Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat

3.3 Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat

Dalam mendeskripsikan upacara perkawinan adat Jawa, penulis akan menguraikan menurut empat komponen, seperti apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:241), bahwa setiap upacara dapat di kelompokkan kedalam empat komponen, yaitu (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) benda- benda dan alat-alat upacara, (4) orang yang melakukan dan pemimpin upacara.

Keempat komponen upacara tersebut, akan penulis uraikan masing-masing sebagai berikut.

3.3.1 Tempat Upacara

Tempat untuk pelaksanaan upacara perkawinan adat Jawa dapat dilakukan di rumah ataupun di gedung-gedung pertemuan. Jika upacara panggih selalu di laksanakan dirumah, maka harus utama di laksanakan di rumah pengantin Tempat untuk pelaksanaan upacara perkawinan adat Jawa dapat dilakukan di rumah ataupun di gedung-gedung pertemuan. Jika upacara panggih selalu di laksanakan dirumah, maka harus utama di laksanakan di rumah pengantin

Dalam penelitian ini tempat upacara terbagi dua, yakni yang pertama sekali tempat untuk prosesi sebelum upacara panggih, dimana di antaranya adalah upacara Siraman sampai pada upacara Ijab Kabul di laksanakan di kediaman orang tua mempelai perempuan yang terletak di Jalan Sei Batu Gingging No 80, Kecamatan Medan Selayang, Kotamadya Medan. Sedangkan pada Upacara Panggih di laksanakan di dalam gedung pertemuan Hotel Danau Toba Internasional Medan yang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 17 Medan.

3.3.2 Saat Upacara

Dalam melakasanakan upacara suku Jawa pada umumnya masih mempercayai adanya perhitungan hari baik dan hari tidak baik. Dimana orang yang dapat mencari hari baik dan hari tidak baik tersebut biasanya di lakukan oleh seorang dukun petangan (Koentjaraningrat, 1984:130). Dalam satu tahun terdapat dua belas bulan dan terdapat pada tarikh Jawa. Nama-nama bulan yang terdapat dalam tarikh Jawa tersebut adalah Suro, Sapar, Mulud, Rabiul awal, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Ruwah, Puasa, Syawal, Selo, Besar (Subanindro, n.d:4). Menurut adat Jawa bulan yang di anggap baik untuk melakasanakan suatu upacara panggih adalah Ruwah, Besar, Rabiul Awal, Jumadil Akhir, Mulud, dan

Syawal . Sementara bulan yang di anggap kurang baik dalam adat Jawa untuk melakasanakan suatu upacara adalah Syuro Dan Sapar yang di anggap suku Jawa merupakan bulan panas. Karena jika melakasanakan suatu upacara pada bulan yang kurang baik tersebut di percayai akan menimbulkan hal-hal yang tidak di inginkan misalnya, menimbulkan malapetaka.

Dalam menentukan hari baik untuk melakukan suatu upacara biasanya suku Jawa meminta bantuan seorang dukun Petangan dan menentukan hari yang baik tersebut berdasarkan hari kelahiran (weton) seseorang, jumlah antara hari kelahiran dan pasaran hari kelahiran seseorang (neptu), serta dapat juga di lihat dari bulan yang terdapat dalam tarikh Jawa. Koentjaraningrat (1984:130) menjelaskan bahwa untuk membuat perhitunga hari baik harus di cocok kan dengan tiga macam tanggalan yaitu (1) Tanggalan Jawa pra-Islam, (2) Tanggalan Islam, (3) Tanggalan Nasrani.

Dalam hubungan ini upacara panggi yang menjadi objek penelitian penulis di laksanakan pada tanggal 5 Mei 2013 untuk pelaksanaan Upacara Panggih, pada tanggal 4 Mei 2013 pelaksanaan upacara ijab kabul, sedangkan pada tanggal 3 Mei 2013 pelaksanaan upacara siraman. Maka dari semua tanggal yang di pilih oleh ahli bait merupakan hasil dari perhitungan penanggalan Jawa sesuai dengan hari lahir kedua pasangan mempelai. Dengan demikian agar upacara menjadi sangat khidmat dan penuh dengan makna yang jauh dari malapetaka yang tidak di inginkan.

3.3.3 Benda –benda dan Alat-alat Upacara

Dalam melaksanakan perkawinan adat biasanya pihak orang tua calon pengantin perempuan mengadakan persiapan-persiapan dan mempersiapkan alat- alat upacara untuk kepentingan upacara panggih. Adapun benda-benda dan alat- alat yang harus di persiapkan adalah:

a. Pemasangan Tratak Pemasangan Tratak atau tenda di laksanakan apabila waktu pelaksanaan

perhelatan sudah dekat, dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan ijab Kabul dan upacara adat, ini berguna sebagai syarat dalam melaksanakan suatu acara maupun upacara. Setelah pemasangan tarub di susul dengan pemasangan tarub, yaitu memasang hiasan-hiasan dengan macam-macam daun-daun dan buah-buahan, namun ada terdapat perubahan di era modern saat ini, dimana hiasan-hiasan yang terbuat dari berbagai macam daun-daun dan buah-buahan serta janur kuning tidak lagi di pergunakan melainkan menggunakan kain gorden yang memiliki ukuran yang sesuai dengan tratak dan memiliki berbagai warna varian yang di sediakan oleh penyedia jasa wedding organizer. Tempat-tempat yang perlu di pasang tratak dan tarub yaitu: Bagian depan dan di dalam ruang tamu rumah, kamar calon pengantin, di bagian depan dapur, di bagian kanan kiri samping rumah (ini di lakukan untuk pelaksanaan upacara Siraman dan ijab Kabul dimana acara tersebut di selenggarakan di kediaman orang tua calon pengantin perempuan).

b. Tempat Siraman Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah sarana dan prasarana

upacara Siraman yang sangat lengkap namun ada juga beberapa perubahan yang upacara Siraman yang sangat lengkap namun ada juga beberapa perubahan yang

Sisi kepraktisan sangat terasa dalam upacara perkawinan adat suku Jawa yang ada di Kota Medan ini, khususnya di Kecamatan Medan Selayang. Namun di balik itu makna yang terkandung masih kuat tersirat di dalam setiap ritualisasi upacara adat perkawinan suku Jawa yang penulis lakukan pada penelitian tersebut yang mengajarkan tentang makna kehidupan agar hidup harmonis sehingga kelak menjadi keluarga yang baik dan bahagia. Sarana siraman yang harus di sediakan terdiri dari: klasa (tikar) yakni tikar terbuat dari daun pandan berukuran kecil sekitar 25 x 35 cm, di bagian pinggirnya di beri plisir atau lapisan kain merah dan putih, tikar pandan, seikat daun opo-opo dan daun dadap serep di bungkus kain mori, tebu wulung, daun jati, daun beringin, kelapa gading, jenang atau bubur tujuh rupa, dan satu ekor ayam jantan hidup. Sesajen, jajan pasar, dan prasarana acara siraman di atur dengan baik, kemudian di letakkan di area tempat berlangsungnya siraman,

Sebelum acara siraman di mulai, terlebih dahulu di siapkan sesajen dan perlengkapan lainnya yang harus di sediakan. Sesajen dan sarana kelengkapan upacara Siraman adalah sebagai berikut:

1. Tumpeng Robyong Sesaji siraman berupa tumpeng robyong, yakni tumpeng nasi putih

berbentuk kerucut pada puncaknya di beri telur rebus, bawang merah, dan cabe merah yang di tancapkan. Juga di sertakan lauk pauk goring seperti tempe, daging, dan ikan laut yang di tancapkan sekeliling tumpeng, serta bunga telon

(melati, mawar, dan kenanga). Tumpeng di tempatkan dalam sebuah bakul, sekelilingnya di sertakan tancapan sayur-sayur mentah, seperti terong, kacang- panjang, dan lainnya di tata serasi. Makna dari sesaji ini sebagai symbol harapan para tamu datang ramai berdatangan (robyong).

2. Jajan Pasar Terdiri dari satu lirang pisang pulut atau pisang raja, aneka macam buah-

buahan seperti salak, jambu, nangka, bengkuang, sawo, dan sebagainya. Juga disertakan makanan kecil antara lain ubi dan singkong rebus, wajik, kacang tanah rebus, jagung rebus, nanas, ketan dan apem. Semua jajan pasar ini di letakkan dalam satu tampah besar

3. Benda-benda pada upacara panggih.

a. Busana pengantin Jawa yang di kenakan oleh kedua pengantin.

b. Pelaminan, untuk tempat duduk kedua pengantin. Di kanan kiri pelaminan di letakkan hiasan janur dan payung Jawa. Pelaminan di letakkan tepi aula yang dipasang sehari sebelum upacara di laksanakan. Pelaminan juga mengalami modernisasi dalam setiap dekorasinya. Sarana dan prasaranya di sediakan oleh Event Organizer yang telah di pesan sesuai hiasan adat Jawa yang semestinya.

c. Kacang-kacangan yaitu terdiri dari kacang tanah, kacang merah, kacang hijau, kacang putih, jagung halus, jagung kasar, padi, dan beras yang digunakan sebagai prosesi kacar kucur.

d. Telur ayam kampong putih bersih yang di letakkan diatas nampan (talam) kuningan dan di taburi dengan bunga setaman. Di gunakan pada prosesi ngidak endhok (wiji dadi)

e. Nasi walimah, yaitu nasi kuning beserta lauk-pauknya untuk prosesi upacara dulangan atau dahar klimah.

f. Selendang sindur, yaitu selendang yang tengahnya berwarna merah dan di tepinya berwarna putih. Di gunakan pada saat gendongan.

g. Dua buah gantalan sirih yaitu beberapa lembar daun sirih yang di isi pinang yang telah di tumbuk, gambir, kapur sirih, dan di ikat menjadi satu dengan benang. Gantalan sirih di gunakan untuk acara balangan.

h. Kembar Mayang dua pasang, yaitu dua buah hiasan yang mempunya bentuk yang sama terbuat dari janur kuning ( daun kelapa yang masih muda). Sepasang di bawa oleh rombongan pengantin pria dan sepasang lagi dibawa oleh rombongan pengantin perempuan. Kembar mayang ini nantinya akan di tukar antara rombongan pengantin pria dengan rombongan pengantin perempuan. Rangkaian kembar mayang adalah sebagai berikut; 1. Bentuk keris-kerisan, 2. bentuk payung- payungan, 3. Bentuk walang-walangan, 4. Bentuk kipas-kipasan, 5. Bentuk pecut-pecutan.

i. Dua sisir pisang raja (gedang ayu) dan beberapa ikat dauh sirih (suruh ayu ) yang di letakkan dalam satu sanggan (tempat) serta sebuah kelapa cikal bakal ( kelapa yang baru bertunas) yang di letakkan di dalam satu sanggan yang di bungkus oleh kertas warna keemasan, yang di bawa oleh rombongan pengantin pria.

j. bokor yang berisi air bunga setaman (bunga melati, bunga mawar, dan bunga kenanga) yang di gunakan untuk membasuh kaki pengantin pria pada saat usainya upacara ngidak endhok (wiji dadi).

c. Perlengkapan Dapur Sebelum malam midodareni tiba, pemasangan tratak dan tarub dengan

segala perlengkapannya harus sudah selesai sehinggap tidak mengganggu upacara selanjutnya. Berbagai bumbu-bumbu dapur mulai di olah secara gotong royong oleh para kerabat, tetangga, yang turut membantu, serta bahan sembako lainnya seperti beras, minyak makan, daging, dan lain sebagainya. Sementara itu untuk sajian menu makanan pada acara resepsi sudah di sediakan oleh pihak Hotel Danau Toba Internasional Medan yang telah di sepakati bersama dari pihak keluarga pengantin perempuan. Aneka sesaji dapur dan tarub yang perlu di perhatikan adalah sebagai berikut:

1. Sesaji tarub terdiri dari: Sesaji satu tembok/tampah (tampi) yang di buat dari pelepah pohon pisang atau bamboo (sujen) di atasnya di isi dengan:

a. Satu takir (tempat terbuat dari daun pisang) jenang katul.

b. Satu takir jenang merah putih

c. Satu takir kembang boreh

d. Satu takir bumbu dapur tidak dengan terasi, telor ayam mentah, dan kemiri

e. Dua tumpeng-tumpengan.

2. Sesaji Dapur (Tetuwuhan)

Yang terdiri dari: tebu wulung, daun beringin, cengkir gading, janur kuning, yang kesemuanya di atur rapi sehingga menimbulkan rasa keagungan.

3. Sesaji malam Midodareni di selenggarakan tepat pada pukul 24.00 WIB.

C. Perlengkapan Busana Pengantin Di dalam lingkungan orang Jawa yang ada di Kota Medan, khusunya di Kecamatan Medan Selayang, perlengkapan busana memiliki kebebasan dalam memilih, namun pada dasar nya tetap mengacu dan tidak menghilangkan ciri khas tata cara serta pada busana pengantin adat Jawa Solo dalam melaksanakan upacara panggih. Ini dapat di lihat adanya berbagai modernisasi di dalam bentuk warna, motif, serta hiasan yang terdapat pada busana pengantin adat Jawa di Kota Medan ini.

Jenis busana dan kelengkapannya yang di pakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yoyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem.

Misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng di padukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan di lengkapi dengan perhiasan yang di pakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.

Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang di padukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben di pakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen di lilitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.

Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya di pakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang di pakai di luar kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.

Kebaya pendek dapat di buat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat di buat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka di beri tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung.

Baju kebaya di pakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang di lilitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen di gunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang Baju kebaya di pakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang di lilitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen di gunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang

Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Pada umumnya di gunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang di hiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap di perlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya di hiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang di pakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang di pakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde .

Mengenai teknik dan cara membuat baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga di pakai di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor sebenarnya serupa dengan Mengenai teknik dan cara membuat baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga di pakai di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor sebenarnya serupa dengan

Pada bagian badan kebaya di potong sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini di maksudkan agar benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing. Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar sehingga dapat di lipat ke dalam untuk vuring kemudian di lipat lagi keluar untuk membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapat di kerjakan dengan mesin jahit ataupun di jahit dengan tangan. Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju beskap kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini di namakan Jawi jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris. Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak di gunakan oleh petani di desa. Busana yang di pakai adalah celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian kepala memakai destar.

1. Busana Basahan Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia

terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang di sesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara midodareni , pengantin wanita memakai busana kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan selop.

Saat upacara ijab, busana yang di pakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik berwarna putih, sedangkan pengantin pria memakai busana jass beskap modern yang juga berwarna putih dengan memakai kopiah. Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah di tetapkan sebagaimana tata busana Solo putri yaitu pada busana pengantin perempuan menggunakan kain batik yang bercorak sido mukti, sido mulya, dan sido asih . Mengenakan kebaya beludru panjang warna hitam di prada dengan sulaman warna keemasan dengan sematan bros tiga susun. Pada alas kaki menggunakan selop berwarna hitam. Sementara itu, Busana pria juga senada dengan busana perempuan yang menggunakan kain batik sido mukti, sido mulya, sido asih , keris, jas beskap berwarna hitam dengan sulaman emas, kalung yang Saat upacara ijab, busana yang di pakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik berwarna putih, sedangkan pengantin pria memakai busana jass beskap modern yang juga berwarna putih dengan memakai kopiah. Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah di tetapkan sebagaimana tata busana Solo putri yaitu pada busana pengantin perempuan menggunakan kain batik yang bercorak sido mukti, sido mulya, dan sido asih . Mengenakan kebaya beludru panjang warna hitam di prada dengan sulaman warna keemasan dengan sematan bros tiga susun. Pada alas kaki menggunakan selop berwarna hitam. Sementara itu, Busana pria juga senada dengan busana perempuan yang menggunakan kain batik sido mukti, sido mulya, sido asih , keris, jas beskap berwarna hitam dengan sulaman emas, kalung yang

Pada upacara panggih ini, biasanya kedua mempelai pengantin melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan. Perhiasan yang biasa digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur, timang/epek, cincin, bros dan buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita, perhiasan yang biasa di pakai adalah cunduk mentul , jungkat, centung, kalung, gelang, cincin, bros, subang dan timang atau epek .

Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang , kain jarik, keris warangka ladrang, dan selop.

Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya di rias pada bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus di rias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.

Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik di baliknya. Jenis ragam hias yang di kenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tema-tema geometris, swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal: burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik di baliknya. Jenis ragam hias yang di kenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tema-tema geometris, swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal: burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga

Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan di kenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang di pakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur, dan sido mulyo merupakan pakaian bagaian bawah mempelai.

Fungsi pakaian, awalnya di gunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.

Pada masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta memakai stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.

Berikut pedoman busana pengantin adat Jawa Solo yang sering di gunakan di kota Medan:

1. Ayah Pengantin Perempuan Memakai busana kain bermotif truntum (cakar ayam), sabuk sindur yaitu

sabuk yang terbuat dari kain selendang berwarna putih di tengah-tengahnya merah. Untuk gaya Solo (Surakarta) Sabuk sindur di pakai pada pinggang yang tertutup dengan baju beskap, sementara untuk gaya Jogyakarta sindur di pakai melilit di pinggang di luar baju surjan.

2. Ibu Pengantin Perempuan Untuk gaya Solo (Surakarta) sabuk sindur dipakai sebagai ikat pinggang

juga dan cara pemakaiannya tertutup oleh baju kebaya, sedangkan untuk gaya Jogjakarta sindur tersebut digunakan sebagai kemben. Kain yang dipakai sama bermotif truntum (cakar ayam) seperti ayah pengantin perempuan.

3. Busana Pengantin Perempuan Pengantin perempuan berbusana kain yang bermotif nitik, sedangkan baju

kebaya yang digunakan bebas asal masih baru. Begitu pula dengan busana pengantin pria.

4. Busana Pengantin Pria Pengantin pria berbusana kain dengan corak sama dengan pengantin

perempuan, memakai blangkon, berkalung karset, dan memakai keris. Namun praktisnya setelah upacara Panggih dalam resepsi busana pengantin adat Jawa yang ada di Sumatera utara, khususnya Medan warna dan motif dipilih sesuai kenginan ahli bait yang tetap mengutamakan gaya busana kebesaran seperti raja dan permaisuri, dan apabila dalam resepsi tersebut di adakan kirab, maka kedua perempuan, memakai blangkon, berkalung karset, dan memakai keris. Namun praktisnya setelah upacara Panggih dalam resepsi busana pengantin adat Jawa yang ada di Sumatera utara, khususnya Medan warna dan motif dipilih sesuai kenginan ahli bait yang tetap mengutamakan gaya busana kebesaran seperti raja dan permaisuri, dan apabila dalam resepsi tersebut di adakan kirab, maka kedua

Gambar 3.1 Busana Pengantin Gaya Solo

(Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.2

Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab dengan corak warna biru muda (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.3

Busana Pagar Ayu dan Pagar Bagus dengan Motif Kebaya Modern pada Pagar Ayu dan Gaya Jas Beskap dan kain batik pada Pagar Bagus

(Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.4

Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

Gambar 3.5

Foto Bersama dengan mengenakan Busana Kepangeranan khas adat Jawa (Dokumentasi Sugiardi 2013 © Mamipapi Photowork)

3.3.4 Pemimpin dan Pendukung Upacara

Pemimpin upacara adalah seorang yang mengatur jalannya upacara, yaitu juru rias pengantin. Sebagai pemimpin upacara, juru rias pengantin bertugas mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan uapcara panggih. Untuk menjadi juru rias pengantin, tidak ada persyaratan khusus, yang di butuhkan ialah meliputi: (1) syarat keterampilan, (2) syarat pengetahuan, (3) syarat martabat, dan (4) syarat kebatinan (Supadmi, 1993:6-8). Siapa saja dapat menjadi juru rias pengantin, yang terpenting adalah harus menguasai syarat-syarat umum seperti tersebut di atas.

Seorang pemimpin upacara harus mengetahui tentang tata cara dan rangkaian upacara perkawinan adat Jawa yang meliputi bagaimana jalannya upacara secara rinci serta apa makna simbolis dari rangkaian upacara dengan segala kelengkapannya itu. Seorang pemimpin upacara juga harus memiliki martabat yaitu mempunyai kehidupan berkeluarga yang baik dan harmonis serta kehidupan bermasyarakat yang terpuji pula. Syarat martabat ini berkaitan dengan harapan masyarakat agar dapat di jadikan contoh teladan bagi sepasang pengantin.

Sedangkan pendukung upacara adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam pelaksanaan upacara panggih, yang terbagi atas tiga kelompok, yaitu pihak kerabat pengantin pria, pihak kerabat pengantin perempuan, dan para tamu.