Sistem Kekerabatan
2.5 Sistem Kekerabatan
Sebelum penulis menguraikan tentang sistem kekerabatan pada masyarakat Jawa secara umum, terlebih dahulu akan penulis kemukakan defenisi Sebelum penulis menguraikan tentang sistem kekerabatan pada masyarakat Jawa secara umum, terlebih dahulu akan penulis kemukakan defenisi
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat berarti sistem berkeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini di landasi oleh sikap gotong royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe , artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu di konsepkan dengan paseduluran: sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri; sedulur mentelu yaitu saudara canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; bala yaitu menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan di sebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya pekerjaan yang sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.
Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Utara sekarang, secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Utara yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya adalah bertani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, getah karet, dan kopra.
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-masing di klarifikasikan menjadi satu, yaitu dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah atau ibu diklarifikasikan kedala dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu: pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pihak perempuan. Adapun perkawinan yang di perbolehkan adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu tetapi belum menikah secara agama dan sosial. Hal Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu: pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pihak perempuan. Adapun perkawinan yang di perbolehkan adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu tetapi belum menikah secara agama dan sosial. Hal
Sistem istilah panggilan kekerabatan suku Jawa biasanya dibatasi oleh kedudukan seorang sebagai anggota kelompok kerabatnya, yang dapat di mengerti dari sebutan atau istilah-istilah yang di gunakan dalam kelompok kerabatnya. Hal ini dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari untuk menyapa seseorang. Untuk istilah panggilan kekerabatan pada suku Jawa, penulis melihat tulisan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977:16-20) seperti berikut:
1. Mbah canggah/eyang canggah: orang tua laki-laki atau perempuan yang berada tiga tingkat di atas ayah atau ibu.
2. Mbah buyut : orang tua laki-laki atau perempuan yang berada dua tingkat di atas ayah atau ibu.
3. Mbah eyang: orang tua kandung ayah atau ibu.
4. Bapak/rama: ayah kandung, mertua laki-laki, besan (orang tua laki-laki menantu).
5. Ibu/si mbok : ibu kandung, mertua perempuan, besan (orang tua permpuan menantu).
6. Pakde: saudara laki-laki kandung/sepupu ayah atau ibu yang umur lebih tua, suami bude.
7. Bude: saudara perempuan kandung/ sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih tua, istri pakde.
8. Paman/paklik: saudara laki-lai kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih muda, suami buklik.
9. Bibi/buklik: saudara perempuan kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih muda, istri paklik.
10. Mas/kakang mas: abang kandung, abang ipar, anak laki-laki pakde/bukde (walaupun umurnya lebih muda).
11. Mbak/mbakyu: kakak kandung, kakak ipar, anak perempuan pakde/bude (walaupun umurnya masih muda).
12. Adhi/dhimas: adik kandung laki-laki, adik ipar laki-laki, anak laki-laki paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).
13. Adhi/dhiajeng: adik kandung perempuan, adik ipar perempuan, anak perempuan paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).