Persiapan Upacara Menuju Hari Perkawinan

B. Persiapan Upacara Menuju Hari Perkawinan

1. Siraman Upacara Siraman yang menjadi objek penulisan ini, di laksanakan pada tanggal 03 mei 2013 di kediaman rumah keluarga Bapak Djumali, SH. Upacara Siraman pada umumnya di laksanakan di rumah masing-masing calon mempelai pengantin, namun pada penelitian ini penulis melihat adanya prosesi upacara siraman di laksanakan di rumah kediaman calon mempelai pengantin perempuan, sehingga calon pengantin pria juga turut melaksanakan prosesi upacara siraman di rumah calon pengantin perempuan. Sebelum di laksanakan upacara panggih, terlebih dahulu di adakan upacara siraman bagi kedua pengantin. Upacara siraman bagi kedua pengantin mengandung arti membersihkan dan mensucikan diri, sehingga pada saat upacara akad nikah dan panggih, kedua pengantin bersih jasmani dan rohaninya (Zebua, 1975:33). Acara siraman ini di laksanakan pada hari jumat (3 Mei 2013) jam 10 siang. Penulis melihat dalam upacara siraman tersebut menggunakan cara yang berbeda dalam melaksanakan prosesi siraman yang semestinya yang menggunakan sarana gosokan badan (kosokan) yang menggunakan bahan bahan seperti; Tepung beras tujuh warna, Mangir, Daun Kemuning, Air satu Klenting, Ratus dengan anglonya, namun tidak demikian 1. Siraman Upacara Siraman yang menjadi objek penulisan ini, di laksanakan pada tanggal 03 mei 2013 di kediaman rumah keluarga Bapak Djumali, SH. Upacara Siraman pada umumnya di laksanakan di rumah masing-masing calon mempelai pengantin, namun pada penelitian ini penulis melihat adanya prosesi upacara siraman di laksanakan di rumah kediaman calon mempelai pengantin perempuan, sehingga calon pengantin pria juga turut melaksanakan prosesi upacara siraman di rumah calon pengantin perempuan. Sebelum di laksanakan upacara panggih, terlebih dahulu di adakan upacara siraman bagi kedua pengantin. Upacara siraman bagi kedua pengantin mengandung arti membersihkan dan mensucikan diri, sehingga pada saat upacara akad nikah dan panggih, kedua pengantin bersih jasmani dan rohaninya (Zebua, 1975:33). Acara siraman ini di laksanakan pada hari jumat (3 Mei 2013) jam 10 siang. Penulis melihat dalam upacara siraman tersebut menggunakan cara yang berbeda dalam melaksanakan prosesi siraman yang semestinya yang menggunakan sarana gosokan badan (kosokan) yang menggunakan bahan bahan seperti; Tepung beras tujuh warna, Mangir, Daun Kemuning, Air satu Klenting, Ratus dengan anglonya, namun tidak demikian

a. Dingklik (bangku kecil pendek terbuat dari kayu), yang di lapisi dengan klasa bangka (tikar) yang melambangkan dasar kehidupan.

b. Air Tawar yang di beri bunga setaman (bunga melati, bunga mawar, dan bunga kenanga, serta irisan daun pandan dan jeruk purut), dua buah kelapa gading yang diikat menjadi satu, dan jeruk purut di dalam bokor (mangkuk besar/gentong yang terbuat dari kuningan).

c. Sebuah kendi (tempat air yang terbuat dari tanah) yang di isi air.

d. Handuk yang berwarna hijau dengan motif bunga-bunga melati.

e. Nasi Tumpeng robyong

f. Bubur 2 warna (Merah dan Putih)

g. Alas Siraman:

1. Klasa Bangka barus

2. Kain Letrek

3. Kain Sindur

4. Kain yuyu sekandang

5. Kain Lurik puluh watu

6. Kain lawon

7. Sembagi

8. Daun Kluwih

9. Daun dadap serep

10. Daun alang-alang.

Adapun proses jalannya upacara siraman adalah sebagai berikut: Tata cara melakukan siraman ini sama untuk pihak calon pengantin pria,

karena upacara siraman di lakukan pada tempat yang sama di rumah kediaman orang tua calon mempelai perempuan, sehingga tidak ada lagi proses siraman di rumah calon mempelai pria. Semua utuh di lakukan secara serentak di rumah kediaman orang tua calon mempelai perempuan.

Pada saat siraman calon pengantin perempuan memakai kain dan baju yang berbentuk kemben (pakaian yang di gunakan sebatas dada ke bawah dan mengggunakan kain dari pinggang sampai ke tumit kaki) berwarna hijau dengan motif bunga-bunga berwarna putih. Setelah semua bahan dan alat untuk siraman lengkap, maka calon pengantin perempuan di bimbing oleh juru rias pengantin menghadap orang tuanya untuk melakukan sungkeman memohon doa restu karena pengantin perempuan akan memasuki kehidupan baru dalam berumah tangga.

Gambar 3.8

Busana Siraman Khas Adat Jawa (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Selanjutnya setelah sungkeman, calon pengantin perempuan di bimbing oleh kedua orang tuanya menuju ketempat siraman. Tempat untuk siraman ini terletak di depan rumah yang dihiasi dengan tratak dan tarub (kain gorden) dan di hiasi sedemikian rupa.

Gambar 3.9

Prosesi Sungkeman sebelum Siraman (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.10 Sarana dan Prasarana Siraman (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.11 Perlengkapan Siraman (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.12

Kembang Setaman dan Cengkir yang sudah di masukkan ke dalam Bokor (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Sesampainya di tempat siraman, pengatin perempuan di dudukkan di dingklik (bangku), kemudian sebelum di mulainya acara siraman terlebih dahulu di bacakan doa keselamatan oleh orang yang telah di tunjuk oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan. Yang memandikan pertama adalah Ayah, di siram dengan air yang terdapat di dalam bokor sebanyak tiga kali, lalu di lanjutkan denga Ibu. Yang di akhiri dengan pengambilan air wudhu’ oleh calon pengantin perempuan dari kendi yang di lakukan oleh ayah calon pengantin perempuan kepada anak perempuannya tersebut.

Gambar 3.13

Prosesi Siraman pada calon pengantin perempuan oleh kedua orang tua (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Setelah itu di lanjutkan oleh para pinisepuh yang telah mantu atau tidak ganjil (artinya masih lengkap suami-istri). Hal ini di maksudkan agar dapat menurunkan kebahagiaan kepada pengantin. Pinisepuh yang menyirami berjumlah ganjil, misalnya lima atau tujuh, termasuk juru rias pengantin, cara menyiramnya juga sebanyak tiga kali.

Setelah air kendi habis, kemudian kendi tersebut di pecahkan dengan cara membantingkannya ke lantai oleh ayah pengantin seraya mengucapkan kata-kata: “Calon penganten wis pecah pamore”, yang artinya calon pengantin perempuan telah muncul daya tariknya. Setelah siraman selesai dan tubuh calon pengantin perempuan telah di bersihkan dan di keringkan, Ayah calon pengantin perempuan membimbing pengantin perempuan menuju kamar pengantin. Calon pengantin perempuan berjalan di belakang ayahnya sambil memegang pundak dan ibu Setelah air kendi habis, kemudian kendi tersebut di pecahkan dengan cara membantingkannya ke lantai oleh ayah pengantin seraya mengucapkan kata-kata: “Calon penganten wis pecah pamore”, yang artinya calon pengantin perempuan telah muncul daya tariknya. Setelah siraman selesai dan tubuh calon pengantin perempuan telah di bersihkan dan di keringkan, Ayah calon pengantin perempuan membimbing pengantin perempuan menuju kamar pengantin. Calon pengantin perempuan berjalan di belakang ayahnya sambil memegang pundak dan ibu

Gambar 3.14 Prosesi Pecah Kendi

(Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

2. Adol Dawet (Dodolan Dawet) Setelah siraman, kemudian calon pengantin perempuan di dudukkan di atas tempat tidur yang sudah di beri alas klasa Bangka (tikar). Kemudian kedua orang tua khususnya sang ayah calon pengantin perempuan, menggunting anak rambut (pangkas rikma) calon pengantin perempuan. Hal ini menandakan di mulainya tata rias pengantin, namun dalam penelitian ini penulis melihat upacara 2. Adol Dawet (Dodolan Dawet) Setelah siraman, kemudian calon pengantin perempuan di dudukkan di atas tempat tidur yang sudah di beri alas klasa Bangka (tikar). Kemudian kedua orang tua khususnya sang ayah calon pengantin perempuan, menggunting anak rambut (pangkas rikma) calon pengantin perempuan. Hal ini menandakan di mulainya tata rias pengantin, namun dalam penelitian ini penulis melihat upacara

Kemudian setelah acara gunting anak rambut (pangkas rikma) oleh kedua orang tua calon pengantin terhadap anak perempuannya, kedua orang tua calon pengantin perempuan kembali masuk untuk menjemput anak perempuannya yang sudah berganti pakaian dan keluar menuju halaman depan rumah untuk mengadakan acara dulangan (menyuapi) dan dodolan dawet (berjualan cendol). Dulangan di lakukan hanya oleh kedua orang tua calon pengantin perempuan, yang memiliki makna kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Sementara itu ketika acara dulangan telah selesai di lajutkan dengan Dodolan dawet yang juga di lakukan hanya oleh kedua orang tuan calon pengantin. Ibu menjual cendol (dawet), sedangkan ayah menerima uangnya yang berbentuk uang kreweng ( biasanya uang-uangan dari pecahan genteng, namun kali ini menggunakan uang recehan) sambil memayungi ibu (istrinya). Yang membeli adalah para tamu yang hadir pada saat siraman dengan uang kreweng tersebut. Dodolan dawet ini memiliki makna suasana yang meriah, yang melambangkan harapan agar pada pesta perkawinan nantinya akan banyak tamu yang datang. Selain itu juga di sediakan kue-kue dan makanan bagi para tamu yang hadir. Dawet (cendol) juga Kemudian setelah acara gunting anak rambut (pangkas rikma) oleh kedua orang tua calon pengantin terhadap anak perempuannya, kedua orang tua calon pengantin perempuan kembali masuk untuk menjemput anak perempuannya yang sudah berganti pakaian dan keluar menuju halaman depan rumah untuk mengadakan acara dulangan (menyuapi) dan dodolan dawet (berjualan cendol). Dulangan di lakukan hanya oleh kedua orang tua calon pengantin perempuan, yang memiliki makna kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Sementara itu ketika acara dulangan telah selesai di lajutkan dengan Dodolan dawet yang juga di lakukan hanya oleh kedua orang tuan calon pengantin. Ibu menjual cendol (dawet), sedangkan ayah menerima uangnya yang berbentuk uang kreweng ( biasanya uang-uangan dari pecahan genteng, namun kali ini menggunakan uang recehan) sambil memayungi ibu (istrinya). Yang membeli adalah para tamu yang hadir pada saat siraman dengan uang kreweng tersebut. Dodolan dawet ini memiliki makna suasana yang meriah, yang melambangkan harapan agar pada pesta perkawinan nantinya akan banyak tamu yang datang. Selain itu juga di sediakan kue-kue dan makanan bagi para tamu yang hadir. Dawet (cendol) juga

Gambar 3.15

Prosesi Adol Dawet oleh Orang Tua mempelai perempuan (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

3. Midodareni Midodareni berasal dari kata widodari, yang artinya bidadari. Bagi

pengantin Jawa, prosesi malam midodareni merupakan tradisi yang tidak pernah di tinggalkan mengingat malam itu di yakini sebagai saat turunnya bidadari dari khayangan ke kediaman calong pengantin perepmuan untuk menularkan aura pengantin Jawa, prosesi malam midodareni merupakan tradisi yang tidak pernah di tinggalkan mengingat malam itu di yakini sebagai saat turunnya bidadari dari khayangan ke kediaman calong pengantin perepmuan untuk menularkan aura

Berlangsungnya prosesi midodareni dumulai dari pukul 18-00 sampai dengan 24.00 WIB (tengah malam). Selama itu pula calon pengantin perempuan tidak di perbolehkan keluar dari kamar pengantin dan tidak di perkenankan pula untuk bertemu calon penganti pria. Begitu juga sebaliknya. Apabila ada tamu yang ingin bertemu dengan calon pengantin perempuan, maka mereka harus masuk ke kamar pengantin di damping oleh para kerabat dan pinisepuh. Adapun maksud dia dakan nya tirakatan adalah sebagai upaya diri untuk laku prihatin dan berlatih mengendalikan diri sekaligus sebagai permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar perkawinan yang akan di lakukan mendapatkan berkah dan rahmat dari-Nya.

Malam itu calon pengantin perempuan hanya di rias tipis dan sederhana, serta pemakaian inai di jari pengantin pada setiap calon mempelai pengantin. Uniknya dalam penelitian ini juga penulis melihat ada perkembangan budaya yang di adaptasikan ke dalam budaya yang di miliki oleh seseorang atau etnik, baik itu di lakukan secara inisiatif sendiri yang di buat oleh kedua calon pengantin maupun dari keluarga dimana ketika malam hari setelah prosesi upacara siraman telah sukses di laksanakan maka kedua tangan dari kedua calon pengantin tersebut di beri inai sebagaimana bentuk dan geometrisnya menyerupai budaya inai gadis India ketika menjelang hari pernikahan. Beberapa pengalaman penulis dalam melihat perkembangan budaya inai ini juga ada terdapat dalam acara resepsi- resepsi pernikahan adat lainnya seperti Melayu, pada pernikahan suku Minang, Malam itu calon pengantin perempuan hanya di rias tipis dan sederhana, serta pemakaian inai di jari pengantin pada setiap calon mempelai pengantin. Uniknya dalam penelitian ini juga penulis melihat ada perkembangan budaya yang di adaptasikan ke dalam budaya yang di miliki oleh seseorang atau etnik, baik itu di lakukan secara inisiatif sendiri yang di buat oleh kedua calon pengantin maupun dari keluarga dimana ketika malam hari setelah prosesi upacara siraman telah sukses di laksanakan maka kedua tangan dari kedua calon pengantin tersebut di beri inai sebagaimana bentuk dan geometrisnya menyerupai budaya inai gadis India ketika menjelang hari pernikahan. Beberapa pengalaman penulis dalam melihat perkembangan budaya inai ini juga ada terdapat dalam acara resepsi- resepsi pernikahan adat lainnya seperti Melayu, pada pernikahan suku Minang,

Gambar 3.16

Pemasangan Inai pada jari calon pengantin (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Selanjutnya mengenakan busana sawitan (busana yang tidak menyolok warnanya, atasan dan bawahan terbuat dari bahan dan warna senada). Dan tanpa mengenakan perhiasan maupun bunga, hanya menggunakan cincin pertunangan. Di dalam kamar, calon pengantin perempuan di temani oleh para pinisepuh dan kerabat yang kesemuanya adalah perempuan juga. Acara malam midodareni juga di maksudkan sebagai malam tirakatan, sehingga lebih terkesan hening dan tenang karena tidak ada gamelan atau musik yang di bunyikan.

Sekitar puku 19.00 WIB, calon pengantin pria datang kerumah calon pengantin perempuan dengan menggunakan busana yang sopan, busana batik yang di sertai jas hitam (pada kalangan masayarakat Jawa asli pada umumnya menggunakan busana beskap jawa lengkap, yakni kain batik wiron, jas beskap dan blangkon , tanpa mengenakan keris). Setibanya calon pengantin pria, salah seorang pendamping mengutarakan maksud kedatangan calon pengantin pria dengan membawa beberapa srah-srahan, bahwa tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa calon mempelai pria dalam keadaan sehat dan selamat, dan hatinya telah mantab untuk menikahi putri mereka, ini biasanya di kalangan orang Jawa sendiri disebut sebagai Jonggolan. Jonggalan merupakan rangkaian upacara yang terdapat di dalam upacara malam midodareni, yang di artikan bahwa calon pengantin pria datang menghadap calon mertua. Jonggolan juga di maksudkan untuk meyakinkan bahwa calon pengantin pria tidak kabur karena telah siap lahir dan batin. Kemudian orang tua calon pengantin perempuan menyambut dengan hangat maksud dan kedatangan calon pengantin pria dengan tangan terbuka, dengan menyuguhkan berbagai makanan dan minuman.

Di tengah-tengah prosesi ini ada terdapat istilah Pasrah Sanggan. Kata pasrah sanggan berasal dari dua suku kata, yaitu pasrah dan sanggan. Pasrah berasal dari kata srah atau serah, yang memiliki arti menyerahkan, sedangkan sanggan berasal dari kata sanggan, yang berarti melipat tangan; menjalani (misalnya hukuman) atau membiayai. Maksud membiayai adalah pihak calon pengantin pria memberikan atau ikut memberikan dana untuk menggelar acara hajatan yang di adakan di rumah calon orang tua pengantin perempuan.

Oleh karena itu, dalam pernikahan adat Surakarta (Solo) ada istilah sangga tukon , yang berasal dari kata tuku (membeli). Kata tukon disini tidak dalam arti membeli, melainkan lebih bersifat ikut membiayai upacara. Dengan demikian pasrah sanggan adalah prosesi upacara penyerahan uba rampe (barang bawaan) oleh keluarga pihak calon pengantin pria kepada keluarga pihak calon pengantin perempuan.

Saat proses jonggolan berlangsung, maka ayah di dampingi istri calon pengantin perempuan menghampiri anak perempuannya yang berada di dalam kamar, ini juga merupakan bagian dari upacara malam midodareni yang di sebut sebagai Tantingan. Tantingan adalah prosesi menanyakan sekali lagi kemantapan hati putrinya oleh ayah kepada calon pengantin perempuan (putrinya) tersebut untuk berumah tangga.

Menjawab pertanyaan kedua orang tua, maka calon pengantin perempuan menyatakan bahwa ia menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada orang tuanya. Biasanya ini jawaban putrinya menggunakan syarat, namun informasi yang penulis dapat hanya berupa jawaban saja yang menyerahkan seutuhnya keputusan kepada orang tuanya, tanpa menggunakan syarat seperti di carikan sepasang kembar mayang sebagai syarat pernikahan.