Pengaturan Tentang Tindak Pidana Korupsi

6 Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

3. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Korupsi

Di Indonesia korupsi sudah mencapai tingkat tertinggi yang tidak dapat ditolelir lagi. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat, penyakit ini semakin berkembang seiring dengan kemakmuran dan perkembangan teknologi yang dicapai masyarakat, keadaan seperti itu memerlukan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang perundang-undangan agar ketentuan-ketentuan yang ada menyangkut korupsi dapat mengikuti perkembangan tindak pidana korupsi di tengah masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Darwan Prins adalah sebagai berikut; 96 “Perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia dalam kurun waktu 50 tahun terakhir menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan menyediakan perangkat- perangkat hukum yang memadai, namun tindak pidana korupsi tetap saja bahkan bila dicermati secara seksama tindak pidana korupsi semakin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.” Begitu besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi baik bagi negara maupun bagi masyarakat, maka kejahatan korupsi tidak lagi dapat digolongkan ke dalam kejahatan biasa namun telah tergolong ke dalam kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime. 97 Dengan digolongkannya perbuatan korupsi ke dalam kejahatan yang luar biasa, maka penanganan-nyapun tidak dapat dilakukan secara biasa, namun dilakukan dengan cara-cara khusus dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai untuk mengungkap suatu kejahatan korupsi. Salah satu upaya untuk memberantas 96 Ibid., hal. 21. 97 Ibid., hal. 23. tindak pidana korupsi telah diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk menampung kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam perbuatan tindak pidana korupsi dan pada masa lalu tidak dengan jelas diatur oleh undang-undang. Korupsi merupakan suatu perbuatan yang merugikan keuangan negara, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut : a. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. b. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut di atas, korupsi merupakan tindak pidana dan suatu perbuatan yang melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, perusahaan, dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. 98 Pemberantarasan tindak pidana korupsi merupakan kesepakatan Nasional yang telah dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No.XIMPR 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi di dalam ke dua undang-undang ini telah digolongkan ke dalam suatu kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selama penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terdapat kesulitan-kesulitan yang pada umumnya dihadapi dalam penanganan tindak pidana korupsi, kesulitan tersebut antara lain berupa kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia yang belum memadai dan adanya hambatan-hambatan terhadap dalam melakukan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara yang secara politis mempunyai posisi yang kuat, sulitnya menembus rahasia Bank, kurang efektif dan efisiennya ketentuan-ketentuan beracara dan rendahnya dukungan dari aparat pemerintahan dan masyarakat pada umumnya. 99 Untuk memberantas tindak pidana korupsi agar jangan terjadi keaneka ragaman penafsiran hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka pemerintah memandang perlu adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 98 Andi Hamzah., Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia 1991, hal. 7. 99 Ibid., hal. 8. tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirasa masih mengandung beberapa kekurangan-kekurangan, untuk itu telah dilakukan beberapa perubahan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perubahan dimaksud meliputi: 1. Pada rumusan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu kepada pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHPidana, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat pada masing-masing pasal KUHPidana; 2. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencantumkan ketentuan mengenai Gratifikasi dalam sistem pembuktian terbalik yang terdapat dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C; dna 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 38 ayat 1, meskipun terdakwa meninggal dunia dalam persidangan. Di dalam literatur Hukum Acara Pidana dikenal beberapa macam teori atau sistem pembuktian berupa, sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu dan sistem pembuktian jalan tengah yakni merupakan perpaduan diantara kedua sistem pembuktian sebelumnya. 100 Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berlaku sistem pembuktian terbalik atau disebut juga pembalikan pembuktian, ketentuan ini 100 Darwan Prins., Op. cit, hal. 16. merupakan hal yang tidak lazim dalam sistim hukum Indonesia, Hukum Pidana maupun Hukum Acara Pidana sama sekali tidak mengenal pembalikan pembuktian.

C. Pengertian Keuangan Negara Dan Kerugian Keuangan Negara Di