Metodologi Penafsiran Dalam Perspektif Sarjana Tafsir Modern
C. Metodologi Penafsiran Dalam Perspektif Sarjana Tafsir Modern
Periode ini dimulai dari akhir abad Sembilan belas, ketika itu pemeluk Islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa Barat yang notabene adalah kaum imperialis-kolonialis. Kondisi inilah kiranya yang mengilhami para tokoh dan pejuang Muslim untuk berupaya melakukan perbaikan terhadap nilai- nilai Islam yang telah rusak dan dinodai. Para tokoh dan pejuang Muslim ini melakukan perbaikan melalui penafsiran ulang terhadap al-Qur`ân dengan metode yang dipandang relevan dengan perkembangan zaman. Karena dalam pandangan mereka kitab-kitab tafsir sebelumnya tidak dapat lagi menjawab kebutuhan masyarakat Muslim era modern.
Muhammad Abduh (1849-1905 M) misalnya, memandang bahwa kitab- kitab tafsir pada masa-masa sebelumnya hanya berisi pemaparan berbagai pendapat ulama yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga menjauh dari
tujuan diturunkannya al-Qur’ân. 69 Dimana sebagian besar dari kitab-kitab tafsir tersebut terasa gersang dan kaku, karena perhatian penafsirnya di fokuskan pada
pengertian kosa kata atau kedudukan kalimatnya dari sis i’rab dan penjelasan lain yang berkaitan dengan sisi-sisi teknis kebahasaan yang terkandung dalam redaksi ayat-ayat al-Qur`ân. Sehingga tafsir-tafsir tersebut terkesan seakan-akan menjadi
67 Devy Aisyah Aziz, Metodologi Tafsîr al-Qur`ân Karya Darwazah; Kajian atas Penafsiran Kisah al-Qur`ân dalam Kitab al-Tadsîr al-Hadits, dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual,
Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Vol. 3, No. 2, Desember 2002, h. 48 68 Darwaza, Al-Qur’an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 205-206; lihat juga K.
Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur’an, h. 239;
69 Syaikh Muhammad ‘Abduh, Fâtihah al-Kitâb, (Kairo: Kitâb al-Tahrîr, 1382 H), h. 13 69 Syaikh Muhammad ‘Abduh, Fâtihah al-Kitâb, (Kairo: Kitâb al-Tahrîr, 1382 H), h. 13
dunia dan akhirat. 70 Akan tetapi Abduh melakukan pengecualian terhadap beberapa kitab
tafsir, seperti tafsîr al-Zamakhsyari, tafsîr al-Tabari, tafsîr al-Asfahâni, dan tafsîr al-Qurtubi. Terhadap tafsîr al-Zamakhsyari, ia mengatakan bahwa tafsir ini merupakan kitab tafsir terbaik untuk kalangan pelajar dan mahsiswa, karena
ketelitian redaksi dan segi-segi bahasa yang diuraikannya 71 . Adapun terhadap tiga kitab tafsir lainnya, Abduh mengatakan bahwa ketiga tafsir ini merupakan kitab-
kitab terpercaya dikalangan penuntut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlîd dan berusah bersikap objektif dalam
menjelaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak memicu timbulnya perpecahan. 72 Selanjutnya Abduh menekankan bahwa ayat-ayat al-Qur`ân tidak hanya
tertuju pada masyarakat Arab, akan tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan generasi. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang pandai maupun bodoh untuk memahami ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan kemampuan
masing-masing. 73 Dari pola pikir Abduh terhadap tafsir-tafsir klasik tersebut melahirkan dua landasan pokok yang menyangkut pemahaman dan penafsirannya
74 terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, yaitu peranan akal 75 dan peranan kondisi sosial .
70 Syaikh Muhammad ‘Abduh, Fâtihah al-Kitâb, h. 5 dan 12 71 Ibrahim Muhammad al-‘Adwi, Rasyîd Ridha: al-Imâm al-Mujâhid, (Kairo: Maktabah Misr,
1964), h. 91 72 Abdul ‘Ati Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi Li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, (Kairo:
al-Hai’ah al-Misriyah Li al-Kitâb, 1978), h. 85 73 Syaikh Muhammad ‘Abduh, Fâtihah al-Kitâb, h. 8
74 Dalam hal peranan akal, menurut Abduh metode al-Qur`ân dalam memaparkan ajaran- ajaran Agama tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, akan tetapi diikuti
dengan penjelasan dan pembuktian masalah dengan argumentasi, serta menguraikan pandangan- pandangan rivalnya sekaligus membuktikan kekeliruan yang dilakukan. Karena menurutnya ada masalah keagamaan yang dapat diyakini melalui pembuktian logika, serta terdapat ajaran-ajaran Agama yang sukar dipahami dengan akal tetapi tidak bertentaangan dengan akal. Namun demikian, Abduh tetap mengakui akan keterbatasan akal, dan manusia tetap membutuhkan bimbingan Nabi saw.
Dengan kedua landasan pokok tersebut, Abduh berusaha untuk menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni dalam perspektifnya menghubungkan ajaran- ajaran tersebut dengan kondisi sosial masyarakat. Adapun metode yang ditempuhnya dalam menafsirkan al-Qur`ân adalah metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i).
Ahmad Khan yang merupakan salah satu tokoh modernis terkenal di benuai Indo-Pakistan, berpandangan sama dengan Abduh. Ia berpandangan bahwa masyarakat Muslim India harus meninggalkan sikap mereka yang pasif dan lamban, jika tidak ingin hidup dalam bencana. Maka Ahmad Khan-pun mulai melakukan perubahan sosial dan pola pendidikan seperti yang diterapkan oleh orang Eropa, karena ia menyadari dengan diperkenalkannya tata cara, norma serta pengetahuan Barat akan melahirkan sebuah versi baru Islam yang mampu
memberikan informasi yang sesuai dengan pemikiran masa kini. 76 Ahmad Kahan juga memberikan beberapa kritik terhadap mufassir klasik yang terlalu tergantung
pada tulisan-tulisan yang telah ada, tanpa melakukan sebuah telaah kritis. Karena dalam pandangannya, semua itu memungkinkan adanya kata-kaata tertentu dalam al-Qur`ân yang dapat dipergunakan sebagai cara yang maknanya belum ditemikan
dalam dalam karya-karya leksikal atau literatur (sastra). 77
(wahyu), terutama dalam persoalan-persoalan metafisika serta masalah ibadah. Lihat Syaikh Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, Kitâb al-Hilâl, (Kairo: Dâr al-Hilâl, 1963), h. 24-26
75 Perbedaan kondisi sosial sangat ditekankan oleh Abduh dalam memahami sumber ajaran Islam, sehingga ia mengecam para ulama pada masanya yang mengharuskam masyarakatnya untuk
mengikuti pemahaman ulama terdahulu. Karena menurutnya, hal tersebut akan berakibat pada kesulitan mereka dalam memahami ajaran Agama, dan bahkan dapat mendorong mereka untuk mengabaikan ajaran Agama. Lihat Abdul ‘Ati Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi Li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, h. 152
76 J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 5 77 J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 30. selain itu ia juga memberikan
komentarnya tentang rincian sejarah dan penjelasan yang bersumberkan tradisi dianggap sebagai khayalan, dengan berlandaskan pada isyarat al-Qur`ân yang mengisyaratkan ketidaksamaannya dengan cerita buatan manusia. sebagaimana dengan cerita ashâb al-kahfi, dimana dalam ayat 13 dikatakan “kami akan ceritakan kepadamu kisah tentang mereka secara benar (bi al-haq)”. Kata bi al-haq disini bermakna bahwa keterangan terdahulu bukanlah cerita yang ingin diungkapkan oleh Allah, melainkan sesuatu yang dikenal umum yang penuh dengan keajaiban, kemudian itulah kejadian nyata, yang tidak ajaib, yang seharusnyadi komunikasikan. Lihat J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 26
Selanjutnya Ahmad Khan memformulasikan prinsip-prinsipnya dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur`ân kedalam lima belas prinsip. Prinsip pertamanya berkenaan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, al-samâd, wâjib al-wujûd, dan kekal serta merupakan “Prima Kausa” segala sesuatu. Dalam prinsipnya yang kedua, ketiga, dan keempat, mengetengahkan pengutusan para rasul termasuk Nabi Muhammad dan pewahyuan al-Qir`ân. Adapun dalam prinsip kelima, kesepuluh, kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas, berkaitan dengan karakteristik al-Qur`ân. Kemudian prinsip “conformity to nature” yang paling mendasar dalam pemikiran Ahmad Khan dalam penafsiran, dikemukakan dalam prinsipnya yang kedelapan dan keempatbelas. Sedangkan dalam prinsip kesembilan Ahmad Khan mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam al- Qur`ân yang bertentangan dengan hukum alam. Dan terakhir prinsip kelimabelas, mengemukakan tentang pentingnya penelitian linguistik dalam rangka menentukan makna kalam al-Qur`ân, dengan kata lain, al-Qur`ân harus dipahami sesuai dengan pemahaman orang Arab yang terhadapnya al-Qur`ân diturunkan.
Serta penolakan terhadap penggunaan isr’iliyyât dalam penafsiran al-Qur`ân. 78 Sementara itu Sayyid Qutb melihat kondisi masyarakat Mesir berada pada
fase sosial yang sulit setelah Perang Dunia II. Disaat itu muncul fenomena- fenomena sosial yang terdistorsi, mayoritas masyarakat Mesir hidup dalam kemelaratan yang hina-dina tidak mampu mencukupi kebutuhan keseharian mereka. Ini terjadi karena kelaliman yang dilakukan oleh para tokoh istana dan kaum feodal dari kalangan para bangsawan (pasha) dan para tuan tanah terhadap mereka. Kaum komunis pun memanfaatkan kondisi tersebut untuk mempropagandakan paham mereka, dengan cara memberikan surga komunisme
ilusif kepada rakyat yang teraniaya. 79
78 Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), cet. ke-1, h. 85-97
79 Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. ke-1, h. 52
Dalam pembacaanya terhadap al-Qur`ân, ia menemukan sebuah teori yaitu teori “ilustrasi artistik” (al-taswîr al-fanni) 80 . Mengenai metode yang
ditempuhnya ini Sayyid Qutb beraksud untuk mengembalikan al-Qur`ân kepada pemaparannya, mengembalikan kepada kebaruannya-sebagaimana bangsa Arab dahulu menerima al-Qur`ân untuk pertama kalinya-, serta menyelamatkannya dari penafsiran yang bersifat bahasa, nahwu, fiqih, sejarah, dan legenda. Kemudian memunculkan aspek seninya, menyimpulkan karakteristtik sastranya, dan penyadaran perasaan-perasaan menuju pada tempat-tempat keindahan yang
tersembunyi. 81 Dari pembacaan dan tadabbur yang dilakukannya terhadap al-Qur`ân dan
fenomena-fenomena sosial yang dialaminya, Sayyid Qutb menyusun sebuah tafsir yang dinamainya dengan fî zhilâl al-Qur`ân. Dalam penulisan tafsirnya ini ia tidak ingin menjadikan sebagai tujuan, akan tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan yang mulia dan sebagai instrumen untuk menggapai sasaran yang luhur yang ingin diwujudkannya di alam pemikiran dan konsepsi serta di dunia pendidikan dan pergerakan. Oleh karena itu ia tidak ingin hanya agar namanya dicantumkan dalam tingkatan para mufassir, dan tidak
menghendaki tafsir untuk tafsir. 82 Dalam pandangannya, kita tidak boleh hanya sekedar membaca al-Qur`ân
sebagai saran ta’abbudiyah saja atau sebagai tempat untuk mendapatkan pahala, akan tetapi kita anggap al-Qur`ân sebagai “tempat tinggal” demi menghadapi realitas tertentu dalam sejarah kehidupan umat tertentu diantara fase-fase sejarah tertentu. Al-Qur`ân pun terus hidup serta mampu menghadapi kehidupan masa
80 Menurut Sayyid Qutb, dengan teori ini dapat diketahui karakteristik-karakteristik umum mengenai keindahan artistik dalam al-Qur`ân, dan sekaligus al-taswîr al-fanni ini merupakan sebuah
kaidah mendasar dalam mengekspresikan sesuatu serta merupakan sebuah instrument terpilih dalam gaya al-Qur`ân. Lihat Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al- Qur`ân, h. 49
81 Sayyid Qutb, Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 7 82 Lebih lanjut lihat Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-
Qur`ân, h. 121-123 Qur`ân, h. 121-123
sendiri, dan di dalam alam nurani secara nyata yang terjadi disana saat itu. 83 Pandangannya ini, berangkat dari kenyataan yang dihadapinya dimana
sebagian mufassir terdahulu dan sekarang menjadikan tafsir sebagai tujuan untuk berkhidmat kepada Kitab Allah swt. dengan menambahkan sebuah tafsir kepada tafsir-tafsir yang telah ada sebelumnya. Sehingga kita dapat melihat sebagian mufassir hanya mengulang-ulang apa yang telah dikatakan oleh para pendahulunya dengan bentuk pengulangan yang membosankan, atau meringkasnya dalam bentuk yang tidak sesuai, atau mengutipnya secara kacau.
Kondisi-kondisi sosial dan kemasyarakatan sebagaimana yang dihadapi oleh para pembaharu tersebut diatas, juga dihadapi oleh Darwazahh dimana ia hidup pada masa penjajahan dan penguasaan Inggris atas Palestina yang masyarakatnya sedang mengalami stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang panjang, karena dalam pandangannya metode-metode klasik yang telah ada tidak relevan lagi dalam menjawab kebutuhan kaum muda diabad sekarang ini.
83 Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, h. 127. bandingkan pula dengan Adnan Zurzur, Ulûm al-Qur`ân; Madkhal ilâ Tafsîr al-Qur`ân wa Bayân
I’jâzihi, (al-Maktab al-Islâmiy, 1981), cet. ke-1, h. 425-427