Respon Akademik Terhadap Gagasan Kronologi Pewahyuan al-Qur`ân

B. Respon Akademik Terhadap Gagasan Kronologi Pewahyuan al-Qur`ân

Di atas, telah dijelaskan perspektif Izzah Darwazah mengenai tartîb al- suwar hasba al-nuzûl. Untuk mengukur signifikansinya, harus di komparasikan dengan perspektif lain, baik dari akademik Muslim maupun akademik non- Muslim.

Secara umum umat Islam telah bersepakat bahwa dalam hal penetapan tata letak susunan ayat-ayat dalam surat al-Qur`ân bersifat tauqîfî dan berdasarkan perintah langsung dari Nabi Muhammad Saw, karena ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Rasul-lah yang menetapkan langsung tempat masing-masing ayat dan surat. Akan tetapi pandangan mereka terpecah ketika berhadapan dengan

susunan surat yang terdapat dalam mushaf utsmânî. 41 Dalam hal penetapan susunan surat-surat, paling tidak terdapat tiga pendapat, yaitu:

Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa susunan surat-surat dalam mushaf adalah bersifat tauqîfî. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah-lah yang menetapkan langsung susunan masing-masing ayat dan surat. dimana Rasulullah meminta kepada beberapa sahabat tertentu ketika turun wahyu al-Qur`ân, untuk mencatatnya dan menyuruhnya untuk menempatkan surat atau ayat tersebut sesuai dengan petunjuk

Nabi dan atas bimbingan Jibril. 42 Pendapat seperti ini dikemukakan misalnya oleh Abu Bakr al-Anbari

43 44 (271-328 H), 45 Abu Ja'far al-Nahhas (w. 338 H.), al-Karmani (w. 502 H.), al- Thaibiy (w. 742), 46 al-Suyuthi (w. 911 H.), dan lain sebagainya.

41 Ahmad bin Ibrâhîm bin Zubair al-Tsaqâfî, al-Burhân fî Tanâsub Suwar al-Qur`ân, (Dammâm: Dâr Ibn al-Jauzî, 1428 H), h. 79

42 Subhi al-Sâleh, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-'Ilmi li al-Malâyîn, 1977), h. 73

43 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-Qasim bin Muhammad atau Abu Bakar bin al- Anbari l-Baghdadi. Ia dikenal sebgai ulama yang produktif dalam menelurkan beberapa karya,

terutama di bidang Qirâ'ât. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia pernah menyatakan, "Allah menurunkan al-Qur`ân secara keseluruhan ke langit dunia, kemudian menurunkannya berangsur- angsur selama dua puluh tahun lebih. Surat-surat al-Quran turun secara kasuistik, sedangkan ayat turun sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang, Jibril memberhentikan bacaan Nabi pada akhir ayat dan surat. Dengan demikian susunan surat sama dengan susunan ayat dan huruf, semuanya dari Nabi. Siapa yang mendahulukan atau mengakhirkannya, berarti telah merusak tatanan al-Qur`ân. Lihat keterangan ini dalam; Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, (Beirut: Dâr el-Kutub al- 'Ilmiyyah, t.th.), juz III, h. 181-182. lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al- Qur'ân, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, 1996), juz I, h. 176

44 Ia adalah Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Ismail al-Mishri. Ia dikenal di kalangan ulama tafsir dan adab (sastra). Lahir dan wafat di Mesir. Semasa hidupnya, ia banyak menghasilkan

Pendapat kedua, hampir serupa dengan kelompok pertama, hanya saja kelompok kedua ini selain mengakui ketauqifian sebagian susunan surat al- Qur`ân, juga menganggap sebagaian susunan surat al-Qur`ân bersifat ijtihadi yang dilakukan oleh para sahabat. Pendapat ini didukung oleh al-Qâdî Abû Muhammad

Ibn 'Atiyah, al-Baihaqî, dan al-Hafîdz Ibn Hajar. 47 Ibn 'Atiyah berasumsi bahwa sebagaian besar susunan surat al-Qur`ân telah ditetapkan pada masa Nabi, seperti

letak al-sab'u al-tiwal, hawâmîm, dan al-mufassâl. Sedangkan surat-surat selain kelompok tersebut diserahkan urusan penyusunan letaknya kepada umat setelah

era Nabi. 48 Demikian pula dengan Ibn Hajar berpandangan sama dengan Ibn 'Atiyah dengan berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan

Abû Daud dari sahabat Aus al-Tsaqâfî. 49

karya, di antaranya: Tafsîr al-Qur'ân, I'râb al-Qur'ân, Syarh Abyât Sîbawaih, Nâsikh al-Qur'ân wa Mansûkhuh, Syarh al-Mu'allaqât al-Sab', dan sebagainya. Pandangannya mengenai ketauqifian susunan mushaf diuangkapkan dalam sebuah pernyataan, "yang benar, adalah penyusunan surat-surat sesuai dengan urutan ini adalah bersumber dari Rasul. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Wailah bin al-Asqa': "Nabi Saw bersabda, "Aku diberi tujuh surat panjang (al-sab' al-thiwâl) seperti Taurat. Dan sebagai ganti Zabur, aku diberi surat-surat yang terdiri dari ratusan ayat (mi'în), dan surat-surat yang mengandung beberapa kisah yang diulang-ulang (al-matsânî), sebanding dengan injil, dan aku diberi kelebihan berupa surat-surat pendek (al-mufassal). Lihat keterangan ini dalam: al-Suyûthi, al- Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, juz I, h. 178; Abu Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1391 H), juz I, h. 258

45 Bernama lengkap Abu al-Qasim Burhan al-Din Mahmud bin Hamzah bin Nasr al-Karmani al-Syafi'i. ia juga dikenal dengan julukan Tâj al-Qurrâ' (mahkota para ahli Qirâ'ât). Pandangannya

mengenai susunan mushaf yang tauqifi adalah sebagaimana berikut, "Urutan surat seperti ini adalah dari Allah sejak diturunkannya al-Qur`ân ke al-Lauh al-Mahfûzh. Selain itu, Nabi juga senantiasa menyetor hafalannya kepada Jibril setiap tahun. Pada tahun wafatnya, Nabi menyetor dua kali, sedangkan ayat yang terakhir turun adalah Q.S. al-Baqarah: 281. Kemudian Jibril menyuruh meletakkannya di antara ayat riba dan hutang. Lihat Mahmûd bin Hamzah al-Karmânî, al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbih al-Qur`ân limâ Fîhî min al-Hujjah wa al-Bayân, (t.tp.: Dâr al-Fadîlah, t.th.), h. 68; lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, juz I, h. 177

46 Bernama lengkap al-Husain bin Muhammad bin Abdillah al-Thaibi. Ia termasuk salah satu pensyarah tafsir al-Kassyâf karya al-Zamakhsyari . Lihat biografi lengkapnya dalam Jalâl al-Dîn al-

Suyûthi, Bughyat al-Wu'ât fî Thabaqât al-Lughawiyyîn wa al-Nuhât, (Beirut: al-Maktabat al- 'Asriyyah, 2003), juz I, h. 522-523

47 al-Zarkasyî, al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur`ân, h. 325; lihat juga al-Suyûtî, Tanâsuq al-Durar fî Tanâsub al-Suwar, h. 69-70

48 al-Zarkasyî, al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur`ân, h. 325 49 Adapun teks hadits yang dimaksudkan adalah:

Sedangkan al-Baihaqî menilai bahwa susunan surat-surat al-Qur`ân telah ditetapkan pada masa Nabi, kecuali surat al-Anfâl dan al-Taubah (al-Barâ`ah). Urutan kedua surat ini tidak tauqîfî, karena penempatan seperti yang ada dalam mushaf Utsmânî ini adalah murni ijtihad Utsman bin 'Affân yang kemudian disetujui oleh para sahabat lain sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Aahmad dan perawi lainnya dari Ibn 'Abbâs. 50 Al-Suyûtî mencatat bahwa alasan penganut pendapat ini adalah

berdasarkan riwayat tentang dialog antara Ibnu 'Abbâs dan Utsman bin 'Affân. Saat itu Ibnu Abbâs bertanya kepada Utsman, "apa yang melatarbelakangimu mengurutkan surat al-Anfâl yang termasuk al-Matsânî, dengan surat al-Barâ'ah yang tergolong surat mi'în, tanpa memisahakan keduanya dengan basmalah?" "Rasulullah, ketika turun beberapa ayat kepadanya, selalu memanggil beberapa sahabat untuk mencatat ayat tersebut, kemudian menyuruhnya untuk menempatkannya setelah surat-surat tertentu. Surat al-Anfâl termasuk surat yang pertama turun di Madinah, sedangkan surat Barâ'ah termasuk yang terakhir turun. Namun, keduanya memiliki isi yang mirip. Sebelum wafat, Rasul tak pernah menjelaskan bahwa Barâ`ah adalah bagian dari al-Anfâl. Karena itulah, aku menyertaan keduanya dan tidak menuliskan basamalah serta aku tempatkan di tujuh surat panjang." jawab Utsman. Hanya saja setelah dilakukan penelitian

Abû Dâud, Sunan Abî Dâud, juz I, 140; Ahmad, al-Musnad, juz V, h. 43 50 Adapun redaksi hadits yang menjelaskan hal tersebut, dapat dilihat dalam: al-Turmuzi,

Sunan al-Turmuzî, hadits no. 3086; Ahmad, al-Musnad, juz I, h. 57 dan 69; Abû Dâud, hadits no. 786- 787; dan al-Baihaqi, al-Sunan al-Kabîr, juz II, h. 42 Sunan al-Turmuzî, hadits no. 3086; Ahmad, al-Musnad, juz I, h. 57 dan 69; Abû Dâud, hadits no. 786- 787; dan al-Baihaqi, al-Sunan al-Kabîr, juz II, h. 42

Pendapat berikutnya merupakan negasi dari kedua pendapat tersebut. Pendapat ini cenderung menyatakan bahwa seluruh susunan surat dalam mushaf al-Qur`ân adalah bersifat ijtihâdi dan bukan tauqîfî. Pendapat ini diketahui

muncul dari beberapa ulama besar seperti Malik bin Anâs (w. 179 H.), 52 al-Qâdhi Abu Bakar al-Bâqillâni (w. 403 H.), 53 Abu al-Husain Ahmad bin Fâris (w. 395

H.). Pendapat ketiga ini berpedoman pada dalil rasio dengan melihat fenomena perbedaan penulisan dan urutan mushaf di masa sahabat. Banyak mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf versi Utsman bin 'Affân. Misalnya adalah, mushaf Ali bin Abi Thalib (w. 40 H.) yang mengurutkan surat-suratnya

51 al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al-Qur`ân, juz I, h. 172. adapun teks hadits tersebut adalah:

Lihat: al-Tirmizî, Sunan al-Tirmizî, hadits no. 3086; Ahmad, al-Musnad, juz I, h. 57 dan 69; Abû Dâud, Sunan Abî Dâud, hadits no. 786-787; al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, juz II, h. 42; dan al-Hâkim, al-Mustadrak, juz II, h. 221

52 Dia adalah ulama kenamaan Madinah bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik al- Asbahi. Ia lebih dikenal lagi dengan nama al-Imam Malik, pendiri Madzhab Maliki dan penyusun al-

Muwattha'. Lihat biografinya di Abu al-Fadhl Ibnu Hajar al-'Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), juz X, h. 5.

53 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-Thaib bin Muhammad bin Ja'far, atau lebih dikenal dengan nama Abu Bakar al-Bâqillâni. Ia tergolong sebagai pakar Ilmu Kalam yang memiliki

kapabilitas istinbâth yang sangat bagus dan mempunyai kecerdasan yang luar biasa sehingga ketika ada pertanyaan, ia langsung dapat menjawabnya dengan cepat dan tepat. Ia banyak meghasilkan karya besar, terutama dalam Ilmu Kalam. Adapaun karya monumentalnya dalam ilmu Ulum al-Qur`ân adalah I'jâz al-Qur'ân. Lihat al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, juz V, h. 379 kapabilitas istinbâth yang sangat bagus dan mempunyai kecerdasan yang luar biasa sehingga ketika ada pertanyaan, ia langsung dapat menjawabnya dengan cepat dan tepat. Ia banyak meghasilkan karya besar, terutama dalam Ilmu Kalam. Adapaun karya monumentalnya dalam ilmu Ulum al-Qur`ân adalah I'jâz al-Qur'ân. Lihat al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, juz V, h. 379

yang langsung menyaksikan dan mengetahui dinamika kehidupan masa Nabi. 54 Tampaknya, pendapat yang ketiga inilah yang banyak menuai kontroversi

dan paling menarik untuk dikaji. Berangkat dari pendapat ini pula lah, para sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim banyak meneliti dan mengkritisi keunikan al-Qur`ân.

Muhammad Salim Muhsin mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap pendapat ketiga ini karena beberapa alasan, yaitu: pertama, banyaknya riwayat sahih yang menjelaskan bahwa urutan mushaf adalah tauqîfi dari Rasul. Kedua, Zaid bin Tsabit, sebagai ketua komite penulis wahyu pada masa kekhalifahan Utsman bin 'Affân mengetahui dan belajar langsung tentang urutan mushaf ini dari Rasul. Ia juga menyaksikan proses peneyetoran hafalan Nabi kepada Jibril untuk yang terakhir kalinya. Sedangkan alasana terakhir adalah karena mushaf- mushaf tersebut di atas ditulis sebelum setoran hafalan Nabi kepada Jibril untuk yang terakhir kalinya, sehingga belum ada ketetapan urutan tersebut secara

keseluruhan dari Nabi. 55 Abdurrahman Badawi dalam karya tulisnya berjudul Difâ’ ‘An al-Qur`ân

Didda Muntaqidîhi, mengemukakan pendapat ulama dan beberapa tokoh orientalis tentang tata urutan (kronologi) turunnya surat dengan berlandaskan pada beberapa riwayat. Diantara Ulama yang menulis daftar urutan surat dalam

54 Lihat al-Suyûthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, juz I, h. 181; al-Zurqâni, Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al- Qur'ân, juz I, h. 297-298

55 Muhammad Salim Muhsin, Târîkh al-Qur'ân al-Karîm, h. 72 55 Muhammad Salim Muhsin, Târîkh al-Qur'ân al-Karîm, h. 72

Leiden dengan nomor simpan 476. 57 Sedangkan di antara tokoh-tokoh Orientalis yang juga berupaya untuk memberikan sumbangsih dalam karya-karya mereka

tentang daftar urutan surat, adalah Theodor Noldeke dalam bukunya Geschichtedekorans yang diterbitkan pada 1860 oleh penerbit Gottingen 58 , H

Grimmer dalam bukunya Mohammed, William Muir dalam dua bukunya Hayât Muhammad dan al-Qur`ân; Takwînuhu wa Ta’âlîmuhu, dan Regis Blachere. 59

Dengan demikian, ada beberapa versi riwayat yang menampilkan tata urutan surat dalam mushaf secara berbeda-beda. Masing-masing riwayat pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam perspektif masing-masing peneliti. Misalnya, urutan mushaf Ibnu 'Abbâs, dalam perspektif Izzah Darwazah berbeda dengan perspektif al-Sa'îdi. Banyak tata urutan yang berbeda dalam kedua versi tersebut meskipun sama-sama mengklaim dari Ibnu 'Abbâs. Perbedaan tersebut juga terjadi di berbagai komunitas akademik, baik Muslim maupun non-Muslim. Terdapat beberapa versi perbandingan tata urutan mushaf

56 Dalam Fahrasatnya ini, Ibn al-Nadîm (w. 380) menulis daftar susunan surat sesuai dengan kronologi turunnya berdasarkan pada beberapa riwayat, seperti: Muhammad bin Nu’mân bin Basyîr,

Mujâhid, dan al-Sya’bî. Ia juga mencantumkan susunan surat sesuai dengan kronologi turunnya dari beberapa mushaf seperti: mushaf ‘Abdullah bin Mas’ûd dan mushaf Ubai bin Ka’ab. Lebih detailnya lihat Abî al-Faraj Muhammad bin Abî Ya’qûb Ishâq al-Ma’rûf bi al-Nadîm, al-Fahrasat, (Beirut- Libnan: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), cet. ke-1, h. 40-43

57 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, terj. Kamâl Jâdullah, (t.tp.: al-Dâr al-‘Âlamiyah Li al-Kutub wa al-Nasyr, t.th.), h. 111-112

58 buku ini juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul Târîkh al-Qur`ân oleh George Tâmir dan diterbitkan di Beirut 2004 oleh percetakan Huqûq al-Nasyr Mahfdzah Li

Mu`assasah Kunrad Adnawur. Lihat: Theodor Noldeke, Târîkh al-Qur`ân, terj. George Tâmir (Beirut: Huqûq al-Nasyr Mahfdzah Li Mu`assasah Kunrad Adnawur, 2004), cet. ke-2

59 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 117-126 59 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 117-126

Berdasarkan tabulasi tiga sebagaimana yang terdapat pada lampiran, tampak perbedaan yang sangat mencolok antara satu versi mushaf dengan versi lainnya. Versi ke-dua yaitu mushaf utsmânî terlihat sangat berbeda dengan versi pertama, yaitu mushaf Fuâd. Sengakan versi-versi lainnya yaitu versi al-Khâzin, Majma' al-Bayân, al-Suyûtî, al-Husain dan Ikrimah, Ibn 'Abbâs, Jâbir, tampak

perbedaan yang relatif sedikit. 61 Hal ini terjadi karena perbedaan standar penyusunan masing-masing mushaf tersebut. Mushaf Utsmânî disusun bukan

berdasarkan pada kronologis turunnya surat (tartîb al-suwar hasb al-nuzûl), malainkan pada riwayat yang bersumber dari Rasul (tauqîfî).

Jika kita perhatikan tabulasi nomor tiga, maka pada urutan ke lima (al- Fâtihah), kita temukan beberapa mushaf (perpektif Darwazah) tidak menyebutkan posisi atau nomor urutnya. Hal ini karena adanya riwayat yang menyatakan bahwa surat al-Fatihah turun dua kali, di Makkah dan di Madinah.

Beberapa riwayat menurut versi Darwazah dalam tabel di atas menunjukkan bahwa surat al-Takâtsur tidak eksis dalam tiap-tiap riwayat, baik di kelompok Makkiyah ataupun Madaniyyah. Menurut versi Utsmâni, surat ini berada pada urutan ke-102 atau pada urutan ke-16 jika dilihat dari kronologis turunnya. Pendapat serupa juga muncul dalam riwayat Ibnu 'Abbâs, menurut versi yang dicatat oleh al-Sa'îdi. Namun, beberapa versi yang lain menyebutkannya pada urutan turun ke-15, sebagaimana riwayat Ja'far al-Sâdiq. Al-Sa’îdi mencatat bahwa urutan turun surat al-Takâtsur menurut versi mushaf Utsmâni dan Ibnu

60 Untuk tabulasi beberapa versi perbandingan tata urutan mushaf berdasarkan beberapa riwayat yang dianggap representatif terhadap wacana perbedaan ini dapat dilihat dalam tabel 3

lampiran pertama. 61 Lihat tabel 3 kolom 4, 5, 6, 7, 8, dan 9

'Abbâs adalah pada posisi ke-16. Sedangkan menurut riwayat Ja'far al-Sâdiq, surat ini menempati urutan turun ke-15. 62

Jika kita perhatikan ulang tabulasi nomor tiga, tampak dalam setiap rangkaian kronologi, kecuali rangkaian versi Majma' al-Bayân, ada satu nomor urut yang hilang, yaitu nomor 15 pada kolom ke 6-8 (al-Suyûthi, Husain dan 'Ikrimah, dan Ibnu 'Abbâs) dan nomor urut 16 pada kolom ke-2, 4 dan 9 (Mushaf

Fu'âd, al-Khâzin, dan Jâbir bin Zaid). 63 Barangkali hal ini terjadi karena adanya kekhilafan atau mungkin terlewatkan saat penukilan yang dilakukan oleh

Darwazah. Ada kemungkinan bahwa nomor-nomor yang hilang tersebut adalah milik surat al-Takâtsur.

Tabel tersebut juga menunjukkan adanya kemiripan antara mushaf Fuâd dan mushaf versi Jabir. Kedua mushaf ini hampir sama dalam hal urutannya. Jika kita perhatikan tabel, tampak bahwa mulai dari nomor 1 (surat al-'Alaq) hingga surat ke-61 (Fussilat), sama sekali tidak ditemukan adanya perbedaan. Namun, setelah itu muncul satu nomor yang tampil belakangan, yang asalnya pada posisi

62 (al-Syûrâ) menjadi nomor 69. Dengan demikian, posisi ke-62 diambil alih oleh surat berikutnya, yaitu al-Zukhruf, dan urutan berikutnya kembali normal lagi hingga pada nomor 68 (al-Kahfi). Tampaknya, perbedaan urutan kedua mushaf ini berpusat pada surat al-Zaukhruf, al-Nahl, Nûh, al-Anbiyâ, dan al-Sajdah. Perpindahan kelima surat ini mengakibatkan surat-surat lain juga ikut bergeser.

Selain itu, Mushaf Jabir juga tidak mencantumkan nama surat Ibrâhîm dalam susunan mushaf nya, dan tidak diketahui secara pasti alasan mengenai hal ini. Namun, bisa jadi ketiadaan surat Ibrâhîm ini karena digabung dengan surat lainnya. Beberapa surat lain yang tidak disebut dalam mushaf ini adalah al-Nisâ', al-Zalzalah, al-Hadîd, Muhammad, al-Ra'd, al-Rahmân, al-Insân, al-Thalâq, al-

62 al-Sa’îdi, al-Nazhm al-Fannî fi al-Qur'ân, h. 27. 63 Lebih jelasnya lihat tabel 3 pada lampiran

Bayyinah dan al-Hasyr. Kesepuluh surat ini ada pada kelompok surat Madaniyyah. Dengan demikian, jumlah seluruh surat dalam mushaf Jabir bin Zaid

tersebut hanya 103 saja. 64 Selanjutnya, dalam mushaf al-Khâzin, terdapat beberapa hal yang

menarik. mushaf ini juga tidak mencantumkan al-Fâtihah, baik dalam kelompok Makkiyah ataupun Madaniyyah. Namun yang janggal dalam penomoran ini adalah tidak terdapat surat yang menempati urutan ke-6 dalam kelompok

Makkiyah. 65 Surat al-Falaq dan al-Nâs dalam versi mushaf al-Khâzin ini masuk dalam

kelompok Madaniyyah, dengan nomor urut 16 (al-Falaq) dan 17 (al-Nâs). Keanehan lain dalam mushaf ini adalah tidak disebutkannya surat al-Syams, baik dalam kelompok Makkiyah atau Madaniyyah. Pada urutan ke-24 kelompok Madaniyyah, nomor ini disebutkan dua kali. Barangkali, hal ini menunjukkan bahwa kedua surat yang bernomor sama (al-Tahrîm dan al-Fath) tersebut digabung. Selain dari beberapa poin ini, mushaf al-Khâzin tetap sama dengan

susunan tartîb nuzûli dalam mushaf lain. 66 Berikutnya, kita beralih pada kolom 5 dalam tabel tiga atau tepatnya pada

rangkaian kronologi versi Mushaf Majma' al-Bayân. Pada kolom ini urutan surat al-Kâfirûn menempati urutan turun ke-14, sedangkan menurut versi lain, menempati posisi ke-17 atau 18. Selain itu, surat al-Nahl, juga bergeser ke atas menjadi pada posisi ke-44. Dalam versi ini, ada dua nomor yang hilang, yaitu urutan ke-43 dan 64. beberapa surat lain juga tidak disebutkan dalam mushaf ini,

64 Lihat tabel 3 pada lampiran 65 Hal ini tidak diketahui alasannya. Dalam catatan Darwazah, urutan ke-6 dalam kelompok

Makkiyah tidak ada. Setelah urutan ke-4 (al-Muddatstsir), kemudian al-Masad (5), dan langsung ke nomor 7 (al-Takwîr). Tidak ada keterangan apakah hal ini merupakan kesalahan Darwazah dalam menukil susunan mushaf, sehingga yang dimaksud nomor 6 adalah al-Fâtihah, atau memang dari sumber aslinya memang demikian.

66 Lihat tabel 3 kolom 4 pada lampiran 66 Lihat tabel 3 kolom 4 pada lampiran

Menurut versi al-Suyûti, sebagaimana yang dicatat oleh Darwazah (lihat kolom 6 pada tabel tiga), tidak banyak terdapat perbedaan dengan mushaf lainnya. Hanya saja surat Maryam (41) turun lebih dulu daripada surat Fâthir dan al-Furqân (42, 43). Selain itu, surat al-Nâzi'ât (79) mendahului surat al-Naba' (80). Kemudian, dalam kelompok Madaniyyah, surat al-Nasr yang semula berada di posisi paling bawah, kini naik menjadi urutan ke-16 Madaniyyah. Beberapa surat lain yang juga berubah urutannya, yaitu surat al-Fath dan al-Jumu'ah (22 dan 23) yang semula berada setelah surat al-Taghâbun dan al-Saff (24 dan 25), kini berubah menempati posisi tepat di atasnya. Hal yang sama juga terjadi pada surat al-Tahrîm yang semula berada sebelum surat al-Taghâbun dan al-Saff, kini justru berada di bawahnya. Di dalam rangkaian kronologi al-Suyûti ini juga terdapat dua nomor ganda, yaitu 13 untuk surat al-'Âdiyât dan al-Tîn, dan nomor

14 yang ditempati oleh surat al-Kautsar dan al-Kâfirûn. Sedangkan dalam aransemen kronologi versi al-Husain dan 'Ikrimah, hanya terdapat 111 surat. Tiga surat yang tidak disebutkan dalam mushaf ini adalah al-Fâtihah, al-A'râf dan Maryam. Dalam susunan ini, surat al-Dukhân dan Fussilat berada pada posisi yang sama (58). Kelompok surat Makkiyah dalam susunan ini berakhir pada nomor 81 yang ditempati oleh surat al-'Ankabût. Sedangkan kelompok surat Madaniyyah dimulai dengan surat al-Muthaffifûn yang kemudian disusul oleh al-Baqarah, Âlu 'Imrân, al-Anfâl, al-Ahzâb, al- Mâidah, al-Mumtahanah, al-Nisâ', al-Zalzalah. Surat berikutnya identik dengan 14 yang ditempati oleh surat al-Kautsar dan al-Kâfirûn. Sedangkan dalam aransemen kronologi versi al-Husain dan 'Ikrimah, hanya terdapat 111 surat. Tiga surat yang tidak disebutkan dalam mushaf ini adalah al-Fâtihah, al-A'râf dan Maryam. Dalam susunan ini, surat al-Dukhân dan Fussilat berada pada posisi yang sama (58). Kelompok surat Makkiyah dalam susunan ini berakhir pada nomor 81 yang ditempati oleh surat al-'Ankabût. Sedangkan kelompok surat Madaniyyah dimulai dengan surat al-Muthaffifûn yang kemudian disusul oleh al-Baqarah, Âlu 'Imrân, al-Anfâl, al-Ahzâb, al- Mâidah, al-Mumtahanah, al-Nisâ', al-Zalzalah. Surat berikutnya identik dengan

Dalam mushaf Ibnu 'Abbâs, urutan turun ayat hampir sama dengan urutan dalam mushaf Fuâd. Hanya ada empat titik yang berbeda dalam mushaf ini jika dibandingkan dengan mushaf Fuâd. Pertama, mushaf ini tidak menyebutkan surat al-Fâtihah, sebagaimana mushaf-mushaf lainnya. Kedua, Dalam mushaf ini surat al-Nâzi'at mendahului surat al-Naba'. Perbedaan ke tiga terletak pada surat al- Nasr yang semula berada pada urutan terakhir, namun kini berada pada posisi ke-

16. Adapun perbedaan terakhir terletak pada nomor 23 yang dalam hal ini ditempati oleh surat al-Jumu'ah. 68

Ada perbedaan versi yang sangat signifkan dalam mushaf Ibnu 'Abbâs ini. Standar mushaf versi riwayat Ibnu 'Abbâs, sebagaimana dikutip oleh al-Sa'îdi, mengikuti standar dalam kitab Sa'd al-Su'ûd karya Ibnu Thâwûs (w. 664) dari Muhammad bin Abdul Karîm al-Syahrastâni. Namun, standar ini berbeda jauh dengan yang dikutip oleh Darwazah. Standar ini mirip dengan standar mushaf Ali bin Abi Thalib, karena Ali adalah guru Ibnu 'Abbâs. Dalam standar yang dikutip oleh al-Sa'îdi, disebutkan bahwa surat al-Duhâ berada pada urutan ke-3 sebelum al-Muzzammil. Surat al-'Âdiyât dalam versi ini berada pada urutan turun ke-112

(Madaniyyah), sedangkan dalam versi Darwazah berada pada urutan ke-13. 69 Mushaf versi Jabir bin Zaid juga menampilkan susunan yang berbeda dari

mushaf yang lain. Bahkan, biasa dikatakan mushaf inilah yang paling banyak perbedaannya. Dari jumlah suratnya, mushaf ini hanya memuat 103 surat saja. 70

67 Lihat tabel 3 kolom 7 pada lampiran 68 Lihat tabel 3 kolom 8 pada lampiran

69 Dan masih banyak lagi perbedaan yang sangat signifikan dalam kedua versi mengenai susunan mushaf Ibnu 'Abbâs ini. Untuk lebih jelasnya lihat al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân,

h. 21-22 dan 25-27. bandingkan dengan Darwazah, Sirah al-Rasûl, juz I, h. 145-149, dan Darwazah, Sirah al-Rasûl, juz II, h. 10, atau lihat tabel di atas.

70 Sebelas surat yang tidak disebutkan dalam mushaf ini adalah: Ibrâhîm, al-Nisâ, al- Zalzalah, al-Hadîd, Muhammad, al-Ra'd, al-Rahmân, al-Insân, al-Thalâq, al-Bayyinah, dan al-Hasyr.

Ada beberapa perbedaan susunan dalam mushaf ini, yaitu surat al-Syûrâ yang menempati urutan ke-69, kemudian dilanjutkan oleh al-Sajdah (70), al-Anbiyâ (71), al-Nahl (72), Nûh (73), al-Thûr (74), al-Mu'minûn (75), dan al-Mulk (76). Urutan selanjutnya kembali normal hingga nomor 79 yang ditempati oleh surat

al-Nâzi'at. 71 Kemudian, dalam susunan surat Madaniyyah, setelah surat al- Baqarah (1) adalah surat Âli 'Imrân. Kemudian, surat al-Mumtahanah (6)

bernomor sama dengan surat al-Mâ`idah, yang semula berada pada urutan ke dua dari bawah. Nomor ganda juga terjadi pada urutan 15 yang ditempati oleh surat al-Taghâbun dan al-Fath. Surat al-Mâ`idah dan al-Nasr yang semula berada pada urutan tiga terbwah, kini juga turut naik menjadi urutan ke-5 dan 7. Perbedaan berikutnya adalah pada surat al-Jumu'ah yang semula berada setelah aurat al- Taghâbun dan al-Saff , namun kini naik menjadi sebelumnya.

Sedangkan jika kita komparasikan beberapa versi mushaf di atas, kita akan mendapati bahwa ternyata banyak surat-surat dalam mushaf al-Qur`ân yang resmi sekarang (mushaf Utsmânî) yang tidak ada dalam mushaf lain. Barangkali hal ini karena adanya asumsi naskh-mansukh atau mungkin karena ada faktor lain, seperti penggabungan dua surat.

Dari perbandingan susunan surat dalam beberapa mushaf di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa di dalam komunitas akademik Muslim juga terjadi perbedaan yang sangat signifikan. Tentu, hal ini akan sangat berpengaruh pada cara pandang dalam hal penafsiran dan munâsabât al-Qur`ân. Hanya saja, meskipun terdapat perbendaan yang sangat signifikan diantara mereka, akan tetapi masih dalam koridor atau tetap berpedoman pada riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang tartîb nuzûlî surat.

71 Dengan demikian, surat al-Nazi'ât di hmpir semu versi di atas berda pad urutan sebelum al- Naba'.

Jika sesama akademik Muslim terdapat perbedaan yang begitu berarti, lalu bagaimana dengan pandangan para komunitas akademik non-Muslim? Hal ini juga sangat penting untuk dikaji, mengingat kian banyaknya Orientalis yang semangat meneliti al-Qur`ân dari berbagai aspeknya dengan latar belakang dan motif yang berbeda-beda. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan antar akademik non-Muslim dan antara akademik Muslim dengan non- Muslim.

Menurut Abdurrahman badawi, seorang Islamolog Barat yang pertama kali melakukan upaya penyususnan mushaf al-Qur`ân berdasarkan kronologi turunnya adalah Theodor Noldeke dalam bukunya Geschichtedekorans Gottingen

1860. 72 dalam upaya penyusunannya tersebut, ia banyak mengemukakan kritik formatif terhadap susunan mushaf dengan pendekatan sejarah dan susastra

modern. Kritik tersebut awalnya ditujukan kepada beberapa riwayat yang ada dalam kitab-kitab Hadits, sejarah , seperti Sîrah Ibn Hisyâm, Târîkh al-Tabari, dan sebagainya, dan juga buku yang berkaitan dengan Asbâb al-nuzûl. Secara

umum, kritik ini mencakup tigal hal, yaitu: 73

a. gaya bahasa (uslûb al-lughah) surat berikut karakteristik dan cara penyampaiannya 74

72 Buku ini berisi seputar asal-usul dan komposisi al-Qur`ân. Buku ini juga merupakan rujukan utama dalam kajian al-Qur`ân versi Islamolog Barat. Awalnya buku ini diterbitkan dalam

bahasa Latin. Karena memenangkan sayembara, maka buku ini diperbesar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada 1860 dengan judul di atas. Kemudian pada 1898, penerbit menyarankan diterbitkannya edisi ke dua. Namun, saat itu Noldeke tidak lagi sanggup mengerjakannya sendiri, sehingga tugas ini diserahkan kepada muridnya, yaitu Friedrich Schwally, akan tetapi belum selesai tugasnya untuk merivisi buku ini, ia meninggal dan dilanjutkan oleh Bergstrasser untuk melengkapinya, akan tetapi ia pun meninggal, dan akhirnya diselesaikan oleh muridnya bernama Pretzl. Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, terj. Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 155; lihat juga Abî Bakr 'Abdullah bin Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy'ab al- Sajastânî, Kitâb al-Masâhif, (Mesir: al-Matba'ah al-Rahmâniyah, 1946), cet. ke-1, h. 4

73 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, terj. Kamâl Jâdullah, (t.tp.: al-Dâr al-‘Âlamiyah Li al-Kutub wa al-Nasyr, t.th.), h. 117-118

74 Menurut Nôldeke dalam bukunya, Hartwig Hirschfed, New Researches into the Composition and Exegesis of the Koran, sistem penanggalan al-Qur`ân ini dapat didasarkan pada gaya 74 Menurut Nôldeke dalam bukunya, Hartwig Hirschfed, New Researches into the Composition and Exegesis of the Koran, sistem penanggalan al-Qur`ân ini dapat didasarkan pada gaya

c. sikap Nabi terhadap kaum Yahudi, Nasrani dan Paganis Arab. 75 Dari kritik tersebut kemudian dihasilkanlah sebuah kesimpulan mengenai

periodisasi surat. Dalam hal ini, Noldeke, sebagaimana akademik Muslim, membagi surat al-Qur`ân menjadi Makkiyah dan Madaniyyah. Hanya saja, Noldeke dan umumnya orientalis lainnya, membagi lagi klasifikasi Makkiyah menjadi tiga periode, yaitu periode pertama, tengah dan akhir.

Periode Makkiyah pertama adalah memiliki karakteristik khusus terdiri dari surat-surat pendek, berima sama dan penuh dengan kiasan (amtsâl). Biasanya

muncul kata-kata sumpah di awal surat. 76 Sedangkan periode ke dua ditandai dengan cerita-cerita Nabi dan umat terdahulu, banyaknya ilustrasi alam dan

sejarah, 77 dimulai dengan ajaran akidah, surat-surat yang relatif lebih panjang, terdapat banyak ayat yang diawali dengan kata "qul", dan munculnya kata "al-

Rahmân" sebagai salah satu nama atau sifat Allah. Adapun periode ke tiga memiliki ciri khas tidak lagi banyak menyebut kata "al-Rahmân", namun cerita- cerita umat terdahulu semakin banyak sehingga terkesan membosankan, dan terlalu banyak ayat-ayat futuristik.

bahasa dan cara penyampaiannya, karena masing-masing periode pasti ada perbedaan cara penyampaian tersebut. Menurutnya, gaya penyampaian bahasa al-Qur`ân terbagi menjadi konfirmatori, deklamatori, naratif, deskriptif atau legislatif. Hal ini karena ia berasumsi bahwa dalam penelitian al-Qur`ân, seharusnya masalah Qirâ'ah lah yang banyak diperhatikan, bukan masalah surahnya. Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, h. 98. Namun hal ini dibantah lagi oleh Abdurrahman Badawi. Menurutnya asumsi Nôldeke tersebut tidak dapat dibenarkan, karena tidak ada alasan yang kuat. Lebih lanjut, Badawi mengemukakan alasannya bahwa al-Qur`ân turun di Mekkah hanya sekitar 12 tahun (610-622 M.) saja. Durasi ini terlalu singkat untuk terjadinya perubahan gaya bahasa dan penyampaian. Lihat Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 121-122

75 Penanggalan seperti ini banyak terjadi pada surat-surat Madaniyyah. Penanggalan model ini juga dapat diketahui melalui misalnya perang Badar, Uhud, Khaibar, Hunain, Tabuk, Fath Makkah,

perjanjian Hudaibiyah, dan sebagainya. Lihat penjelasan semacam ini dalam Tufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`ân, (Jakarta: alvabet, 2005), cet. I, h. 98-99

76 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 118-119 77 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, h. 96

Hanya saja kriteria ini dibantah oleh Islamolog Barat yang lainnya, yaitu Richard Bell. Menurutnya kesimpulan ini terlalu terburu-buru, dan patut direvew. Karena apakah mungkin al-Qur`ân menggunakan kata tersebut hanya pada periode tertentu saja, sedangkan pada periode-periode yang lainnya tidak lagi dipakai. Tetapi memang tidak ada catatan resmi, baik dari-al-Qur`ân maupun hadis megnenai periode pemakaian kata ini. Kesimpulan ini juga dibantah karena ternyata terbukti kata tersebut masih dipakai pada periode Madinah, bahkan jauh

setelah hijrah, tepatnya pada saat perjanjian Hudaibiyyah. 78 Di samping itu, Noldeke dalam membahas aransemen kronologi surat juga

terkesan tidak konsisten, karena di satu sisi membahas surat sekaligus, dan di sisi lain membahas masing-masing ayat.

Orientalis lain yang tertarik pada kajian al-Qur`ân adalah Gustav Weil. Ia adalah sosok islmolog Barat yang tertarik pada kehidupan Nabi Muhammad. Ia juga sempat menulis buku yangberjudul Historische-kritische Einleitung in den Koran, 1843. Ia memiliki gagasan yang mirip dengan Noldeke mengenai periodisasi al-Qur`ân ke dalam Makkiyah awal, tengah, dan akhir, serta Madaniyyah. Hanya saja dalam susunannya, ia banyak berbeda dengan Noldeke. Berikutnya adalah Rêgis Blachêre, ia juga memiliki susunan kronologi surat al- Qur`ân yang berbeda, meskipun model klasifikasinya sama dengan yang lain.

Selain ketiga tokoh tersebut, masih ada satu lagi yang juga sangat giat dalam mengkaji al-Qur`ân, yaitu Richard Bell. Ia adalah seorang Islamolog yang pernah menulis buku Intoduction to the Quran (1953) yang kemudian disempurnakan lagi oleh W. M. Watt. Bell dalam mengurutkan surat al-Qur`ân, merujuk pada Nôldeke. Ia berkesimpulan bahwa wahyu yang orisinal dari Tuhan adalah berupa ayat-ayat saja. Sedangkan surat dan susunannya dalam Mushaf

78 Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Quran, h. 97; lihat juga Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 121.

adalah hasil konstruksi yang dilakukan Nabi saw. sendiri melalui bimbingan dari Tuhan. Meski demikian, menurut Bell, Nabi juga melakukan beberapa perubahan beberapa susunan, seperti menyusun sebuah surat yang terdiri dari beberapa ayat

yang turun secara terpisah, menaskh, menyesuaikan rima (saj’), dan sebagainya. 79 Jika para orientalis di atas melakukan kritik susastra untuk menentukan

penanggalan al-Qur`ân, kini tiba giliran Bell untuk melakukan pekerjaan yang sama. Ia melihat adanya beberapa ayat yang tidak sesuai jika dilihat dari segi kebahasaannya. Dengan memperhatikan uslûb ayat, ia membuat kesimpulan bahwa di akhir surat al-Zumar terdapat ayat yang terisolasi. Menurutnya, ayat 75 ini seharusnya berada tepat setelah ayat 69. Asumsi ini didasarkan pada kandungan ayat yang menceritakan suasana pada yaum al-hisâb. Namun sebelumnya, pada ayat 69-70 telah ada ketetapan pasti mengenai nasib setiap orang di akhirat. Orang-orang kafir masuk neraka, dan orang-orang yang bertakwa, akan masuk surga. Melihat kandungan ayat dan gaya bahasanya ini, Bell berkesimpulan bahwa nabi melakukan perubahan susunan melalui isolasi ayat 75 yang seharusnya berada pada posisi lima ayat lebih awal. Perubahan susunan berdasarkan uslûb ayat ini terlihat pada kritik Bell bahwa ayat 69 s.d. 74

adalah Madaniyyah. Sedangkan surat ini, tertulis sebagai surat Makkiyah. 80 Jika kita perhatikan metode penanggalan al-Qur`ân di atas versi akademik

non-Muslim di atas, tampak ada kemiripan dengan yang dilakukan Darwazah. Dalam menyusun surat al-Qur`ân sesuai dengan kronologi turunnya, Darwazah juga menggunakan pendekatan sejarah dan susastra. Hal ini terlihat dengan lebih jelas ketika ia mengubah posisi beberapa surat dari mushaf yang ia pedomani.

79 Untuk lebih jelasnya memngenai hal ini, lihat W. M. Watt., Richard Bell, Pengantar Quran, h. 74-78

80 Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Qur`ân, (Jakarta: alvabet, 2005), cet. I, h. 134

Hanya saja, dalam menentukan semua ini, Darwazah menggunakan media riwayat untuk menentukan sejarahnya.

Meskipun ada beberapa poin yang sama, bukan berarti hasil susunan yang diperoleh masing-masing akademik ini adalah sama. Terbukti misalnya, susunan Nôldeke berbeda dengan susunan Weil, begitu pula dengan susunan Blachêre. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini, dapat dilihat dalam tabulasi komparasi aransemen kronologi surat dalam al-Qur`ân versi akademik non-Muslim pada lampiran.

Sebagaimana disebutkan dalam tabulasi empat mengenai perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekkah awal versi akademik non-Muslim, surat-surat tersebut masuk dalam kategori yang berciri khas sangat pendek, berirama teratur, diawali dengan sumpah, dan bahasanya bernilai sastra yang sangat tinggi. Ciri-ciri ini sesuai dengan ciri khas periode pertama Makkiyah. Periode Mekkah awal ini dimulai dari awal masa keNabian hingga hijrah ke Habasyah (615 M.)

Berdasarkan tabel empat, jumlah surat yang turun pada periode Mekkah pertama, menurut Weil 46 surat, sedangkan menurut Blachêre adalah 48 surat dan menurut Noldêke berjumlah 38 surat.

Tabel tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan yang substantif antar versi. Ketiga versi di atas sepakat bahwa surat yang pertama turun adalah al- 'Alaq. Menyusul kemudian adalah surat al-Muddatstsir. Selebihnya, hampir tidak ada kesamaan antar versi.

Periode Mekkah ke dua yaitu periode Mekkah tengah ini bertitik tolak dari ayat yang turun pascahijrah dari Habasyah hingga masa kembali Nabi dari Thaif

(620 M.). 81 Periode ini agak berbeda dengan periode pertama. Surat-surat yang

81 Untuk perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekkah tengah versi akademik non-Muslim, lihat tabel 5 pada lampiran 81 Untuk perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekkah tengah versi akademik non-Muslim, lihat tabel 5 pada lampiran

tersebut. 82 Berbeda dengan kelompok Mekkah pertama, pada kelompok ini ada dua

versi yang cenderung identik satu sama lain. Kondisi seperti ini terlihat pada versi Blachêre dan Noldeke. Semula, kedua tokoh ini berbeda pada periode Mekkah. Perbedaan ini berlanjut hingga empat surat pertama periode ini. Persamaan mulai terjalin pada surat al-Dukhân hingga al-Naml. Sedangkan Weil, sampai sejauh ini tetap berbeda dari yang lain.

Sedangkan periode Mekkah akhir, 83 berawal dari pascahijrah ke Thaif hingga masa hijrah ke Yasrib (Madinah), atau sekitar pada September 622 M.

Periode ini menghasilkan surat yang berkarakteristik surat lebih panjang dari periode selumnya. Selain itu, gaya bahasa yang dibawa pun tidak lagi puitis, melainkan berbentuk prosa. Bahkan Weil –mengutip pendapat Adnan Amal- beranggapan bahwa "kekuatan puitis" periode pertama dan ke dua kian

menghilang. 84 Tampaknya, perubahan ini terjadi karena menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang dihadapi. Di samping itu, periode kedua ini juga

merupakan periode transisi antara Mekkah dan Madinah. Periode ini juga banyak menceritakan umat terdahulu, yang nantinya akan diperbanyak lagi oleh surat-

surat Madaniyyah. 85 Adalah periode Madinah yang dimulai dari masa hijrah Nabi ke kota

tersebut untuk membentuk masyarakat baru yang lebih baik. Masyarakat Madinah

82 Lihat Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`ân, h. 119 83 Lebih jelasnya perbandingan aransemen kronologi surat periode Mekkah akhir versi

akademik non-Muslim, lihat tabel 6 pada lampiran 84 Lihat Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`ân, h. 120

85 Perbandingan aransemen kronologi surat periode Madinah versi akademik non-Muslim, lihat tabel 7 pada lampiran 85 Perbandingan aransemen kronologi surat periode Madinah versi akademik non-Muslim, lihat tabel 7 pada lampiran

Keadaan yang sudah cukup mapan ini memudahkan Nabi untuk membangun peradan baru yang Islami. Tatanan masyarakat pun dapat berubah dengan begitu cepatnya. Hal ini menyebabkan wahyu-wahyu yang turun kepada Nabi lebih banyak berisi tentang hukum dan aturan kemasyarakatan. Gaya bahasa yang dipakai pun juga berubah. Karakteristik surat yang turun saat itu pun juga berubah menjadi sangat panjang.

Perbandingan susunan kronologi surat pada tabel Perbandingan aransemen periode Madinah menggambarkan adanya dua perbedaan yang cukup substansif. Sebagaiman dua periode Mekkah terakhir, perbedaan ini terlihat sangat mencolok pada aransemen versi Weil dengan Blachêre dan Noldêke, meskipun keduanya juga menyimpan perbedaan.

Dalam versi Blachêre dan Noldêke, perbedaan hanya terlihat di dua tempat saja, yaitu pada surat al-Hijr dan al-Rahmân. Kedua surat ini tidak ditemukan dalam kronologi Madaniyyah versi Blachêre. Surat al-Hijr, menurut versi Blachêre berada pada kelompok Makkiyah ke-2. sedangkan surat al- Rahmân masuk kelompok Makkiyah pertama. Sebagai ganti kedua surat tersebut, Blacêre mengambil surat Muhammad dan al-Hasyr yang justru tidak disebutkan

oleh Noldêke, baik dalam Makkiyah pertama, kedua ataupun ketiga. 86 Selain beberapa tokoh Orientalis di atas, ada beberapa orientalis Eropa

lain yang juga merancang susunan surat al-Qur`ân berdasarkan penanggalan

86 Lihat kebali tabel 4, 5, dan 6, lihat juga table 7 pada lampiran 86 Lihat kebali tabel 4, 5, dan 6, lihat juga table 7 pada lampiran

Adalah H-Grimme yang memiliki inisiatif untuk menentukan penanggalan al-Qur`ân berdasarkan perkembangan tema-tema religi, seprti tauhid, kebangkitan (al-ba'ts), hari akhir, dll. Namun Grimme hanya fokus pada peride Madinah saja.

Sedangkan untuk periode Mekkah, ia menginduk pada teori Noldêke. 87

Terkait dengan susunan kronologi surat periode Mekkah dan Madinah ini, ada versi lain dari seorang orientalis bernama William Muir. Ia membagi periodisasi al-Qur`ân ke dalam lima periode, yaitu: (1) masa sebelum keNabian, (2) turun surat pertama hingga adanya perintah resmi tentang kerasulan Muhammad, (3) masa kerasulan hingg tahun ke-6 keNabian (616 M.), (4) tahun ke-6 hingga tahun 10 keNabian, (5) tahun ke-10 keNabian hingga hijrah ke

Madinah (622 M.). 88 Dari pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa para

pacinta studi al-Qur`ân, khususnya dari komunitas akademik non-Muslim, dalam menentukan susunan surat al-Qur`ân menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sejarah atau fenomena masyarakat Arab saat al-Qur`ân turun. Selain itu, upaya ini juga dilakukan melalui pendekatan teks, baik itu dari segi gaya

bahasanya (uslûb) ataupun tema-tema yang dibawa. 89 Jika kita kembali pada metode Darwazah dalam menyusun surat al-

Qur`ân, sebagaiman yang ada dalam tafsirnya, ternyata pendekatan yang dipakai juga sama, yaitu pendekatan sejarah dan teks. Hanya saja, dalam hal ini

87 Meski demikian, ia juga sedikit tampil beda dari Noldêke. Ada beberapa surat yang tidak ia sebutkan, namun disebutkan oleh Noldeke. Untuk lebih jelasnya mengenai Grimme dan perbedaannya

dengan Noldeke dalam susunan kronologi Mekah lihat, Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 122

88 Abdurrahman Badawi, Difâ’ ‘An al-Qur`ân Didda Muntaqidîhi, h. 123 89 Kesimpulan ini mendukung pendapat Abid al-Jabiri dalam pengantar studi al-Quran. Lihat

keterangan ini dalam Muhammad 'Abid al-Jabiri, Madkhal Ilâ al-Qur'ân al-Karîm, (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wahdah al-'Arabiyyah, 2006), juz I, h. 241

Darwazah, selain memakai riwayat sebagai titik tolak, juga memakai standar uslûb sebagai patokan utamanya.

Di atas, telah dijelaskan mengenai perspektif akademik non-Muslim terhadap aransemen kronologi surat al-Qur`ân. Terkait dengan pandangan tersebut, al-Sa'îdi dalam bukunya yang berjudul al-Nuzhum al-Fannî fî al-Qur'ân al-Karîm, menyatakan hal yang senada dengan pandangan orientalis. Meski

demikian juga terdapat perbedaan yang substansial antara keduanya. 90 Berdasarkan tabulasi penanggalan al-Qur`ân menurut versi al-Busairi yang

dinukil oleh al-Sa'îdi, dapat dipahami bahwa al-Sa'îdi membagi edisi turun al- Qur`ân ini menjadi tujuh periode. Tiga edisi untuk periode Mekkah, dan empat edisi sisanya untuk periode Madinah. Pembagian seperti ini didasrkan pada asumsi bahwa setiap perubahan kondisi masyarakat, mengakibatkan perubahan karakter wahyu yang turun. Selama 23 tahun berdakwah, Nabi telah menghadapi sekian jenis peradaban dan beragam watak serta kondisi masyarakat. Tentunya, masing-masing kondisi tersebut tidak dapat diperlakukan dengan cara yang sama. Berngkat dari sinilah al-Sa'îdi terinspirasi untuk mengklasifikasikan surat

berdasarkan kronologi turunnya. 91 Periodisasi al-Sa'îdi ini didasarkan kepada sejarah, yang dibuktikan

dengan bukti tertulis berupa riwayat, gaya bahasa al-Qur`ân dan kandungannya secara umum. Misalnya, pada edisi pertama, surat-surat yang turun pun bernada proklamasi dakwah Nabi, penguatan mental Nabi dalam menjalankan misi dakwah, dan sebagainya. Karakteristik seperti ini menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat. Saat itu, kaum Musyrikin Mekkah cenderung menghentikan perlawanannya terhadap dakwah Nabi. Mereka juga tidak

90 Untuk lebih jelasnya lihat tabel 8 tentang penanggalan al-Qur`ân menurut versi al-Busairi pada lampiran

91 Abdul Muta'âl al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, (Kairo: Maktabat al-Âdâb, t.th.), h.32 91 Abdul Muta'âl al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, (Kairo: Maktabat al-Âdâb, t.th.), h.32

Edisi pertama periode Mekkah dimulai dari awal turunnya wahyu pertama (tahun pertama keNabian) hingga hijrah ke Habasyah, Abbesinia (tahun ke-7 keNabian). Terkait dengan hal ini, surat yang turun pada saat-saat tersebut adalah

al-'Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil, al-Muddattsir, al-Fâtihah, dan seterusnya. 93 Surat yang turun pada edisi ini adalah surat-surat terpendek.

Menyusul berikutnya adalah edisi yang diawali dari hijrah ke Abbesinia hingga terjadinya peristiwa Isrâ' dan Mi'râj (tahun 12 keNabian). Surat-surat yang termasuk edisi ini adalah relatif lebih panjang daripada edisi pertama, namun tetap terdiri dari ayat-ayat yang pendek. Bakhan ada beberapa surat yang juga cukup panjang, seperti al-A'râf.

Kondisi masyarakat Arab pada masa-masa ini, khususnya kaum musyrikin, kembali melakukan serangannya terhadap dakwah Nabi. Mereka juga mulai menuntut bukti-bukti nyata atas keNabian Muhammad, meskipun kemudian tetap tidak terkabulkan tuntutannya. Pada masa ini, belum turun mandat untuk Nabi agar melaran mereka, meskipun dalam surat al-Qasas telah ada

indikasi-indikasi yang mengarah ke sana. 94 Sebagai akibatnya, surat yang turun pun, masih fokus pada ajaran-ajaran pokok dan penguatan mental sebagai

persiapan menghadapi pertempuran yang lebih dahsyat lagi. Biasanya isi suratnya cenderung mengarah pada akidah, targhîb wa tarhîb, dan sebagainya.

Kondisi berikutnya belum menunjukkan banyak perubahan. Kondisi ini dimulai dari peristiwa Isra` dan Mi`raj hingga hijrah ke Madinah. Tampaknya, peritiwa Isra` dan Mi`raj inilah yang menjadi titik tolak perubahan kondisi. Pada masa ini, telah mulai mengarah pada legalisasi pembelaan diri terhadap

92 al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, h.32 93 Lihat kolom Makkiyah I pada table di atas 94 al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, h.33 92 al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, h.32 93 Lihat kolom Makkiyah I pada table di atas 94 al-Sâ’îdi, al-Nazhm al-Fannî fî al-Qur'ân, h.33

pendek hanya sedikit jumlahnya. 95 Sedangkan edisi pertama dalam periode Madinah, diawali sejak hijrah

hingga perang Badar (2 H.). Peralihan kondisi masyarakat Mekkah ke Madinah ini menghasilkan surat yang cakupannya lebih luas lagi. Pada periode ini yang menjadi lawan dakwah adalah kaum Yahudi dan Nasrani, dan juga beberapa orang tercatat sebagai hipokrit.

Edisi berikutnya dimulai dari pasca-Badar hingga perjanjian Hudaibiyah (6 H.). Pada periode ini, perlawanan Yahudi dan Nasrani serta para hipokrit kian membabi buta. Mereka tidak bisa lagi di ajak komunikasi dengan baik. Kondisi seperti pada gilirannya melahirkan surat tentang jihad dan perang. Selain itu, isinya juga sudah mulai mengarah pada penegakan hukum-hukum syar'i.

Pasca-Hudaibiyah hingga perang Tabuk (9 H.) menandai adanya edisi ke-