Metodologi Tafsir Modern; Pengertian dan Sebab Munculnya

A. Metodologi Tafsir Modern; Pengertian dan Sebab Munculnya

3 4 Pada dasarnya, maksud dan tujuan dari metodologi 5 tafsir modern secara sekilas tidak terdapat perbedaan dengan metodologi tafsir klasik, keduanya

ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci agar dapat kompatibel dengan kondisi dimana mufassir hidup. Andrew Rippin, menyatakan bahwa tujuan dari penafsiran adalah untuk mengklarifikasi (maksud) sebuah teks. Dalam hal ini, tafsir menjadikan teks al-Qur`ân sebagai obyek awal dengan memberikan perhatian penuh terhadap teks tersebut sehingga jelas maknanya. Selain itu, tafsir juga berfungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi (konteks) yang

3 Istilah metodologi, merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris methodology yang berarti serangkaian praktek, prosedur, dan aturan yang digunakan dalam serangkaian disiplin ilmu atau

penyelidikan, dan kata methodology sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu methodus dan logia, yang kemudian diserap kedalam bahasa Yunani menjadi methodos yang dirangkai dari kata meta dan hodos. Methodos mengandung arti cara atau jalan dan logos yang berarti kata atau pembicaraan. Lihat David

A. Jost (ed.), The American Heritage College dictionary, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1993), h. 858 & 798. Jika ditarik kedalam pengertian luas, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya. Lihat Robert Bogdan dan Steven J. Tailor, Introduction to Qualitative Research Method: Phnomenological Approach to The Social Sciences, (New York: John Wiley & Sons, 1975), h. 1

4 Istilah ini merupakan serapan dari bentuk taf’îl dari kata benda al-fasr dari kata kerja fassara yufassiru yang berarti keterangan yang memberikan penjelasan. Lihat Abu al-Fadl al-Dîn

Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al-‘Arab, Jilid 5, (Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990), h. 15, ada pula yang mengatikannya dengan pengertian menyingkap bagian yang tertutup, sedangkan makna al- tafsîr membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafadz (teks) yang sukar dipahami, dalam arti memberi penjelasan dan keterangan. Lihat Muhammad bin Abû Bakar bin ‘Abd al-Qâdir al-Râzî, Mukhtâr al- Shihhâh, (Beirut: Dâr al-Jail, t.th), h. 503 sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata tafsîr merupakan kata kerja terbalik dari kata kerja safara yang berarti menyinari, membuka dan menyingkap. Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ed. J. Milton Cowan, (Ithaca, New York: Spoken Language Services, Inc., 1976), h. 412

5 Sedangkan istilah modern merupakan kata serapan dari bahasa Inggris modern yang bermakna terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.

Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Dik. Bud., Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 589. dan era modern ini mencakup abad ke-18 hingga memasuki abad ke-

20. periode ini dimulai sejak ekspansi kolonial Eropa. Lihat Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), in Ensiclopedia of Islam and The Muslim World, (New York: Macmillan Reference USA & Thomson, 2004), Vol. 2, h. 467, Istilah modern ini muncul dan dipakai dalam konteks peradaban Islam, dikala terjadi kontak intelektual dunia muslim dengan Barat, sebagaimana yang tampak dalam pemikiran Rifa’ah Râfi’ al-Tahtâwî (1801-1873) di Mesir dan Ali Suavi (1839- 1878) di Turki. Lihat Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), Ensiclopedia of Islam and The Muslim World, h.467. Bandingkan David Commins, Modernism, in John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), vol 3, h. 118-119 20. periode ini dimulai sejak ekspansi kolonial Eropa. Lihat Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), in Ensiclopedia of Islam and The Muslim World, (New York: Macmillan Reference USA & Thomson, 2004), Vol. 2, h. 467, Istilah modern ini muncul dan dipakai dalam konteks peradaban Islam, dikala terjadi kontak intelektual dunia muslim dengan Barat, sebagaimana yang tampak dalam pemikiran Rifa’ah Râfi’ al-Tahtâwî (1801-1873) di Mesir dan Ali Suavi (1839- 1878) di Turki. Lihat Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), Ensiclopedia of Islam and The Muslim World, h.467. Bandingkan David Commins, Modernism, in John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), vol 3, h. 118-119

dijadikan sebagai pandangan hidup bagi orang mukmin. 6 Kiranya faktor utama yang membedakan keduanya (metodologi tafsir

klasik dan metodologi tafsir modern) adalah dampak ilmu pengetahuan yang menuntut terciptanya sebuah pemahaman baru terhadap teks Kitab Suci. Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa sebagian besar umat Islam tidak memahami pesan al-Qur`ân yang sesungguhnya, karena hilangnya sentuhan inti

pengetahuan dan semangat rasional dari teks. 7 Disamping dampak ilmu pengetahuan sebagai faktor pembedanya,

terdapat pula dua karakteristik yang menonjol yang membedakannya dari metodologi tafsir kalsik, yaitu: pertama, metodologi tafsir modern menjadikan al- Qur`ân sebagai Kitab petunjuk, dengan meminjam istilah dari Amin al-Khûli (w.

1966 M) yaitu al-ihtidâ bi al-Qur`ân. 8 Dan kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada di balik teks al-Qur`ân. Dengan

kata lain, metodologi tafsir modern tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Qur`ân secara literal, tetapi mencoba menelaah lebih jauh apa yang ingin dicapai ungkapan-ungkapan literal tersebut, yaitu ingin mencari

ruh atau pesan moral yang terkandung dalam al-Qur`ân. 9 Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa metode tafsir bermakna suatu

prosedur sistematis yang diikuti dan digunakan dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud kandungan al-Qur`ân. Dalam hal ini Nashruddin Baidan mengemukakan metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam

6 Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), vol. 14, h. 237

7 Andrew Rippin, “Tafsir”, h. 242 8 Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma’ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365 9 Fazlurrahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), cet. ke-2 h.

penafsiran al-Qur`ân. 10 Munculnya pembacaan baru terhadap sumber ajaran Islam (al-Qur`ân) ini

dengan beberapa metode yang dianggap relevan dengan tuntutan zaman, paling tidak dapat di lacak dari kondisi umat Islam sejak awal abad ke-19 M, ketika itu umat Islam merasakan kebutuhan untuk melakukan transformasi dari Barat. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan dan tantangan kehidupan modern yang semakin kompleks yang merupakan konsekwensi logis dari adanya kontak Islam yang semakin intens dengan peradaban bangsa Eropa yang telah maju baik dalam

bidang keilmuan maupun dalam bidang teknologi. 11 Dikala itu umat Islam mengalami kemunduran, stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang

berkepanjangan, sehingga mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami kitab-kitab tafsir karya mufassir terdahulu yang sedemikian banyaknya.

Sebagai ilustrasi kondisi masyarakat pada masa tersebut, Sayyid Qutub sebagaimana yang dilansir oleh Quraish Shihab menggambarkan kondisi masyarakat pada saat itu secara singkat dan tepat, yaitu “suatu masyarakat yang mengalami kemandegkan, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah dan meng-istinbat-kan hukum- hukum, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya pendahulu mereka, juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud), serta berlandaskan khurafat. Sementara itu, di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah adanya penemuan-penemuan yang mengagumkan, ditambah dengan kejaman-kejaman tajam yang dilontarkan oleh para orientalis terhadap

ajaran-ajaran Islam. 12

10 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 2

11 J.M.S. Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 2 12 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur`ân; Studi Kritis atas tafsir al-Manâr, (Jakarta:

Lentera Hati, 2007), cet. ke-2, h. 13

Untuk memulihkan keseimbangan antara kedua masyarakat tersebut, kaum modernis bepandangan bahwa perlu kiranya melakukan adaptasi dengan praktik yang terkait dengan kekuatan Eropa yang didukung dengan keilmuan dan teknologi dengan cara mempelajari sains Eropa modern tentunya dengan sikap

yang bijaksana. 13 Asumsi kaum modernis demikian ini karena menurut mereka berkembangnya sains Eropa modern ini didasarkan pada pengetahuan Islam

Klasik yang dibawah oleh Muslim Spanyol ke Eropa. Maka dari itu, jika kaum Muslim bersedia mempelajarinya, mereka akan memperoleh kembali warisan intelektual mereka sendiri.

Kondisi tersebut dirasakan oleh umat Islam tatkala Napoleon beserta pasukannya berhasil menaklukkan Mesir dengan sangat mudahnya, dan menjadikan bangsa-bangsa Muslim terperanjat luar biasa yang mempengaruhi kondisi psikologi mereka. Umat Islam baru menyadari secara amat terlambat bahwa terdapat bangsa lain yang benar-benar lebih unggul dari mereka, yaitu bangsa Eropa.

Nurcholis Madjid menyebutkan tiga poin yang menyebabkan keterpranjatan mereka, yaitu: (1) Hal-hal yang berkaitan dengan psikologis, dimana kaum Muslimin merasa sebagai kelompok manusia yang paling unggul selama ini, hal ini berimplikasi pada tidak adanya kesiapan mental untuk menerima kenyataan bahwa bangsa lain (Eropa) dapat lebih unggul dari mereka; (2) sejarah interaksi bermusuhan yang berkepanjangan antara dunia Islam dan dunia Kristen (orang-orang Eropa tetap menyimpan dendam untuk penaklukan Spanyol di barat dan negeri-negeri Balkan di timur, demikian pula dengan perang salib yang berkepanjangan yang berakhir dengan kekalahan tentara Kristen); dan (3) Letak geografis Dunia Islam yang berdampingan serta bersambungan dengan

13 David Commins, Modernism, in John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, h. 118

Eropa, memiliki potensi kuat dalam memperbesar arti komplik sdebgaimana yang disebutkan dalam poin kedua. 14

Keterperanjatan umat Islam atas jatuhnya Mesir ketangan Barat menginsafkan mereka akan kelemahannya dan menyadarkan mereka dengan munculnya peradaban baru yang lebih tinggi akan menjadi ancaman bagi Islam. Pada saat itu pula, muncul satu subtansi pengetahuan keislaman yang dikenal

dengan modernisme Islam 15 . Dalam kondisi demikian, para tokoh pembaru, modernis, mencetuskan

sebuah gagasan utama, yaitu “kembali kepada al-Qur`ân dan al-hadîts”. Diantara tokoh yang dengan serius menyerukan dan mengajak untuk kembali kepada al- Qur`ân dan berpegang teguh dengannya, serta perlunya melakukan penafsiran

ulang (reinterpretasi)-dengan metode baru yang dianggap relevan 16 -terhadap ajaran-ajaran dasar Islam yang sesuai atau sejalan dengan perkembangan zaman

adalah Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Selanjutnya ia (Muhammad ‘Abduh) mengeluarkan sologan “al-Islâm mahjûb bi al-Muslimîn” yang dimaksud oleh Muhammad Abduh dengan sologan tersebut, bahwa keindahan Islam hilang disebabkan oleh kemunduran umat Islam.

14 Lihat Nurcholis Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. ke-3, h. 45-46

15 Modernisme Islam atau yang juga dipahami sebagai pembaharuan dalam Islam ini merupakan suatu upaya untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan dinamika dan

perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Atau modernisme Islam juga dapat diartikulasikan sebagai upaya pembaharuan dalam penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam al-Qur`ân dan hadits sesuai dan sejalan dengan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi. Lihat Mastuhu, dkk., Seminar IAIN Jakarta, (Jakrta: Lembaga Penelitian IAIN, 1987), h. 12

16 Hasan Hanafi menyatakan bahwa sebuah metode dalam penafsiran merupakan pendahuluan yang niscaya untuk memahami dan merubah al-Qur`ân dari wahyu Ilahi menjadi tujuan insani, dari

kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. menjadi kalam insani yang ditujukan kepada berbagai kelompok kemanusiaan. Karena tafsir tidak terjadi dalam ruang yang hampa, tetapi terjadi dalam ruang dan waktu tertentu, momen historis tertentu, maka hal ini mengharuskan kita memiliki sebuah metode tafsir yang secara bijak dapat digunakan untuk membela kemaslahatan umat, kebutuhan kaum muslimin dan menghadapi persoalan kemanusiaan kontemporer. Dan dengan metode penafsiran yang digunakan dalam memahami al-Qur`ân ini pula melahirkan semua gerakan pembaharuan modern-kontemporer yang sangat berpengaruh di dunia modern-kontemporer. Lihat Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, terj. Yudian Wahyudi, (Yogyakarta: Nawesea Prass, 2007), h. 15-16

Selanjutnya ia memandang kemunduran yang dialami oleh umat Islam ini dikarenakan mereka tidak lagi menganut Islam dalam arti yang sebenarnya, dan untuk mengetahui Islam dalam arti yang sebenarnya harus kembali kepada al-

Qur`ân dan hadits. 17 Agaknya pandang Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani, yang

kemudian diikuti oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha ini, kurang lebih dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance yang terjadi dibarat saat itu, dimana gerakan ini melakukan pengkajian atau pemahaman ulang terhadap Kitab Suci mereka, sebagai akibat dari ketidak puasan terhadap keputusan gereja dan penindasan yang mereka alami dari para gerejani.

Dalam hal gerakan pembaharuan pada era modern ini, W.C. Smith dalam analisisnya mengemukakan bahwa krisis fundamental yang dihadapi Islam pada masa tersebut adalah adanya semacam perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Sehingga problem mendasar yang dihadapi umat Islam era modern adalah bagaimana merehabilitasi sejarah tersebut dan dapat berjalan lagi dengan kekuatan yang maksimal, sehingga masyarakat Islam dapat

maju sebagaimana majunya seuatu masyarakat yang terpimpin secara Ilahiah. 18 Semakin intensnya kontak Islam dengan kebudayaan-kebudayaan barat

pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, menyebabkan lahirnya dua madrasah terkenal yang bergerak dalam bidang penafsiran dan sosial keagamaan dan sekaligus menjadi embrio munculnya tokoh-tokoh reformis muslim pasca Muhammad Abduh yang melakukan reinterpretasi terhadap al-Qur`ân dengan

berbagai pendekatan dan metode penafsiran. 19 Diantara metode-metode tersebut antara lain metode literasi yang dibangun atas paradigma kesustraan al-Qur`ân

17 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. xiii

18 W.C. Smith, Islam in Modern History, (Princeton, New Jersey: Princeton Univ. Press, 1957), h. 41

19 Kedua Madrasah yang dimaksud adalah Madrasah Syaikh Muhammad Abduh yang didirikan oleh Abduh dan Madrasah Ikhwân al-Muslimîn yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Lihat

Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, h. 33

(al-minhâj al-adabi al-ijtimâ’iy) yang diprakarsai oleh Amin al-Khûli dan diaplikasikan oleh Bint al-Syati’ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al- Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-

Qur`ân al-Karîm, 20 teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al- maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa’id Hawwa melalui

Al-Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya. 21 Termasuk metode yang diterapkan

oleh Darwazah sendiri dalam tafsirnya yang berdasarkan kronologi pewahyuan al-Qur`ân.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan maksud dari metodologi tafsir modern adalah merupakan kajian sekitar metode-metode penafsiran yang berkembang pada era modern, dimana metodologi penafsiran Izzat Darwazahh termasuk bagian darinya. Dan munculnya metode tersebut disebabkan semakin intensnya kontak Islam dengan kebudayaan-kebudayaan Barat yang dimulai pada abad ke-19, ketika itu umat Islam mengalami kemunduran, stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang berkepanjangan, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya pendahulu mereka, sehingga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud), serta berlandaskan khurafat.