Universitas Sumatera Utara
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. PerspektifParadigma Kajian
Konstruktivisme mulai dengan suatu premis bahwa dunia manusia human world berbeda dengan dunia alam natural world dan dunia fisik physical
world. Dunia manusia coraknya hidup, ada interaksi, ada komunikasi yang hidup dan dinamis. Ciri khas dari dunia manusia adalah daapat berbicara, berpikir dan
bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diinginkannya. Sedangkan dunia alam dan fisik coraknya mekanis, keras, ‘mati’, tidak ada komunikasi yang hidup.
Karena perbedaan ini, maka pendekatan penelitiannya juga harus berbeda. Manusia tidak dapat diperlakukan sebagai makhluk yang mati dan begitu juga
alam fisik yang keras tidak dapat diperlakukan sebagai makhluk yang hidup. Konstruktivisme beranggapan bahwa dunia dikonstruksi constructed dan bukan
diterima given. Dunia dalam hal ini dipahami dalam artinya luas termasuk relasi,
komunikasi, persepsi, perasaan. Jadi apa yang kita lihat, rasakan, alami, dan ketahui bukanlah diterima tetaapi dikonstruksi atau ‘diciptakan’. Hal ini hanya
mungkin dibuat oleh manusia. Manusialah yang memiliki dan mengembangkan kemampuannya untuk menginterpretasi dan mengkonstruksi realita.
Persepsi manusia bukanlah suatu realita yang berdiri sendiri. Tidak ada persepsi yang berdiri sendiri tanpa adanya manusia yang menciptakan. Misalnya
juga Matahari. Matahari memang nyata tetapi ditangkap, dipahami, dan didekati melalui budaya dan bahasa manusia. Dalam arti ini Matahari dikostruksikan oleh
manusia. Jadi, matahari tidak dapat dikenal tanpa pemahaman budaya melalui bahasa manusia. Dengan demikian, konstruktivisme mempelajari beraneka realita
yang disusun oleh manusia yang pada akhirnya memberikan dampak kepada hidup manusia itu sendiri dan memberi arti pada hubungannya dengan orang lain
dan lingkungannya. Namun harus dimengerti bahwa konstruktivisme mengkonstruksi pengetahuan tentang sesuatu realita tetapi tidak menciptakan
7
Universitas Sumatera Utara
realita itu. Dengan kata lain, realita dunia tetap ada tetapi manusia memberi arti kepadanya melalui budaya dan bahasa yang dipahaminya.
Ada suatu keyakinan dalam konstruktivisme bahwa manusia tidak mungkin menangkap suatu realita eksternal yang berdiri sendiri, tunggal dan tidak
berubah. Semua pemahaman manusia tentang realita selalu terkait dengan situasi dan konteks yang mengitarinya, dan dimengerti secara interpersonal dan terbatas.
Tidak ada realita yang berdiri sendiri tanpa manusia yang memaknainya. Pemaknaan manusia tidak berdiri tetapi terkait dengan manusia yang lain
Semiawan, 2010: 10-12. Guba 1990:25 menyatakan but philosophers of science now uniformly
believe that facts are facts only within some theoretical framework. Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality”
exists only in the context of mental framework construct for thinking about it. ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam
kerangka kerja teori. Basis untuk menemukan “sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu
kerangka kerja mental konstruk untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan
berpikir seseorang. Lebih lanjut Guba 1990: 25 mengemukakan constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If
“reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible. Kaum konstruktivis
setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, maka itu hanya dapat dilihat sama
melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti
dengan pandangan jendelakacamata yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba 1990: 26
ialah: finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true
but problematic and ever changing. Pengetahuan dapat digambarkan sebagai
Universitas Sumatera Utara
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap
tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah. Artinya, bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak
merupakan kebenaran yang tetap, tetapi selalu berkembang terus.berdasarkan beberapa penjelasan Guba yang di kutip diatas, dapat disimpulkan bahwa realitas
itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak
bersifat tetap tetapi berkembang terus. Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene
Descartes dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum” yang artinya “karena aku berpikir maka aku ada”. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu
yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan, melainkan hasil pemikiran
rasio. Pengamatan merupakan hasilkerja dari indra mata, telinga, hidung, peraba, dan pengecaplidah. Untuk mencapai sesuatu yang pasti, menurut Descartes kita
harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan
meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berpikir, ini
ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant. Menurut Kant bahwa ilmu pengetahuan itu bukan
semata-mata merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Lebih lanjut Guba 1990: 27 mengemukakan sistem keyakinan dasar pada peneliti konstruktivitas, sebagai berikut.
Ontology: Relativist-Realities exist in the form of multiple mental constructions, socially and experientially based local and specific, dependent for
their form and content on the persons who hold them. Epistemology: Subjectivist- inquirer and inquired into are fused a single monistic entity. Findings are
literally the creation of the process of interaction between the two. Methodology:
Universitas Sumatera Utara
hermeneutic-dialetic-individual constructions are elicited and refined hermeneutically, with the aim of generating one or a few constructions on which
there is substantial consensus. Asumsi ontologi ialah realitivis-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara social dan
pengalaman, local dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya. Asumsi epistemologi ialah subjektif-peneliti dan yang diteliti
disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal monistic. Temuan-temuan secara harfiah merupakan kreasi dari proses interaksi anatara
peneliti dengan yang diteliti. Asumsi metodologi ialah hermeneutic-dialetik- konstruksi individual, dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutic dengan
tujuan menghasilkan satu atau beberapa kontruksi yang secara substansial disepakati.
2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Komunikasi