Aplikasi Metodologi Izzah Darwah dalam Penafsiran Surat al-Fâtihah, al- ‘Alaq, al-Ra'd, al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, dan al-Zalzalah

C. Aplikasi Metodologi Izzah Darwah dalam Penafsiran Surat al-Fâtihah, al- ‘Alaq, al-Ra'd, al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, dan al-Zalzalah

Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan metode penafsiran Darwazah yang berdasarkan kronologi pewahyuan dengan berpedoman pada sebuah mushaf yang ditulis oleh Baqdar Oglî. Namun pada kenyataannya-setelah menelaah tafsirnya-ia tidak sepenuhnya mengikuti susunan mushaf yang dipedomaninya. Untuk melihat sejauh mana perbedaan peletakan dan susunan surat yang dilakukan Darwazah, maka penulis mencoba mengelaborasi dan menganalisis metodenya dalam beberapa surat seperti Surat al-Fâtihah, al-‘Alaq, al-Ra'd, al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, al-Zalzalah, al-Falaq, dan al-Nas, dimana surat al-Fâtihah dalam posisi turunnya menempati urutan kelima akan tetapi Darwazah menempatkannya pada urutan pertama dalam tafsirnya, demikian pula dengan surat al-Ra'd, al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, al-Zalzalah, dalam mushaf Baqdar Oglî kelima surat ini masuk kategori Madaniyyah, akan tetapi dalam tafsir Darwazah dimerger kedalam kelompok Makkiyah. Sedangkan al-Falaq, dan al- Nas dalam tafsir Darwazah termasuk dalam kelompok Makkiyah, akan tetapi dalam mushaf Utsmânî standar Indonesia dikelompokkan kedalam kategori Madaniyyah. Oleh karena itu selain membandingkannya dengan mushaf Baqdar Oglî juga akan penulis kaji perbedaannya dengan mushaf Utsmânî standar Indonesia.

96 al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, h.35

1. Surat al-Fâtihah

Darwazah menempatkan al-Fâtihah pada urutan pertama dalam menfsirkan al-Qur`ân. Hal ini selain karena memiliki arti sebagai pembuka, surat tersebut juga al-Fâtihah merupakan induk segala surat dalam al-Qur`ân (umm al- Kitâb) serta merupakan representasi dari seluruh surat dalam al-Qur`ân. Selain itu, al-Fâtihah juga sebagai bacaan wajib (rukn qawli) pertama dalam setiap shalat yang merupakan sisi eksternal al-Fâtihah, dengan posisinya demikian,

surat al-Fâtihah memiliki keutamaan (fadhîlah) khusus dalam shalat. 97 Alasan penempatan ini bukan atas dasar Makkiyah atau Madaniyyah-nya surat, hal ini

karena Darwazah sendiri tidak dapat memastikan salah satu dari keduanya. 98 Disamping itu terdapat riwayat yang menyatakan bahwa surat yang

pertama turun adalah al-Fâtihah, dan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama turun adalah lima ayat pertama dari surat al-'Alaq. Dan kedua pendapat ini disandarkan pada riwayat yang sama-sama memiliki potensi yang kuat untuk menjadi dalil yang akurat, karena memiliki sanad yang valid hingga kepada Rasulullah. Karena keduanya memiliki dalil yang sama-sama kuat, Darwazah pun menggunakan metode al-jam' wa al-taufîq dalam mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Darwazah pun menentukan sikapnya untuk menafrirkan surta al-Fâtihah terlebih dahulu kemudian surat al- 'Alaq dengan berdasarkan pada bahwa surat al-Fâtihah merupakan surat pertama ayatnya turun sekaligus dalam satu waktu.

97 Dalam hal ini Darwazah mengutip sabda Nabi berikut ini untuk memperkuat statemen tersebut.

"Dari Ubadah bin al-Sâmit dari Nabi Saw. besabda, "Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca al- Fâtiha.". al-Bukhari, Sahîh al-Bukhâri, juz III, h. 204, Muslim, Sahîh Muslim,juz II, h. 349, Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, juz II, h. 483, al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmîdzî, juz I, h. 418, al-Nasai, Sunan al-Nasâi, juz III, h.468-469

98 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, h. 287 – 8

Surat al-Fâtihah merupakan surat yang disepakati sebagai representasi kandungan seluruh al-Qur`ân. Surat memiliki banyak kelebihan (fadîlah), yang tidak ada pada surat-surat lainnya. Surat ini juga diletakkan sebagai pembuka al- Qur`ân dan karena itu pulalah surat ini bernama al-Fâtihah yang berarti pembuka. Darwazah menempatkan surat ini pada posisi sebagai surat yang pertama turun sekaligus juga karena beberapa alasan tersebut.

Kaitannya dengan hal tersebut, Al-Suyûthi dalam bukunya Asrâr Tartîb al-Qur`ân, mengatakan kitab suci al-Qur`ân diawali dengan surat al-Fâtihah karena surat tersebut mencakup tujuan-tujuan pokok atau ideal al-Qur`ân, oleh karena al-Fâtihah memiliki banyak nama antara lain umm al-Qur`ân, umm al- Kitâb, dan lain-lain. Dalam hal ini Hasan al-Basri sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyûthi, mengatakan bahwasanya Allah meletakkan (auda’a) ilmu kitab-kitab terdahulu dalam al-Qur`ân, kemudian meletakkan ilmu-ilmu al-Qur`ân dalam al- mufassal, kemudian meletakkan ilmu-ilmu mufassal dalam surat al-Fâtihah. Maka, siapa yang mengetahui maknanya, maka ia bagaikan seorang yang telah mengetahui makna kitab-kitab suci samâwî yang diturunkan oleh Allah sebelum

al-Qur`ân. 99 Selain merefleksikan kandungan al-Qur`ân secara keseluruhan, surat al-

Fâtihah juga sering disinggung oleh para mufassir sebagai barâ'at al-istihlâl 100 dalam al-Qur`ân. Darwazah berasumsi bahwa hal ini pulalah yang mendukung al-

Fâtihah diposisikan sebagai surat pertama yang turun sekaligus secara keseluruhan. Lebih dari itu, al-Fâtihah sama sekali tidak mengindikasikan adanya gambaran atas realita perjalanan dakwah Nabi di awal masa risalahnya. Selain itu

99 http://www.al-mostafa.com 100 Barâ'at al-istihlâl merupakan bagian dari Ilmu Badî' dalam Ilmu Balâghah. Ilmu ini

digunakan untuk membuat redaksi pembicaraan menjadi indah dan mudah dipahami. Sedangkan yang dimaksud ddengan Barâ'at al-istihlâl adalah permulaan yang indah dan mengarah pada maksud sebuah tema pembicaraan. Lihat Ahmad al-Hashimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma'âni wa al-Bayân wa al- Badî', (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 265 digunakan untuk membuat redaksi pembicaraan menjadi indah dan mudah dipahami. Sedangkan yang dimaksud ddengan Barâ'at al-istihlâl adalah permulaan yang indah dan mengarah pada maksud sebuah tema pembicaraan. Lihat Ahmad al-Hashimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma'âni wa al-Bayân wa al- Badî', (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 265

Meskipun Darwazah dalam meletakkan surat ini tidak berdasarkan atas pertimbangan Makkiyah ataupun Madaniyyahnya, akan tetapi jika melihat pada mushaf Utsmânî, surat ini juga diletakkan pada urutan kepertama dan khususunya dalam mushaf Utsmânî standar Indonesia edisi revisi terbaru, surat ini dimasukkan kedalam kelompok surat Makkiyah yang sebelumnya diposisikan

sebagai kelompok Makkiyah wakila Madaniyyah. 102 Walaupun penetapan ini dilakukan jauh setelah masa Darwazah, akan tetapi sejatinya keputusan tersebut

dapatlah dijadikan sebagai salah satu dari sekian pendapat yang dapat memperkuat sikap Darwazah dalam hal ini, karena keputusan forum lajnah ini dilandaskan pada pertimbangan dan dalil yang dipandang kuat dan akurat, disamping pandangan dan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya.

Kesemua apa yang telah dipaparkan diatas kiranya yang menjadi landasan bagi Darwazah untuk meletakkan dan menafsirkan surat al-Fâtihah ini pada urutan pertama dalam tafsirnya. Dan sejauh penelaahan penulis, Darwazah dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan mufassir lainnya dalam meletakkan dan menafsirkan surat ini, ia hanya berbeda dengan mushaf yang dipedomaninya dan mayoritas riwayat tartîb nuzûlî.

Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, jilid I, h. 290 ; ajaran dan tuntunan umum yang dimaksudkan adalah pengajaran kepada kaum muslimin bahwa mereka harus senantiasa memuji, beribadah dan mohon petunjuk dan bimbingan yakni bimbingan ke jalan yang lurus (al-sirâth al- mustaqîm) kepada-Nya, baik didunia maupun diakhirat. Di samping itu juga tersirat tuntunan untuk menyatakan bahwa Tuhan yang diyakini umat Islam adalah Tuhan seraya alam yang tak terbatas rahmat-Nya. Dia-lah yang menguasai hari akhir. Hal ini mengindikasikan akan pengakuan atas ketuhanan-Nya (rubûbiyyah), keluasan rahmat-Nya, tuntunan beribadah dan mohon pertolongan dan hidayah hanya dari-Nya, serta permohonan perlindungan dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai. Lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hâdîts, jilid I, h. 285 & 291

102 Penetapan ini berdasarkan pada keputusan forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.

2. Surat al-'Alaq

Selain surat al-Fâtihah, terdapat surat lain yang menjadi ikon utama dalam kajian mengenai surat atau ayat yang pertama turun yaitu surat al-'Alaq. Beberapa riwayat kuat menyatakan demikian, dan inilah yang menjadi landasan konsesus para ulama untuk menjadikannya sebagai urutan pertama dalam tartîb nuzûlî. Jika tabel di atas dipelajari ulang, hampir seluruh mushaf menempatkannya pada posisi pertama. Alasan penempatan ini berangkat dari riwayat 'Aisyah mengenai lima ayat pertama yang turun di gua Hira sebagai tanda dimulainya keNabian Muhammad. Dimana riwayat 'Aisyah ini mengindikasikan bahwa kelima ayat tersebut turun pada salah satu malam bulan Ramadhan di gua Hirâ, saat sang Nabi sedang beri'tikaf, demikian hasil pengkajian ulang Darwazah

tentang wahyu al-Qur`ân yang pertama turun kepada Nabi. 103 Sebagai sebuah surat yang mengandung beberapa ayat yang pertama

turun, surat al-'Alaq ini berisi tentang dasar dan program dakwah Nabi ke depan, serta sebagai pengumuman misi keNabian Muhammad. Saat itu pulalah ajaran Islam untuk yang pertama kalinya diturunkan kepadanya. Sebagai ajaran yang pertama disampiakan pastilah merupakan ajaran yang sangat vital dan urgen.

103 Riwayat dari 'Aisyah ini adalah:

ىﺮ ﯾ ﻻ نﺎ ﻜﻓ مﻮ ﻨﻟا ﻲﻓ ﺔﻗدﺎﺼﻟا ﺎﯾؤﺮﻟا ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﮫﺑ ئﺪﺑ ﺎﻣ لوأ نﺎﻛ : ﺖﻟﺎﻗ لﺎ ﻗ - ﮫ ﯿﻓ ﺚ ﻨﺤﺘﯿﻓ ءاﺮ ﺣ رﺎ ﻐﺑ ﻖ

ﺤﻠﯾ نﺎ ﻜﻓ ءﻼ ﺨﻟا ﮫ ﯿﻟإ ﺐ ﺒﺣ ﻢ ﺛ ﺢﺒﺼﻟا ﻖﻠﻓ ﻞﺜﻣ تءﺎﺟ ﻻإ ﺎﯾؤر ﺔ ﺠﯾﺪﺧ ﻰ ﻟإ ﻊ ﺟﺮﯾ ﻢ ﺛ ﻚﻟﺬ ﻟ دوﺰ ﺘﯾو ﮫ ﻠھأ ﻰ ﻟإ ﻊ ﺟﺮﯾ نأ ﻞ ﺒﻗ دﺪﻌﻟا تاوذ ﻲﻟﺎﯿﻠﻟا - ﺪﺒﻌﺘﻟا ﺚﻨﺤﺘﻟاو ﻰﻠ ﺻ ﷲا لﻮ ﺳر لﺎ ﻘﻓ أﺮ ﻗا لﺎ ﻘﻓ ﻚ ﻠﻤﻟا هءﺎ ﺠﻓ ءاﺮﺣ رﺎﻏ ﻲﻓ ﻮھو ﻖﺤﻟا ﮫﺌﺠﻓ ﻰﺘﺣ ﺎﮭﻠﺜﻤﺑ دوﺰﺘﯿﻓ أﺮ ﻗا لﺎ ﻘﻓ ﻲﻨﻠ ﺳرأ ﻢ ﺛ ﺪ ﮭﺠﻟا ﻲﻨﻣ ﻎﻠﺑ ﻰ ﺘﺣ ﻲﻨﻄﻐﻓ ﻲﻧﺬﺧﺄﻓ ) لﺎﻗ .( ئرﺎﻘﺑ ﺎﻧأ ﺎﻣ ) ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا

Lihat: Al-Bukhârî, Sahîh Bukhârî, juz I, (Kairo: Dâr al-Hadîth: 2004) no. hadits 3, h. 5.

Seluruh riwayat tentang aransemen kronologi turunnya surat, mendudukkan surat ini sebagai surat yang "tertua". Hal ini karena lima ayat pertamanya merupakan bagian al-Qur`ân yang pertama turun, pendapat ini dipegangi mayoritas ulama tafsir. Selain itu, ayat-ayat berikutnya juga termasuk sederetan ayat yang turun pertama, karena dalam jangka waktu yang tidak terlalu

lama ayat-ayat ini menyusul kelima ayat yang terdahulu tersebut. 104 Asumsi kandungan surat al-'Alaq diatas, menghantarkan Darwazah untuk

membagi surat ini dalam peanfsirannya kedalam dua kelompok, dimana pada kelompok ayat pertama terdiri dari ayat 1-5, dan kelompok kedua ayat-ayat setelahnya. Dalam kelompok ayat pertama, meskipun tidak terdapat perintah secara eksplisit untuk berdakwah, akan tetapi ayat-ayat ini mengindikasikan peringatan dan memberikan persiapan untuk keberlangsungan dakwah Nabi ke

depan. 105 Sedangkan pada kelompok ayat ke dua telah berbicara tentang dinamika

dakwah di awal masa keNabian dan sikap yang harus dilakukan Nabi dalam menghadapi para oposan dakwahnya. Hal ini secara umum tercermin dalam beberapa poin dari kelompok ayat ini, yaitu: (1) Pernyataan tentang perilaku manusia, yang pada umumnya menyukai sesuatu yang berlebihan yang dilatarbelakangi oleh kesombongan, merasa kuat dan tidak butuh bantuan sesamanya. Dan untuk menyikapi hal ini, al-Qur`ân menggunakan uslûb

tandîdî. 106 (2) Peringatan keras bahwa manusia pasti akan dikembalikan kepada

104 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz I, h. 315

Hal-hal yang berkenaan dengan dakwah ini terlihat dalam ayat mengenai Dengan demikian, semakin jelas bahwa surat ini tidak turun sekaligus. Ayat 6 sampai dengan terakhir turun setelah beberapa ayat atau surat lain mendahuluinya.

106 uslûb tandîdî merupakan gaya bahasa yang bernada mengecam sesuatu yang dianggap menyimpang dari yang semestinya. Gaya bahasa seperti ini banyak terjadi, misalnya ketika berbicara

tentang azab. Dalam surat al-'Alaq, uslub ini terdapat dalam ayat 6 dan 7. Menurut al-Suyûthi, ayat ini turun berkenaan dengan perilaku Abu Jahal yang merasa sombong atas kekayaannya, sehingga tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain. Lihat Jalâluddîn 'Abd al-Rahmân bin Abî Bakr al-Suyûtî al- Durr al-Mantsûr, juz VIII, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990), h. 565.

Allah, kesimpulan dari pernyataan ini dilandaskan pada ayat 8 yang menyatakan, (artinya) "Sesungguhnya Hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)." (3) Kecaman

terhadap siapa saja yang menghalang-halangi orang lain mendirikan shalat, 107 padahal ia sendiri sebenarnya sedang berada di jalan yang benar, bahkan juga

menyeru untuk bertakwa. Kecaman ini juga berlaku untuk orang-orang yang mendustakan dakwah. Semua ini adalah sebagai peringatan untuk orang-orang yang berperilaku seperti di atas, ayat yang berbicara mengenai kecaman seperti ini adalah ayat 9-14. Dan untuk menyikapi hal demikian, ayat yang menunjukkan

pada perilaku demikian menggunakan uslûb al-istifhâm al-inkâri. 108 (4) Intimidasi dan peringatan keras untuk para pendusta tersebut dengan menggunakan redaksi

bernada ancaman yang menakutkan (uslûb qâri' qâsim), indikasi terhadap adanya pernyataan ini adalah ayat 15-18. (5) Support untuk Nabi agar tidak merasa takut sama sekali terhadap para pendusta, dan tidak terlalu memedulikan sikap bengis

mereka. Karena, hanya kepada Allah-lah ia harus bersujud dan beribadah. 109

Dalam ayat ini telah disinggung mengenai kata shalat (sallâ). Berdasarkan beberapa riwayat, kata shalat di sini berarti ibadah shalat (makna terminologis). Sedangkan surat ini secara keseluruhan juga diyakini turun pada awal-awal masa kenabian. Hal ini berarti surat ini turun sebelum peristiwa Isra dan Mi'raj, yang diyakini sebagai awal disyariatkannya shalat lima waktu. Dengan demikian, sebagaimana isyarat ayat tersebut, nabi telah sering melakukan shalat, seperti yang dilakukan nabi Ibrahim. Shalat ini dilakuakan secara terang-terangan dalam format atau cara yang baru dan berbeda dari tradisi Jahiliyah. Oleh sebab itu, nabi mendapat perlawanan yang sangat keras dari pemuka Quraisy. Lihat Darwazah, Sîrah al-Rasûl, juz I, h. 152. bandingkan dengan Muhammad al- Khudhari, Nûr al-Yaqîn, (Beirut: Dâr el-Fikr, 2003), h. 35. Dalam sebuah riwayat dari al-Bukhari juga disebutkan mengenai hal ini:

"Dari Aisyah berkata: "Pada awal diwajibkan, shalat dilakukan dalam dua rakaat saja. Kamudian, kemudian ini ditetapkan sebagai (jumlah rakaat) shalat dalam perjalanan (safar).sedangkan shalat mukim (al-hadar), disempurnakan (sesuai dennga rakaat masing-masing)." HR. Bukhari No. 1090. Lihat al-Bukhari, sahîh al-Bukhârî, juz I, h. 279

108 uslûb al-istifhâm al-inkâri (negative question composition) merupakan gaya bahasa bernada pertanyaan, namun maksudnya adalah mengingakri. Nada seperti ini biasanya digunakan

untuk memperingatkan sesuatu melalui sindiran keras. Gaya seperti ini lebih kuat pengaruhnya bagi sasaran daripada sekedar inkar biasa.

109 Keterangan ini dapat di lihat dalam Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz I, 320

3. Surat al-Ra'd

Berdasarkan tabel pada pembahasan sub bab B sebelumnya khususnya yang ditulis oleh akademik muslim, hampir semua mushaf ataupun riwayat mengelompokkan surat al-Ra'd ini kedalam kelompok Madaniyyah, meskipun dalam urutan penomorannya terdapat perbedaan. Kendati surat ini menuai kontroversi mengenai keMakkiyahannya dan keMadaniyyahannya, Darwazah pun memerger surat al-Ra'd ini ke dalam kelompok surat Makkiyah dan menafsirkannya setelah surat al-Mutaffifîn-yang merupakan surat terakhir turun pada periode Mekkah dalam mayoritas riwayat-sebagaimana yang terlihat dalam tafsirnya. Alasan penempatan ini karena kandungan sebagian ayat-ayatnya memerankan periode Mekkah, bukan Madinah. Selain itu, ayat ini sebagaimana beberapa surat Makkiyah lainnya, diawali dengan huruf-huruf mutaqatta'ah, yang merupakan ciri khas yang dimiliki surat-surat periode mekkah.

Dimana ayat-ayat dalam surat ini secara umum mengandung tentang muqaddimah yang sangat menakjubkan akan keagungan Allah dan fenomena alamnya, isyarat akan adanya perdebatan yang terjadi antara Nabi dan orang- orang musyrik. Dalam surat ini juga menjelaskan tentang gambaran ucapan, penentangan, kepongahan dan pengingkaran mereka terhadap risalah yang dibawah oleh Nabi dan adanya hari pembalasan, mereka meminta buktian akan kerasulan Nabi sebagai jawaban terhadap tantangan mereka.

Selain itu, surat ini juga menjelaskan akan bantahan, peringatan, tipu muslihat, perumpamaan, dan pengkomparasian antara orang-orang shaleh dan orang-orang yang memiliki niat yang baik serta akal yang sehat, dengan orang- orang jahat yang memiliki akal yang keras dan hati yang busuk. Contoh perbuatan yang baik dan yang batil, penetapan akan kekekalan perbuatan yang benar dan bermanfaatnya, penjelasan tentang sikap umat terdahulu dan ahli kitab yang Selain itu, surat ini juga menjelaskan akan bantahan, peringatan, tipu muslihat, perumpamaan, dan pengkomparasian antara orang-orang shaleh dan orang-orang yang memiliki niat yang baik serta akal yang sehat, dengan orang- orang jahat yang memiliki akal yang keras dan hati yang busuk. Contoh perbuatan yang baik dan yang batil, penetapan akan kekekalan perbuatan yang benar dan bermanfaatnya, penjelasan tentang sikap umat terdahulu dan ahli kitab yang

Kesemua tema dan gaya pengungkapan yang disebutkan tersebut menunjukkan tema dan gaya ungkapan yang dimiliki atau dengan kata lain tema dan ungkapan merupakan ciri atau kriteria yang terdapat dalam ayat-ayat dari surat Makkiyah.

Dari beberapa riwayat yang kontradiktif dalam mengelompokkan surat ini kedalam Makkiyah ataupun Madaniyyah, adalah riwayat al-Nahhâs dari Ibn 'Abbâs yang menyatakan bahwa surat ini turun di Mekkah, demikian pula riwayat Ibn Mansûr dan Ibn al-Mundzir menyatakan hal yang sama. Dimana riwayat yang dikeluarkan oleh al-Nahhâs dari Ibn 'Abbâs, menurut al-Suyûtî memiliki kredibilitas yang valid, dimana status hadits ini sanadnya jayyid disebabkan

seluruh perawi dalam rentetan sanadnya merupakan orang-orang yang tsiqât. 111 Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa surat al-Ra'd turun di

Madinah adalah riwayat Abû al-Syaikh dari Qatâda dan Ibn Mardaweih dari Ibn 'Abbâs, serta dari Ibn al-Zubair. 112

Pendapat Darwazah diatas juga diperkuat dengan pernyataan mufassir sebelumnya, seperti Ibn 'Abbâs dan al-Bagwî yang menyatakan bahwa al-Ra'd

adalah surat Makkiyah kecuali dua ayatnya 31 dan 43, 113 Muhammad bin Sa'id al- Kalbi, dan al-Tabarsî yang mengutip riwayat dari Ibn 'Abbâs dan 'Atâ`

berpendapat bahwa keseluruhan surat ini adalah Makkiyah, dan ia

110 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz 5, h. 515-555 111 Al-Suyûtî, al-Itqân fi 'Ulûm al-Qur`ân, h. 36 112 Riwayat Abû al-Syaikh dari Qatâda, sebagaimana yang dinukil oleh al-Suyûtî, adalah:

Lebih lanjut lihat: al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz IV, h. 80

Ibn 'Abbâs, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn 'Abbâs, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiyah, 2000), cet. ke-1, h. 261; lihat juga Abî Muhammad al-Husain bin Mas'ûd al-Farrâ` al-Bagwî al-Syâfi'î, Tafsîr al-Bagwî al-Musammâ Ma'âlim al-Tanzîl, Juz III, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiyah, 1993), cet. ke-1, h. 3

Selain Sa'id al-Kalbi dan al-Tabarsî terdapat pula ulama kontemporer yang sependapat dengan pandangan Darwazah, seperti Sayyid Qutb, yang meyakini bahwa surat ini adalah Makkiyah karena mengingat kandungannya yang bernada keras, baik dari segi temanya, cara penyampaiannya, ataupun situasi umumnya,

seperti layaknya surat-surat Makkiyah lainnya. 115 Hal senada juga diungkapkan oleh Ibn 'Âsyûr bahwa jika melihat pada sisi maknanya, selaras dengan langgam

makna ayat-ayat Makkiyah, yakni makna-makna tersebut menunjukkan tentang keEsaan Tuhan dan ancaman terhadap kaum musyrikin. 116

Dalam mushaf Utsmânî standar Indonesia, setelah melalui sidang dan mempertimbangkan beberapa dalil yang dipandang kuat dan tsiqah, lajnah pentashihan al-Qur`ân pun menetapkan melalui sidang pleno bahwa surat al-Ra'd

dimasukkan kedalam kelompok surat Makkiyah. 117 Agaknya Darwazah dalam menentukan letak dan pengelompokan terhadap

surat ini dilandaskan pada kandungan dan uslub (gaya bahasa) yang tercermin dalam ayat-ayatnya, yang kemudian di perkuat oleh riwayat yang hukumnya tsiqa serta beberapa pendapat mufassir sebelumnya yang mengelompokkannya dalam kelompok surat Makkiyah.

4. Surat al-Hajj

Abû 'Alî al-Fadl Bin al-Hasan al-Tabarsî, Majma' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur`ân, Jilid IV, Juz XIII, (Beirut-Lebanon: Mansyûrât Dâr Maktabah al-Hayâh, t.th.), h. 135

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur'ân, Jilid IV, Juz XIII, (Beirut, Dâr al-Shorouk, 1965), h. 2039. lihat juga Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah al-Qur`ân, terj: Thaha Musawa (jakarta: al-Huda Press, 2007), h. 86.

Muhammad al-Tâhir Ibn 'Âsyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XIII, (Tunis: al-Dâr al- Tûnisiyah li al-Nasyr, t.th.), h. 76

117 Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.

Sebagaimana dengan surat sebelumnya, surat al-Hajj pada awalnya diposisikan sebagai surat Madaniyyah dalam urutan turun surat, dan termasuk dari salah satu surat yang diperselisihkan kedudukannya apakah masuk dalam kelompok Makkiyah ataukan Madaniyyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa surat ini Madaniyyah dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa surat ini Makkiyah. Kelompok yang berpegang pada pendapat pertama berpegang pada riwayat yang dinukil oleh al-Suyûtî yang dikeluarkan oleh Ibn Mardawaih melalui al-'Aufî dari Ibn 'Abbâs, juga melalui Ibn Juraij dan 'Utsmân dari 'Atâ` dan Ibn 'Abbâs, dan melalui Mujâhid dari Ibn al-Zubair, yang menyatakan bahwa surat al-

Hajj adalah Madaniyyah. 118 Adapun pendapat kedua didasarkan pada riwayat al- Nuhhâs dari Ibn 'Abbâs, yang oleh al-Suyûtî hadits ini sanadnya Jayyid karena

semua perawinya merupakan orang-orang yang memiliki kredibilitas tsiqah. 119

Dalam Mushaf Utsmânî standar Indonesia, setelah melalui berbagai pertimbangan terhadap riwayat dan pendapat ulama yang ada, sidang pleno Lajnah Pentashihan al-Qur`ân menetapkan bahwa surat ini masuk dalam

kelompok Madaniyyah. 120 Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa pada surat ini terjadi tumpang tindih antara Madaniyyah dan Makkiyah, lebih lanjut

Jumhur ulama menyatakan bahwa sebagian besar ayatnya turun di Madinah. 121

118 Al-Suyûtî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Jilid I, h. 26 119 Riwayat yang dimaksud berikut ini:

Lebih lengkapnya lihat Ahmad bin Muhammad bin Ismâ'îl al-Murâdî Al-Nuhhas Abû Ja'far, al-Nâsikh wa al-Mansûkh, Tahqîq Muhammad 'Abd al-Salâm Muhammad, (Kuwait: Maktabah al-Falâh, 1408), cet. ke-1, h. 561

120 Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.

121 Al-Suyûtî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Jilid I, h. 26

Namun oleh Darwazah dalam tafsirnya, surat ini diposisikan pada urutan ke 88 setelah surat al-Ra'd. Darwazah dalam hal ini cenderung mengikuti pola susunan kronologis surat yang juga diyakini oleh beberapa mufassir klasik seperti al-Bagawî, al-Naisâbûrî, al-Zamakhsyari, al-Tabarsi, al-Khâzin, al-Baidawi dan al-Nasafi yang berpendapat bahwa surat ini adalah surat Makkiyah dengan pertimbangan sisi gaya bahasanya. Hanya saja, beberapa di antara mereka menjadikan beberapa ayatnya Madaniyyah. Diantara ayat-ayat yang dianggap Madaniyyah adalah ayat 19-22,-dalam riwayat lain yaitu ayat 19-24,-kemudian

ayat 38-41, 52-55, dan 58-60. 122 Pengecualian beberapa ayat diatas kedalam Madaniyyah, bukannya tidak

beralasan, akan tetapi didasarkan pada beberapa riwayat. Ayat 19-22 misalnya didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Syaikhâni (Bukhari dan Muslim) dari Ali bin Abi Talib yang mengukuhkan bahwa ayat ini adalah Madaniyyah, dimana riwayat ini secara jelas menyatakan bahwa hadits ini turun

pada peperangan Badar. 123 Sayyid Qutb dalam komentarnya terhadap ayat 38-41, ia mengatakan

bahwa ayat ini termasuk dalam kelompok Madaniyyah karena memuat masalah dibolehkannya berperang dan qisas, dimana kedua hal ini tidak diperbolehkan oleh Nabi kecuali pasca hijrah ke Madinah dan pasca berdirinya Daulah Islamiyah

122 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 7-8. 123 Abû Ja'far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî al-Musammâ Jâmi' al-Bayân fî

Ta'wîl al-Qur`ân, Jilid 9, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1999), cet. ke-3, h. 123, adapun bunyi hadits yang dimaksudkan disini adalah:

Lihat: Muhammad bin Ismâ'îl Abû Abdullah al-Bukhârî al-Ju'fî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. ke-3, h. 1769, dengan nomor hadits 4467. Lihat juga Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Nîsâbûrî, Sahîh Muslim, Juz 4, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-'Arabî, t.th.), h. 2323, dengan nomor hadits 3033 Lihat: Muhammad bin Ismâ'îl Abû Abdullah al-Bukhârî al-Ju'fî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. ke-3, h. 1769, dengan nomor hadits 4467. Lihat juga Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Nîsâbûrî, Sahîh Muslim, Juz 4, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-'Arabî, t.th.), h. 2323, dengan nomor hadits 3033

Madaniyyah. 125 sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini turun dalam perjalanana hijrah

ke Madinah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hassâr. Dengan demikian hadits ini secara tidak langsung menguatkan pendapat bahwa ayat ini Madaniyyah.

Argumentasi mengenai diturunkannya ayat 52-55 ini di dasarkan pada sebuah riwayat dari Ibn 'Abbâs yang mengisahkan tentang kisah fiktif Garâniq

yang terjadi pada saat perang badar. 126 Mengenai kisah Garâniq yang dimaksudkan dalam riwayat tersebut menuai kontrofersi, karena kisah tersebut

merupakan bagian dari kisah-kisah buatan. 127 Sedangkan ayat 58-60, sebagian ulama tafsir berpendapat bahwa ketiga

ayat tersebut turun pada waktu orang-orang Muslim berhadapan dengan kaum musyrikin tatkala mereka (kaum Muslim) dalam perjalanan hijrah yang bertepatan dengan bulan-bulan yang diharamkan, dan mereka terlibat pertempuran untuk membela diri setelah kaum musyrik mengabaikan perjanjian yang telah disepakati bersama untuk tidak berperang dalam bulan-bulan yang diharamkan. Dalam hal

124 Komentar dan pendapat Sayyid Qutb ini dapat dilihat dalam: Sa'îd Hawwâ, al-Asâs fî al- Tafsîr, Jilid VII, (Kairo: Dâr al-Salâm li al-Tabâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî' wa al-Tarjamah, 1985),

cet. ke-1, h. 3519 125 Adapun lafazh hadits yang dimaksudkan adalah:

Muhammad bin 'Îsâ al-Tirmidzî al-Sulamî, al-Jâmi' al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turats al-'Arabî, t.th.), h. 325, dengan nomor hadits 3171,

Mengenai riwayat yang menerangkan hal tersebut dapat di lihat dalam: Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Tabarî, al-Mu'jam al-Kabîr, Juz XII, (Irak: Maktabah al-'Ulûm wa al-Hikam, 1983), dengan nomor hadits 12450, h. 53

127 Hâdi Ma'rifat, Sejarah al-Qur`ân, h. 86 127 Hâdi Ma'rifat, Sejarah al-Qur`ân, h. 86

Akan tetapi menurut Darwazah ketika mengomentari pendapat para ulama tafsir diatas, dengan melihat pada sisi gaya bahasanya, ia menyatakan bahwa ayat 19-24 misalnya, lebih menunjukkan pada Makkiyah daripada Madaniyyahnya, dengan alasan hadits yang diriwayatkan oleh al-syikhâni ini, tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan riwayat tersebut dengan jelas. Sedangkan jika melihat pada gaya bahasa dan karekter ayat, jelas menunjukkan keMakkiyahan ayatnya. Selain itu dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan akan ancaman siksaan di akhirat kelak serta hadits yang menjelaskan ayat tersebut mengindikasikan akan

fenomena akhirat dan itu semua adalah kodrat Allah Swt. 129 Demikian juga dengan ayat 52-55, ia mengatakan bahwa ayat-ayat

tersebut berhubungan erat dengan ayat sebelumnya, dimana ayat sebelumnya mengisahkan tentang sikap, pengingkaran dan tantangan kaum kafir terhadap ajaran yang dibawah oleh Nabi, kemudian diakhiri dengan penetapan atas tugas Nabi sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat ini sebagai penjelas bahwa setiap Nabi dan Rasul yakin dengan ajaran yang dibawahnya dapat menjadikan ummatnya merasa tenang dan tentram. Kemudian ayat setelahnya juga memperkuat pendapat ini, dimana ayat setelahnya mengindikasikan bahwa ayat ini turun sebagai perintah untuk berhijrah ke

128 Salah satu hadits yang berkaitan dengan turunnya ayat 58-41 ini adalah:

Lebih jelasnya riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan turunnya ayat dapat di lihat dalam: Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, h. Juz III, h. 311

129 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 31-33

Madinah setelah Nabi dan pengikutnya mendapatkan tekanan dari kaum kafir quraisy. 130

Sedangkan ayat 38-41 dan 58-60 lebih cenderung mengarah kepada Madaniyyah, namun menurutnya terdapat kemungkinan juga termasuk ayat Makkiyah, terutama ayat 38-41, meskipun terdapat riwayat yang mengindikasikan ayat ini adalah Madaniyyah, akan tetapi menurut Darwazah riwayat tersebut juga mengindikasikan akan kaum musyrik Quraisy yang memerangi kaum Muslim ketika di Mekkah. Surat ini juga mengisyaratkan tentang orang-orang yang melakukan hijrah di jalan Allah kemudian mereka mati ataupun dibunuh. Dan jika memang termasuk ayat Madaniyyah, maka konteks ayat seharusnya diletakkan sesuai dengan konteks ayat Madaniyyah yang menerangkan sikap orang-orang kafir setelah hijrah. Darwazah juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan keluarnya mereka dari tempat tinggal mereka disini adalah hijrahnya mereka ke

Habasyah disebabkan adanya tekanan dan penganiayaan dari orang-orang kafir. 131 Adapun ayat 25-27 memang sudah jelas menunjukkan Madaniyyah,

bahkan hampir tidak ada indikasi Makkiyahnya. Walau bagiamanapun juga, Darwazah tetap menganggap bahwa mayoritas bahkan hampir semua gaya bahasa

dan kandungan ayatnya menunjuk pada Makkiyah. 132 Dalam hal ini agaknya Darwazah tetap mempertahankan kesatuan surat

dengan tidak memedulikan status ayat lain yang berbeda, dengan alasan selama hal itu tidak banyak berpengaruh kepada ayat-ayat lainnya, maka tidak dipakai oleh Darwazah sebagai pertimbangan dalam memposisikan surat tersebut kedalam kelompok Makkiyah ataupun Madaniyyah.

Alasan penempatan seperti ini oleh Darwazah lebih diperkuat lagi dengan terdapatnya dua ayat yaitu ayat 18 dan 77 yang termasuk ayat sajadah yang

130 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 65-66 131 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 55-59 132 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 8 130 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 65-66 131 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 55-59 132 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 8

sajadah. Riwat-riwayat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abû Dawud, al-Tirmidzî, dan al-Hâkim dari 'Uqbah bin 'Amir yang maksud haditsnya: 'Uqbah bin 'Amir berkata kepada Nabi bahwa dalam surat al-Hajj terdapat dua ayat sajadah, dan Nabi mengiyakannya, akan tetapi menurut syaikh al-Albâni

hadits ini statusnya dha'îf. 134 Dan masih terdapat hadits senada yang diriwayatkan oleh Ahmad dari jalan yang sama dan Abu Bakr al-Ismâ'îlî dari jalan Abî al-

Jahm. 135

5. Surat al-Rahmân

Surat al-Rahmân juga termasuk dari salah satu surat-surat yang diperselisihkan akan kedudukannya sebagaimana dua surat sebelumnya. Sayyid Qutb dengan melihat pada nada dan susunan suratnya jelas termasuk surat Makkiyah, sedangkan dari sisi permasalahan yang dikandungnya sama dengan

permasalahan yang terkandung dalam surat al-Ra'd. 136 Dalam Mushaf Utsmânî standar Indonesia edisi revisi terbaru, surat ini juga dikelompokkan dalam

kelompok surat Makkiyah. 137

133 Dalam pandangan Darwazah bahwa surat yang mengandung ayat-ayat sajdah adalah surat- surat Makkiyah saja. Hal ini karena pada periode Mekkah, banyak sekali terjadi perlawanan dan

perdebatan sengit yang dihadapi rasul dari kaum kafir Quraisy. Pada periode Mekah, juga terdapat pertempuran sengit antara syirik dan tauhid, iman dan kufur, nabi beserta sahabatnya dengan kaum kafir Quraisy. Hal ini juga menunjukkan adanya perintah segera sujud kepada Allah setiap kali menghadapi perlawanan orang-orang kafir. Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz I, h. 351

134 Sulaiman bin al-Asy'ab Abû Dâwud al-Sajastânî al-Azadî, Sunan Abî Dâwud, juz 1, (t.tp.: Dâr al-Fikrî, t.th.), h. 446, dengan nomor hadits 1402,

Abî al-Fidâ` Ismâ'îl Ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasqî, Tafsîr Ibn Katsîr, Juz III, (Beirut- Lebanon: Dâr al-Fikr, 1986), h. 212 & 237

136 Sayyid Qutb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid VI, Juz 27, h. 3443 137 Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma

Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.

Demikian pula dengan Jalâluddin al-Suyûtî menyatakan bahwa keseluruhan ayat dari surat al-Rahmân ini termasuk dalam kelompok surat Makkiyah, dan pendapat ini juga dipegangi oleh jumhur ulama. Pernyataan al- Suyûtî ini disandarkan pada dua riwayat yang dinukil dari Mustadrak al-Hâkim

dan Musnad Ahmad. 138 Dimana status hadits ini dihukumi sahih menurut al-

syaikhâni 139

Selain riwayat diatas, terdapat pula riwayat lain yang menjelaskan akan keMakkiyahan surat diantaranya, riwayat yang dikeluarkan Hasan, 'Urwah bin al- Zubair, Ikrimah, 'Atâ` dan juga Ibn 'Abbâs, namun dalam riwayat Ibn 'Abbâs ini

terdapat satu ayat yang dikecualikan yaitu: 140 " ضرﻷاو تاﻮﻤﺴﻟا ﻲﻓ ﻦﻣ ﮫﻟﺄﺴﯾ "

. Akan tetapi pendapat demikian menuai penolakan dengan tiga alasan,

pertama, dengan berdasarkan pada nada dan susunan surat tidak cukup dijadikan bukti untuk menentukan Makkiyah atau Madaniyyahnya sebuah surat. Kedua, riwayat Hakim yang dijadikan dasar tersebut tidak memiliki kepastian bahwa surat yang dimaksud adalah Makkiyah. Dan ketiga, riwayat-riwayat urutan turunnya surat mengindikasikan kuatnya validitas bahwa surat ini adalah

138 Al-Suyûtî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Jilid I, h. 27 139 Berikut riwayat yang menjadi dasar keMakkiyahan surat ini:

lihat Al-Tirmidzî, al-Jâmi' al-Sahih Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Tahqîq Ahmad Muahammad Syâkir et.al., (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turats al-'Arabî, t.th.), h. 399, nomor hadits 3291, dan Muhammad bin 'Abdullah Abû 'Abdullah al-Hâkim al-Nîsâbûrî, al-Mustadrak 'Alâ al-Sahîhain, Juz 2, Tahqîq Mustafâ 'Abd al-Qâdir 'Atâ` (Bairut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990), cet. ke-1, h. 515, dengan nomor hadits 3766

140 Abî 'Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurtubî, al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân, Juz XVII, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-'Arabî Li al-Tabâ'ah wa al-Nasyr, 1969), h. 151; lihat juga Abî al-

Hasan 'Alî bin Muhammad bin Habîbâ Li Mâwardî al-Basrî, al-Nuktu wa al-'Uyûn Tafsîr al-Mawârdî, Juz V, (Beirut-Lebanon: D6ar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), h. 422

Madaniyyah. 141 Bagi golongan yang berpendapat bahwa surat ini Madaniyyah, agaknya didasarkan pada sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn al-Darîs, ibn

Mardawaih, dan al-Baihaqi dalam kitab al-Dalâil dari Ibn 'Abbâs, yang menyatakan bahwa surat ini turun di Madinah. Riwayat ini dikutip oleh al-Suyûtî

dalam tafsirnya. 142 Pernyataan Sayyid Qutb diatas sejalan dengan pendapat Darwazah yang

memasukkan surat ini dalam kelompok Makkiyah dengan pertimbangan uslub (gaya bahasanya) yang mencerminkan pemaparan umum tentang dakwah Nabi sebagimana surat-surat yang turun pada masa awal keNabian, seperti al-A'lâ, al- Syams, al-Lail, al-Qâri'ah, dan al-Mursalât, dan meletakkan surat ini dalam tafsirnya setelah surat al-Hajj.

Selain itu, surat ini juga memuat tentang peringatan akan nikmat-nikmat Allah dan memperlihatkan keagungan-Nya melalui keberadaan dan konsistensi alam semesta, dan pertolongan-Nya atas manusia. Surat ini juga menjelaskan akan ancaman dan peringatan bagi orang-orang yang selalu mendustakan Agama, berita gembira bagi orang-orang yang bertakwa, serta penjelasan tentang balasan bagi golongan pertam yaitu orang-orang yang selalu mendustakan Agama yang berupa azab yang pedih di akhirat dan ganjaran bagi golongan kedua-orang-orang yang bertakwa-berupa nikmat dan kemewahan. Asumsi Darwazah ini juga diperkuat dengan riwayat Ibnu 'Abbâs dan lainnya sebagaimana yang

diungkapkan oleh beberapa mufassir klasik. 143

6. Surat al-Insân

Surat al-Insân ini tidak jauh berbeda dengan surat-surat yang telah dibahas sebelumnya yang menuai kontroversi akan posisinya sebagai surat Makkiyah

Hâdî Ma'rifat, Sejarah al-Qur`ân, h. 87; lihat juga karyanya dengan judul al-Tamhîd fî 'Ulûm al-Qur`ân, Juz I, (t.tp.; Mu`assasah al-Nasyr al-Islâmî, 1416), cet. ke-3, h. 151

142 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz VI, h. 189 143 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 89 142 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz VI, h. 189 143 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 89

berpendapat bahwa surat ini termasuk surat Makkiyah. 144 Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa surat ini adalah Makkiyah berdasarkan tema dan

konteks ayat-ayatnya, dimana tema dan konteks ayat-ayatnya tidak jauh berbeda dengan tema dan konteks dalam surat-surat awal turun di Mekkah, seperti surat al-Qalam, surat al-Muzzammil, dan surat al-Muddatstsir. sedangkan riwayat yang cenderung mengategorikannya dalam surat Madaniyyah menurutnya da'îf dan

kemungkinan besar tidak dapat diakui kevaliditasannya. 145 Menurut riwayat al-Nahhâs dari Ibn 'Abbâs dan Ibn Mardawaih dari Ibn

al-Zubaer surat ini turun di Mekkah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Suyûtî dalam tafsirnya. 146 Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa surat ini

Madaniyyah, 147 demikian pula dalam Mushaf 'Utsmânî standar Indonesia mengelompokkannya kedalam surat-surat Madaniyyah. 148 akan tetapi dalam

sumber lain yaitu dalam tafsir Ibn 'Atiyah, menerangkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa keseluruhan ayat dalam surat al-Insân adalah Makkiyah. 149

Lain halnya dengan pendapat al-Hâfizh al-Haskânî, menurutnya sebagian orang-orang Nasîbî (para pembenci ahl al-bait) mengingkari keutamaan ahl al- bait dengan alasan bahwa para mufassir bersepakat bahwa surat ini adalah

144 Hâdî Ma'rifat, al-Tamhîd fî 'Ulûm al-Qur`ân, Juz I, h. 154

Mengenai penjelasan tentang tema dan konteks yang dimaksud oleh Sayyid Qutb, lebih lanjut lihat: Sayyid Qutb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid 6, Juz 29, h. 3777; selain Sayyid Qutb terdapat pula mufassir lain seperti al-Nasafî yang berpendapat bahwa surat al-Insân adalah Makkiyah. Lihat al- 'Allâmah Abî al-Barakât 'Abdullah bin Ahmad bin Mahmûd al-Nasafî, Tafsîr al-Nasafî, Juz III, (t.tp.: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.), h. 316

146 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz VI, h. 480; 147 al-Qurtubî, al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân, Juz XIX, h. 118 148 Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma

Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007. 149 Abû Muhammad 'Abd al-Haq bin Ghâlib bin 'Atiyah al-Andalusî, al-Muharrar al-Wajîz fî

Tafsîr al-Kitâb al-'Aziz, Tahqîq al-Sayyid 'Abd al-'âli al-Sayyid Ibrâhîm, (Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabî, t.th.), cet. ke-2, h. 229

Makkiyah. Dari pendapat ini, muncul sebuah pertanyaan apa alasan yang menjadi dasar mereka untuk mengklaim bahwa pendapat tersebut adalah "kesepakatan para ulama"? padahal, kebanyakan ulama menganggap surat tersebut adalah surat Madaniyyah yang turun setelah surat al-Rahmân dan sebelum surat al-Talâq

sesuai dengan tartîb nuzûlî surat. 150 Bagi mereka yang berpendapat bahwa surat al-Insân adalah surat

Makkiyah, mereka mendasarkan pendapat mereka pada riwayat al-Nuhhâs dari Ibn 'Abbâs dan riwayat Ibn Mardawaeh dari Ibn al-Zubair. 151 Sedangkan ulama

ataupun mufassir yang berpendapat bahwa surat al-Insân adalah surat Madaniyyah didasarkan pada riwayat Ibn al-Darîs, Ibn Mardawaeh dan al-Baihaqî

dari Ibn 'Abbâs, serta riwayat dari Mujâhid dan Qatâdah. 152 Agaknya Darwazah dalam surat ini memiliki pandangan yang sama

dengan Sayyid Qutb, Darwazah mengatakan bahwa karakter Makkiyah dalam ayat-ayatnya lebih menonjol dibandingkan dengan karakter Madaniyyahnya. Dimana surat ini secara umum mengandung penetapan dan peringatan akan penciptaan manusia setelah tiada dan memberinya akal dan kebebasan sebagai pengetahuan empirisnya. Peringatan terhadap orang-orang kafir dan pujian terhadap orang-orang mukmin serta penjelasan akan tempat kembali mereka di akhirat dengan penggambaran yang menakjubkan yang dijanjikan bagi orang- orang mukmin. Intsruksi (perintah) untuk bertakwa kepada Allah dan berbelas kasihan terhadap orang-orang miskin, penetraman hati Nabi, dan pemberitahuan

150 Syawâhid al-Tanzîl, h. 310-315, lihat juga Hâdî Ma'rifat, al-Tamhîd fî 'Ulûm al-Qur`ân, Juz I, h. 154

Untuk riwayat yang dikeluarkan oleh al-Nuhhâs dari Ibn 'Abbâs dapat dilihat dalam: al- Nuhhâs, al-Nâsikh wa al-Mansuûkh, h. 415

152 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz VI, h. 480; lihat juga al-Tabarsî, Majma' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur`ân, Jilid VI, Juz 29, h. 135 152 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz VI, h. 480; lihat juga al-Tabarsî, Majma' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur`ân, Jilid VI, Juz 29, h. 135

Atas dasar inilah kiranya Darwazah memerger surat ini kedalam kelompok Makkiyah sebagaimana surat-surat sebelumnya dan meletakkannya setelah surat al-Rahmân dan sebelum surat al-Zalzalah dalam tafsirnya. Peletakan seperti ini- antara surat al-Rahmân dan al-Zalzalah oleh Darwazah didukung oleh beberapa riwayat tartîb nuzûlî yang menjelaskan surat al-Insân ini turun setelah surat al- Rahmân, sebagaimana yang terlihat dalam dalam susunan Mushaf Baqdar Oglî,

Mushaf Fuâd, al-Suyûtî, al-Khâzin, Ibn 'Abbâs, al-Husein, dan Ikrimah. 154

7. Surat al-Zalzalah

Selain keempat surat yang telah dibahas sebelumnya, surat al-Zalzalah ini termasuk surat kelima yang dimerger oleh Darwazah ke dalam surat Makkiyah, dengan alasan yang sama dimana ayat-ayat surat ini karakter Makkiyah yang lebih menonjol dan semakin menguatkan keMakkiyahan surat ini. Dan jika surat al-Zalzalah dibandingkan dengan surat al-Qâri'ah, maka akan ditemukan

kesamaan dalam hal Makkiyahnya, dan turunnya diawal. 155 Oleh sebagian ulama memandang bahwa surat al-Zalzalah termasuk dari

sekian surat yang masih diperselisihkan posisinya antara Makkiyah dan Madaniyyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa surat ini adalah surat Makkiyah, namun jika melihat pada riwayat tartîb nuzûlî, maka tidak akan selaras atau sejalan dengan pendapat tersebut. Demikian pula jika melihat pada sebagian tafsir

153 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz VI, h. 105 154 Lihat tabel pada sub bab A 155 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz VI, h. 119 153 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz VI, h. 105 154 Lihat tabel pada sub bab A 155 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz VI, h. 119

Pendapat yang menyatakan Madaniyyah, didasarkan pada riwayat dari Ibn 'Abbâs, Qatâdah, Muqâtil, dalam tafsir al-Suyûtî dikeluarkan oleh Ibn Mardawaeh dari Ibn 'Abbâs dan Qatâdah. Sedangkan pendapat yang kedua didasarkan pada

riwayat Ibn Mas'ûd, 'Atâ`, Jâbir, al-Dahhâk, dan Ibn 'Abbâs. 157 Berbeda dengan Sayyid Qutb, setelah menyatakan bahwa dalam Mushaf

dan sebagian riwayat surat ini adalah Madaniyyah, dan terdapat sebagian riwayat lain yang menyatakan bahwa surat ini adalah Makkiyah, Sayyid Qutb pun menentukan sikapnya dan mentarjih riwayat yang menerangkan surat ini adalah Makkiyah, karena gaya bahasa penyampain dan temanya menguatkan pendapat

kedua yaitu Makkiyah. 158 Kemudian Sayyid Qutb memberikan penjelasan akan inti ayat-ayat yang

di kandung surat ini, bahwasanya surat ini mensinyalir akan terjadinya goncangan kuat terhadap hati (qalb) yang terlena, dimana peringatan ini memiliki kesesuain dalam hal tema, pandangan dan penempatan kata-katanya. Tatkala sangkakala menggoncangkan bumi dan seisinya, mereka seakan-akan baru tersadar dari kelalaian dan kaget merekapun bertanya-tanya hingga mereka melihat hasil perhitungan, timbangan dan pahala dari perbuatan mereka selama didunia dalam waktu yang sangat singkat.

Apa yang dilakukan oleh Sayyid Qutb ini juga dilakukan oleh Darwazah ketika memerger surat al-Zalzalah kedalam kelompok surat Makkiyah. Ia melihat tema yang dikandung ayat-ayat dalam surat ini memiliki kesamaan tema dengan

156 Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.

Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz VI, h. 645; lihat juga Ibn 'Atiyah, al-Muharrar al-Wajîz, Jilid 15, h. 533; al-Qurtubî, al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân, Juz 20, h. 146

158 Sayyid Qutb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid VI, Juz 30, h. 3954 158 Sayyid Qutb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid VI, Juz 30, h. 3954

memberi peringatan agar tidak melakukan kejahatan. 159 Hanya saja ketika Darwazah mengelompokkan surat ini sebagai surat

Makkiyah, tidak didukung dengan riwayat yang menyatakan surat tersebut Makkiyah. Karena mayoritas riwayat tartîb nuzûlî menyebutkan bahwa surat al-

Zalzalah adalah surat Madaniyyah. 160 Darwazah hanya menyatakan bahwa terdapat beberapa mufassir seperti al-Bagwî dan Ibn Katsîr yang meriwayatkan

bahwa surat al-Zalzalah adalah Makkiyah, 161 akan tetapi setelah penulis melakukan penelaahan terhadap tafsir yang dirujuk oleh Darwazah dalam hal ini,

mufassir tersebut hanya mengutip beberapa riwayat yang menerangkan riwayat yang menyatakan bahwa surat ini Makkiyah dan beberapa riwayat yang menyatakan keMadaniyyahannya.

8. Surat al-Nasr

Di atas, telah dijelaskan surat-surat yang pertama turun sebagai representasi surat-surat Makkiyah. Jika surat al-Fatihah dianggap sebagai pendahuluan atau bahkan miniatur kandungan al-Qur'ân, dan surat al-'Alaq sebagai pertanda awal keNabian dan sarat akan gambaran dakwah ke depan, maka pada bahasan kali ini difokuskan pada surat penutup al-Qur'ân.

Adalah surat al-Nasr yang diyakini sebagai surat yang terakhir turun. Surat ini sebagai representasi dari penafsiran surat-surat Madaniyyah. Hal ini karena surat ini adalah yang terakhir.

159 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz VI, h. 118 160 Mengenai riwayat yang dimaksudkan lebih lanjut dapat dilihat dalam: al-Suyûtî, al-Itqân fî

'Ulûm al-Qur`ân, h. 36-40 161 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz VI, h. 118

Sebagai surat yang terakhir turun, tentunya telah melewati berbagai surat dan fenomena yang beragam. karena telah melewati berbagai surat, tentunya surat ini adalah yang paling penting karena sarat akan pesan terakhir sebagai pusaka atau intisari al-Qur`ân. Jika al-Fatihah sebagai surat pembuka dianggap sebagai pendahuluan, maka tentunya surat ini haruslah sebagai penutupnya. Jika al- fâtihah dijadikan sebagai refleksi barâ'at al-istihlâl-nya al-Qur`ân, maka al-Nasr

adalah Barâ'at al-maqtha'-nya. 162 Jika kandungan al-Fatihah mencakup isi al- Qur`ân secara keseluruhan, maka surat al-Nasr harus memberikan kesimpulan

besar sebagai intisarinya. Dengan demikian, surat al-Nasr juga harus dijadikan sebagai ikon utama dalam memahami kandungan al-Qur`ân, terutama sekali jika hendak diselaraskan dengan bîat al-rasûl.

Dengan demikian, untuk mengetahui apa sebenarnya isi surat ini dan mengukur sejauh mana aplikasi metodologi Darwazah dalam menafsirkan ayat- ayat al-usûl, penulis memfokuskan kajian ini pada surat al-Nasr.

Secara global, surat al-Nasr ini memberikan sinyalemen kepada Nabi akan sebuah peristiwa yang dan apa yang harus dilakukannya ketika peristiwa itu telah terjadi. Secara literal, surat ini mengandung perintah kepada Nabi untuk bertasbih kepada Tuhannya. Perintah ini dilakukan dengan cara memberikan puji-pujian dan mohon ampunan kepada-Nya ketika pertolongan dan kemenangan Allah telah datang. Peristiwa ini ditandai dengan munculnya gerakan masuk Islam masal atau yang lazim disebut dengan Fath Mekkah.

Menurut versi mushaf yang dipedomani Darwazah, surat ini menepati urutan terakhir setelah suat al-Taubah. Namun, dalam beberapa riwayat yang juga menjadi dasar bagi versi-versi lain, surat ini diposisikan pada urutan ke 16, 17

Dalam disiplin ilmu Balaghah, Barâ'at al-maqtha' disebut juga sebagai hasan al-intihâ atau penutup yang bagus dan indah. Lihat Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah, h. 266

ulama selalu tidak pernah lepas dari sebuah riwayat populer dari Ibnu 'Abbâs, yang menafsirkan ayat ini sebagai berita duka bagi umat Islam, karena Rasul akan

wafat. 165 Menurut beberapa riwayat, surat ini turun tepat pada saat hari-hari

Tasyrîq, di Mina pada saat haji widâ'. Saat itu usia Nabi hanya tinggal 70 hari lagi. Karena situasi inilah, surat ini juga dinamakan dengan surat al-taudî'i

(perpisahan). 166 Riwayat lain juga menyatakan hal serupa. Riwayat Aisyah menyebutkan

bahwa pada akhir hayatnya, Rasulullah selalu membaca subhânaka Allâhumma astaghfiruka wa atûbu ilaik. Lalu Aisyah bertanya, "Ya Rasul, kalimat apa yang selalu anda ucapkan akhir-akhir ini?" rasul pun menjawab, "telah diberitahukan kepadaku pertanda kemenangan ummatku. Jika aku melihat itu telah terjadi, maka aku harus selalu melantunkan kalimat-kalimat tersebut." Lalu Rasul membaca

163 Untuk lebih jelasnya, perhatikan kembali tabel di atas.

Al-Baghawi juga memasukkan surat dalam kategori Makkiyah.Lihat Abu Muhammad al- Husain bin Mas'ud al-Baghawi, Ma'âlim al-Tanzîl, (Riyad, Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 1997), juz VIII, h. 565

Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa pada suatu hari, Ibnu 'Abbâs diajak oleh Umar bin al-Khatthab berkumpul bersama para veteran Pejuang Badar. Kemudian tiba-tiba ada yang mengatakan, "kenapa kamu mengajak anak ini ke sini bersama kita? Kami juga punya anak-anak seperti ini." Lalu Umar menyahutinya, "dia ini anak yang telah kalian kenal." Kemudian pada suatu ketika, Umar mengundang mereka dan juga mengundangku (Ibnu 'Abbâs), dan ternyata undangan itu adalah untuk mempromosikan aku di hadapan mereka. Kemudian Umar bertanya kepada mereka tentang maksud ayat pertama surat al-Nasr. Lalu salah seorang di antara mereka menjawab, "(maksud ayat tersebut adalah bahwa) kita diperintah untuk memuji dan mohon ampun kepada-Nya jika telah ditolong dan dimenangkan oleh-Nya. Sedangkan yang lainnya hanya diam saja. Kemudian Umar berkata kepadaku, "begitukah menurutmu wahai Ibnu 'Abbâs?" Aku pun menjawabnya, "tidak". Lalu apa pendapatmu tentang maksud ayat ini?" tanya Umar lagi. Lalu aku menjawab lagi, "ayat ini menunjukkan informasi Allah kepada nabi bahwa ajalnya tidak lama lagi akan tiba. Allah berfirman,

ﺢﺘ ﻔﻟاو ﷲا ﺮﺼ ﻧ ءﺎ ﺟ اذإ " itulah tanda ajalmu, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunan dari-Nya, karena Dia alah yang Maha menerima taubat." Lalu Umar menyahutinya, "seperti itulah yang ku tahu." (H.R. al-Bukhari, No. 4970) Lihat al-Bukhari, Sahîh al-Bukhâri, juz III, h. 339

166 Lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz IX, h. 574 166 Lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz IX, h. 574

Riwayat senada yang lebih jelas lagi mengenai maksuda ayat ini dikeluatkan dari Ummu Salamah (istri nabi). Ia berkata, "di akhir hayatnya, Rasul sama sekali tidak mau beraktifitas apapun, kecuali sambil mengucapkan subhânallâh wa bi hamdih. Kemudian aku bertanya, "Ya Rasul, aku lihat akhir- akhir ini anda selalu mengucapkan subhânallâh wa bi hamdih dan anda tidak akan beraktifitas apapun kecuali sambil mengucapkannya." "Aku memang

diperintahkan seperti itu." Jawab Rasul. Lalu beliau membaca surat al-Nasr ini. 167 Lebih lanjut Darwazah menjelaskan bahwa meskipun sebagai surat yang

terakhir turun, bukan berarti bahwa tidak ada lagi ayat yang turun setelahnya. Hal ini karena masih ada beberapa ayat lain yang turun setelahnya. sedangkan surat ini hanyalah merupakan surat yang turun sekaligus untuk yang terakhir kalinya.

Dari deskripsi penyusunan surat yang dilakukan oleh Darwazah dalam tafsirnya, khususnya ketika ia memerger beberapa surat yang dalam mayoritas riwayat tartîb nuzulî termasuk surat-surat Madaniyyah ke dalam kelompok surat Makkiyah, terdapat beberapa catatan yang sekiranya perlu penulis memberikan tanggapan. Diantaranya adalah:

Pertama: ketika Darwazah mengurutkan susunan kelima surat Madaniyyah yang dimerger ke dalam kelompok surat Makkiyah, ia tidak menjelaskan secara pasti alasan pengurutannya, apakah Darwazah melihat tema dan kandungan yang dijelaskan oleh ayat ataukah memang Darwazah berlandaskan pada riwayat yang menjelaskan hal tesebut. Akan tetapi sejauh penelaahan penulis, Darwazah tidak memberikan alasannya secara eksplisit dan penulis juga tidak menemukan riwayat yang dijadikannya sebagai landasan

167 Lebih jelasnya tentang penjelasan tentang hal tersebut lihat: al-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân, juz VI, h. 669 167 Lebih jelasnya tentang penjelasan tentang hal tersebut lihat: al-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân, juz VI, h. 669

Adapun urutan surat yang dimerger tersebut adalah: surat al-Ra'd pada urutan pertama atau pada urutan 87 setela surat al-Mutaffifûn yang dalam tartîb nuzulî yang dipedomaninya merupakan urutan terakhir surat Makkiyah, kemudian pada urutan selanjutnya disusul surat al-Hajj, al-Rahmân, al-Insân, dan al- Zalzalah. Jika melihat pada urutan tartîb nuzûlî, urutan surat al-Ra'd terletak setelah al-Zalzalah, yang kemudian dilanjutkan setelahnya secara berurutan surat al-Rahmân dan al-Insân. Sedangkan surat al-Hajj yang menempati urutan kedua setelah al-Ra'd dalam tafsir Darwazah terletak setelah surat al-Insân yang

diselingi beberapa surat. 168 Menurut hemat penulis, setelah menelaah beberapa riwayat tartîb nuzûlî

yang dijadikan dasar berpijak para ulama tafsir tentang susunan urutan surat, agaknya penyusunan surat (surat-surat yang dimerger) yang dilakukan Darwazah mirip dengan susunan urutan surat dalam riwayat yang dikeluarkan oleh al- Nahhâs dalam kitabnya al-Nâsikh wa al-Mansûkh dari Mujâhid dari Ibn 'Abbâs yang mengurutkan surat al-Ra'd kemudian diikuti surat al-Hajj, dan surat al- Rahmân. Hanya saja dalam riwayat ini surat al-Insân tidak disebutkan sedangkan

surat al-Zalzalah di masukkan dalam kelompok surat Madaniyyah. 169 Kedua: Darwazah tidak melakukan penelaahan lebih jauh lagi terhadap

riwayat-riwayat yang menjelaskan akan keMadaniyyahan dan keMakkiyahan sebuah surat yang dimergernya. Ia lebih menekankan pada sisi gaya bahasa, tema dan konteks, serta karakter yang terkandung secara mayoritas dalam surat yang dimergernya, serta merujuk pada tafsir-tafsir sebelumnya ketika menjadikan sebuah riwayat sebagai pendukung atas pendapatnya.

168 Lihat tabel 2 169 al-Suyûtî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, h. 36-38

Ketiga, penulis melihat kekonsistenan Darwazah dalam menentukan Makkiyah-Madaniyyahnya satu surat. Hal ini tampak pada prinsipnya dalam penentuan Makkiyah-Madaniyyah berdasarkan gaya bahasa, tema dan konteks, serta karakter yang terkandung mayoritas dalam surat, meskipun hal ini bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama, misalnya surat al-Zalzalah dan al-Insân yang telah disepakati oleh para ulama sebagai surat Madaniyyah, tetapi oleh Darwazah dikategorikan sebagai surat Makkiyah. Padahal pendapat para

ulama di dasarkan pada riwayat yang sahih. 170 Menurut penulis Darwazah telah terjebak pada prinsipnya sendiri dengan mengabaikan konteks historis.

Meskipun terdapat kekurangan dalam cara Darwazah yang kaitannya dengan penyusunan urutan surat, akan tetapi perlu di maklumi pula terhadap apa yang dilakukannya. Dimana ia melakukan hal tersebut sejatinya dimaksudkan untuk memberikan pemetaan pemahaman terhadap pesan-pesan al-Qur`ân secara historis, yang pada gilirannya membawa pembacanya pada kondisi perjuangan dan kiprah dakwah Rasulullah dalam sejumlah periode, dan tenggelam dalam suasana pewahyuan sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang obyektif atau paling tidak meminimalisir pemahaman yang subyektif terhadap makna pesan yang terkandung dalam al-Qur`ân.

170 al-Suyûtî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, h. 36-38