Prinsip Dasar Penafsiran Izzah Darwazah

C. Prinsip Dasar Penafsiran Izzah Darwazah

Pada awal sub bab telah dikatakan bahwa Darwazah (w. 1984 M) telah memiliki minat yang kuat terhadap kajian al-Qur`ân dan tafsirnya sejak ia masih kecil. Iapun mulai menelaah berbagai kitab-kitab tafsir maupun kitab-kitab ulum al-Qur`ân yang dapat memperkaya pemahamannya tentang kajian al-Qur`ân secara otodidat. Setelah ia melakukan penelaahan yang mendalam dan tadabburnya terhadap kajian tersebut iapun sampai pada puncak keyakinan untuk menulis sebuah tafsir dengan metode yang baru dan menarik. Dan sebuah metode tidak akan dapat teraplikasi dengan baik tanpa disertai dengan prinsip dan langkah dalam penafsiran. Oleh karena itu perlu kiranya dalam bab ini memaparkan prinsip dan langkah yang dirumuskan dan dijadikan pijakan oleh Darwazah dalam penafsirannya, prinsip metodologinya ini sebagaimana penulis paparkan berikut ini.

Dalam prinsip pertama dan kedua tentang penafsiran al-Qur`ân, Darwazah mengemukakan tentang relasi al-Qur`ân dan Biografi Nabi (al-Qur`ân wa al-

sîrah al-nabawiyah) 22 serta lingkungan atau culture Nabi (al-Qur`ân wa al-bî’ah al-Nabawiyah). Dalam hal relasi al-Qur`ân dan Biografi Nabi (al-sîrah al-

nabawiyah), terdapat banyak ayat al-Qur`ân yang mengindikasikan akan adanya

22 Darwazah membahas hal ini (relasi al-Qur`ân dan sîrah Nabawiyah), secara panjang lebar dalam salah satu bukunya yang berjudul Sîrah al-Rasûl Sallâ Allah ‘Alihi Wasallam Suwar

Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm, yang terdiri dari dua jilid besar, ia mengatakan awal bab dua- ketika membahas tentang kepribadian dan kehidupan serta sejarah Rasulullah sebelum pengutusannya sebagai Nabi dan Rasul-bahwa terdapat banyak ayat al-Qur`ân yang menggambarkan tentang kepribadian, serta kehidupan dan sîrah Rasul, lihat lebih lanjut Darwazah, Sîrah al-Rasûl Shuwar Muqtabasah min al-Qur`ân al-Karîm, Jilid I, h. 17 Muqtabasah Min al-Qur`ân al-Karîm, yang terdiri dari dua jilid besar, ia mengatakan awal bab dua- ketika membahas tentang kepribadian dan kehidupan serta sejarah Rasulullah sebelum pengutusannya sebagai Nabi dan Rasul-bahwa terdapat banyak ayat al-Qur`ân yang menggambarkan tentang kepribadian, serta kehidupan dan sîrah Rasul, lihat lebih lanjut Darwazah, Sîrah al-Rasûl Shuwar Muqtabasah min al-Qur`ân al-Karîm, Jilid I, h. 17

pengumuman misi kenabian Muhammad, 23 dan masih terdapat banyak ayat al- Qur`ân lainnya yang merefleksikan kehidupan Nabi.

Atas dasar inilah kiranya Darwazah menekankan akan adanya ikatan yang erat antarara al-Qur`ân dan biografi Nabi (sîrah) sejak Nabi diutus hingga akhir hayatnya. Karena jika ditelaah lebih jauh, kita akan menemukan ayat al-Qur`ân yang merefleksikan biografi Nabi Muhammad, khususnya dalam hubungan Nabi sebagai penerima wahyu sekaligus sebagai penyampai wahyu dan hubungan Nabi dengan manusia, dalam hal ini berhubungan dengan bagaimana Nabi menyeru mereka untuk menerima dan menyembah Tuhab Yang Esa.

Maka dari itu sangat perlu kiranya mengetahui hubungan al-Qur`ân dengan sîrah Nabi dalam memahami dan menafsirkan al-Qur`ân dengan baik, disisi lain ini dimaksudkan agar al-Qur`ân tidak kehilangan latar aktual atau

historisitasnya. 24 Hal ini juga dimaksudkan agar mereka-yang membaca al- Qur`ân-dapat memahami berbagai peristiwa dan suasana turunnya wahyu,

demikian pendapat Darwazah. Dari hasil telaahnya yang mendalam atas relasi al-Qur`ân dengan biografi Nabi ini, Darwazah mengkritik para penulis sîrah Rasul yang berlebih-lebihan dalam menggambarkan Rasulullah baik dalam konteks penjelasan pra penciptaan manusia pertama, ataupun dalam konteks pemaparan silsilah nasab Nabi, keberadaan Nabi ketika masih dalam kandungan, kelahiran Nabi serta informasi

23 Asumsi ini juga di kemukakan oleh J. Jomier dengan mengilustrasikan masa kanak-kanak dan remaja Nabi dengan Q.S. 93 : 1-11 dan Q.S. 94 : 1-8. Lebih lanjut lihat Jacques Jomier, Horizon

al-Qur`ân; Membahas Tama-tama Unggulan dalam al-Qur`ân, terj. Hasan Basri, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur`ân Pase, 2002), cet. ke-1, h. 20-36

24 Darwazah, al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 34-35 & 142-143, lihat juga ‘Abd al-Majîd Abd al-Salâm al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî ‘Asr al-Hadîts, (Beirut: Dâr

al-Fikr, 1973), cet. ke-1, h. 55, Muhammad Ali ‘Iyâzi, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 453 al-Fikr, 1973), cet. ke-1, h. 55, Muhammad Ali ‘Iyâzi, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 453

yang rasional. 25 Mengenai relasi al-Qur`ân dan Lingkungan Nabi (al-bî’ah al-Nabawiyah),

menurut Darwazah al-Qur`ân juga memiliki hubungan erat dengan lingkungan Nabi. Karena terdapat banyak ayat al-Qur`ân yang merefleksikan gambaran yang riil akan kondisi bangsa Arab pra-Islam, baik kondisi sosial-ekonomi, budaya dan intelektual, dan corak keagamaan, serta menjadi faktor utama adanya misi kenabian. Dimana misi al-Qur`ân pertama kali ditujukan kepada orang Arab guna memperbaiki kepercayaan (aqidah), budaya, dan akhlak mereka yang jahiliyah.

Dalam hal ini Darwazah mengilustrasikan poin ini dengan memberikan sampel tentang praktek haji yang telah disebutkan dalam al-Qur`ân. Yang mana ritus-ritus tersebut seperti thawaf mengelilingi ka’bah, sa’i antara safâ dan marwah, melempar jumrah, mencium hajar aswad, dan lainnya yang berhubungan dengan praktek haji yang dilakukan, telah ada dan eksis pada Arab pra-Islam. Adapun yang dilakukan Nabi atas ritus-ritus tersebut adalah memodifikasinya dan

melepaskan mereka dari paganisme. 26 Dari contoh yang telah disebutkan, menjadi

25 Hal ini terbukti ketika mereka mendeskripsikan Nabi sebagai bapak bagi semua apa yang ada dialam semesta ini, dan bahwasanya Nabi Saw. telah tercipta dari punggung Adam sebelum

ditiupkannya ruh kedalam jasad Adam karena ia merupakan inti dari penciptaan citra manusia, dan bahwasanya seluruh alam (being) seperti ‘arsy, lauh al-mahfûzh, pena, kursi langit dan bumi, manusia dan jin, matahari dan bulan, malaikat, serta surga dan neraka, tercipta dari nûr Muhammad. Dan bahwasanya salah satu dari kakeknya yaitu “Ilyas” mendengar talbiyah Nabi sedangkan Nabi masih dalam sulb (rusuk), Nabi juga telah mengetahui akan kenabiannya sejak ia masih dalam bentuk atom (sel yang terkecil) sampai pada proses penciptaannya, tanda-tanda tersebut terlihat pada pohon dan bebatuan, dan bahwasanya ibunya mendengarkan pemberitaan kenabiannya serta melihat tanda- tandanya disaat melahirkannya dan seterusnya, sebagaimana yang ditemuai dalam karya al-Qasthallânî dan buku-buku sîrah lainnya. Dengan demikian mereka melupakan akan hikmah atas pilihan Tuhan dari sebagian manusia yang telah tercakup dalam kalimat (al-jumlah) al-Qur`ân. Lihat Darwazah, Sîrah al-Rasûl Shuwar Muqtabasah min al-Qur`ân al-Karîm, Jilid I, h. 18

26 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 144-146 26 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 144-146

Pandangan yang menyatakan betapa pentingnya memperhatikan karir dan perjuangan Nabi serta pentingnya memperhatikan setting sosiologis dimana Nabi berkiprah guna mempelajari bentangan ajaran al-Qur`ân dan memahami tujuan al- Qur`ân diwahyukan, dipegangi juga oleh sarjana Muslim kontemporer seperti

Fazlur Rahman. 28 Jika melihat dari pandangan Darwazah tentang pentingnya memperhatikan

karir Nabi dan setting sosialogis dimana Nabi hidup dan berkiprah, tujuannya adalah untuk menghindari praktek penafsiran yang berlebihan dan juga-jika subjektifitas belum dapat ditinggalkan-paling tidak meminimalisir praktek penafsiran yang bersifat subjektif.

Dalam prinsip selanjutnya yaitu ketiga dan kesepuluh berbicara tentang karakteristik al-Qur`ân. Dalam prinsip ketiganya ini berbicara tentang bahasa al- Qur`ân, disini Darwazah mengemukakan bahwa bahasa al-Qur`ân baik dari sisi kosa-katanya, idiom, gaya dan sintaksisnya, merupakan bahasa yang sudah familiar dan dipahami oleh komunitas lingkungan Nabi (pra-Islam). Hal ini dilandaskan pada adanya beberapa ayat al-Qur`ân yang merefleksikan intelektualitas, agama, sosial dan kemajuan material mereka. Lebih lanjut

27 Sehubungan dengan sangat pentingnya fungsi kedua prinsip tersebut, Darwazah tidak sejalan dengan sebagian besar mufassir yang menerima dan mengandalkan riwayat-riwayat lemah

yang melegitimasi bahwa seluruh al-Qur`ân pertama kali diturunkan sekaligus dari lauh al-mahfûzh ke lapisan langit terendah, yang kemudian diturunkan kepada Nabi secara terpisah sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Karena sebagian besar riwayat atau perkatan-mengenai turunnya al-Qur`ân sekaligus ini-khususnya yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas, sanadnya tidak sampai kepada Nabi. Sedangkan proses turunnya wahyu sebagaimana yang disebutkan, merupakan berita gaib yang berhubungan dengan ilmu Allah, rahasia segala yang diciptakan-Nya, serta keberadaan-Nya yang tidak dapat diketahui kecuali dengan melalui riwayat Nabi atau melalui ayat-ayat al-Qur`ân yang sarih (jelas). Karena menurutnya hal tersebut akan mengindikasikan akan tidak adanya hubungan (interrelasi) antara al-Qur`ân dengan sîrah (sejarah) dan lingkungan (bî`ah) Nabi. Darwazah, Al- Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 257 & 261

28 Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, tahun 1970, h. 329-330

Darwazah menyatakan bahwa perhatian terhadap bahasa al-Qur`ân ini dimaksudkan agar dapat membantu dalam memahami idiom, gaya, dan sintaksis yang digunakan dalam al-Qur`ân dengan lebih baik.

Meskipun al-Qur`ân ditujukan bagi seluruh bangsa Arab-sejak wacana utamanya didominasi oleh suku Quraish-bahasa al-Qur`ân sangat mengakomodir dialek Quraish yang dikembangkan dalam lebih satu periode, namun dialek tersebut dapat ditangkap dan dipahami oleh non-Arab sebagaimana kata-kata Arab dari dialek lainnya. Inilah yang menjadi alasan mengapa al-Qur`ân

mengandung berbagai dialek Arab 29 . Faruq Syerif dalam menanggapi mengenai bahasa al-Qur`ân ini, ia

menyimpulkan bahwa al-Qur`ân tidak diungkapkan dalam dialek Makkah sebagaimana yang dinyatakan oleh mufassir terdahulu, akan tetapi diungkapkan dalam bentuk dialek yang telah disempurnakan dari idiom puitis yang telah berkembang sepanjang abad dan melebihi dialek-dialek yang digunakan di

semenanjung tersebut. Ia menambahkan, al-Qur`ân yang merupakan pengejawantahan kalam Tuhan ini juga sebagai penyempurnaan dari kata-kata

manusia sendiri. 30

29 Dalam kaitannya dengan al-Qur`ân yang mengandung berbagai dialek Arab ini, terhadap hadits yang menjelaskan hal tersebut, yaitu:

Dan untuk lebih lengkapnya lihat Sahîh Bukhârî, bab Unzila al-Qur`ân ‘Alâ Sab’ah Ahruf, no. hadits 4608, Sahîh Muslim, bab Bayâni Anna al-Qur`ân ‘Alâ Sab’ah Ahruf wa Bayâni Ma’nâhu, no. hadits 1354, 1356 dan 1357. dalam http://www.al-islam.com

Tentang makna sab’ah ahruf, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para mufassir dan muhaddits, akan tetapi secara umum bahwa makna sab’ah ahruf bermakna tujuh model bacaan atau tujuh dialek suku. Lebih lanjut lihat Muhammad Bin Jarir Bin Yazîd Bin Katsîr Bin Ghâlib al-Âmalî Abû Ja’far al-Tabari, Jamî’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur`ân, Jilid I, (Cairo: Muassasah al-Risâlah, 2000),

h. 22 30 Faruq Syerif, al-Qur`ân Menurut al-Qur`ân; Menelusuri Kalam Tuhan dari Tema ke Tema,

terj. M. H. Assagaf dan Nur Hidayah, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. ke-1, h. 75

Kemudian Darwazah juga membantah bahwa bahasa al-Qur`ân tidak jelas, kompleks dan sulit dipahami. Bantahannya tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa suku Badui, kaum elit Hijaz, kalangan oligarki Mekkah yang memimpin oposisi untuk melawan Nabi, dan sebagaimana non-Arab lainnya yang tinggal di sana, dapat memahami bahasa dan pesan al-Qur`ân dengan sangat baik. Adapun bahasanya yang dirasa sulit saat ini dan beberapa ekspresinya yang sangat asing dan tidak familiar, ini disebabkan oleh kondisi, jarak dan waktu kita yang hidup sangat jauh dari masa pewahyuan, disamping itu, bahasa Arab sendiri telah

mengalami perubahan dalam waktu 14 abad ini. 31 Sedangkan dalam prinsip kesepuluh ini juga masih membicarakan tentang

karakteristik al-Qur`ân dari sisi susunan kronologisnya yang berkesinambungan dan konteks ayat. Dalam hal ini, Darwazah memandang bahwa seluruh al-Qur`ân dan bagian-bagiannya (ayat, surat juz), khususnya surat-surat yang panjang, saling berhubungan secara berangkai, tematik, stilistik, dan kronologis.

Oleh karena itu sebuah makna yang benar baik yang berkaitan dengan konteks yang melingkupinya (situsional ataupun temporal), tema-temanya, hukum khusus dan umum, tidak dapat dicapai dengan baik kecuali memperhatikan dan mempertimbangkan konteks al-Qur`ân dan munasabahnya. Sehingga menerapkan satu ayat saja atau hanya sebagian, dengan melepaskan konteksnya akan mendistorsi-bukan hanya maknanya-akan tetapi juga tujuan utama diwahyukannya al-Qur`ân. Untuk memperkuat pandangannya ini, Darwazah mengutip beberapa ayat al-Qur`ân yang digunakan oleh beberapa kalangan sektarian dan teolog madzhab yang berupaya memprioritaskan ayat atau bagian

31 Kaitannya dengan pernyataan Darwazah diatas, ia berusaha untuk meminimalisir teori i’jâz, dan lebih khusus lagi, aspek stilistikanya. Dengan mengatakan bahwa idiom-idiom tingginya al-

Qur`ân tidak dapat dipahami oleh semua generasi Arab. Bagi Darwazah, hakikat i’jâz al-Qur`ân mengandung nilai-nilai spritual dan segala cabang-cabangnya. Lebih lanjut lihat Darwazah, ‘Asr al- Nabî Salla Allah ‘Alaihi wa Sallam wa Bî`atuhu Qabla al-Bi`tsah min al-Qur`ân, (t.tp: Dâr al- Yaqdzah al-‘Arabiyah, 1960), cet. ke-2, h. 396 Qur`ân tidak dapat dipahami oleh semua generasi Arab. Bagi Darwazah, hakikat i’jâz al-Qur`ân mengandung nilai-nilai spritual dan segala cabang-cabangnya. Lebih lanjut lihat Darwazah, ‘Asr al- Nabî Salla Allah ‘Alaihi wa Sallam wa Bî`atuhu Qabla al-Bi`tsah min al-Qur`ân, (t.tp: Dâr al- Yaqdzah al-‘Arabiyah, 1960), cet. ke-2, h. 396

Pandangan Darwazah mengenai penerapan satu ayat atau hanya sebagian akan mendistorsi makna dan tujuan utama pewahyuan yang menyeluruh juga dianut oleh Syahrûr, ia berpendapat bahwa hal yang tidak boleh diabaikan adalah prinsip anti-atomistic, yakni menghindari pembacaan secara sepotong-potong (ta'diyyah), mengingat ayat al-Qur'ân masing-masing memuat sebuah pemikiran yang utuh, tiap ayat adalah satuan tema sempurna yang berkait-kelindan dan saling menyempurnakan (integral). Prinsipnya ini didasarkan pada QS: al-Hijr:

91. yang menunjukkan arti "pembagian yang tidak dapat dibagi lagi". Oleh karena itulah al-Qur'ân tidak boleh dibagi-bagi, sehingga diperoleh konsep yang

menyeluruh dan holistic. 33 Ibnu ‘Arabi memberikan statemennya tentang koherensi antara ayat-ayat

al-Qur`ân dengan menyatakan bahwa sudah menjadi suatu kemestian akan adanya keserasian dan keharmonisan antara ayat-ayat al-Qur`ân, apabila seorang mufassir mengabaikan hal tersebut pasti tidak akan pernah sampai atau mendekati kepada kebenaran dalam memahami maksud teks ilâhi tersebut. Dan apabila terdapat kesenjangan hubungan antara ayat-ayat tersebut, maka terdapat kesesuaian yang

32 Beberapa contoh ayat yang dikutip oleh Darwazah untuk memperkuat argumentasinya adalah Q.S. al-Sâffât [37] : 96     dimana ayat ini dilepaskan dari konteksnya oleh sebagian teolog yang kemudian digunakan untuk membantah klaim lawan-lawannya yang berpendapat

bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya dan bebas mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Dan jika melihat pada konteksnya, ayat tersebut merupakan bagian dari kelompok ayat 83-113 surat al-Sâffât yang mengisahkan Nabi Ibrahim dan kaumnya, demikian menurut Darwazah. Lihat Muhammad Izzat Darwzah, al-Tafsîr al-Hadîts; Tartîb al-suwar Hasba al- Nuzûl, Juz IV, (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 2000), cet. ke-2, h. 224-225. Ayat lainnya adalah Q.S.

al-Taubah [9] : 36     juga dilepaskan konteksnya oleh sebagian mufassir dan

teolog ketika menafsirkan ayat ini, dan menyatakan bahwa ayat ini menasakh ayat sebelumnya tentang larangan memerangi kaum musyrikin, dan disebutnya sebagai ayat al-saif.

Lihat Muhammad Izzat Darwzah, al-Tafsîr al-Hadîts; Tartîb al-suwar Hasba al-Nuzûl, Juz IX, h. 430-432

33 Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur'ân, hal. 198.

dapat mengkompromikan ayat-ayat yang secara lahiria terkesan renggang dan inharmonis tersebut, karena merupakan teks ilâhi yang tersusun secara sistematis. Oleh karena itu merupakan tugas seorang mufaasir untuk menemukan dan mengelaborasi pola kesesuaian dalam ayat-ayat al-Qur`ân, karena Allah Swt. tidak hanya mendisposisikan suatu bentuk lafal dalam komposisi struktur teks, akan tetapi menuntut hamba-Nya untuk merenungkan maksud dibalik

pendisposisian dan penentuan tersebut. 34 Demikian pula dengan Abdullah Dirâz mengingatkan bahwa terdapat

kesalahan paradigmatik dari sebagian ulama dalam memandang kesatuan surat al- Qur`ân. Mereka-dengan pandangan sederhana-menilai al-Qur`ân bukanlah sebuah kitab yang materinya saling terkait, akan tetapi penuh dengan tema-tema yang berfariasi, pikiran yang beragam, penyajiannya yang tidak sistematis dengan tidak terdapatnya ikatan yang logis diantara tema-tema dan pikiran-pikiran tersebut. Mereka juga menilai bahwa al-Qur`ân serampangan dalam mengemukakan satu tema yang kemudian dilanjutkan ke tema yang baru yang tidak memiliki ikatan

atau hubungan kuat dengan tema sebelumnya. 35 Karena pentingnya untuk memperhatikan munasabah tersebut, Fakhruddin

al-Razi dalam kitabnya al-Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Gaib, menilai bahwa kebanyakan pesan mendalam al-Qur’an (lathaif) terletak pada sisi kesistematisan

urutan (tartibat) dan keharmonisan hubungan (rawabith) ayat-ayatnya. 36

34 Muhyi al-Dîn Ibn ‘Arabî, Rahmat min Rahmân fî Tafsîr wa Isyârat al-Qur`ân, Juz I, (Kumpulan Mahmûd al-Gharrâb), (Damaskus: Mathba’ah al-Nasr,, t.th.), h. 13

35 Muhammad Abdullah Dirâz, Madkhal Ilâ al-Qur`ân al-Karîm, terj. Muhammad Abd al- ‘Azîm Ali, (Kairo: Dâr al-Qalam, 2003), h. 127-132. ia berupaya untuk membuktikan kekeliruan

paradigma tersebut dengan mengemukakan bahwa al-Qur`ân merupakan Kitab yang memiliki hubungan yang harmonis, korelasi kuat dan kesatuan yang padu, baik dalam unit-unit kecil al-Qur`ân, dalam satu surat tertentu, antara sebagian surat denga surat lainnya, dan bahkan dalam al-Qur`ân secara keseluruhan. Lebi lanjut lihat Muhammad Abdullah Dirâz, al-Naba’ al-‘Adzîm; Nazarât Jadidah fî al-Qur`ân, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1984), h. 107-211, lihat juga Muhammad Abdullah Dirâz, Hassâd Qalam, h. 21-22

36 Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur`ân, juz I, h. 62.

Demikian pula dengan Muhammad Abduh, 37 menjadikan keserasian antara ayat dan surat tersebut sebagai salah satu faktor dalam menetapkan arti dan tolok ukur

dalam menilai pendapat-pendapat yang berbeda. Abduh juga menerapkan idenya ini dalam hal-hal yang kurang mendapat perhatian oleh mufassir terdahulu. 38

Dan jika ditelisik ke masa klasik, wacana tentang adanya hubungan dan satu kesatuan yang serasi antara ayat-ayat al-Qur`ân, sebenarnya telah dibahas- petama kali- oleh Abu Bakr al-Naysaburi (w.324 H), yang mana perhatian al- Naysaburi tentang adanya satu kesatuan yang serráis antara ayat-ayat al-Qur`ân ini berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkannya terhadap ulama- ulama Baghdad tentang alasan dan rahasia penempatan satu ayat dan surat dalam al-Qur`ân. Selanjutnya al-Naysaburi mengkritik ulama Baghdad yang tidak memberikan perhatian dan mengetahui akan adanya hubungan yang serasi antara

ayat-ayat dalam al-Qur`ân. 39 Kemudian dilanjutkan oleh ulama dan tokoh setelahnya yang mebahas akan adanya hubungan dan satu kesatuan yang serasi

antara ayat-ayat al-Qur`ân dalam karya-karya mereka. 40 Dan tidak ketinggalan

37 Muhammad Abduh dipandang sebagai pioner yang menekankan tentang adanya kesatuan tema-tema dalam al-Qur`ân (al-Wahdat al-Maudhu’iyyah fi al-Qur`ân) pada awal abad modern, dan

sekaligus meletakkannya sebagai dasar konstruksi penafsirannya atas kesatuan tema-tema tersebut. Lihat: Abdullah Syahatah, Ulum al-Tafsir, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1421 H/2001 M), h. 40-62. Lihat juga: Fahd al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Riyadh: Idarat al- Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ wa al-Dakwah wa al-Irsyad fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al- Su’udiyyah, 1403 H/1983 M), h. 222-383

38 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur`ân; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 28 39 Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur`ân, Tahqiq Mushtafa Abdul Qadir Atho’ (Beirut:

Dar al-Fikr, 1408 H/1988 M), juz I, h. 62-63. Al-Sayuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur`ân, Tahqiq Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Maktabah Dâr al-Turats, tt), juz III, h. 322. Mushtafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1410 H/1989 M), h. 66

40 Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Ja’far bin Zubair, guru dari pada Abu Hayyan al- Andalusy, yang menulis kitab Al-Burhan Fi Munasabat Tartib Suwar al-Qur`ân. Demikian juga

dengan apa yang ditulis oleh Imam Burhanuddin al-Biqa’i dalam karya monumentalnya Nazhm al- Durar Fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar, dan Imam al-Suyuthi dengan kitab Tanasuq al-Durar Fi Tanasub al-Suwar. Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur`ân, juz III, h. 322. Lihat juga: Al- Sayuthi, Mu’tarak al-Aqran Fi I’jaz al-Qur`ân, Tahqiq Ali Muhammad al-Bajawi (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), juz I, h. 54-55 dengan apa yang ditulis oleh Imam Burhanuddin al-Biqa’i dalam karya monumentalnya Nazhm al- Durar Fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar, dan Imam al-Suyuthi dengan kitab Tanasuq al-Durar Fi Tanasub al-Suwar. Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur`ân, juz III, h. 322. Lihat juga: Al- Sayuthi, Mu’tarak al-Aqran Fi I’jaz al-Qur`ân, Tahqiq Ali Muhammad al-Bajawi (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), juz I, h. 54-55

Berangkat dari prinsipnya ini Darwazah memberikan bantahan atas asumsi yang menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur`ân terputus tidak berkesinambungan atau bahwa terdapat inkonsistensi dalam al-Qur`ân, karena terdapatnya tema yang sama dalam beberapa surat yang terpisah dan pengulangan penyebutan ayat dalam

al-Qur`ân. 41 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa terdapatnya sejumlah pengulangan dalam al-Qur`ân ini sangat penting, karena hal tersebut dimaksudkan untuk

memahami lebih baik makna pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. 42

Ia juga memberikan kritikan terhadap mufassir yang menggunakan riwayat asbâb al-nuzûl secara serampangan tanpa memperhatikan konteks ayat. Kritikan yang dilontarkan Darwazah ini bukannya tak berdasar, akan tetapi pada kenyataanya sebagian besar dari riwayat tersebut merupakan refleksi dari konflik politik, mazhab, kelompok, fiqhi, dan teolog yang berakar kuat pada awal abad ketiga hijriyah. Karenanya Darwazahh mengingatkan para mufassir agar berhati-

hati dalam menyadur dan menerima riwayat tersebut. 43 Selain itu Darwazah memandang bahwa riwayat asbâb al-nuzûl-meskipun

berstatus sahih-tidak lain aníllala sebagai salah satu faktor eksternal yang dapat

41 Dalam hal susunan ayat dan surat dalam al-Qur`ân, sejumlah sarjana Barat mengemukakan komentarnya dan memberikan sebuah kesimpulan bahwa terdapat inkoherensi (ketidakteraturan),

inkonsistensi (tidak konsisten), diskontinuitas (ketidaksinambungan) dalam ayat-ayat al-Qur`ân,. Diantara sarjana barat yang mengemukakan hal tersebut adalah Theodor Noldeke, Sir William Muir, Hubert Grimme, Hartwig Hirschfeld, dan lainnya. Lebih lanjut lihat: W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur`an, h. 109-113 & lihat juga h. 175-177. Sedangkan dikalangan Islam sendiri tokoh yang agak kontroversial dalam masalah ini adalah Abbâs Abd al-Nûr, yang menyatakan bahwa al-Qur`ân bukanlah sebuah Kitab yang saling berkesinambungan, bahkan antara satu tema dengan tema lainnya tampak dengan jelas adanya kerenggangan dan tidak terdapat indikator kuat yang menunjukkan akan adanya hubungan yang kuat diantara tema-tema tersebut. untuk lebih jelasnya lihat Abbâs Abd al-Nûr, Mihnatî Ma’adalah al-Qur`ân wa Ma’a Allah fî al-Qur`ân, 125-136 & 169-180

42 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 196-198 43 Darwazahh, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 205-206, lihat juga

Devy Aisyah Aziz, Metodologi Tafsîr al-Qur`ân Karya Darwazahh; Kajian atas Penafsiran Kisah al- Qur`ân dalam Kitab al-Tadsîr al-Hadits, dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Vol. 3, No. 2, Desember 2002 Devy Aisyah Aziz, Metodologi Tafsîr al-Qur`ân Karya Darwazahh; Kajian atas Penafsiran Kisah al- Qur`ân dalam Kitab al-Tadsîr al-Hadits, dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Vol. 3, No. 2, Desember 2002

ayat dan konteks historisnya. 44 Agaknya pandangan Darwazahh dalam hal ini sejalan dengan Ahmad

Khan yang menyatakan bahwa jalan yang paling selamat ditempuh dalam penulusuran asbâb al-nuzûl adalah mencari asbâb al-nuzûl dalam konteks kalam serta gaya al-Qur`ân, setelah mempertimbangkan hal-hal mendasar yang

dikemukakan dalam al-Qur`ân. 45 Demkian pula dengan Abû Zaid memandang Asbâb al-Nuzûl sebagai informasi historis sekaligus sebagai pertimbangan dalam

penafsiran al-Qur’ân. 46 Fazlurrahman menjadikan Asbâb al-Nuzûl; baik mikro maupun makro sebagai informasi historis yang harus diketahui dan dijadikan

pertimbangan dalam penafsiran. 47 Dengan demikian, fungsi Asbâb al-Nuzûl di samping sebagai informasi historis juga sebagai pertimbangan dalam penafsiran

al-Qur’ân. Berbeda dengan pandangan Syahrûr, ia menyatakan bahwa Asbâb al- Nuzûl hanyalah salah satu varian penafsiran yang bersifat particular-historis dan

44 Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Darwazah’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, h. 239

45 Sayyid Ahmad Khan, “Principles of Exegesis,” in Aziz Ahmad & G.E. von Grunebaum (ed.), Muslim Self-Statement in India and Pakistan, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1970), h. 34. Lihat

juga Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), cet. ke-1, h. 101

46 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nas; Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Markaz al- Tsaqâfah al-'Arabî: 1998), cet IV, hal. 97-116. Nasr Hâmid Abû Zaid, Naqd al-Khitâb al-Dînî, (Kairo:

Sinâ Li al-Nasyr: 1992), hal. 144. Nasr Hâmid Abû Zeid, Teks, Otoritas, Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LKiS: 2003), hal. 112.

47 Fazlur Rahman, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 5-7. Pendapat lain yang senada adalah

pendapat Muhammad ‘Imârah menyatakan bahwa Asbâb al-Nuzûl harus diletakkan dalam kerangka konteks aslinya, sehingga dapat betul-betul membantu dalam memahami ayat sesuai makna ketika ia diturunkan. Sebab, memahami dilâlah al-Qur`ân harus berdasarkan pada penggunaan lafazh-lafazh pada saat turunnya wahyu, dan bukan setelahnya. Lihat Muhammad ‘Imârah, al-Tafsîr al-Markîsî Li al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq: 1996), cet I, hal. 60. Muhammad ‘Imârah, Tahqîq, dalam Muhammad ‘Abduh, al-A’mâl al-Kâmilah, (Kairo: Dâr al-Syurûq: 1993), cet I, hal. 11.

lokal-temporal. Oleh karena itulah, menurut Syahrûr, menjadikannya sebagai bagian dari Ulûm al-Qur’ân, merupakan cacat terbesar, sebagaimana juga

menjadikan ilmu tajwîd dan ilmu qirâ'at sebagai bagian darinya. 48 Sebab, sebenarnya ia masuk dalam lingkaran sejarah yang terbatasi oleh ruang, waktu

dan pemeran pada saat itu. Oleh karena itulah, ia lebih tepat jika dijadikan sebagai bagian dari ilmu sejarah.

Dalam prinsip keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan Darwazah mengetengahkan kandungan al-Qur`ân yang terdiri atas prinsip (usus) dan media atau instrumen (wasâ`il). Dalam prinsip keempatnya ini Darwazah mengemukakan secara global tentang prinsip dasar dan media atau instrumen yang terkandung dalam al-Qur`ân. Dimana Darwazah menyatakan bahwa kandungan al-Qur`ân terwujud dalam dua karakteristik yang khas, yaitu antara prinsip fundamental (usus) dan media atau instrumen (wasâ`il) selaku instrument

yang mendukung prinsip fundamental. 49 Dari kedua kategori ini, usus merupakan esensi al-Qur`ân, karena usus terdiri dari tujuan pewahyuan al-Qur`ân dan misi

kenabian. Dimana tujuan pewahyuan dan misi kenabian disini adalah agar umat manusia menyembah Tuhan yang Esa dengan segala sifat-sifat-Nya yang sempurna dan mutlak dimiliki oleh-Nya, tidak menyekutukan-Nya, serta

mematuhi dan menjalankan segala aturan yang komprehensif, yaitu syari’at. 50 Rosyid Rida dalam hal ini, juga sangat memperhatikan tujuan pokok al-

Qur`ân (maqâsid al-Qur`ân) ketika menafsirkan al-Qur`ân. Ia sepaham dengan

48 Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah, hal. 230. 49 Darwazah sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur`ân terwujud dari dua kategori diatas,

setelah ia merefleksikan gaya dan spirit al-Qur`ân, dan mengambil beberapa ayat sebagai sampel untuk dijadikan bahan pertimbangan atas kesimpulannya tersebut. disamping itu ia juga memperkuat argumentasinya dengan mendasarkannya pada dikotomi muhkamât dan mutasyâbihât, dimana ayat- ayat muhkamât merupakan ayat-ayat yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak dapat berubah, seperti ayat tentang iman, kewajiban orang mukmin, hukuman dan ayat-ayat nâsikh, dan selebihnya termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyâbihât. Lihat Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 159

50 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 157 50 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 157

jika Rosyid Ridha menjadikan tujuan pokok al-Qur`ân (maqâsid al-Qur`ân) sebagai bagian dari desain utama (grand design) pembaharuannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Muslim, yang titik tolaknya terletak pada sisi ke-hidâyah-an al-Qur`ân. Hal ini tercermin dari salah satu

prinsip penafsirannya dimana al-Qur’an menjadi sumber hukum Islam. 52

Adapun hal-hal lain yang terdapat dalam al-Qur`ân, seperti sejarah Nabi, ibarat, nasehat, balasan bagi orang yang saleh dan siksa bagi orang yang jahat, perdebatan dan lainnya, hanyalah sebagai media atau instrumen (wasâ`il) yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk memperkuat atau pendukung bagi tercapainya ajaran usus. Dan hampir seluruh media pendukung atas usus yang terdapat dalam al-Qur`ân seperti iman kepada hari akhir dengan segala gambaran kehidupan (eskatologis) yang bahagia dan sengsara, malaikat, jin, mukjizat Nabi, kesemua hal tersebut berhubungan dengan lingkungan Nabi dan merefleksikan kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam.

Dari asumi inilah kiranya Darwazah memberikan kritikan terhadap mufassir yang memberikan pernyataan, penjelasan, dan spekulasi yang panjang dan berlebih-lebihan, sehingga menyalahi batasan-batasan riwayat yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tâbi’în yang banyak menjelaskan riwayat- riwayat tersebut. Dan bentuk penafsiran semacam ini terhadap hal-hal tersebut akan berakibat pada pengaburan tujuan dan maksud dari kisah tersebut. Dimana

51 Penilaian senada juga dikemukakan oleh Mahmûd Syahâtah, menurutnya Muhammad Rasyid Ridha dipengaruhi oleh gurunya dalam menggambarkan pikiran umum surat, memaparkan

tema-tema pokok yang dibahas, mengungkapkan prinsip-prinsi dan hakikat yang dicatatnya. Lebih lanjut lihat: ‘Abdullah Mahmûd Syahâtah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur`ân al- Karîm, (Kairo: Majlis al-A’lâ Li Ri’âyah al-Funûn wa al-Adâb wa al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyah, 1963), h. 36

52 M. Quraish Shihab, Studi Kritik Tafsîr al-Manâr, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), cet. ke-1, h. 74.

kisah, fenomena alam serta jin dan manusia dimaksudkan sebagai nasehat (al- ‘izhah) dan peringatan (al-tadzkîr). 53

Demikian juga terhadap mufassir yang lebih memperhatikan masalah- msalah parsial atau hal-hal yang bukan termasuk inti yang dimaksudkan dalam al- Qur`ân. Memang bila melihat pada adanya hubungan antara yang parsial dan hal- hal yang prinsipil ini terdapat sebuah hubungan, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah sebagian dari mufassir memberikan proporsi yang berlebihan terhadap hal-hal yang parcial ini dibandingkan dengan hal-hal yang prinsipil, yang pada akhirnya dapat mengaburkan fungsí dari masalah-masalah

yang parsial ini dalam mencapai pesan dan tujuan utama al-Qur`ân. 54 Oleh karena itu menurut Darwazah memahami dan mengetahui perbedaan

antara usus dan wasâ`il ini sangat penting bagi mufassir yang ingin memahami dan menafsirkan al-Qur`ân, agar jangan sampai dalam tafsirnya lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat wasâ`il daripada usus karena akan dapat membingungkan dan menyesatkan umat. Dalam kaitan ini, Darwazah memiliki pendapaat berbeda, karena menurutnya usus merupakan ajaran-ajaran al-Qur`ân

53 Pola penafsiran semacam ini banyak ditemukan khususnya dalam tafsîr seperti tafsîr al- Khâzin, Abî al-Sa’ûd, al-Baidawî, dan al-Kasysyâf, ketika menjelaskan kisah tentang Dzû al-Qarnain,

Ya`jûj dan Ma`jûj, dimana riwayat-riwayat tersebut menggunakan ungkapan ruwiya, qîla, dan bahkan terkadang tidak menggunakan ungkapan tersebut. Lebih jelasnya lihat al-Khâzin, bandingkan pula dengan Abî Muhammad al-Husian bin Mas'ûd al-Farrâ` al-Bagwî al-Syâfi'î, Tafsîr al-Bagwî al- Musammâ Ma'âlim al-Tanzîl, Juz III, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), cet. Ke-1, h. 148-153; Abî al-Qâsim Jâr Allah Mahmûd bin 'Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizimî, al-Kasysyâf 'An Haqâiq al-Tanzîl wa 'Uyûn al-Aq^awîl fî Wujûh al-Ta`wîl, Juz II, (t.tp.: Dâr al-Fikri, 1983), cet. Ke-1, h. 497- 499; Abî al-Sa'ûd Muhammad bin Muhammad bin Mustafâ al-'Amâdî al-Hanafî, Tafsîr Abî al-Sa'ûd auw Irsyâd al-'Aql al-Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, Juz IV, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1999), cet. Ke-1, h. 210-217

54 Sebagai contoh tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fakhr al-Râzî, dalam tafsirnya ini al-Râzî memberikan klasifikasi yang berlebihan dan subkategorisasi sejumlah tema yang maknanya sama atau

disamakan. Demikian pula dengan tafsîr al-manâr tidak luput dari kritikannya, karena penjelasannya yang panjang lebar pada hal-hal yang tidak perlu, khususnya perdebatan yang terjadi antara orang muslim dan Kristen. Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 161, lihat juga Ismail K. Ponawala, Muhammad Izzah Darwazah’s Principles of Modern Exegesis: A Contribution Toward Qur`anic Hermeneutic, h. 235 disamakan. Demikian pula dengan tafsîr al-manâr tidak luput dari kritikannya, karena penjelasannya yang panjang lebar pada hal-hal yang tidak perlu, khususnya perdebatan yang terjadi antara orang muslim dan Kristen. Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 161, lihat juga Ismail K. Ponawala, Muhammad Izzah Darwazah’s Principles of Modern Exegesis: A Contribution Toward Qur`anic Hermeneutic, h. 235

Mengenai kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang pada pembahasan sebelumnya oleh Darwazah dikategorikan sebagai bagian dari wasâ`il (instrumen) yang berfungsi sebagai pendukung atau penguat hal-hal yang prinsipil (usus) dari kandungan al-Qur`ân dikemukakan dalam prinsipnya yang kelima. Dalam menyikapi masalah kisah Nabi dan umat terdahulu yang terdapat dalam al- Qur`ân, Darwazah memiliki dua pendapat, yang pertama bahwa kisah-kisah tersebut tidaklah sepenuhnya asing bagi orang Arab, karena mereka-khususnya penduduk Makkah-telah mengenal kisah-kisah tersebut melalui Kitab perjanjian

lama atau Injil atau tradisi lisan berkat pergaulan mereka dengan Ahli Kitab 56 . Kedua, ia menekankan bahwa cerita-cerita atau kisah-kisah tersebut

disebutkan dalam al-Qur`ân tujuannya adalah untuk menggambarkan moral, mengilustrasikan suatu hal, memperkuat fokus perhatian, serta sebagai pendukung dan penguat pesan-pesan fundamental al-Qur`ân, bukanlah untuk membuat

sebuah cerita dan pengungkapan atau merekam peristiwa sejarah belaka. 57 Hal ini tercermin dalam tafsirnya yang sangat concern dalam mengungkapkan pesan

55 Dalam hubungannya dengan hal tersebut, ia menyatakan bahwa surat-surat yang pertama turun sebagaimana dalam surat al-Fâtihah, al-A’lâ, al-Syams, al-Layl, al-Tîn, al-Qâri’ah, al-Takâtsur,

al-‘Asr, al-Ikhlas, merupakan ayat-ayat muhkamât karena mengandung prinsip-prinsip dasar yang menjadi tujuan pewahyuan dan misi kenabian (al-usûl), dengan pemberitahuan akan adanya balasan bagi yang mengikuti seruan Nabi, dan azab bagi yang mengingkarinya. Lihat Darwazah, Al-Qur`ân al- Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 161, lihat juga Ismail K. Ponawala, Muhammad Izzah Darwazah’s Principles of Modern Exegesis: A Contribution Toward Qur`anic Hermeneutic, h. 231

56 Untuk mendukung hal tersebut Darwazah mengutip beberapa ayat dari beberapa surat seperti: Q.S. al-Rûm [30] : 9. Q.S. Ghâfir [40] : 21, Q.S. al-Hajj [22] : 45-46, Q.S. al-Saffât [37] : 133-

138, Q.S. al-Qasas [28] : 58, Q.S. al-Furqân [25] : 40, Q.S. al-Ankabût [29] : 38, Q.S. Hûd [11] : 100, dan Q.S. Ibrâhîm [14] : 45. Lihat Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts,

h. 163 57 Dalam mendukung argumentasinya ini, Darwazah mengutip beberapa ayat al-Qur`ân antara

lain: Q.S. al-A’râf [7] : 101, 163-166, 175-177, Q.S. al-Mâ`idah [5] : 27-33, Q.S. al-Anfâl [8] : 53-54, Q.S. al-Taubah [9] : 69-70, Q.S. Yûnus [10] : 12-13, 71-98, Q.S. Yûsuf [12] : 111, Q.S. al-Ra’d [13] : 38-42, Q.S. Maryam [19] : 54-63, Tâha [20] : 99-101 Q.S. al-Namal [27] : 45-58, dan Yâsin [36] : 13-

31. Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 163 31. Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 163

peringatan, bahkan secara intertekstual-pun mengandung hal tersebut”. 58

Khalafullah mengemukakan, diantara tujuan kisah-kisah al-Qur`ân adalah memberikan harapan dan sugesti yang direalisasikan oleh al-Qur`ân dengan menumbuhkan semangat atau tekad yang kuat untuk menjauhi segala norma kesusilaan dan kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan oleh Allah. Selain itu kisah ini juga bertujuan untuk membuktikan kerasulan Muhammad dan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya adalah

berasal dari langit dan berisi berita-berita gaib. 59 Adapun kisah Malaikat dan Jin yang disebutkan dalam al-Qur`ân

dikemukakannya dalam prinsipnya yang keenam. Sebagaimana kisah lainnya, Darwazah berpendapat bahwa kisah Malaikat dan Jin bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Arab. Karena hal tersebut berhubungan dengan kepercayaan yang mereka anut, dan kisah tersebut merupakan refleksi dari kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam yang berkaitan dengan makhluk halus.

Dalam keyakinan mereka Malaikat 60 adalah anak perempuan Tuhan, oleh karena itu Malaikat menjadi penghubung mereka untuk mendekatkan diri kepada

58 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 163

59 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Qur`ân Bukan Kitab Sejarah; Seni, Sastra, dan Moralitas dalam kisah-kisah al-Qur`ân, terj. Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin dari al-Fann al-

Qasasî fî al-Qur`ân al-Karîm, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. ke-1, h. 333-334 60 Tentang Malaikat ini, Fazlurrahman berpandangan, Malaikat yang disebutkan dalam al-

Qur`ân yang disebut dengan bentuk tunggal malak atau bentuk jamaknya malâ`ikah adalah makhluk- makhluk langit yang mengabdi kepada Allah, mereka mmelakukan berbagai kewajiban dari mencabut nyawa manusia hingga memikul ‘Arsy Allah. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur`ân, (Chicago: Bibliotheca Islamica, Minneapolis, 1980), h. 46

Tuhan atau dengan kata lain menjadi perantara mereka dengan Tuhannya. Sedangkan Jin 61 merupakan makhluk gaib yang ditakuti oleh mereka, karena

dalam keyakinan mereka Jin merupakan sumber malapetaka dan kejahatan. Sedangkan Malaikat mereka yakini sebagai sumber harapan, oleh karena itu mereka sangat mengagung-agungkan malaikat dan mematuhi segala apa yang di

perintahkannya. 62 Dalam hal ini Darwazah menekankan bahwa keduanya baik Malaikat

maupun jin dikisahkan dalam al-Qur`ân bukan berarti menjelaskan tentang Malaikat dan Jin itu sendiri, akan tetapi dimaksudkan untuk mendukung dakwah Nabi dan tujuan pewahyuan al-Qur`ân. Ia menambahkan bahwa makhluk- makhluk tersebut tidak dapat dicerna oleh akal, oleh karena itu para pembaca ataupun mufassir tidak perlu berpanjang lebar dalam menjelaskan hakekat malaikat dan jin khususnya dalam proses penciptaan alam gaib. Cukup dengan mengatakan mereka adalah makhluk yang hidup di alam gaib dan diyakini akan

keberadaan mereka. 63 Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Abduh yang menjelaskan

tentang Malaikat dalam penafsirannya. Yang mana pendapat pertamanya menyatakan bahwa Malaikat merupakan makhluk-makhluk gaib yang tidak dapat

diketahui hakikatnya, akan tetapi harus diyakini akan keberadaannya. 64

61 Fazlur Rahman dalam menyadur pendapat Alford Welch dari karya pentingnya The Pneumatology of The Qur`ân yang menyatakan bahwa jin adalah semacam makhluk yang kurang lebih

sejajar dengan manusia, dan yang membedakan keduanya jin diciptakan dari api sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Pernyataan ini didasarkannya pada Q.S. al-A’râf [7] : 12, al-Rahmân [55] : 14-

15, disisi lain iblis juga dianggap sebagai jin dan ia mengingkari Tuhan-Nya, ini didasarkan pada Q.S. al-Kahfî [18] : 50. selanjutnya Rahman mengomentarinya dengan menyatakan, pendapat tersebut dapat diterima jika pernyataan diatas dimaksudkan kepada jin-jin tertentu, karena pada umumnya jin yang disebutkan dalam al-Qur`ân adalah makhluk yang sejajar dengan manusia. Lihat: Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur`ân, (Chicago: Bibliotheca Islamica, Minneapolis, 1980), h. 121-123

62 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 179 63 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 181

64 Dalam rangka menjelaskan tentang Malaikat, Muhammad Abduh mengemukakan dua pendapatnya, yang pertama sebagaimana yang telah tertulis dalam bodi teks, dan pendapatnya yang

Adapun dalam prinsip ketujuh dan kedelapan ini juga masih berkaitan dengan media atau instrumen (wasâ`il) yaitu Conformity of Nature (meminjam

istilah prinsip penafsiran Ahmad Khan) 65 dan Kehidupan Akhirat yang dikisahkan dalam al-Qur`ân.

Dalam konsep Conformity of Nature ini, Darwazah berpandangan bahwa segala apa yang dikandung al-Qur`ân tentang penciptaan alam semesta dan segala apa yang terdapat didalamnya bertujuan untuk memperlihatan kepada objek yang dituju (manusia) guna membuktikan akan kebesaran Allah Swt., keleuasan alam semesta yang diciptakannya, keindahan ciptaannya, dengan maksud memperkuat tujuan fundamental dakwah Nabi Saw. yaitu esensi dan segala sifat Tuhan yang sempurna. Dan hikmah filosofis dalam perciptaan alam semesta ini dengan tujuan menanamkan dalam hati manusi-sebagai objek pewahyuan al-Qur`ân-akan kebesaran Allah Swt., menggugah mereka dalam menerima dakwah Nabi, dan tunduk kepada segala perintah dan larangan-Nya serta batasan-batasan yang telah ditetapkan-Nya. Atau dengan ungkapan yang lebih global, tujuan ungkapan tentang alam semesta dalam al-Qur`ân bukan untuk menjelaskan tentang subtansi atau esensi natural itu sendiri, akan tetapi bertujuan sebagai pembuktian akan kebesaran Allah Swt., sebagai instrumen yang dijadikan

kedua ini Muhammad Abduh mengumpamakan Malaikat merupakan makhluk-makhluk Tuhan yang ditugaskan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, semisal menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memelihara manusia dan sebagainya. Dimana ia mengisyaratkan bahwa pertumbuhan yang terjadi pada tumbuh- tumbuhan tidak lain karena adanya ruh khusus yang dihembuskan oleh Allah swt. ke dalam benih tumbuhan yang menyebabkan terjadinya kehidupan pada tumbuhan tersebut. demikian pula dengan manusia dan binatang serta segala sesuatu yang terjadi atas dasar sebuah sistem tertentu yang ditetapkan oleh Tuhan dalam kejadiannya, dan kesemua itu terjadi atas dasar ruh yang dihembuskan oleh Tuhan. Sedangkan ruh dalam pengertian agama dinamakan Malaikat. Menurut muridnya Muhammad Rasyid Ridha dalam pembelaannya terhadapa pendapat gurunya tentang Malaikat ini mengatakan bahwa tujuan Abduh menjelaskan seperti itu tentang pengertian Malaikat adalah untuk meyakinkan orang-orang yang telah mengingkari wujud malaikat dengan cara menggunakan istilah- istilah yang dapat diterima oleh akal mereka. Dan Abduh tidak menyetujui definisi yang dikemukakan oleh ulama-ulama lain tentang Malaikat yang berupa makhluk-makhluk bercahaya. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1367 H), h. 266

65 Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis, (Jakarta: Teraju, 2004), cet. ke- 1, h. 91 65 Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis, (Jakarta: Teraju, 2004), cet. ke- 1, h. 91

Dalam prinsipnya yang kesembilan, Darwazah mengemukakan akan Esensi dan Sifat Tuhan. Menurutnya sifat-sifat fisik Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur`ân digunakan untuk mengungkap makna kekuasaan, pengetahuan Tuhan dan sebagainya. Oleh karena itu sifat-sifat fisik Tuhan tidak dapat dipahami secara tekstual. Akan tetapi harus dipahami sebagai ungkapan kiasan atau metaforis atas sifat-sifat Tuhan yang transenden, disisi lain hal tersebut juga menunjukkan bagaimana bahasa manusis-dimana al-Qur`ân diwahyukan-dapat digunakan untuk mengekspresikan konsep spiritual yang mulia tersebut, dengan

demikian manusia dapat dengan mudah memahami akan esensi Tuhan. 67

Jika melihat pandangan Darwazah terhadap Esensi dan sifat-sifat Tuhan diatas, agaknya ia tidak ingin melangkah lebih jauh dalam memperdebatkan secara panjang lebar mengenai masalah tersebut, karena menurutnya hal ini hanya membuang-buang energi dan tidak akan pernah menghasilkan sebuah hasil final dari perdebatan tersebut atau dengan kata lain tidak akan pernah berakhir.

Hal ini sangat penting bagi pembaca untuk diperhatikan, dan sebaiknya pembaca membiarkan ayat-ayat tekstual tersebut, dan yang perlu dilakukan adalah mencoba untuk mencari dan memahami apa yang dimaksudkan al-Qur`ân dibalik pengungkapannya dari permasalahan diatas, demikian asumsi Darwazah

dalam masalah ini. 68

66 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 182

67 Dalam hal ini Darwazah memberikan beberapa contoh semisal Q.S. al-Syûrâ 42 : 11, Q.S. al-An’âm 6 : 103, dan Q.S. al-Baqarah 2 : 255, ayat-ayat ini meruapakan ayat-ayat yang

mengekspresikan esensi Tuhan. Lihat Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al- Hadîts, h. 188

68 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 189

Dalam prinsip terakhirnya yaitu prinsip kesebelas adalah penafsiran al- Qur`ân dengan al-Qur`ân. 69 Dalam hal menafsirkan al-Qur`ân itu sendiri, para

ulama sepakat bahwa cara penafsiran ini merupakan cara yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur`ân, dan cara penafsiran ini mengindikasikan akan adanya kesatuan tema dalam berbagai ayat yang terletak dalam berbagai surat dalam

mushaf. 70 Pendapat para ulama ini sejalan dengan Darwazah yang mengemukakan

bahwa menafsirkan al-Qur`ân dengan al-Qur`ân merupakan cara yang terbaik dan terotentik untuk memahami al-Qur`ân, implikasinya, intstruksinya, dan bahkan konteks pewahyuannya serta munasabahnya, karena antara bagian-bagiannya terdapat keterikatan dan hubungan yang erat, terutama dalam surar-surat panjang apabila dilakukan penelaahan secara seksama atas urutan turun, topik ayat, uslûb ayat, dan tata urutan surat dalam mushaf. Selanjutnya ia menambahkan bahwa cara penafsiran dalam bentuk ini dapat diterapkan seluas mungkin selama tidak bertolak belakang dengan sisi kosa kata, gaya, perspektif, ordonansi, prinsip, serta media atau instrumen (wasâ`il) yang dikandung ayat. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga para mufassir agar tidak melakukan pemaksaan dalam menafsirkan dan

69 Salâh Abd al-Fattâh al-Khâlidî berpendapat bahwa terdapat enam cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur`ân, yaitu: (1) Penafsirkan al-Qur`ân dengan al-Qur`ân; (2) Menafsirkan al-Qur`ân

dengan al-Sunnah; (3) Menafsirkan al-Qur`ân dengan perkataan Sahabat; (4) Menafsirkan al-Qur`ân dengan perkataan tabi'in; (5) Menafsirkan al-Qur`ân dengan bahasa Arab; dan (6) melalui istimbat maknanya, dalalahnya, dan hokum-hukumnya. Lihat Salâh Abd al-Fattâh al-Khâlidî, Ta`rîf al- Dârisîna bi Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskud: Dâr al-Qalam, t.th.), h. 67

70 al-Khâlidî, Ta`rîf al-Dârisîna bi Manâhij al-Mufassirîn, h. 67-68. Statemen ini di ungkapkan oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, dan dinukil oleh

beberapa ulama tafsir seperti Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya dan al-Suyûtî dalam al-Itqân. Lebih jelasnya ungkapan tersebut lihat Taqiyuddîn Ahmad Bin Abd al-Halîm Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1998), cet. ke-3, h. 84, lihat juga 'Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ` Ismâ'îl bin Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, Jilid I, (t.tpt: Dâr Misr al- Tabâ'ah, t.th.), h. 3.

menspekulasi makna ayat serta membedakan antara penafsiran yang benar dan yang keliru. 71

Lain halnya dengan Syahrûr, meskipun ia mengakui prinsip sebagian ayat al-Qur`ân menafsirkan ayat lainnya-yang dalam prinsip dia dikenal dengan tartîl- akan menghasilkan sebuah penafsiran yang baik dan konsep yang utuh, akan tetapi Syahrûr tidak menerapkannya seluas mungkin sebagaimana pendapat Darwazah, hal ini terlihat dari pandangannya terhadap prinsip tartîl ini dimana ia menyatakan bahwa keharusan menggunakan tartîl hanya berlaku untuk

memahami al-Qur'ân saja, tidak untuk Umm al-Kitâb. 72 Dalam pandangannya ini Syahrûr tidak menjelaskan secara pasti. Padahal jika melihat pada apa yang

dilakukan oleh mufassir lain atau sarjana yang memiliki pandangan yang sama, semisal Fazlur Rahman pernah menerapkannya ketika menafsirkan ayat tentang

poligami yang terbingkai dalam bukunya Mayor Themes of The Qur'an. 73 Maka prinsip ini pun juga bisa diaplikasikan pada Umm al-Kitâb, yaitu ayat-ayat

hukum. Jika ditarik ke dalam ilmu filsafat, maka istilah tartîl atau tematik lebih dikenal dengan istilah holistica. Ia merupakan corak khas dan suatu kelebihan dalam konsepsi filosofis, sebab filsafat berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Sebuah obyek kajian tidak hanya dilihat secara atomistic, yakni secara terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya. Dengan kata lain, pandangan menyeluruh atau juga disebut totalitasi merupakan pandangan terhadap obyek dalam kesinambungannya dalam satu totalitas. Oleh karena itu, Descartes mengatakan bahwa tidak ada kebenaran

71 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 198 72 Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur'ân, hal. 198.

73 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur'ân, terj dari Mayor Themes of The Qur'an oleh Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka: 1996), cet II, hal. 68-75.

terisolasi, melainkan setiap pemahaman dihubungkan dalam suatu pembicaraan menyeluruh. 74