Sumber Penafsiran al-Tafsîr al-Hadîts
E. Sumber Penafsiran al-Tafsîr al-Hadîts
Yang dimaksud dengan sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau materi yang di gunakan oleh seorang mufassir dalam menjelaskan makna dan kandungan ayat. Menurut M. Yunan Yusuf menyatakan sumber penafsiran merupakan cara yang digunakan oleh seorang mufassir dalam menyajikan tafsirnya, apakah seorang mufassir menafsirkan al-Qur`ân dengan menggunakan al-Qur`ân, al-Qur`ân dengan al-Hadits, al-Qur`ân dengan riwayat sahabat, kisah- kisah Isrâ`iliyyât, ataukah dengan menafsirkan al-Qur`ân dengan fikiran (al- ra`yu).
Jika merujuk pada literatul Ulûm al-Qur`ân, definisi diatas menunjukkan bahwa sumber penafsiran ini terbagi kedalam dua kategori, yaitu penafsiran bi al- ma`tsûr, yaitu menafsirkan al-Qur`ân dengan al-Qur`ân, dan al-Hadits karena keduanya merupakan penjelas kitâb Allah al-Qur`ân, al-Qur`ân dengan riwayat para sahabat karena mereka lebih mengetahui waktu turunnya wahyu dan perkataan kibâr tabi'in karena mereka menerimanya secara langsung dari para
sahabat. 77 Kedua adalah penafsiran bi al-ra'yi, penafsiran ini juga biasa dikenal dengan tafsir bi al-ijtihâd. Yang dimaksud dengan penafsiran bi al-ra'yi atau bi
al-ijtihâd yaitu penafsiran yang menggunakan penalaran akal. 78 Dari dua kategori sumber penafsiran diatas, dapatlah dikatakan bahwa
sumber penafsiran Darwazah tidak jauh berbeda dengan mufassir lainnya, dimana
76 Darwazah, al-Qur`ân al-Majîd fî Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, 276-277; lihat juga Al- Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-‘Asr al-Hadîts, h. 51-54
77 Mannâ' Khâlil al-Qattân, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, (Mnasyûrât al-'Asr al-Hadîts, 1973), cet. ke-3, h. 347
78 al-Qattân, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, h. 351, lihat juga Muhammad Hamdi Zaglûl, al- Tafsîr bi al-Ra`yi; Qaâ'iduhu wa Dawâbituhu wa A'lâmuhu, (Damaskus: Maktabah al-Fârâbî, 1999),
cet. ke-1, h. 107 cet. ke-1, h. 107
kemudian ia juga mengutip hadits serta pendapat (aqwal) sahabat. 79 Ia juga menggunakan nalarnya ketika menjelaskan hakikat yang dikandung oleh ayat,
serta dalam menentukan kedudukan ayat maupun surat. Selain menggunakan kedua sumber diatas, Darwazah juga merujuk kepada para mufassir pendahulunya baik yang klasik mupun modern. Diantara mufassir yang dirujuk tafsirnya oleh Darwazah adalah Tafsir Ibn ‘Abbas, Riwayat Abu Sâlih, Muhammad b. Ismail al-Bukhari, bab tentang tafsîr dalam Sahih-nya, Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Nasafî, Tafsir Abu al-Sa’ûd, Tafsir al-Tûsî, Tafsir al- Khâzin, Tafsir al-Râzi, Tafsir al-Zamakhsyari, Tafsir al-Tabarsi, Tafsir al- Baidawî, Tafsir al-Jauharî, Tafsir Fârid Wajdi, Tafsir Rasyid Rida, Tafsir al- Alûsi, Tafsir Abu Hayyân, Tafsir ibn Katsîr, Tafsir al-Bagwî, Tafsir al-Qurtubî,
Tafsir al-Marâgi, dan Tafsir al-‘Adilî. 80 Tafsir-tafsir tersebut dijadikan rujukan oleh Darwazah dalam menafsirkan serta menjelaskan sebab turunnya ayat dan
juga dalam menguatkan pendapatnya ketika menentukan letak sebuah surat. Meskipun Darwazah merujuk kepada tafsir-tafsir yang telah disebutkan diatas, ia juga terkadang tidak sejalan dengan pendapat mufassir yang dirujuknya dalam beberapa permasalahan, iapun menganalisa dan mengkritisi serta memberikan
79 Penafsiran Darwazah dengan cara ini dapat dilihat misalnya ketika menafsirkan kata shalat dalam surat al-'Alaq, dimana ia mengutip ayat dari berbagai surat untuk mengetahui makna dan
konteksnya, seperti surat al-Ahzâb ayat 56, Q.S. al-Anfâl: 35 yang mendeskripsikan proses ritual "shalat" di Ka'bah pada zaman jahiliyah. Kemudian Darwazah mengutip beberapa riwayat tau hadits untuk menjelaskan ritual shalat yang disyari'atkan oleh Muhammad kepada ummatnya. Lebih jelasnya lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz I, h. 327-329
80 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, h. 203 80 Darwazah, Al-Qur`ân al-Majid, h. 203
seperti al-Itqân karya al-Suyûtî dalam menelaah susunan kronologi turunnya surat.
Darwazah juga menggunakan kitab-kitab târîkh maupun Sîrah sebagai rujukan dalam menafsirkan al-Qur`ân, semisal Tabaqât al-Kubrâ Li Ibn Sa'd, Sîrah Ibn Hisyâm, Târîkh al-Tabarî, khususnya ketika menjelaskan sejarah hidup Nabi. Hal ini dapat dilihat dalam penafsirannya, semisal ketika menafsirkan surat al-Nasr, khususnya yang berkaitan dengan haji wadâ' dan kondisi Nabi pada detik-detik terakhirnya. Dalam hal ini Darwazah mengutip sebuah riwayat Ibnu Hisyam, yang menyatakan bahwasannya pada suatu malam, Nabi keluar bersama Abu Muwaihibah, pembantunya. Nabi berkata kepadanya, "Aku diminta agar memintakan ampun untuk Ahli kubur di Baqi' al-Gharqad, maka, ikutlah bersamaku ke sana!" Kemudian ketika tiba di pemakaman tersebut, nabi mengucapkan, "Assalâmu'alaikum yâ ahl al-maqâbir." Kemudian, beliau bercerita kepada Abu Muwaihibah bahwa beliau diberikan dua opsi oleh Allah. Yang pertama, diberikan kunci dunia dan kekal di dalamnya, kemudian dimasukkan ke surga. Sedangkan opsi ke dua, dipertemukan dengan Tuhannya
81 Sebagai contoh kritikan Darwazah dalam komentarnya terhadap para mufassir terdahulu tentang kisah penciptaan Adam, adapun pernyataannya adalah:
Lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz I, h. 104-105 Lihat Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz I, h. 104-105
merasakan sakit dan akhirnya wafat. 82 Selain merujuk pada sumber-sumber keislaman, Darwazah juga merujuk
kepada kitab perjanjian, ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân khususnya yang berhubungan dengan kisah-kisah nabi ataupun umat terdahulu yang terdapat dalam al-Qur`ân dan kitab perjanjian. Sebagaimana katika ia mengomentari tentang kisah Nabi Musa dan Fir'aun, ia mengatakan bahwa kisah Musa dan Fir'aun ini merupakan kisah yang sudah familiar bagi para pendengar atau audiens, karena kisah Musa dan Fir'aun ini telah dikisahkan secara rinci dalam perjanjian lama pada ayat sifr al-khurûj (keluaran), yakni kitab perjanjian yang dinisbahkan kepada Nabi Musa, dan kitab perjanjian tersebut populer dikalangan Yahudi dan Nashrani. Dan orang-orang Arab sudah barang tentu telah mendengar
kisah ini dari mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani). 83 Dari keseluruhan pemaparan diatas, dapat diketaui bahwa yang
mempengaruhi paradigma intelektual Darwazah adalah masa penahanannya oleh tentara Inggris, dimana ia berinteraksi dengan al-Qur`ân secara intens dan latar belakang kondisi sosial dimana ia hidup. Kemudian iapun memutuskan untuk menulis sebuah tafsir dengan sebuah metode yang baru dan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang dibangunnya serta sumber-sumber keislaman maupun non keislaman (kitab perjanjian). Maka dari itu, untuk mengetahui labih jauh mengenai rumusan metodologi yang diterapkan Darwazah dalam tafsirnya dan aplikasinya akan dibahas pada bab selanjutnya.
82 Lebih jelasnya tentang penggunaan sumber sejarah ini dalam penafsiran Darwazah dapat dilihat dalam: Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz IX, h. 577-595
83 Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, Juz I, h. 82