1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sistem arti dan ekspresi yang digunakan oleh penutur bahasa untuk memenuhi kebutuhannya sebagai anggota masyarakat. Bahasa
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa, maka manusia akan sulit untuk saling berkomunikasi. Dalam hal ini, bahasa berfungsi
sebagai referensial, yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara tentang lingkungan manusia yang terdekat dan juga mengenai tanda itu
sendiri fungsi metalinguistik, Gorys Keraf 1997:1. Anderson 1972:1 bahasa adalah alat komunikasi antar anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa adalah sebuah sistem lambang. Dikatakan demikian karena lambang adalah tanda
yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial berdasarkan perjanjian dan untuk memahaminya harus dipelajari. Bahasa juga dapat mewakili sesuatu yang
bermakna artinya bahasa itu berkaitan dengan aspek kehidupan alam sekitar masyarakat yang memakainya.
Pengertian yang populer bahasa adalah percakapan. Sementara dalam wacana linguistik bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi yang bermakna
dan berartikulasi dihasilkan oleh alat ucap, yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia
Universitas Sumatera Utara
2 untuk melahirkan perasaan dan pikiran Wibowo, 2001:3. Sobur, 2002:275
bahasa dalam arti luas ditafsirkan sebagai suatu penukaran komunikasi tanda- tanda dan ini berlaku baik bagi bahasa menurut arti sempit yaitu kata, baik
disampaikan secara lisan atau tulisan, maupun mengenai semua tanda. Bahasa memiliki dua aspek, aspek bentuk dan aspek makna. Aspek bentuk
merujuk pada wujud visual suatu bahasa, sedangkan aspek makna merujuk pada pengertian yang ditimbulkan oleh wujud visual bahasa itu. Hal ini berkaitan
dengan kajian semiotika sebagaimana semiotika adalah salah satu cabang dari ilmu bahasa.
Linguistik dari sudut semiotika termasuk ke dalam linguistik terapan, yaitu penelitian atau kegiatan dalam bidang bahasa yang bertujuan untuk memecahkan
masalah. Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dalam
berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Suatu tanda
menurut Littlejohn dalam Sobur, 2004:16, menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan maknanya meaning ialah hubungan antara suatu objek atau idea dari
suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan tanda, makna, dan bentuk-bentuk nonverbal.
Tanda dalam kehidupan manusia terdiri atas berbagai macam, seperti tanda gerak atau isyarat dan bunyi. Tanda gerak atau isyarat dapat berupa
lambaian tangan, hal tersebut bisa diartikan memanggil, atau anggukan kepala diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti klakson motor, gendang, tiupan peluit,
terompet, suara manusia, dering telepon. Segala sesuatu dapat menjadi tanda.
Universitas Sumatera Utara
3 Selanjutnya, semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya: cara, fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Jadi, semiotika adalah
sebuah teori yang berasal dari teori bahasa, namun memiliki keandalan sebagai metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan yang bersifat nonverbal menurut Pateda dalam Sobur, 2004:122.
Yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat nonverbal dapat berupa:
i tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, misalnya “Mari”; ii suara, misalnya bersiul, atau menyembunyikan “ssssst…”
yang bermakna memanggil seseorang; iii tanda yang diciptakan manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan, misalnya rambu-rambu lalu
lintas, bendera, tiupan terompet ; dan iv benda-benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir
menandakan darah, bibit pohon kelapa menandakan bahwa kedua pengantin harus banyak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia dan alam sekitar. Benda-
benda yang baru disebut ini merupakan tanda yang bermakana kultural dan ritual bagi masyarakat Gorontalo Sobur, 2004:122.
Demikian juga, dalam masyarakat Simalungun mengunakan Dayok Binatur yaitu daging ayam yang dimasak secara khusus dijadikan sebagai
makanan adat. Dayok Binatur, yang bermakna kultural dan ritual yaitu memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Simalungun. Dayok Binatur ini
dapat menyampaikan banyak pesan atau petuah kepada orang yang akan diberikan
Universitas Sumatera Utara
4 makanan itu. Misalnya, supaya menempati posisi dan melaksanakan tugasnya
penuh sebagai bapak, ibu, anak, tondong, orang tua, boru, atau sebagai petani, pedagang, buruh, pegawai, dll ibarat unsur-unsur dalam tubuh.
Santosa 2003: 9 mengatakan kebudayaan merupakan sumber makna yang sekaligus merupakan sumber semiotika. Sehingga kebudayaan sekaligus
merupakan suatu jaringan sistem semiotika. Suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-norma kultural yang diperoleh
melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui kontak-kontak sosiokultural dengan masyarakat lainnya. Kehadiran nilai-nilai dan norma-norma
dari masyarakat lain ini baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
Oleh karena itu, nilai-nilai dan norma-norma kultural ini mempunyai kecenderungan untuk mengubah secara imanen terus-menerus, karena dunia saat
ini dan yang akan datang akan semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah wilayah dan negara menjadi tidak tampak.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan,
tradisi dan adat istiadat yang berbeda dan beraneka ragam. Hal inilah yang menjadikan kekayaan tradisi bangsa salah satunya suku Simalugun. Adat
Simalungun adalah suatu tata krama yang dibudidayakan dalam kehidupan manusia yang mengandung nilai-nilai luhur yang diwarisi dan dikembangkan dari
generasi ke generasi, Japiten 2001:1. Salah satunya adalah makanan adat Simalungun. Makanan adat
Simalungun adalah makanan yang khusus digunakan dalam adat, misalnya dalam
Universitas Sumatera Utara
5 acara adat baik itu acara suka maupun duka. Makanan adat ini memiliki makna
tersendiri bagi orang Simalungun. Penyajian makanan ini masih ditetapkan di urutan yang paling atas dan tidak pernah dilupakan.
Sortaman menyebutkan dalam bukunya Orang Simalungun menyatakan bahwa satu hal yang sangat penting dicermati dalam tantanan adat Simalungun
salah satunya menggunakan ayam sebagai makanan adat. Simalungun tidak mengenal ternak babi dalam pelaksanaan adat. Zaman dahulu, keluarga raja pada
umumnya memakai sapi atau kerbau sebagai makanan adat, karena dalam acara pesta banyak pekerjaan dan masyarakat yang menghadirinya.
Alasan memilih ayam sebagai makanan ternak karena ada beberapa sifat dan prinsip ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia, yakni mengerami
telurnya artinya rela menahan diri dan berpuasa demi mendapatkan tujuannya. Melidungi anaknya artinya selalu menjaga anaknya di dalam lindungan sayapnya
menghargai anak. Disiplin artinya setiap subuh pada waktu yang sama selalu berkokok tanpa mengenal hari dan musim.
Salah satu makanan adat yang sering digunakan orang Simalungun khususnya bagi masyarakat Simalungun yang ada di daerah Raya yaitu dikenal
dengan sebutan Dayok Binatur. Sebutan lain untuk jenis makanan ini yaitu Dayok Nabinatur, Dayok Atur Manggoluh, Dayok Pinarmanggoluh, Gulei Dayok
Atur Manggoluh, Dayok Nani Batur. Walaupun berbeda beda sebutan untuk makanan adat ini semuanya menunjuk pada Dayok Binatur. Dayok Binatur yang
terbuat dari daging ayam. Dayok Binatur inilah yang dijadikan sebagai simbol dan lambang makanan adat Simalungun Japiten, 2001:24-25.
Universitas Sumatera Utara
6 Dayok Binatur ini dijadikan sebagai simbol dan lambang makanan adat
supaya umat manusia dapat mengetahui, memahami, dan melaksanakan dalam hidupnya pesan Tuhan melalui ayam ciptaannya. Artinya Dayok Binatur itu
memberikan makna dalam hidup orang Simalungun dan diakui secara konvensional, yaitu yang dapat kita lihat dari cara hidup ayam. Dayok Binatur
atau disebut juga dayok atur manggoluh ini suatu filosofis berupa petuah yang sangat berharga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar dapat
bertumbuh subur, tangguh, dan ulet. Contohnya kita harus bisa menempati posisi dan melaksanakan penuh tugas kita sebagai bapak, ibu, anak, orang tua atau dalam
adat Simalungun ada disebut dengan tondong suhut boru. Baik itu juga posisi kita dalam pekerjaan sebagai petani, buruh, pegawai, atasan, anggota, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Dayok Binatur merupakan penanda bahwa orang Simalungun dengan Dayok Binatur tanda yang ada pada Dayok Binatur
menandakan bahwa orang Simalungun mempunyai adat yang tinggi. Makna- makna yang terdapat di dalamnya adalah berupa pesan atau petuah yang harus
dilakukan dalam hidupnya yang berguna untuk mengatur hidupnya khususnya dalam hidup bermasyarakat. Jadi, penanda dan petanda yang dipakai untuk
menjembatani adat Simalungun adalah sumpah atau janji untuk menjalankan pesan atau petuah yang disampaikan melalui perantaraan penanda Dayok Binatur,
sehingga memiliki makna bagi masyarakat Simalungun. Dayok Binatur ini dilambangkan ayam sejenis unggas yang biasa
dipelihara masyarakat Simalungun ayam kampung. Dayok Binatur yang dipakai pada umumnya terbuat dari daging ayam jantan namun di beberapa tempat di
Simalungun ada pula menggunakan ayam betina dijadikan sebagai makanan adat.
Universitas Sumatera Utara
7 Dayok Binatur terbuat dari daging ayam yang dimasak menurut aturan adat-
istiadatnya. Dayok Binatur terdiri dari sepuluh gori, namun tidak disemua kampung di Simalungun mengikutsertakan gori tuppak tulang dada, kecuali
pada acara adat kematian matei sayur matua. Namun, secara khusus di Raya gori tuppak tetap dipakai tapi letaknya berbeda.
Daging ayam yang telah dimasak disusun pada sebuah piring atau pada sapah sesuai dengan aturan adatnya, yaitu ulu kepala dibagian depan, urutan
berikutnya adalah borgok leher, tuppak tulang dada, kemudian toktok gulei potongan-potongan daging kecil tapi tidak termasuk dalam gori yang diserap
pada piring, seterusnya tulan bolon pangkal paha yang diletakkan di sebelah kanan dan kiri, kemudian urutan berikutnya tulan parnamur paha setelah pangkal
paha yang kiri dan yang kanan, kemudian tulan habong sayap kanan dan kir disebelah tulan parnamur paha tengah, setelah itu tulan hais-hais ceker.
Selanjutnya di bagian tengah gori tuah bagian dalam dari tubuh ayam yang menghasilkan sel telur kemudian urutan berikutnya dekke bagas rempelo, diatur
pada makanan itu dan terahir ihur ekor. Setelah selesai penataan gori, nampaklah makanan adat-istiadat itu seperti menggambarkan ayam hidup. Hal
inilah yang mendasari susunan dari ayam binatur tersebut. Selain itu dapat kita lihat dari sebutan lain Dayok Binatur yaitu dayok atur manggoluh ‘ayam yang
diatur hidup’. Dayok Binatur gulei dayok atur manggoluh adalah makanan adat yang
biasanya disajikan pada acara pesta perkawinan, pesta peresmian rumah baru, pesta syukuran maupun pada acara adat kematian matei sayur matua dan acara
acara adat lainnya. Sementara adat gulei dayok atur manggoluh sering
Universitas Sumatera Utara
8 dilambangkan sebagai perwujudan dari kultural yaitu makna syukuran,
memberangkatkan anak bersekolah, selesai ujian, menjelang ujian, menjelang testing, memberangkatkan anak ke perantauan, bebas atau terlepas dari mara
bahaya, karena keberuntungan dan sukses dalam suatu pekerjaan ataupun sukses dalam usaha ekonomi, karena banyak rezeki yang diterima.
Oleh karena itu, pengwujudan dari nilai-nilai dan norma-norma kultural ini mempunyai kecenderungan untuk mengubah secara imanen terus-menerus,
karena dunia saat ini dan yang akan datang akan semakin terbuka sehingga batas- batas kultur, daerah wilayah dan negara menjadi tidak tampak. Demikian halnya
nilai-nilai luhur adat budaya Simalungun sudah mulai terlupakan dan kalau di biarkan pasti sirna terutama bagi generasi penerus. Jadi, perlu diangkat ke
permukaan simbol dan lambang bahasa sebagai nilai luhur adat budaya Simalungun yang sudah tumbuh sejak dahulu.
Berdasarkan konsep dan realitas di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji makna tanda dalam Dayok Binatur sebagai lambang makanan adat
Simalungun yang memiliki makna yang tinggi. Adapun judul penelitian ini adalah, ”Makna Tanda dalam Dayok Binatur”
Universitas Sumatera Utara
9
1.1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan masalah yang dibahas sebagai berikut.
a Bagaimanakah tampilan Dayok Binatur sebagai tanda makanan adat
Simalungun? b
Bagaimanakah makna tanda dalam Dayok Binatur sebagai lambang makanan adat Simalungun?
1.2 Pembatasan masalah