a. Sengketa Perdata
Pada dasarnya cara penyelesaian sengketa dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur nonlitigasi.
Jalur litigasi ordinary court merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan
menggunakan pendekatan hukum law approach melalui aparat atau lembaga penegak hukm yang berwenang sesuai
dengan aturan perundang-undangan. Pada dasarnya jalur litigasi merupakan the last resort atau ultimum
remedium,
124
yaitu upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian diluar
pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar. Sedangkan jalur nonlitigasi extra ordinary court
merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadila, tetapi menggunakan mekanisme yang hidup
dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti cara musyawarah, perdamaian,
kekeluargaan, penyelesaian adat, dan lain-lain. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan diminati oleh
para pelaku bisnis adalah melalui lembaga ADR Alternative Dispute Resolution. Pada umumnya mekanisme
penyelesaian melalui jalur non litigasi dianggap sebagai
124
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gama Media,
Yogyakarta, 2008, hal 5
premium remediumfirst resort
125
upaya awal dalam menyelesaikan sengketa, sedangkan jalur litigasi baru
digunakan manakala upaya penyelesaian secara kekeluargaan atau perdamaian tidak berhasil dilakukan.
Untuk jenis sengketa perdata yang timbul karena adanya pelanggaran atau pembajakan yang dilakukan oleh orang
atau badan hukum yang tidak berhak atas HKI, penyelesaiannnya juga dapat dilakukan melalui pengadilan
negeri, pengadilan niaga, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa.
126
Penggunaan salah satu tempat untuk penyelesaian sengketa tersebut ditentukan oleh obyek
sengketanya atau kehendak pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan pilihan melalui jalur litigasi atau non litigasi.
Pada awalnya obyek sengketa hak cipta,
127
penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur pengadilan negeri. Namun
dalam Undang-undang Hak Cipta 2002 Pasal 56 sampai
125
Bambang Sutiyoso, Ibid hal 6
126
Adi Sulistiyono, EksistensiPenyelesaian Sengketa HKI Hak Kekayaan Intelektual ,
Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2007, hal 58
127
Untuk hak cipta gugatan ganti kerugian mengacu pada Pasal 42 Undang-undang Hak Cipta 1997 yang menyebutkan bahwa: 1 Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi
ke Pengadilan Negeri atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya: 2 Dalam hal terdapat gugatan untuk penyerahan
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka Hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan itu baru dilaksanakan setelah pemegang hak cipta membayar sejumlah nilai benda
yang diserahkan kepada pihak yang beritikad baik; 3 Pemegang hak cipta juga berhak untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian
pengahasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah dan pertemuan ilmiah lainnya, atau pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta atau denda
dengan cara melanggar hak cipta tersebut; 4 Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, Hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan
kegiatan perbuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran dan penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta
dengan Pasal 61, untuk penyelesaian sengketa perdata telah memanfaatkan keberadaan pengadilan niaga,
disamping itu berdasar Pasal 65 Undang-undang hak cipta 2002 penyelesaian sengketa perdata bidang hak cipta dapat
dilakukan melaui Arbitrase, atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Keberadaan atau ketersediaan Alternatif Penyelesaian Sengketa negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, dan
lain-lain untuk menyelesaikan sengketa HKI, sebagaimana termuat dalam ketentuan perundang-undangan bidang HKI,
patut di beri apresiasi. Hal ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk mengantisipasi munculnya
gelombang sengketa HKI dengan menyediakan sarana penyelesaian sengketa perdata HKI secara cepat,
transparan, efektif, dan adil. Selanjutnya langkah antisipatif pemerintah tersebut perlu ditindaklanjuti dengan melakukan
persiapan-persiapan yang matang agar mekanisme penyelesaian sengketa ini bisa bekerja secara efektif. Dalam
hal ini yang cukup mendasar adalah mengembangkan budaya konsensus atau musyawarah dalam masyarakat
untuk menyelesaikan sengketa,
128
dan menanamkan pada masyarakat perilaku untuk mentaati komitmen yang telah
128
Adi Sulistiyono, Opcit, Hal 68
disepakati. Hal tersebut sangat penting karena kesepakatan yang dihasilkan melalui mekanisme alternatif penyelesaian
sengketa, baik itu negosiasi, mediasi, maupun sarana yang lain, tidak mempunyai daya pemaksa bila salah satu pihak
mengingkari, sehingga pelaksanaan kesepakatannya digantungkan kepada itikad baik pihak-pihak yang
bersengketa. Sengketa yang ditangani adalah sengketa yang
berkenaan dengan lisensi, royalti dan semacamnya. Hal ini sejalan pula dengan sistem peradilan perdata kita HIR
Pasal 130 yang lebih dahulu menyarankan adanya perdamaian antar para pihak. Secara International, WIPO
telah merintis penggunaanlembaga arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa APS ini dengan pendirian WIPO
Arbitration and Mediation Center.
129
Batas waktu
penyelesaian perkara
perdata ini
sangat cepat, hal ini berkaitan dengan terbatasnya masa
perlindungan bagi hak kekayaan intelektual. Itulah sebabnya beberapa upaya telah dilakukan untuk menyelesaiakan
perkara secara cepat. Dalam Undang-undang hak cipta Pasal 64 diatur bahwa gugatan wajib diputus dalam
tenggang waktu 90 hari setelah permohonan kasasi diterima
129
Ahmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005,
hal 131
oleh Mahkamah Agung. Ketentuan seperti ini terdapat dalam Undang-undang hak Kekayaan Intelektual yang lain, kecuali
ragasia dagang.
b. Sengketa Pidana