BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi
seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke
zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa tak bisa dilepaskan dari peran Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang
cukup menarik untuk disimak adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu mengajarkan Islam. Masyarakat semasa itu sebagian besar memeluk Hindu.
Walisongo tak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi keyakinan masyarakat.
Salah satunya adalah metode yang digunakan oleh para Wali dengan menggunakan media Wayang. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara–
khususnya di Jawa-wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relif yang bisa kita jumpai di candi-candi seperti di
Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.
1
1
S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988, Cet, ke-1 h- 14
1
Para wali melihat wayang bisa menjadi media penyebaran Islam yang sangat bagus. Namun timbul perdebatan di antara para wali mengenai bentuk
wayang yang menyerupai manusia. Setelah berembuk, akhirnya mereka menemukan kesepakatan untuk menggunakan wayang sebagai media dakwah
tetapi bentuknya harus diubah. Bentuk baru pun tercipta. Wayang dibuat dari kulit kerbau dengan wajah
yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat memanjang sampai ke kaki. Bentuk bagian-bagian wajah juga dibuat berbeda
dengan wajah
manusia. Tak hanya bentuknya, ada banyak sisipan-sisipan dalam cerita dan
pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan pesan moral Islam. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima
mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan
sesama manusia.
2
Cara dakwah yang diterapkan oleh para wali tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan maupun penolakan.
Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam semakin hari semakin bertambah, termasuk para penguasa-penguasanya.
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena
2
Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, Semarang; Dahara Prize, 1993, h. 26.
banyak ajaran moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya
dianggap sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat, seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-
nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai itu manusia kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia
tidak seimbang baik kehidupan jasmani dan rohaninya. Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i
atau pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik
di dunia maupun di akhirat
3
Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’i harus mampu dalam menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.
Dari berbagai macam media yang bisan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah
wayang kulit . Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya
peninggalan leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat, seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian
nilai-nilai luhurmoral, etika, dan religius. Dari zaman kedatangan Islam digunakan oleh para wali songo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.
4
Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama dalam menyiarkan agama Islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi
3
Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, Jakarta: Paramadina,2004, Cet. Ke-I, h.1
4
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991, Cet.Ke-I, h. 16
warisan budaya tanah leluhur Indonesia.
5
Sehingga proses akultrasi pribumi dengan budaya islam berjalan begitu harmonis.
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari kebudayaan Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan wayang kulit sudah mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa
tengah. kedua, pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para
penggemarnya. ketiga, media wayang kulit dalam pementasannya banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur, pada masyarakat jawa
khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih menggunakan wayang kulit sebagait media dakwah.
Keberhasilan dakwah melalui wayang kulit tergantung pada beberapa variable. Pertama, wujud wayang kulit merupakan kulit yang dibentuk hingga
menyerupai sosok yang mempunyai karakter, diantaranya baik, jahat, kaya, miskin, dll. Melalui variable wayang kulit ini bisa menciptakan karakter yang
Islami diantarannya adalah karakter kyai atau ulama
6
Kedua, adalah cerita yang menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan yang ada dalam pementasan
wayang kulit. Cerita dalam pewayangan juga berfungsi sebagai media dakwah atau sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran keagaaman.
7
Ketiga, adalah dalang, karena sosok dalang sesungguhnya bukan seorang dewa juru penerang
5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-IV, h.203
6
Sri Mulyono, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya PT, Gunung Agung, 1976 h.154
7
Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang Jakarta: PT.Gunung Agung, 1979, Cet. Ke-I, h. 77
yang serba bisa tetapi juga bisa disebut pembawa kaca benggala cermin besar yang berperan sebagai seorang budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara
yang bisa mengartikilasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa
8
Ini merupakan variable sentral terhadap keberhasilan pementasan wayang kulit, sehingga dapat
menarik perhatian masyarakat. Salah satu pementasan wayang kulit yang berada di Pringapus Semarang,
dalam sejarahnya , sejah zaman dahulu wayang kulit bisa dikatakan media yang sampai sekarang masih digaunakan dalam aktifitas berdakwah, masyarakat
Pringapus Semarang adalah masyarakat yang sederhana mereka adalah masyarakat yang agraris, hasil bumi berupa beras, dan sayur-sayuran merupakan
komiditas yang mereka andalkan untuk pendapatan mereka sehari-hari. Tak bedanya dengan desa-desa lain dapat dikatakan memiliki pertumbuhan yang
cukup lambat di dalam pembangunan, keberhasilan wayang kulit sebagai media dakwah di pringapus semarang masih dapat dirasakan yang terlihat dari sikap dan
tutur kata masyakat Pringapus Semarang. Berdasarkan latar belakang maslah di atas maka penulis menusun skripsi
dengan judul berjudul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH Studi
Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang”.
8
Suwaji Bastomi, etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, Semarang; Dahara Prize, 1993, Cet.ke-I h.59
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah