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, jilid I, h. 50-52. lihat juga pernyataan ini dalam: Darwazah, Sîrah al-Rasûl; Suwar Muqtabasah min al-Qurân al-Karîm, (Beirut: Mansyûrât al-Maktabah al-'Asriyyah, t.th), juz I, h. 134.

pertama. Namun, pendapat yang paling populer dan diyakini oleh jumhûr adalah yang menyatakan lima ayat pertama surat al-'Alaq sebagai yang pertama turun.

Kedua riwayat yang mendukung kedua pendapat ini sama-sama memiliki potensi yang kuat untuk menjadi dalil yang paling akurat. Keduanya memiliki sanad yang valid hingga kepada sumbernya. Menanggapi kedua dalil ini,

Darwazah memakai metode al-jam' wa al-taufîq 20 . Dengan metode ini, Darwazah mengambil kesimpulan bahwa ayat yang pertama kali turun adalah lima ayat

pertama surat al-'Alaq. Sedangkan al-Fâtihah adalah surat yang pertama turun secara keseluruhan. Alasan ini juga lah yang memperkuat asumsi Darwazah untuk menempatkan al-Fatihah sebagai awal surat dalam al-Qur`ân.

Selain peletakan surat al-Fâtihah pada urutan pertama dalam tafsirnya, juga terdapat empat surat Madaniyyah dalam mushaf yang dipedomaninya yaitu al-Zalzalah, al-Insân, al-Rahmân, dan al-Ra’d, yang dikelompokkan oleh Darwazah dalam tafsirnya ke dalam kelompok surat Makkiyah. Ia berasumsi bahwa cakupan isi dan uslûb surat-surat tersebut secara umum menyerupai surat Makkiyah, selain itu terdapat pula riwayat yang memperkuat asumsinya sebagai

kelompok surat Makkiyah. 21 Selain keempat surat yang masih kontroversial statusnya sebagai

Makkiyah atau Madaniyyah, Darwazah juga memasukkan surat al-Hajj dalam kategori Makkiyah, karena sebagian besar isi dan redaksinya mengindikasikan

20 Yaitu metode kompromi dua dalil yang secara redaksinal saling bertentangan. Metode ini dalam disiplin 'Ilm 'Ulum al-Qur'ân, adalah metode yang paling fair, karena mencoba mencari

terobosan agar kedua dalil tersebut dapat dipakai dan diamalkan. Berbeda dengan metode tarjîh dan naskh, yang juga dipakai untuk menyelesaikan kontradiksi redaksional dua dalil. Hanya saja kedua metode yang terakhir ini harus mengeliminir salah satu dalil yang terbukti "kalah kuat". Lihat keterangan seperti ini dalam Muhammad Abdul 'Azhim al-Zurqâni, Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al- Qur'ân, (Kairo: Dâr el-Hadîth, 2001), juz II, h. 175

21 Darwazah, Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 17 21 Darwazah, Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 17

Dalam Mushaf versi Baqdar Oglî, surat al-Ra'd menempati posisi ke 96 setelah surat Muhammad. Pada posisi ini, surat al-Ra'd masuk kategori Madaniyyah dalam Mushaf Baqdar Oglî. Namun, tidak demikian halnya dalam al-Tafsîr al-Hadîts. Surat al-Ra'd dalam Tafsir ini menempati posisi setelah surat al-Mutahffifûn yang jatuh pada urutan turun ke 86, dan masih dalam kategori Makkiyah. Menyusul kemudian surat al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, dan al- Zalzalah. Kelima surat ini masuk kategori Makkaiyyah dalam al-Tafsîr al-Hadîts. Padahal, dalam urutan mushaf Baqdar Oglî, kelima surat ini masuk kategori Madaniyyah, dengan rincian bahwa surat al-Hajj menempati urutan ke 103 setelah al-Nûr. Sedangkan surat al-Rahmân menempati posisi ke 97 setelah al- Ra'd, menyusul setelahnya al-Insân pada urutan ke 98. Adapun al-Zalzalah

berada pada posisi lebih atas, yaitu pada urutan ke 93 setelah al-Nisâ. 23

Dengan demikian, Jumlah surat Makkiyah dalam Tafsir ini adalah 91 surat, dimulai dari surat al-Fâtihah dan berakhir pada surat al-Zalzalah. Sedangkan dalam Mushaf Baqdar Oglî, surat-surat Makkiyah berjumlah 86 surat, di awali oleh surat al-'Alaq dan ditutup dengan surat al-Muthaffifûn. Adapun jumlah surat Madaniyyah dalam al-Tafsîr al-Hadîts adalah 23 surat yang mulai dari surat al-Baqarah dan diakhiri dengan al-Nasr. Sedangkan dalam Mushaf Baqdar Oglî, surat Madaniyyah berjumlah 28 surat. Tentu, semua ini dilakukan adalah dengan alasan yang logis. Berikut adalah beberapa alasan Darwazah menggunakan susunan kronologis yang berbeda dari mushaf yang ia pedomani.

Surat al-Ra'd dimerger ke dalam surat Makkiyah dengan alasan bahwa kandungan surat ini memerankan periode Mekkah, bukan Madinah. Selain itu,

22 Darwazah, Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 20 23 Untuk susunan kelima surat yang dimerger, lihat tabel 1 kolom 4 pada lampiran 1 22 Darwazah, Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 20 23 Untuk susunan kelima surat yang dimerger, lihat tabel 1 kolom 4 pada lampiran 1

mufassir sebelumnya, seperti Muhammad bin Sa'id al-Kalbi dan ulama kontemporer lainnya seperti Sayid Quthb. 25

Surat al-Hajj yang diposisikan oleh Darwazah pada urutan ke 88 setelah al-Ra'd juga menuai kontroversi dalam hal statusnya sebagai Makkiyah atau Madaniyyah. Darwazah cenderung mengikuti pola susunan kronologis surat yang juga diyakini oleh beberapa mufassir klasik seperti al-Baghawî, al-Naisaburi, al- Zamakhsyari, al-Thabarisi, al-Khazin, al-Baidhawi dan al-Nasafi. Hanya saja, beberapa di antara mereka menjadikan beberapa ayatnya ada yang Madaniyyah. Ayat-ayat tersebut adalah ayat 19-22, -dalam riwayat lain yaitu ayat 19-24, kemudian ayat 38-41, 52-55, dan 58-60, akan tetapi Darwazah juga mengomentari pendapat ini bahwa dari segi gaya bahasanya. Ayat 19-24 misalnya, lebih mengarah kepada Makkiyah. Demikian juga ayat 52-55. Sedangkan ayat 38-41 dan 58-60 lebih cenderung mengarah kepada Madaniyyah, namun ada kemungkinan juga ayat Makkiyah, terutama ayat 38-41. Adapun ayat 25-27 memang menunjukkan Madaniyyah, bahkan hampir tidak ada indikasi

24 Dalam disiplin Ilmu 'Ulûm al-Qur'ân, di antara kriteria surat Makkiyah adalah diawali dengan huruf-huruf mutaqatta'ah ini. Mengenai kandungan surat yang menunjukkan periode Mekah

dapat dilihat misalnya dari gaya bahasanya yang mengarah pada sisi argumentatif untuk mengkonter alibi kaum musyrikin yang mengingkari kenabian Muhammad dan keimanan terhadap hari akhir. Indikasi lain yang menunjukkan Makkiyah surat ini adalah beberapa pernyataan dan peringatan dan perumpamaan yang mirip dengan surat-surat Makkiyah lainnya. Darwazah juga yakin bahwa surat ini turun sekaligus, meskipun ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa tiga puluh ayat pertama adalah Makkiyah, sedangkan selebihnya adalah Madaniyyah. Demikian halnya dalam sebuah riwayat lain juga menyatakan bahwa ayat 31 dan 43 adalah Madaniyyah. Riwayat lain juga menyatakan ayat

11 s.d. 13 adalah Madaniyyah. Semua riwayat menurut tidak dapat mempengaruhi komitmen Darwazah untuk menyatakan bahwa seluruh ayat dalam surat ini adalah Makkiyah berdasarkan uslubnya. Lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz V, h. 515-516. Untuk lebih jelasnya mengenai riwayat ini lihat al-Baghawi, Ma'âlim al-Tanzîl, (t.tp.: Dâr Thab'ah li al-Nasyr wa al-Tawzî', 1997), juz

I, h. 291 25 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur'ân, (Beirut, Dâr al-Shorouk, 1965), juz IV, h. 350.

Makkiyahnya. Bagiamanapun juga, Darwazah tetap menganggap bahwa mayoritas bahkan hampir semua ayatnya menunjuk pada Makkiyah. 26

Argumentasi lain yang memperkuat asumsi Darwazah ini adalah adanya ayat sajdah dalam surat al-Hajj ini. Dengan demikian, semakin kuat lagi asumsi Darwazah karena ayat sajdah hanya terdapat dalam surat-surat Makkiyah saja. Dalam surat al-Hajj ini terdapat dua ayat yang termasuk kategori ayat-ayat sajdah, yaitu ayat 18 dan 77, sebagaimana riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi dan

al-Hakim. 27 Surat al-Rahmân juga dimasukkan dalam kelompok Makkiyah karena

uslubnya yang mencerminkan pemaparan umum tentang dakwah Nabi sebagimana surat-surat yang turun pertama kali, seperti al-A'lâ, al-Syams, al-Lail, al-Qi'ah, dan al-Mursalât. Asumsi ini juga diperkuat dengan riwayat Ibnu 'Abbâs

sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa mufassir klasik tersebut di atas. 28 Alasan yang sama juga mengarah kepada surat al-Insân. Mengenai urutannya,

beberapa ulama klasik juga menempatkannya setelah al-Rahmân, hanya saja penomorannya yang berbeda. 29 Sedangkan surat al-Zalzalah, berdasarkan

kandungan dan uslubnya juga menunjukkan sebagai bagian dari surat Makkiyah. Terdapat beberapa kriteria khusus untuk surat-surat Makkiyah, yang disusun oleh Darwazah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam menentukan kronologis turunnya ayat atau surat. Berikut adalah beberapa karakteristik surat-surat Makkiyah menurut Darwazah:

26 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 7-8. 27 Hadis tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:

"Dari 'Uqbah bin Amir berkata, "Ya Rasul, dalam surat al-Hajj terdapat dua sujud. Rasul bersabda, ya, siapa yang tidak bersujud, maka jangan membacanya." Abû Dâwud al-Sijistâni, Sunan Abî Dâwud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz I, 446

28 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 89 29 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 105

Pertama, sebagian besar surat-suratnya cenderung mengarah kepada keserasian saj' (sajak) 30 , ukuran ayat yang pendek, namun tegas dan pasti.

Kedua, kandungan ayat-ayatnya berisi tentang seruan kepada pengesaan Allah (monotheism), dan menumpas segala bentuk kemusyrikan, pendidikan moral islami, sosial kemasyarakat, kemanusiaan, dan kejiwaan. Semua ini diungkapkan dalam redaksi yang singkat, namun tegas dan jelas.

Ketiga, ketika menjelaskan tentang dakwah sosial, moral (akhlâqiyyah), dan humanisme, maka pendekatan persuasif, perumpamaan (tamtsîl), janji (wa'd) dan argumentatif (jadal)-lah yang lebih banyak dipakai daripada pendekatan kanonik (tasyrî' dan taqnîn).

Keempat, untuk menceritakan dan menyikapi Ahli Kitab, digunakan gaya bahasa yang tenang dan tidak agresif, serta memuat pesan pluralitas yang sehat dalam berdakwah.

Kelima, banyak mendeskripsikan berbagai fenomena kehidupan akhirat (eskatologi) berikut segala perniknya secara berulang-ulang sebagaimana juga banyak mendeskripsikan tentang umat terdahulu, iblis, malaikat, dan jin, baik secara detail meupun singkat.

Keenam, banyak merespon ucapan dan sikap orang-orang kafir yang suka mendustakan ajaran keNabian, dengan model yang beraneka ragam. Ketujuh, hampir tidak pernah menuturkan tentang orang-orang hipokrit dan hipokrasi. Semua kriteria ini menunjukkan dinamika dakwah Nabi selama di Mekkah. Dengan demikian, dua pertiga ayat-ayat dalam al-Qur`ân atau tiga

perempat surat atau juga minus dua pertiga juz al-Qur`ân adalah Makkiyah. 31

30 Saj' adalah keserasian atau kesamaan bunyi akhiran kalimat dalam sebuah prosa. Dalam kajian Bahasa dan Sastra Arab, dikenal dua istilah yang berkaitan dengan hal ini, yaitu: saj' dan

qâfiyah. Qâfiyah juga hampir sama dengan saj', hanya saja ia dipakai dalam syair-syair Arab. Lihat Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma'âni wa al-Bayân wa al-Badî', (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 260

Sedangkan surat-surat Madaniyyah dalam pandangan Darwazah juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan surat-surat Makkiyah, adapun kriteria surat Madaniyyah yang dirumuskan oleh Darwazah adalah sebagaimana berikut: (1) ayat-ayatnya lebih panjang, dan jarang memakai saj'; (2) tidak memakai bahasa yang mendetail ketika menampilkan ayat-ayat cerita (qasas), menjelaskan surga dan neraka, fenomena hari kiamat, bahkan hanya cukup dengan menampilkan apa adanya sekedar untuk memberikan peringatan, janji dan ancaman; (3) banyak mengandung propaganda terhadap Yahudi, Nasrani dan para hipokrit; (4) banyak penjelasan dan anjuran berjihad fi sabilillah; (5) kandungan ayatnya banyak yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat yuridis Islam, sehingga aspek-aspek kehidupan yang semula diperintahkan dengan nada halus, persuasif menjadi perintah yang tegas dan pasti. Akibatnya timbullah hukum fardhu, nadb, dan sebagainya; (6) banyak menjelaskan tentang kehidupan rumah tangga Nabi (hukum perdata). Model seperti ini belum ada pada periode Mekkah;

(7) gaya bahasanya bersifat disputan (jadaliy). 32 Meski demikian, banyak juga ayat-ayat bernada Makkiyah, namun

terdapat dalam surat-surat Madaniyyah dan dalam bentuk Madaniyyah pula. Untuk menyikapi hal semacam ini, Darwazah melakukan beberapa pendekatan untuk mengetahui status asli ayat tersebut. Dalam hal ini, langkah pertama yang ditempuh Darwazah adalah menggunakan pendekatan riwayat, kemudian

pendekatan kronologis turunnya surat. 33 Berdasarkan kriteria di atas, Darwazah juga menyatakan perbedaannya

dengan urutan kronologis yang ada dalam mushaf yang dipedomaninya. Perbedaan ini banyak terjadi dalam urutan kronologis surat-surat dalam periode

31 Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini lihat: Darwazah, Sîrah al-Rasûl; Suwar Muqtabasah min al-Qurân al-Karîm, juz I, h. 140-142.

32 Darwazah, Sîrah al-Rasûl; Suwar Muqtabasah min al-Qurân al-Karîm, juz II, h. 7. lihat juga Darwazah, al-Qur'ân al-Majîd, h. 126-127

33 Darwazah, Sîrah al-Rasûl; Suwar Muqtabasah min al-Qurân al-Karîm, juz II, h. 8-9

Madinah. Tampak misalnya dalam tabel pertama pada lampiran pertama, surat al- Ra'd, al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, dan al-Zalzalah yang awalnya tercatat

sebagai Madaniyyah berubah posisinya menjadi akhir surat Makkiyah. 34

Berdasarkan tabulasi perbandingan urutan mushaf setelah mengalami perubahan susunan, dapat dilihat bahwa ada beberapa titik surat yang bergeser posisinya. Surat-surat yang bergeser posisinya tersebut adalah surat al-

Mumtahanah, al-Jumu'ah, al-Hadîd, dan al-Hasyr. 35 Pergeseran beberapa surat ini mengakibatkan surat-surat yang lain juga ikut bergeser. Surat-surat yang tetap

pada urutan posisi asalnya adalah surat al-Baqarah hingga Âli 'Imrân (1-3), Muhammad hingga al-Bayyinah (8-10), al-Nûr hingga al-Taghâbun (11-16), al- Fath dan al-Mâidah (17-18). Urutan surat-surat tersebut tidak mengalami

pergeseran meskipun penomorannya berubah. 36 Perubahan dan pergeseran ini bukan tak beralasan. Darwazah menganggap

bahwa ada beberapa penomoran surat sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Baqdar Oglî yang harus diubah karena beberapa alasan yang menurutnya kurang kuat. Surat al-Mumtahanah misalnya, yang pada mulanya ditempatkan pada urutan ke-5 surat Madaniyyah, harus pindah posisinya ke urutan 19, karena isinya yang banyak mengisyaratkan pada beberapa peristiwa penting dalam perjanjian Hudaibiyah (sulh al-hudaibiyah: 7 H.). Tema yang sama juga banyak dibicarakan dalam surat al-Fath (17) dan al-Mâ`idah (18). Karenanya, surat al-Mumtahanah

diletakkan persis setelah kedua surat tersebut. 37

34 Untuk tabel perbandingan urutan mushaf setelah mengalami perubahan susunan, dapat dilihat dalam table 2 pada lampiran 1

35 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 6 36 Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 2 kolom 4 tabel 2 37 al-Sâ’îdi mencatat bahwa ketiga surat tersebut memang pada kurun waktu turun antara sulh

Hudaibiyah (7 H.) hingga perang Tabuk (9 H.). hanya saja urutan surat dalam catatan al-Sâ’îdi ini juga sama persis dengan susunan mushaf Baqdar Oglî. Jadi, jika memang alasan Darwazah hanya sekedar isinya yang berkenaan dengan perjanjian Hudaibiyah, maka seharusnya yang mengiringi surat al- Mumtahanah ini adalah surat al-Nisâ', sebagaimana susunan dalam mushaf. Hal ini karena jarak urutan

Hal yang sama juga terjadi dalam surat al-Jumu'ah yang semula menempati urutan ke-19, harus bertukar posisi dengan al-Mumtahanah menjadi urutan ke-5. Darwazah mengungkapkan bahwa kedua surat ini terpaksa harus ditukar posisinya karena isinya yang berisi kecaman keras terhadap kaum Yahudi. Surat ini juga mengisyaratkan masa turunnya, yaitu sebelum terjadinya aksi intimidasi terhadap seluruh Yahudi Madinah. Adapun surat yang memiliki kesatuan tema dengan surat ini adalah surat al-Ahzâb yang menyebutkan akhir kejadian intimidasi tersebut. Karenanya, Darwazah menempatkan surat al- Jumu'ah ini tepat sebelum surat al-Ahzâb, hal ini dimaksudkan agar sejarah

perjalanan dakwah Nabi dapat terbaca melalui ayat. 38 Selanjutnya adalah surat al-Hadîd. Semula, surat ini berada pada posisi

setelah surat al-Zalzalah (7). Namun, setelah al-Zalzalah di geser ke posisi Makkiyah, surat ini menempati posisi ke-7 tersebut. Hanya saja, oleh Darwazah surat ini di geser lagi pada urutan ke-20. Pergeseran ini karena kandungannya yang mencakup beberapa keterangan tentang peristiwa yang terjadi setelah Fath Makkah (8 H.) atau dua tahun setelah perjanjian Hudaibiyah (7 H.). Oleh karena itu, surat ini harus ditempatkan setelah al-Mumtahanah (19) yang juga

menerangkan beberapa peristiwa menjelang Fath Makkah. 39 Surat al-Hasyr yang semula menduduki urutan ke-11, kini juga harus ikut

bergeser maju menjadi urutan ke-4. Hal ini dilatarbelakangi oleh kandungan surat yang mengekspos informasi tentang peristiwa pendeportasian Yahudi Bani al- Nadhîr yang terjadi sebelum perang Ahzâb (Khandaq: parit) pada 7 H.,

sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Ahzâb. 40 Oleh karena itulah, surat ini ditempatkan sebelum al-Mumtahanah dan al-Ahzâb, agar memiliki kesatuan tema

kronologis turun antara al-Mumtahanah dengan al-Fath dan al-Mâ`idah sangat jauh. Lihat Abd al- Muta'âl al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannîy fi al-Qur'ân, (Kairo: Maktabah al-Âdâb, t.th), h. 35

38 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 5-6 39 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 6 40 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 6 38 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 5-6 39 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 6 40 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 6

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa Darwazah selain berpedoman pada tata urutan surat dalam mushaf Baqdar Oglî, juga tetap mengkaji riwayat dan pendapat tentang tata urutan surat, kemudian memilih dari salah satu riwayat ataupun pendapat yang menurutnya logis dan lebih tepat. Ia juga memperhatikan empat hal dalam menentukan urutan turun surat. Pertama, masa turun ayat dalam sebuah surat; kedua, riwayat-riwayat yang menjelaskan masa dan urutan turun ayat; ketiga, memperhatikan redaksi dan isi ayat-ayat pertama dalam sebuah surat; keempat, menentukan posisi surat dalam urutan turun dengan berpedoman pada keserasian isi dan redaksi ayat berdasarkan tahapan historis dakwah Nabi. Hal ini dilakukan jika memang terdapat perbedaan riwayat yang menjelaskan posisi surat dalam urutan turunnya.

Jika kita lihat upaya Darwazah merekonstruksi susunan surat berdasarkan Tartîb Nuzûli yang ada dalam Mushaf Baqdar Oglî tersebut, maka yang terbaca adalah upaya untuk mengarahkan pembaca kitab Tafsirnya ke arah pembacaan sejarah perjalanan dakwah Nabi secara kronologis. Dengan membaca sîrah nabawiyyah melalui media al-Qur'ân ini, Darwazah juga hendak mengantarkan pembacanya untuk memahami materi-materi dakwah Nabi secara beruntun.